Chapter 75 - Bab 75

Tamara terperanjat kaget ketika Yafizan menghempaskan pisau dan garpunya dengan kasar. Membuat perhatian orang-orang yang sedang makan di sekitarnya menoleh padanya.

Tamara mengambil alih, membuat senyuman palsu untuk meredakan rasa penasaran orang-orang yang terpusat padanya juga Yafizan. Sebagian mengalihkan pandangannya, namun tak sedikit terdengar bisik-bisik orang yang menggungjingkan mereka.

"Apa kau sudah selesai?" Yafizan tak sabar ingin segera pergi.

"Sabar, Baby. Kenapa terburu-buru? Kenapa kau ini?" Tamara tak peduli, ia masih menikmati makan siangnya.

Yafizan sadar mereka kini jadi pusat perhatian, terlebih mereka bukanlah orang biasa. Yafizan ingat betul dirinya seorang pengusaha sukses yang wajahnya selalu muncul di majalah bisnis maupun di layar kaca. Ditambah Tamara yang memang seorang model juga artis terkenal memungkinkan mereka jadi sulit untuk melangkah nanti ketika para fans maupun paparazi menghadang jalan mereka.

"Nona Tamara? Ya, betul ini Nona Tamara!" sapa seseorang sekaligus pekikan mereka membuat Tamara menghentikan aktivitas makan siangnya.

Sesuai dugaan Yafizan. Kini, para fans fanatik mereka tiba dan mengerubungi layaknya laron menghinggapi citra rasa buah-buahan. Para fans itu seolah tak peduli apa yang dilakukan Tamara juga dirinya, mereka saling berebut meminta tanda tangan juga berfoto bersama. Hingga akhirnya demi menjaga image yang baik, mau tak mau Tamara serta Yafizan meladeni keinginan para fans yang entah dari mana datangnya.

"Tuan Yafizan, apakah perempuan istimewa yang menjadi istri anda, yang sangat anda cintai di dunia ini waktu di acara Talk Show itu adalah Nona Tamara?" tiba-tiba wartawan muncul menanyakan hal yang Yafizan sendiri tak mengerti apa maksudnya.

Tamara yang mendengar pertanyaan wartawan itu sontak membuatnya salah tingkah. Ditambah fans yang sedang mengelilingi dirinya menatap dengan intens padanya, seolah mereka juga ingin mengetahui jawaban kebenarannya. Terlebih seorang Yafizan yang dikagumi itu telah berstatus menikah dan merahasiakan siapa perempuan beruntung yang menjadi istrinya itu.

"Istri?" Yafizan masih tak mengerti. Segera Tamara meraih tangan Yafizan, mengajaknya untuk segera pergi.

"Permisi, maaf, permisi..." Tamara tersenyum pergi meninggalkan restoran yang kini suasana menjadi kisruh. Ia menarik tangan Yafizan, memasukkan Yafizan ke dalam mobil karena para fans serta wartawan itu terus mengikutinya.

Tamara melajukan mobilnya segera pergi menjauh. Sedang Yafizan masih dengan tatapan kosongnya yang masih larut dengan pertanyaan wartawan yang dilontarkan padanya. Tamara menatap pria yang berada di sampingnya lalu berdecak kesal.

Merebut yang bukan miliknya memang menyebalkan. Tapi sekuat tenaga dengan cara apapun juga dia harus mendapatkan Yafizan kembali. Harus!

.

.

.

"Apa kau baik-baik saja?" Erick membuyarkan pandangan Soully yang terfokus pada para fans dan wartawan yang masih kisruh pasca mengejar Tamara dan Yafizan tadi.

"Aku baik-baik saja. Sebaiknya kita pergi sekarang." Soully mengerjapkan mata lalu menutupnya kembali seraya menyandarkan tubuhnya pada jok mobil. Ia tak ingin Erick melihat kesedihan yang terpancar dari matanya.

Aku tak sebodoh itu, Soully...

Erick melajukan mobilnya, segera menjauh dari restoran yang suasananya menjadi semakin ramai.

***

Tamara dan Yafizan pulang ke apartement. Namun, mereka terjebak di depan pintu masuk karena kode akses yang Tamara tekan salah. Ia mengira password pintu masuknya adalah tanggal ulang tahunnya. Pasalnya, Yafizan kerap kali memakai tanggal ulang tahun Tamara sebagai kode akses apapun. Tetapi kali ini berbeda, Yafizan benar-benar melupakannya. Kalau bukan situasi dan kondisi yang seperti ini, Tamara mungkin akan merajuk kesal.

