Pagi ini kondisi Yafizan masih belum membaik sama sekali. Demamnya semakin tinggi. Rona begitu cemas akan Yafizan yang masih belum sadarkan diri.
Kini, suhu panas dalam tubuhnya semakin memanas. Seolah bara api menyebar bersamaan dengan panasnya demam yang menyelimuti dirinya.
Ini bukan demam biasa.
Rona menumpukan dagunya di atas jalinan kedua jemari tangannya. Sudah tiga hari, bosnya berbaring lemah dengan mulut yang masih terdengar jarang memanggil kata 'Sayang' yang Rona paham pastilah tertuju untuk Soully. Namun, Yafizan tak menyadari, panggilan 'Sayang' yang ia rindukan itu adalah istri sah yang ia usir dari apartementnya. Tanpa bertanya maupun mencari tahu, ia benar-benar mengabaikan Soully. Walaupun sebenarnya bersamaan dengan rasa sakit yang ia derita saat ini, entah mengapa hatinya terluka ketika mengingat kejadian ketika ia mengusir Soully waktu itu.
"Ron..." lirih Yafizan lemas.
Rona seketika menolehkan kepalanya kepada sosok yang sedang terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Kemudian dengan segera ia mendekati bosnya yang sedang sakit itu lalu duduk di sampingnya.
"Bagaimana keadaanmu, Bos. Apa kau perlu sesuatu?"
"Tamara...dia masih belum pulang?"
Pertanyaan Yafizan membuat Rona membeku. Dia pun bingung harus menjawab apa. Pasalnya, memang Tamara tak kunjung datang bahkan susah dihubungi. Disatu sisi Rona senang karena ia tak perlu memikirkan bagaimana caranya membuat Tamara menjauh dari bosnya. Namun, di sisi lain ia tak tega karena bosnya kerap menanyakan Tamara ketika ia tersadar. Lain di mulut lain di hati. Tanpa Yafizan sadari, sesungguhnya ia merindukan sosok lain saat ini.
"Apa...Tamara masih belum pulang juga?" Yafizan mengulang kembali pertanyaannya ketika Rona tak kunjung menjawab dan malah tenggelam dalam fikirannya sendiri.
Rona sendiri merasa tersentak dan kembali pada kesadarannya. Dengan tergeragap ia mencoba menjawab. Namun apa yang ingin ia suarakan tak kunjung keluar dari mulutnya. Yafizan yang melihat tingkah Rona, sudah paham maksudnya. Ia pun tidak menanyakannya lebih lanjut.
"Apa...dia memang begitu?" Yafizan memejamkan matanya kembali. Rasa pusing kembali mendera kepalanya.
Rona masih belum paham pertanyaan yang tiba-tiba meluncur dari mulut bosnya itu. "A-apa maksudmu, Bos?"
"Istriku. Apa selama ini setelah kami resmi menikah memang selalu seperti itu?"
"Maksudmu Tamara?"
"Memangnya siapa lagi istriku?"
"D-dia...aku..." Rona semakin salah tingkah. Sekuat tenaga ia ingin segera berlari dari pertanyaan yang terus keluar dari mulut bosnya.
Yafizan mengerti, ia tak menuntut Rona lebih lanjut untuk menjawab pertanyaannya. Hanya dengan melihat ekspresi orang kepercayaannya saja, Yafizan sudah bisa menerka-nerka apa yang selama ini terjadi. Ia larut dalam pemikirannya sendiri tanpa mengetahui fakta di balik semua kejadian yang menimpanya saat ini.
"Tinggalkan aku sendiri," perintahnya. Tanpa menunggu untuk yang kedua kalinya, Rona segera bergegas pergi meninggalkan Yafizan sendirian.
Rasanya begitu lega. Untuk sementara ia bisa lepas dari pertanyaan yang merumitkan jawabannya.
***
Masakannya sudah gosong bersamaan dengan melekatnya masakan itu pada wajan yang sedang digunakannya. Erick memekik lalu bergegas mematikan kompor yang sedang menyala. Suaranya membuyarkan Soully yang sedari tadi tenggelam dalam lamunannya.
"M-maaf, aku tidak fokus." Sudah gugup sendiri ketakutan setengah mati. Hampir saja, Soully bisa membuat rumah ini kebakaran.
Soully terbatuk menutup hidung dan mulutnya ketika asap sudah mengepul memenuhi seluruh ruangan pantry di dalam rumah Erick.
"Kau baik-baik saja?" Erick cemas menuntun Soully segera meninggalkan pantry dan membawanya ke halaman belakang.
Erick membuka lebar-lebar pintu serta jendela rumahnya. Berharap asap itu segera keluar melalui celah-celah yang sudah terbuka itu.
"M-maaf." Lagi, Soully menyesal. Jantungnya berdetak dengan kencang karena ketakutan.
"Kau tidak apa-apa?" alih-alih menanggapi permintaan maaf, Erick lebih mencemaskan diri Soully saat ini.
"A-aku baik-baik saja. Maafkan aku, gara-gara aku, rumah ini..." Soully terbata, tubuhnya yang gemetaran, pun dengan suara yang bergetar terlontar jelas dari bibir mungilnya.
"Yang penting kau baik-baik saja." Erick merengkuh tubuh Soully dalam pelukannya. Mencoba menenangkannya. Soully memejamkan matanya, menghela nafas dalam lalu menghembuskannya dengan pelan.
"Apa kau merindukannya?" pertanyaan Erick membuat Soully terkesiap, ia melepaskan pelukan Erick lalu mendongak menatap dalam wajah pria yang berada di hadapannya. "Suamimu."
