Chereads / 2 Demon Child / Chapter 22 - Bab 22

Chapter 22 - Bab 22

Jam alarm dari atas kasur masih belum berhenti bunyi hingga membuat kebisingan didalam ruang kamar, Lavina perlahan membuka kedua matanya.

"Aarggh, Awwh, Awwh, Leherku aakhh" Rintih kesakitan lantaran ia tertidur dalam posisi duduk di kursi belajar sembari menyandarkan kepala pada meja sepanjang malam, tentu membuat lehernya kaku dan terasa sakit.

Belum sempurna ia menegakkan kepala, terdengar suara ketukan dari luar pintu kamarnya.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Vin, Lavina, apa kamu sudah bangun, Nak?" Panggil sang ibu (Airha) seraya terus mengetuk pintu itu.

Tok ... Tok ... tok

"I ... iya Ma, Vina dah bangun." Jawab-nya secara langsung, karenanya enggan mendengar bising suara sang ibu terus-menerus mengetuk pintu kamarnya.

"Yasudah, segera berbenah sudah siang ini Nak .. nanti kamu bisa telat ke sekolah loh." Lanjut sang Ibu.

"Iya, Ma." Pungkasnya sembari memegangi lehernya dengan tangan lantas terngiang akan mimpi panjang yang ia lalui semalam.

'Huffh Mimpi yang aneh' Gumam bantinnya seraya bergegas berdiri untuk meraih handuk, kemudian dilanjutkannya masuk kedalam kamar mandi.

***

Sebelum ritual rutin (Mandi) dilaksanakan, sudah menjadi kebiasaannya mengikat rambut panjangnya apabila dia sedang tidak mencuci rambut. Lantas semasih kedua tangannya sedang mengikat rambut, tidak disengaja jemarinya menyentuh bagian leher sebelah kanan.

"Awh, duh-- Kok perih begini si?" bertanya-tanya. Awal mula tidak ia hiraukan, namun kedua kalinya leher sebelah kanan tersentuh, ia masih merasakan sakit yang sama.

"Awh, duh .. ini leher kenapa si" Gumamnya lagi. Lantas akhirnya ia mendekat ke arah cermin untuk melihatnya.

"Loh, ini--luka apa ya? Sejak kapan aku terluka disini?" Terheran karenanya di leher sebelah kanannya terdapat bekas luka seperti gigitan, seumpama gigitan binatang ular, namun ia tidak bisa melihat luka itu dengan jelas lantaran sedikit susah baginya melihat bagian itu. Alhasil, ia tidak begitu menghiraukan lantaran dirinya sedang sangat terburu-buru.

Beberapa saat kemudian, ia sudah selesai ritual rutinnya (Mandi) dan kini seperti sedia kala sudah rapi memakai seragam sekolah, rambut panjangnya terurai.

Waktu saat ini menunjukkan pukul 06:50 Am.

Akibat kemarin kelelahan dan ketiduran, membuatnya kini kelabakan nan gugup karenanya buku-buku maupun alat tulis lainnya belum dirapikan sempurna ke dalam tasnya. Semasih ia menata alat tulisnya ke dalam tas pada posisi berdiri di depan meja belajar, terkejut melihat ada sebuah jaket laki-laki di kursi tempat ia duduk belajar semalam.

"Loh, loh ini ... jaket siapa?" Ucapnya bertanya-tanya sembari meraih jaket tersebut.

Selama jaket itu di tangannya, Ia terdiam sembari memikirkan tentang jaket siapakah itu, karena yang ia ingat selama ini tidak pernah meminjam atau di pinjamkan jaket oleh lelaki manapun.

"Astaga Tuhan! Tidak! Ini .. Tidak mungkin!" reflek seraya melotot ketika teringat sesuatu.

Ya, Ia teringat selama masih di alam mimpi, ia berlari menjauhi lelaki misterius itu dari dalam Goa, jubah/jaket lelaki itu masih melekat di tubuhnya.

Bimbang lantaran hal tersebut sangatlah mustahil terjadi, bahkan semula ia tipikal gadis tangguh yang tidak percaya akan hal mistis kini seketika bulu kuduknya merinding. Tapi pikiran bimbang yang kini masih menerjangnya berlalu begitu saja lantaran teringat waktu saat ini sudah semakin siang.

"Aduh matilah aku, kalau mama dan papa sampe tau ada jaket cowok ini di kamarku, ah ... sebaiknya aku kemanain jaket ini ya," Ucapnya berbicara sendiri seraya menoleh ke arah lemari baju lantas ia melangkah untuk menyembunyikannya didalam lemari baju miliknya.

Sesudahnya jaket tersembunyi rapi, lantas bergegas melanjutkan aktifitasnya untuk menata alat tulis kedalam tas. Dirasa seluruh keperluan sekolahnya sudah masuk kedalam tas, lekas ia keluar kamar nan turun ke lantai bawah.

__

Seperti hari-hari biasa, meski kini waktu sudah semakin siang, ia tidak tertinggal sarapan, kebetulan pada hari ini sang Ayah belum berangkat ke kantor, dia sedang duduk di meja makan sembari sarapan.

"Vin, Kapan kegiatan sekolah yang kamu bilang ke papa kemarin di laksanakan?" Tanya sang ayah.

"Hari esok pa."

