"Aku...merindukan...istriku..."
Kata-kata terakhir yang Yafizan ucapkan membuat Rona semakin membulatkan tekadnya. Apalagi kini bosnya tengah berbaring tak berdaya. Diliriknya bubur, obat dan air minum serta buah yang berada di atas nakas samping tempat tidurnya. Rasanya percuma saja, bosnya bukan sakit biasa.
Sebagai 'manusia istimewa' yang berpredikat sebagai dewa, tentu saja rasa sakit sangatlah tidak mungkin dirasakan oleh mereka yang berdiam diri di bumi. Rasa sakit yang cukup parah akan mereka rasakan ketika mereka berada di alamnya sendiri. Itu pun biasanya karena peperangan ataupun saling bertanding menunjukkan siapa yang lebih unggul dalam hal kekuatan dan keahlian. Di bumi ini mereka akan merasakan kesakitan karena suatu hal saja. Dan selalu ada penawar dari semua kesakitan aneh yang mereka alami. Karena jika ada 'manusia spesial' seperti mereka yang terluka, maka sifat penyembuh alami dari tubuh mereka akan menyembuhkan luka dan kesakitan itu dengan segera.
Sakit demam seperti manusia biasa saat ini yang dialami oleh bosnya merupakan sesuatu yang tidak wajar. Apa mungkin ia menikah dengan manusia biasa maka sebagian dalam dirinya terkontaminasi garis-garis sifat alamiah manusia?
Rona berperang dengan pemikirannya sendiri. Hingga akhirnya ia menyimpulkan satu hal yang paling logis dari fikirannya.
Ini hukuman untuk tuan mudanya.
Rona bergegas pergi, secepat kilat ia berteleportasi menuju tempat yang ia rasa Tamara pasti berada di dalamnya. Dan ternyata instingnya benar. Ia melihat wanita itu masih meliukkan badannya dengan ditemani beberapa pria yang tak jarang tangan-tangan nakal mereka menyentuh Tamara. Rona merasa risih karena Tamara tak bergeming dan malah merasa senang. Dasar murahan!
Tanpa berbasa-basi dan penuh emosi Rona mencengkram lengan Tamara, menariknya segera tanpa mempedulikan protes dari para pria yang merasa kecewa karena incaran mereka direbut paksa. Tamara memberontak tak urung melepaskan cengkraman kuat tangan itu.
Di saat tempat yang Rona tuju jauh dari kebisingan suara yang memekikkan telinga, Rona menghempas kasar tangan Tamara.
"Brenggsek!!" Tamara emosi, hampir mendaratkan tamparan di pipi ketika tangan Rona menahan layangan tangan itu.
"Jangan pernah menyentuhku!" mata Rona memerah. Ia sudah meninggalkan sikap jenaka dan ramah dari dirinya. Kini ia menjelma menjadi Panglima tertinggi yang setia menjaga dan melindungi tuannya.
"Mau apa kau?" Tamara dalam pengaruh alkohol, tercium jelas oleh indera penciuman Rona, semakin membuatnya hilang resfect.
"Ahhh...apa Bosmu yang bodoh itu sudah sembuh dan sekarang mencariku?" Tamara mengoceh tak jelas. "Ayo, kita pulang. Kau disuruh Bosmu untuk menjemputku, bukan? Kalau Bosmu sudah sembuh, aku baru akan pulang...malas sekali mengurus kakek tua umur seribu tahun yang mulai sakit-sakitan itu." Tamara terkekeh, pun bicaranya yang semakin melantur karena pengaruh alkohol.
Rona merasa terkesiap ketika mendengar kata-kata dari Tamara. Dari mana Tamara tahu bahwa bosnya bukan manusia biasa?
"Kau memang tak pantas bersanding dengan tuan muda Yafi." Rona menggeram, sudah berbicara formal memanggil bosnya. Sekuat tenaga menahan emosinya untuk tidak menyakiti wanita yang sedang mabuk di hadapannya.
"Kata siapa aku tak pantas? Aku, sangat pantas memilikinya!" Tamara tak terima. "Justru wanita kampungan itu yang tak pantas memilikinya."
"Kalau begitu, kenapa kau tega meninggalkannya tiga tahun lalu, hah? Bahkan sekarang tuan muda sakit pun kau tidak menunjukkan empatimu untuk mengurusnya. Malah kau bersenang-senang di sini macam j*l*ng yang tak punya harga diri!"
