Erick meruntuhkan keraguannya. Dengan perlahan ia mengetuk pintu yang masih tertutup rapat itu. Rasa cemasnya melebihi rasa canggungnya. Ia harus memastikan jika Soully baik-baik saja.
"Soully, apa kau sudah tidur?" panggilnya dengan hati-hati.
Hening. Saat tak ada sahutan dari dalam, Erick semakin mengencangkan ketukannya.
"Soully, apa kau baik-baik saja?" sudah merasa cemas karena panggilan keduanya pun tak mendapat sahutan dari dalam.
Setelah menunggu beberapa saat, Erick melanggar batas kesopanannya dengan menerebos langsung ke dalam kamar dengan kekuatan telepatinya. Ia membuka kunci pintu kamar dalam sekejap mata.
Erick menekan handle pintu lalu dibukanya. Kamar itu gelap, tanpa penerangan sama sekali. Erick menekan saklar lampu yang tepat berada di sebelah pintu. Lampu pun menyala, Erick dikejutkan sesaat ketika melihat tubuh Soully yang tergeletak di bawah lantai.
Dengan panik bercampur cemas Erick segera mengangkat kepala Soully dalam pangkuannya. Dirabanya dahi lalu dipegangnya pergelangan tangan Soully untuk memeriksa irama denyut nadinya. Perasaan lega melingkupi dirinya ketika Soully menggeliat lalu memeluk erat pinggang Erick karena paha Erick yang kini dijadikan sandaran kepalanya.
Soully tertidur pulas...
Erick melengkungkan bibirnya ke atas. Paniknya sungguh tak beralasan. Namun begitu, khawatir tetaplah khawatir. Ia harus memastikan jika Soully baik-baik saja. Apalagi saat ini, selain karena rasa cinta yang ia miliki untuk Soully, ia pun sudah berjanji pada Rona untuk menjaga Soully.
"Hei, bangun, Angel," ucap Erick pelan mengelus lembut pipi Soully. Soully tak bergeming, ia hanya semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang dan menelusupkan wajahnya pada perut Erick seolah bantal guling yang dipeluk erat dan menghangatkannya. Seperti anak kecil, Soully tak merasakan apa yang peluknya. Erick tersenyum merasakan hangatnya pelukan perempuan mungil yang sedang tertidur pulas itu. Ia sungguh tak ingin kehilangan moment bersejarah saat ini. Hatinya terasa bergetar tatkala dirinya sadar bahwa perempuan mungil ini bukanlah miliknya, matanya mulai berkabut. Merasa nasib baik tak berpihak padanya.
"Hei, kau harus isi perutmu dulu sebelum tidur." Lagi, Erick berucap lembut membangunkan Soully.
Mata Soully mengerjap saat merasakan sentuhan tangan Erick di pipinya. Seketika matanya membulat sempurna ketika ia melihat tangan mulusnya itu melingkar dengan erat pada pinggang Erick. Dalam sekejap ia bangun dan melepaskan pelukannya.
"Maaf." Soully menunduk malu. Dalam hati ia merutuki kelakuannya.
"No problem. Aku menikmatinya." Erick tersenyum manis tanpa dosa. Sebelumnya ia sudah menata hatinya kembalinya. Segera ia berdiri ketika melihat ekspresi wajah Soully yang menatap tajam kepadanya.
"Ayo kita makan, mumpung makanannya masih hangat." Erick meninggalkan Soully tanpa menoleh lagi.
"Kak Erickkkkk!!!" teriak Soully mengejar Erick dengan kesal.
Erick berlari menghindari amukan Soully. Mereka berkejaran dan bermain-main.
.
.
.
"Sungguh menyebalkan!"
"Haha aku hanya bercanda."
Mereka merebahkan tubuhnya di lantai marmer putih bercorak abstrak abu-abu itu. Mengatur nafas yang tersenggal-senggal karena merasa capek akibat main kejar-kejaran seperti tadi. Mereka saling pandang, lalu tertawa bersama. Ruangan tamu yang biasanya sepi itu terasa begitu hangat. Dan Erick tak ingin suasana ini cepat berlalu.
"Ayo kita makan. Rasanya sungguh lapar setelah aku dikejar harimau kecil," ajak Erick.
"Apa?!!" Soully mulai kesal dan melototkan kedua matanya.
"Haha..."
Mereka terus tertawa bersama. Sejenak, Soully bisa melupakan kemelut dalam hatinya.
Aku sungguh iri padamu, Yafi. Perempuan ini, apakah aku boleh mendapatkannya kembali?
***
Malam semakin larut. Waktu menunjukkan pukul 22.00. Yafizan sedang berada di sofa ruang tamunya. Ia duduk dengan gelisah, berkali-kali ia sudah dalam berbagai macam posisi. Berkali-kali juga ia menghubungi Tamara
Namun, tak satu pun panggilan yang dijawab ataupun pesan yang dibalasnya.