"Baby, berapa kode akses pintunya?" Tamara bertanya lirih. Ia takut kepura-puraannya saat ini terbongkar sudah. Karena selama ini yang membuka pintu adalah Rona.

Yafizan yang fikirannya masih berkeliaran tak bertujuan, tidak segera merespon pertanyaan Tamara. Tamara berdecak kesal. Kemudian ia menelepon Rona yang ia rasa masih ada di dalam apartement.

Suara getar ponsel Rona yang tergeletak di atas meja membuyarkan konsentrasi pekerjaannya. Segera diraihnya ponsel itu lalu ia menjawab dengan malas setelah mengetahui siapa yang menghubunginya.

"Cepat kau beritahu berapa kode akses pintu masuk!" tanpa berbasa basi Tamara langsung melontarkan pertanyaan itu pada Rona.

Rona menjawab dengan malas. Tamara langsung menutup panggilannya. Lalu menekan kode pin yang sudah diberitahu Rona. Pintu pun terbuka.

Angka apa yang dipakai sebagai kode akses pintunya?

Pertanyaan itu menggaung dalam benak Tamara. Tak memikirkan lebih rumit lagi, segera ia menarik tangan Yafizan. Bagai anak kecil yang kebingungan, Yafizan menurut apa yang Tamara lakukan.

"Kalian sudah kembali? Cepat sekali," sahut Rona tanpa mengalihkan pandangannya dari laptopnya.

Tak ada satupun yang menanggapi sahutan Rona. Rona melirik ke arah Yafizan. Lalu ia menghentikan aktivitas pekerjaannya.

"Kenapa? Ada masalah apa?" cemas Rona.

Yafizan menghela nafasnya dengan kasar setelah ia mendudukkan tubuhnya di sofa samping Rona. Ia lalu meremas rambut kepalanya kemudian mengusap wajahnya.

"Kau kenapa, Bos?" tanya Rona ragu. Yafizan masih tidak menjawab. Suasana menjadi hening sesaat, Rona meneruskan kembali aktivitasnya.

"Ron, apa aku sudah menikah?" pertanyaan itu tiba-tiba membuat Rona terperanjat dan menghentikan aktivitasnya.

"Apa...Tamara istriku?" mata Yafizan menatap lekat wajah Rona yang memasang ekspresi bingung.

"Itu artinya aku tidak mengalami koma selama tiga tahun, bukan?"

"Ehm...itu...itu..." Rona bingung harus menjawab apa.

"Ya, kita sudah menikah, Baby," sahut Tamara tiba-tiba. Membuat Yafizan mengalihkan pandangannya.

"Kita memang belum meresmikannya secara publik. Karena sebelum kita melaksanakan resepsi pernikahan, kau mengalami kecelakaan. Dan koma selama satu bulan." Tamara berbohong.

Rona ingin sekali menyanggahnya. Tapi rasanya kurang tepat karena melihat kondisi Yafizan yang mulai tak karuan.

Yafizan meremas rambutnya kembali. Memaksa untuk mengingat apa yang terjadi padanya. Kecelakaan apalagi yang ia alami hingga ia tak sadarkan diri selama satu bulan?

"Kenapa...aku tak bisa mengingatnya..." rasa sakit mendera kepalanya. Pandangannya mulai kabur dan menggelap.

"Bos!"

Yafizan tak sadarkan diri.

***

Mobil sport biru elektrik yang Erick kemudikan telah sampai di pekarangan rumah mewahnya. Rumah yang berada di kawasan komplek elite itu memang terasa sepi. Mungkin dikarenakan orang-orang yang sibuk pergi bekerja di pagi hari dan pulang di malam hari ketika pekerjaan mereka telah selesai.

"Welcome to my home, Angel!!" pekik Erick. Hatinya merasa bahagia. "Kurasa untuk sementara ini lebih baik kau tinggal bersamaku."

Soully melangkah mengikuti Erick yang sudah menyeret koper besar di tangannya. Soully melihat sekeliling rumah Erick. Suasana dan nuansa yang masih sama saat terakhir kali ia menginap di rumah itu. Mungkin rumahnya jarang di tempati pemiliknya, sehingga nuansa serta tata letak barangnya masih sama persis di tempatnya semula. Walaupun begitu, rumahnya masih terawat dengan baik. Terbukti dari benda-benda serta perabotan yang ada di dalamnya terbebas dari debu-debu halus.

"Nah, kamar ini masih milikmu. Apa kau masih ingat?" Erick membukakan pintu kamar yang terakhir kali ditinggali Soully. "Apa kau menyukainya?"