"Haha, buat apa aku capek-capek dan kerepotan mengurusnya? Ketika sakit saja kalian mengingatku dan meminta bantuanku. Tapi ketika sehat dan sadar, lelaki itu tak berperasaan dan tak menganggapku ada."
"Kalau bukan karena Tuan Muda, aku takkan sudi membawamu masuk ke dalam kehidupannya lagi." Rona memilih pergi meninggalkan Tamara.
"Ya sudah kalau begitu, kenapa kau tak suruh saja istri tercintanya itu untuk mengurus suaminya yang sakit-sakitan!" teriak Tamara meracau, ia melemparkan high heels-nya ke punggung Rona.
Rona mengepalkan tangannya. Dengan kekuatan supranaturalnya ia membuat Tamara tak sadarkan diri. Memberinya sedikit pelajaran.
Maafkan aku, Bos. Sepertinya aku harus melanggar aturanmu.
***
"Soully, bisakah kau datang ke apartement?"
"Kak Rona?"
"Ya, maaf aku baru bisa menghubungimu. Mengurus semua urusan perusahaan dan Bos yang sakit membuatku lupa melakukan yang lain." nada menyesal terdengar tulus dari mulut Rona.
"Yafi sakit? Sakit apa?" Soully khawatir.
"Datanglah segera, aku tak bisa menjelaskan secara mendetail."
"Baiklah, aku akan ke sana segera."
"Terima kasih, Soully." sudah mau menutup panggilannya.
"Tunggu. Kak Rona, tapi...apa tidak apa-apa jika aku datang ke sana?" Soully meragu. Ia masih ingat betul bagaimana Yafizan mengusirnya.
"Kemarilah dan tak usah banyak berfikir," tegas Rona menutup panggilannya. Setelahnya ia merasa bersalah sudah bersikap ketus terhadap istri bosnya yang seharusnya ia hormati. Rasa kesalnya pada Tamara tadi membuat ia tak mengontrol emosinya.
Maafkan aku. Nona Soully...
***
"Kenapa? Apa yang terjadi?" Erick menanyakan rasa penasarannya ketika melihat ekspresi Soully yang tampak cemas saat menerima panggilan teleponnya.
Erick baru saja tiba sepulangnya dari bertugas di rumah sakit ketika ia mendapati Soully sedang bercakap serius dengan seseorang di telepon.
Semenjak Soully tinggal di rumahnya, Erick selalu menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Bahkan ia sengaja tidak menerima pasien setelah jam 06.00 sore. Hatinya terlalu senang karena ada seseorang yang menunggunya ketika ia pulang kerja. Sejenak ia melupakan jika Soully sudah bersuami. Rasa egonya mengalahkan hati baiknya. Ia merasa Soully adalah miliknya.
"Kau sudah pulang?" alih-alih menjawab, Soully malah balik bertanya. Ia menyambar tas jinjing milik Erick layaknya seorang istri yang menyambut suaminya pulang.
"Hm." Erick menjawab cepat dengan berdehem. "Kenapa? Apa ada sesuatu terjadi?" lagi, Erick penasaran.
"Emmhh...Kak Erick, aku harus ke apartement sekarang. Suamiku sedang sakit," meminta izin walaupun sebenarnya Soully tak peduli ia diizinkan atau tidak, fokusnya hanya satu, suaminya.
"Sakit?" Erick mengernyitkan dahinya. Ia tahu betul, dewa sepertinya takkan mungkin merasakan sakit. "Sakit apa?"
"Entahlah. Yang jelas Kak Rona menyuruhku untuk pulang sekarang. Maaf aku harus pergi dulu, Kak." Soully bergegas pergi, namun Erick menahan tangannya.
"Tunggulah. Aku akan mengantarmu."
"Tapi..."
"Sepuluh menit. Kau akan segera tiba di sana. Tunggulah, aku akan mengganti pakaianku."
***
Soully sudah berada di depan pintu apartementnya. Ia merasa ragu antara menekan pin password ataukah mengetuk dan menekan bel pintunya saja. Soully berjalan mondar mandir, sesekali ia menggingit kuku-kuku jarinya.
"Kenapa kau tak tekan saja pin password-mu itu," seru Erick yang merasa kesal sendiri melihat tingkah laku Soully.
"Aku..." belum selesai Soully melanjutkan ucapannya, Erick sudah menyambar dengan menekan bel. "Kak Erick!" pekik Soully pelan. Erick hanya menyeringai.
Rona melihat layar monitor yang menampilkan dengan jelas sosok bertubuh mungil nan cantik, Soully.