Soully menundukkan pandangannya seketika. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Ini sudah tiga hari ia meninggalkan apartement. Tiga hari pula ia tak mendapatkan kabar apapun tentang suaminya. Termasuk Rona yang tiba-tiba susah dihuhungi.
Apa mereka sengaja menjauhi dirinya? Terlintas fikiran-fikiran negatif dari benaknya.
Tiga hari ini terasa menyesakkan dibanding dirinya yang kehilangan kabar ketika suaminya menghilang selama satu bulan lamanya. Rasanya itu lebih baik daripada saat ini yang jelas-jelas rupa serta fisiknya, pun dengan jiwa dan raganya ada di depan matanya.
Erick mengangkat dagu Soully untuk menatap padanya. Buliran hangat dari pelupuk matanya tak bisa dibendung lagi. Kristal bening itu mengalir tanpa permisi. Tanpa Soully beritahu pun Erick mengerti apa yang dirasakan oleh perempuan yang sedang menangis tanpa suara di hadapannya kini. Ia membiarkan Soully melepaskan semua rasa penat di hatinya.
"M-maaf..." Masih dengan terisak Soully sudah menenangkan dirinya.
Hampir setengah jam mereka berdiri, asap yang tadinya memenuhi seluruh ruangan pun sudah mulai jarang terlihat.
"Maafkan aku akhir-akhir ini aku merasa terlalu sensitif. Terima kasih, kak Erick." Merengkuh tubuh lelaki yang ada di hadapannya. Erick termangu sejenak. Desiran di hatinya semakin bergejolak. Namun ia sadar diri, pelukan ini sebagai pelipur lara seorang adik yang mencari ketenangan pada kakaknya. Erick membalas pelukan Soully, mengelus rambut kepalanya dengan perlahan.
"Ehmm...sepertinya kita harus memesan makanan. Apa mungkin kita akan memakan ikan hitam yang sepertinya terlihat sangat lezat," ledek Erick membuat Soully memukul dadanya seketika.
"Aughh..." Erick pura-pura mengerang kesakitan padahal pukulannya tak bertenaga. Mereka pun tertawa.
***
Suara dentuman keras dari alunan musik yang dimainkan Disc Jokey (DJ) membuat tubuh langsing terurus itu meliuk-liuk di atas mimbar yang membuatnya menjadi pusat perhatian. Suara dering dan getaran ponsel yang terselip dalam saku celana jeans ketatnya tak ia hiraukan, bahkan mungkin tak ia rasakan. Berkali-kali ponsel itu terus bergetar, tak membuat sang pemilik mengangkat panggilannya.
"Apa...masih susah dihubungi?" Rona menyela ketika melihat bosnya berkali-kali menghubungi seseorang. Raut wajahnya tak suka ketika melihat siapa yang dihubungi bosnya berkali-kali itu. Bahkan Yafizan terlihat muram.
Entah apa yang dirasakan bosnya sehingga ia terus penasaran menghubungi seseorang yang tak pernah peduli padanya. Apakah Rona menyerah saja? Apapun supaya bosnya bahagia. Jika perlu ia menyeret paksa Tamara saat ini.
"Kenapa...apa dia memang istriku?" Yafizan mulai menyerah setelah berpuluh kali ia menghubungi dan mengirimkn pesan kepada Tamara, namun tak satu pun ia mendapat balasan.
Rona mengepalkan tangannya hingga buku jemarinya memutih. Rasanya sungguh tak tahan jika ia harus terus menyembunyikan kebenarannya. Namun ia sudah berjanji kepada Yang Mulia Rajanya untuk membiarkan Yafizan mengingatnya sendiri.
Apa sebaiknya ia mengatakan kebenarannya, sekarang? Hukuman apa yang akan ia terima jika dirinya dengan lancang melangkahi aturan yang sudah ditentukan? Sungguh, ini membuat Rona frustasi.
Yafizan terbatuk-batuk, membuat Rona meluruhkan emosi dalam jiwanya. Segera ia mendekati tuan mudanya lalu menyodorkan segelas air untuk di minumkan kepada bosnya. Rona begitu terkesiap ketika ia merasakan suhu tubuh Yafizan seperti api, begitu panas.
Ia meraba kening dan leher Yafizan untuk memastikan suhu tubuhnya. Rona sungguh tak menyangka demam ini bukannya berangsur baik malah semakin memburuk. Dan sepertinya demam ini membuat bosnya tak ingin melakukan apapun. Bahkan air minum yang ia berikan membuat Yafizan memuntahkannya kembali.
"Aku..merasa haus namun sepertinya air minum itu terus menolak untuk masuk ke dalam tubuhku," lemas Yafizan. Ia sudah dibaringkan kembali.
"Kau juga tak memakan makanannya, Bos." Rona bergumam pelan, namun tetap terdengar jelas oleh Yafizan.
"Aku lapar, namun entah apa yang ingin aku makan. Rasanya tubuh ini kehausan bahkan kelaparan. Namun, tak tahu apa yang harus kuminum dan apa yang harus kumakan..." Yafizan memejamkan matanya rapat, ia merasakan kesakitan di sekujur tubuhnya hingga bulir-bulir bening mengalir di sudut-sudut matanya.
"Aku...sangat merindukan seseorang..." sudah bergumam pelan dengan kalimat yang dilambat-lambat, nyaris tak terdengar.
"Merindukan...istriku..." dan kini Yafizan sudah tak sadarkan diri.
"Bos, Bos!"
***
Bersambung...
Note:
Maaf ya mentemen readears smuanya 🙏🏻
mungkin kedepannya aku bakal jarang up krena mulai sibuk di RL.
InsyaAllah aku usahain Up semampunya dan pasti langsung aku terbangin. Smoga kalian tetap setia menunggu yaa
Maaciw..
Salam cayang peyuk jauh 🤗😘
Miss_GK