"Luis, sebaiknya hari ini kamu pulang dan istirahat saja di rumah, jangan kerja dulu sebelum kamu sakit." ucap Marey dengan tatapan penuh.
"Aku hanya demam biasa Rey, dan demamku juga sudah turun." sahut Luis dengan tersenyum.
"Ya sudah, kalau kamu merasa sehat..ayo kita berangkat." ucap Marey beranjak dari tempatnya mendorong kursi rodanya ke keluar rumah menuju jalanan untuk naik taxi.
Luis mengikuti Marey dari belakang sambil mengirim pesan pada seseorang.
"Luis!! ayo cepat masuk!!" teriak Marey yang sudah masuk ke dalam taxi langganannya yang selalu membantunya saat masuk keluar taxi.
Dengan segera Luis masuk ke dalam taxi dengan sebuah senyuman dan semangat yang lebih besar lagi.
"Luis...aku bawa bekal dua, ini.. masukkan ke dalam tasmu untuk makan siang kamu nanti." ucap Marey seraya memberikan satu bungkus nasi pada Luis.
"Terima kasih Marey cantik." ucap Luis dengan mengedipkan matanya.
"Kamu genit sekali mengedipkan mata padaku ya?" tanya Marey dengan wajah bersemburat merah.
"Hanya padamu saja Marey, aku pastikan itu tidak pada yang lain." ucap Luis dengan kata-kata yang semakin membuat Marey malu dengan kata-kata Luis seperti di tujukan pada pacarnya.
"Sebentar Luis, ada pesan dari seseorang yang tidak ada namanya." ucap Marey seraya membuka pesan yang di terimanya.
"Jangan lupakan tentang kenangan masa lalu kita, karena kenangan masa lalu kita adalah hal yang terindah dalam hidupku" - DEAN
Tangan Marey sedikit gemetar, kedua matanya mulai berkaca-kaca setelah membaca pesan dari laki-laki yang di bencinya tapi juga sangat di rindukannya.
"Ada apa Rey? apa ada sesuatu dari pesan itu? memang dari siapa Rey? coba aku lihat?" tanya Luis dengan tatapan penuh.
Marey memberikan ponselnya pada Luis, dengan segera Luis membaca pesan itu.
"Apa hanya karena ini kamu menjadi seperti ini?" tanya Luis mengusap air mata yang sudah mengalir di kedua pipi Marey.
"Aku membencinya Luis, aku membencinya." gumam Marey dengan suara bergetar.
"Sebaiknya aku hapus saja pesannya dari pada hal itu membuatmu sedih." ucap Luis berniat menghapus pesan itu namun tangan Marey mencegahnya.
"Jangan Luis, biarkan saja jangan di hapus." ucap Marey dengan tatapan sedih.
"Kamu masih mencintainya?" tanya Luis menatap penuh wajah Marey.
"Aku tidak mencintainya lagi, aku sangat membencinya." ucap Marey membuang pandangannya ke pinggir jalanan.
Luis menyandarkan kepalanya seraya memegang dadanya yang terasa sakit mendengar ucapan Marey.
"Nona Marey, sudah sampai." Ucap Ali sopir taxi yang sudah menghentikan mobilnya.
"Tuan Ali nanti sore jangan jemput saya, kemungkinan saya lembur lagi." ucap Marey dengan tersenyum.
"Ya Nona." sahut Ali berniat turun membantu tapi Luis mencegahnya.
"Tuan Ali biar saya saja yang membantu Marey turun." ucap Luis kembali tersenyum.
Dengan penuh perhatian seperti pada pasangannya Luis membantu Marey keluar dari mobil dan kembali duduk di kursi rodanya.
Sampai di depan pintu kantor Marey kembali di kejutkan oleh suara Ned.
"Nona Marey selamat pagi, ada kiriman bunga lagi dari Dean Luther untuk Non Marey. Sekarang bunganya lebih banyak Nona. Tempat kerja Nona Marey penuh dengan bunga." ucap Ned dengan rasa kagum dengan perhatiannya Dean Luther.
"Di keluarkan saja semua Ned, para karyawan yang mau bawa pulang silahkan saja. Saya alergi bunga." sahut Marey merasakan pusing dengan sikap Dean Luther.