Rona menekan tombol untuk membuka kunci secara otomatis. Ia melangkahkan kakinya segera menyambut kedatangan nona mudanya.
"Soully..." langsung berhambur memeluk Soully. Soully yang awalnya kaget mendapat serangan pelukan dari Rona hanya tersenyum kecil.
Sikap manjanya sebagai panglima tertinggi, luruhlah sudah ketika ia melihat Erick dengan gagah berdiri tegap walaupun sedang menyandarkan tubuhnya pada tembok.
"T-tuan Erick." langsung melepas pelukannya lalu membungkukkan setengah badannya memberi hormat.
"Aku kira kau bayi besar manja yang membutuhkan induknya." Erick menggoda Rona membuat wajahnya memerah menahan malu. Soully tersenyum melihat tingkah dua 'manusia spesial' yang ada di hadapannya.
"Masuklah, Soully. Kurasa hanya kau yang bisa menyembuhkan Bos Yafi," ajak Rona untuk masuk ke dalam.
"Sebaiknya aku pulang. Jika ada apa-apa hubungi saja aku. Kurasa tuanmu itu tidak membutuhkan bantuan medis apapun." Erick berlalu tanpa menoleh kembali. Soully merasa tak enak hati, bagaimanapun Erick adalah orang yang selalu membantunya.
Kali ini, Erick memang harus bersadar diri jika dirinya bukanlah siapa-siapa. Sampai kapanpun, Soully yang terikat dengan Yafizan yang merupakan sebangsanya takkan mudah terpisahkan begitu saja.
.
.
.
Perlahan Soully membuka pintu kamarnya. Terlihat sosok yang dirindukannya terbaring lemah dan pucat di tempat tidur. Tanpa suara Soully mendekati Yafizan dan berdiam diri di sampingnya. Tangannya dengan ragu terulur untuk menyentuhnya, namun ia urungkan niatnya karena takut Yafizan terbangun.
"Sayang..." Yafizan mengigau. Wajahnya kini memerah seolah menahan kesakitan.
Soully merasa begitu cemas, ia tekadkan tangannya untuk menyentuh dahi dan leher suaminya itu untuk mengecek suhu tubuhnya yang ternyata semakin memanas. Soully meraih telapak tangan besar itu, dan terasa begitu panas.
"Kak Rona!" Soully memanggil Rona setengah berteriak.
Rona bergegas dan segera muncul ketika ia mendengar teriakan Soully. "Ada apa Soully? Apa yang terjadi?"
"Kenapa suhu tubuhnya begitu panas? Apa sebaiknya kita memanggil dokter, Kak?" Soully panik.
"Percuma saja, Soully. Dokter dan obat paling terbaik pun tetap saja tidak bisa menyembuhkan penyakitnya. Lihatlah, sudah berbagai macam obat yang diminumnya namun tak kunjung membuat keadaannya membaik."
Soully melihat ke arah nakas yang di atasnya sudah berjajar obat-obatan, minuman bahkan makanan yang tersedia.
"Bahkan setetes air atau sesuap makanan pun menolak masuk ke dalam tubuhnya." Rona menerangkan dengan segala kecemasannya.
Tanpa suara, Soully malah berhambur memeluk Yafizan yang sedang berbaring. Ia menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya yang sedang berirama naik turun karena merasa sesak.
"Maafkan aku..." Soully terisak semakin menguatkan pelukannya. "Bangunlah...jangan seperti ini. Lebih baik kau menjadi tuan arogant dan mesum daripada kau menderita kesakitan seperti ini. Bangunlah, Sayang..." Soully menangis membasahi pakaian suaminya itu.
Bagaikan Oase di padang pasir, ucapan Soully memberi kekuatan dalam dirinya. Dekapan erat Soully di tubuhnya yang panas tiba-tiba memberikan hawa dingin yang menyejukkan tubuhnya. Yafizan membuka matanya perlahan, hal pertama yang ia lihat dalam keremangan matanya adalah rambut kepala perempuan yang sedang memeluknya erat di dadanya. Perlahan tangan Yafizan mengusap rambut kepala Soully, membuat Soully membeku.
Soully melirik ke arah Rona, dengan ekspresi wajahnya seakan berkata 'Bagaimana ini?' Soully takut jika Yafizan marah besar kemudian mengusirnya kembali.
"Ta-mara..." ucap Yafizan lemas. "Kau sudah pulang?" sambil terus mengelus rambut Soully.
Hati Soully hancur ketika Yafizan mengira dirinya Tamara.
***
Bersambung...