"I-ini lebih dari cukup," jawab Soully terbata.

"Baiklah aku tinggal dulu, sebaiknya kau beristirahat. Perlengkapan yang kau butuhkan kurasa cukup untuk kau gunakan. Semuanya masih tersimpan dan tertata rapi dalam lemari." Erick melangkahkan kakinya hendak keluar meninggalkan Soully yang masih canggung.

"Kak Erick." langkah Erick terhenti lalu membalikkan badannya. "Terima kasih." Erick tersenyum lalu tangannya mengusap rambut kepala Soully.

"Jangan terlalu banyak fikiran. Istirahatlah." kali ini Erick benar-benar pergi setelah pintu kamar Soully tertutup.

Segera, Soully mengunci pintu kamarnya. Kakinya terasa lemas hingga akhirnya ia hanya duduk di lantai lalu menangis tanpa suara.

***

Yafizan perlahan membuka matanya, mengerjap dengan perlahan akan silau lampu yang langsung menembus kornea matanya. Gerakannya membuat orang yang berada di sampingnya terbangun seketika.

"Bos, kau baik-baik saja?" cemas Rona.

"Sepertinya aku lama tak sadarkan diri..." lirih Yafizan.

"Ya, kau sudah hampir setengah hari tak sadarkan diri. Apa ada yang sakit? Apa masih pusing?" Rona terus bertanya dengan cemas. Baginya, mungkin ini lebih baik daripada melihat bosnya hilang kendali.

"Masih sedikit pusing saja," jawabnya. "Ohya, ke mana istriku?" tanyanya.

"Kau mengingat istrimu?" seru Rona senang.

"Tentu saja! Mana ada seorang suami yang tak mengingat istrinya!" Yafizan heran sekaligus kesal.

"Syukurlah, Bos. Akhirnya kau bisa cepat mengingat istrimu kembali." Rona merasa lega. "Kalau begitu, ayo cepatlah segera kau bersiap-siap. Ini sudah menjelang malam dan cuaca semakin dingin. Sebaiknya kau segera menjemputnya," seru Rona segera ia beranjak berdiri.

"Memangnya ke mana dia pergi? Apa Tamara marah dan kesal padaku sehingga dia memutuskan untuk pergi?" panik Yafizan. Membuat Rona mengurungkan langkahnya.

"Ta-tamara?"

"Ya, kau bilang aku harus menjemput istriku karena ini sudah malam dan cuaca dingin. Ke mana Tamara pergi? Apa kau tahu? Apa dia marah padaku karena aku...aku sempat tak mengingatnya sebagai istriku?"

Hancurlah sudah anggapan Rona. Ia mengira bosnya mengingat Soully yang memang adalah istrinya. Langkah Rona lunglai, ia menekuk wajahnya. Bosnya, belum sadar...

"Tamara pergi untuk shooting iklan. Kau tak perlu menjemputnya. Istirahatlah," jawab Rona malas.

"Oh, begitukah? Tadi kau yang menyuruhku menjemputnya. Kenapa sekarang kau berubah fikiran? Apa ada yang kau sembunyikan padaku?" selidik Yafizan.

"Ti-tidak!" sanggah Rona gugup.

"Baiklah, aku percaya. Tapi, apa tadi dia mencemaskanku?"

"Ya."

Yafizan tersenyum lega. Melihat bosnya tersenyum penuh harap seperti itu membuat Rona tak ingin menghilangkan senyuman itu.

"Ya, dia bahkan pergi dan tak peduli ketika kau pingsan tadi," bathin Rona.

***

Erick berjalan mondar mandir di depan pintu kamar yang masih tertutup rapat. Berkali-kali ia berhenti tepat di depan pintu itu dan mencoba mengetuk pintunya. Namun, berulang kali ia mengurungkan niatnya itu.

Malam ini, Erick membatalkan semua janji yang sudah di jadwalkan dengan pasien-pasiennya. Ia izin absen untuk tidak menjalankan tugasnya sebagai dokter. Lagi pula, mungkin kali ini ia absen dari tugasnya. Baginya, hari ini special, mengingat ada pasien istimewa yang harus diurus dan dijaganya kali ini.

Soully, sumber kebahagiaan baginya saat ini...

Jadi, apapun yang terjadi, Erick tak ingin melepaskan kesempatan yang diberikan padanya saat ini. Ia hanya bisa pasrah dan menyerahkan semuanya pada takdir dan sang waktu. Yang jelas, ia harus memberikan kesan yang baik untuk Soully.

***

Bersambung...