"Apa benar kamu alergi bunga Rey? sejak kapan?" tanya Luis dengan serius.
"Memang kamu tahu kalau aku suka bunga atau tidak? tidak tahu kan?" tanya Marey dengan tatapan kesal seraya mendorong kursi rodanya masuk ke ruang kerjanya.
"Aku sangat tahu kalau kamu suka bunga." ucap Luis dengan sangat pasti.
Marey menghentikan kursi rodanya dan berputar balik menghadap Luis.
"Kamu tahu darimana?" tanya Marey dengan tatapan heran.
"Aku tahu saat pertama aku masuk ke sini kamu sedang menciumi setangkai bunga Lily." ucap Luis dengan senyum terkulum.
"Benarkan apa kataku? kalau kamu menyukai bunga? dan ada satu bukti lagi di rumah kamu banyak aneka bunga terutama bunga Lily jadi aku bisa menebaknya kalau kamu sangat suka bunga." ucap Luis mengedipkan matanya kemudian meninggalkan Marey yang terpaku di tempatnya.
"Luis, aku semakin yakin kamu bukan laki-laki yang biasa tapi kamu laki-laki yang smart dari cara berbicara mu sudah bisa mematikan lawan." gumam Marey dengan seulas senyum yang terlihat di sudut bibirnya.
Marey duduk di kursi kerjanya dan menatap penuh pada layar monitor.
Hampir dua jam berlalu Marey tidak bisa bekerja dengan baik, pikirannya terpecah antara Dean Luther laki-laki yang masih di cintainya dan Luis laki-laki yang baru di kenalnya tapi terasa begitu mengenalnya.
"Luis Fedrick...Dean Luther? ada sesuatu di antara kalian berdua ada kesamaan walau fisik kalian berbeda." gumam Marey seraya menekan tengkuk lehernya yang terasa capek karena menjaga Luis semalaman dan posisi kepala yang tidak tepat.
Empat jam telah berlalu Marey melihat ke arah pintu berharap Luis muncul dari balik pintu dengan sebuah senyuman nakal di wajahnya yang tampan.
"Drrrtt... Drrrtt... Drrrtt"
Ponsel Marey berbunyi berulang-ulang.
Dengan perasaan berat Marey menerima panggilan Ned.
"Ada apa Ned?" tanya Marey dengan serius mendengar nafas Ned yang terengah-engah.
"Nona Marey...Tuan Luis...Tuan Luis...Nona?" ucap Ned dengan suara yang tidak jelas.
"Ada apa Ned? kenapa dengan Luis? bukannya tadi baik-baik saja?" tanya Marey jadi merasa cemas dengan keadaan Luis.
"Tuan Luis pingsan Nona, dari hidungnya mengeluarkan darah. Sekarang sudah ada di mobil kantor akan di bawa ke rumah sakit." ucap Ned dengan panik.
"Ya sudah Ned, antar saja ke rumah sakit. Nanti kalau pekerjaanku selesai aku akan ke sana." ucap Marey jadi merasa cemas.
"Ya Nona, nanti saya kirim di rumah sakit mana dan kamarnya." ucap Ned kemudian menutup panggilannya.
Marey duduk terpaku dengan berita yang di dengarnya kenapa jantungnya terasa lepas dari tempatnya saat tahu Luis masuk ke rumah sakit.
"Sakit apa Luis? kenapa selalu mengeluarkan darah dari hidungnya?" tanya Marey dalam hati, sudah tidak bisa fokus pada pekerjaannya.
"Aahhh...aku tidak bisa di sini saja, aku harus melihatnya." ucap Marey dengan hati yang semakin cemas dengan keadaan Luis.
Bergegas Marey keluar dari ruang kerjanya seraya menghubungi Ali untuk mengantarnya ke rumah sakit.
Setelah mobil Ali datang dan membantunya masuk ke mobil, Marey meminta Ali untuk mengantarnya ke rumah sakit terdekat.
"Tuan Ali, terima kasih. Saya tidak usah di tunggu, Tuan bisa kembali." ucap Marey setelah di bantu di turunkan di depan UGD rumah sakit.