Yafizan sudah merasa kurang enak badan pasca bangun dari pingsannya. Dirinya pun tak mengerti, karena manusia 'special' bagi dirinya seharusnya tak pernah merasakan sakit selama di bumi. Apalagi sekarang ia merasakan hawa tubuhnya semakin memanas, bukan karena kekuatan yang bersumber atas karunia yang dimilikinya. Melainkan hawa panas yang biasa dirasakan oleh manusia biasa ketika mengalami demam atau flu berat.
Keringat dingin sudah menguasai seluruh tubuhnya. Yafizan mengusap peluh yang ia rasa tak enak dari kening dan pelipisnya. Pundaknya pun terasa berat. Rasa pusing kembali melanda kepalanya. Kini, wajahnya sudah memucat. Kembali ia merebahkan tubuhnya di sofa lalu meringkuk bak janin dalam kandungan. Rasa dingin melanda tubuhnya, padahal ia sudah mematikan pendingin ruangan.
Kau, di mana? Aku sakit...
***
Tamara melihat notifikasi yang terus muncul pada layar ponselnya. Ia tersenyum sinis lalu memutar gelas yang ada di tangan dan meminum wine-nya dalam sekali tegukkan.
"Aku memang menginginkanmu kembali, Baby. Tapi aku tak ingin dan tak suka direpotkan. Selamat menikmati kesakitanmu dan aku akan kembali setelah kau sehat kembali," gumam Tamara tersenyum sinis.
Tamara meletakkan gelas kosongnya. Lalu ia turun ke lantai dansa, menikmati alunan musik yang dimainkan oleh sang DJ (Disc Jockey) saat itu. Ia meliuk-liukkan badannya tanpa peduli siapa pun pria yang menyentuh tubuhnya. Yang ia fikirkan saat ini adalah, kesenangannya.
"Are you alone, girl? Do you have time, now?" tanya salah satu pria yang tersenyum penuh arti mendekati Tamara.
"Of course." Dengan senang hati Tamara menerima uluran tangan pria itu yang menariknya ke dalam ruangan khusus di dalam club itu.
***
Rona tiba di apartement ketika ia kembali dari luar untuk mencari makanan. Lampu ruang tamu itu terasa gelap ketika Rona masuk kedalam apartement.
"Gelap sekali." Rona menekan saklar lampu yang ada di sebelah pintu masuk.
Ia berjalan melewati sofa yang di atasnya terdapat Yafizan yang sedang terlelap. Kemudian ia meletakkan bungkusan makanannya di atas meja makan dan mengambil piring untuk tempat makanan yang ia beli.
"Bos, kenapa kau tidur di sini?" ucapnya pelan menghampiri Yafizan dengan makanan yang sudah ia tuangkan sebelumnya di atas piring.
"Bos, makanlah dulu. Isilah perutmu dahulu sebelum kau tidur." Rona menyentuh lengan Yafizan, membangunkannya dengan hati-hati.
Yafizan menggerakan badannya. Ia menggeliat bukan karena memberi reaksi akan kesadarannya pasca dibangunkan oleh Rona. Melainkan tubuhnya bereaksi karena rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya.
"Sayang...kamu di mana?" Yafizan mengingau pelan.
Rona mengernyitkan dahi, entah siapa yang Bosnya panggil 'Sayang' itu. Tamara? Tak mungkin! Bosnya tak pernah memanggil Tamara dengan panggilan sayang sekalipun dulu sangat tergila-gila padanya. Hanya satu orang yang selalu dipanggilnya begitu. Soully, apakah sekarang kau mengingatnya, Bos? Bahkan hati dan dirimu menginginkan kehadirannya.
"Bos, bangunlah," ucap Rona pelan mencoba membangunkan Yafizan yang terus memanggil seseorang dengan panggilan 'Sayang'.
"Bos!" tiba-tiba Rona menjadi panik ketika ia menyadari suhu tubuh Bosnya itu terasa panas. Bukan karena panas bara api dari kekuatannya. Melainkan seperti manusia biasa yang sedang mengalami demam.
Mungkinkah...kau demam, Bos?
Rona lalu membawa Yafizan ke kamarnya. Ia merebahkan tubuh bosnya yang tak sadarkan diri, kemudian memanggil dokter untuk memeriksa keadaannya segera.
Setelah menunggu hampir 45 menit, dokter pun tiba. Dengan telaten sang dokter memeriksa kondisi Yafizan lalu ia memberikan penjelasan singkat mengenai kondisi Yafizan serta memberikan resep obat sebelum akhirnya sang dokter pergi meninggalkan apartement.
Rona segera bergegas ke apotik yang berada di pusat kota dan membeli obat sesuai resep yang diberikan oleh dokter. Walaupun ia merasa tak yakin, apakah obat itu benar-benar bisa menyembuhkan rasa sakit yang diderita bosnya?
"Haruskah aku menghubungi, Soully?" batin Rona.
Ia meremas rambut kepalanya frustasi ketika Yafizan terus-terusan mengigau memanggil seseorang dengan panggilan 'Sayang'...
***
Bersambung...