"Wah, hari besok? apa perlu papa suruh sopir mengantarkanmu ke tempat perkemahan?" Lanjut sang Ayah.

"Em ... Sepertinya tidak usah pa, besok pakai bus sekolah kok" Jawabnya sembari menggigit roti di tangannya.

"Ya iya lah Pa, kegiatan sekolah ya pastinya sudah di sediakan fasilitas seperti transportasi dan lain-lainnya, Pa" Imbuh Airha.

"Iya Ma, papa juga tau itu. Tapi ... yang papa lakukan ini untuk menjamin keselamatan putri kita, Ma"

"Iya Pa, Mama juga ngerti. Tapi ya jangan berlebihan juga kali pa, Semuanya kan sudah di jamin oleh pihak sekolah." Jawab Airha lagi.

Lavina enggan mendengar percakapan kedua orangtuanya terlebih lagi waktu sudah semakin siang, Akhirnya ia berdiri dari tempat duduknya sembari masih menggigit roti.

"Pa, Ma, Vina berangkat sekolah dulu ya ..." Pamitnya.

"Eh, eh Vina tunggu, kebiasaan sekali kamu makan belum selesai sudah berdiri seperti itu. Ingat, papa sama mama tidak mengajarkanmu begitu ya, selesaikan dulu makanmu itu." Tegas Airha seraya melangkah menuju dapur.

Lavina terdiam lantas kembali ke tempat duduknya, sementara Airha sudah kembali dari dapur seraya membawa kotak bekal di tangannya.

"Ini bawa bekal kamu, mama sudah siapin. Jangan lupa di makan nanti ya ..." memasukkan kotak tersebut kedalam tas milik Lavina.

"Lah mama ih, bawain bekal aku terus!" Gerutu Lavina.

"Gak usah banyak komentar kamu Vin,, daripada kamu jajan sembarangan di sekolah. Kurang terjamin kebersihannya, paham?" Jawab Airha.

"Benar yang Mama kamu katakan itu Vin," Imbuh sang Ayah.

Membuat Lavina memanyunkan bibirnya lantaran kesal namun akhirnya ia senyum-senyum sendiri lantaran ada sesuatu yang ia ucapkan didalam batinnya.

'Hihihi, Mama papa gak tau kalau selama ini bekal yang mama bawain ke aku selalu ku kasih ke pak satpam di sekolah, hihihi'

"Yasudah segera berangkat sana, nanti kamu telat." Ucap Airha, usai memasukkan bekal makanan tersebut kedalam tas.

"Iya Ma, Pa, Vina berangkat sekolah dulu ya ..." Pungkasnya seraya berjabat tangan, tidak lupa jua ia cium tangan kedua orangtuanya lantaran memang sudah menjadi kebiasaannya walau terkadang tidaklah demikian lantaran biasanya kedua orangtuanya sudah pergi sedari petang sebelum dirinya bangun tidur.

"Iya, hati-hati di jalan ya sayang. Yang fokus belajarnya ya ..." Imbuh Airha seraya melambaikan tangan semasih Lavina melangkah menuju ke arah garasi mobil.

__

Next

Selama di perjalanan, terjadi kemacetan cukup parah pada jalan yang di lintasi olehnya tertambah jua Cuaca pagi Itu cukup mendung nan terjadi gerimis tipis membuat Lavina melamun didalam mobil sembari menghadap ke arah jendela kaca.

Selama melamun, ia Teringat akan mimpi anehnya semalam, lantas semasih teringat paras tampan dari pemuda misterius didalam mimpinya itu tiba-tiba ia di kejutkan oleh sesuatu hingga membuat lamunannya tercabik.

Blug!

Hentakan tangan seorang pengendara roda dua tepat di kaca mobil bagian tengah, sedang menyelip-nyelip diantara mobil-mobil yang sedang jalan merayap di tengah padatnya arus lalu lintas pagi itu.

"Astaga!" Lavina reflek lantaran sangat terkejut.

"Haduuh ... Bocah jaman sekarang bandel-bandelnya minta ampun, masih kecil-kecil sudah pada mengendarai motor." Gumam pak sopir berbicara sendiri.

Sementara Lavina sendiri masih diam sembari meletakkan telapak tangan ke dada pertanda terkejutnya ia saat ini hingga jantung terasa seakan mau copot, memperhatikan pengendara motor itu melalui kaca depan.

'Eh, itu ā€¦ bukannya si Elga ya?' Batinnya penuh tanya lantaran ia paham terhadap motor itu walau ia tidak tahu seperti apa paras pemuda yang mengendarai motor tersebut.

"Pak, kenapa tadi gak lewat jalan alternatif aja pak biar gak kejebak macet begini. Duh, bentar lagi gerbang sekolah mau di tutup pula Nih," Tanyanya kepada sang sopir nan bimbang hingga berkali-kali melihat jam tangan.

"Iya Non, maaf. Tapi kalau lewat jalan alternatif sama aja macetnya, Non. Apalagi kalau berpapasan dengan mobil besar, hadeeh malah lebih parah dari jalan ini Non." Jelas sang sopir.

"Oh ... Gitu ya," Jawab Laviba singkat lantaran tidak tau harus berkata apa lagi selain pasrah bila sampai di sekolah gerbang sudah di tutup.

'Hufff ... '