Kini, Yafizan sudah mulai tenang. Setelah sempat terjadi drama pertunjukan kekuatan api yang harus ia hempaskan karena sudah muncul di tangannya tadi ketika ia merasa kesal karena tak menerima keadaannya saat ini. Sekarang emosinya sudah sedikit mereda karena telah tersalurkan.
Ibunya tak peduli, taman yang tadinya indah dan asri kini menyisakkan tanaman-tanaman gosong akibat semburan api yang berkobar dalam jiwa putranya.
Beruntung benda-benda dalam kamar putranya ini tidak ikut hangus terbakar. Walaupun kini, seluruh isi ruangan kamarnya itu telah porak poranda. Bagaikan bangunan hancur akibat terhempas angin tornado yang sangatlah besar.
Sungguh malang nasib taman dan benda-benda yang tak bersalah itu. Setidaknya putranya tidak melampiaskannya pada orang yang tidak bersalah.
Ibunya sudah duduk di samping putranya yang masih mengatur nafasnya naik turun sisa emosinya yang masih bergejolak. Tangan hangatnya mengusap-usap punggung putranya yang lama-lama bergetar karena isak tangisnya yang sudah tak bisa ia bendung lagi. Yafizan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
Rona hanya diam mematung menyaksikan kesakitan yang dirasakan oleh tuan mudanya.
Maafkan aku, Bos. Aku tak bisa membantumu...
Setelah beberapa menit berlalu Yafizan menghela nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan perlahan.
Ibunya mengelus sayang rambut putranya. Bersabar menunggu putranya yang sudah menumpahkan segala penat dalam dadanya.
"Apa kau sudah merasa cukup lega, Nak?" tanya ibunya berhati-hati.
Yafizan menggangguk perlahan. Pandangannya lalu mengedar menelusuri seluruh ruangan kamarnya. Ia lalu tersenyum penuh ironi ketika melihat taman yang asri dekat kamarnya itu kini seperti taman gosong pasca kebakaran.
"Hhh, sungguh konyol bukan aku ini, Bu?" desisnya perlahan. "Untung aku tidak membakar seluruh istana ini." Yafizan memejamkan kedua matanya. Hawa panas mulai menjalar dalam kelopak matanya. "Sejujurnya hatiku belum merasa lega, Bu. Bagaimanapun aku ingin menemui istriku..."
Ia lalu membuka matanya kembali. Kamarnya yang berantakan membuat dirinya semakin mengingat Soully. Ia tersenyum getir lalu bersedih kembali.
"Saya akan memanggil orang untuk membereskan kamarnya." Rona bergegas pergi, ia sungguh merasa tidak enak pada tuan mudanya.
Tinggallah ibu dan putranya yang sedang frustasi itu.
"Ibu, kau tahu? Dulu aku pun pernah melakukan ini pada kamarku. Saat itu aku mengamuk karena Soully dibawa pergi dari sisiku oleh dokter sialan itu." Ekspresi benci saat ia mengingat Erick. "Saat itu aku tak bisa mengontrol diriku," sambungnya bernostalgia mengingat kejadian waktu itu.
"Dan apa ibu tahu? Cuma Soully yang bisa meredakan api dalam jiwaku ini." Tersenyum getir. "Dan parahnya lagi, gadis bodoh itu membereskan semua kekacauan yang telah aku buat sehingga tangannya terluka."
Yafizan menatap lekat wajah ibunya yang sedang memandangnya penuh haru.
"Namanya Soully, Bu. Soully Angel. Dia istriku. Istri tersayangku..." jelasnya yang ia fikir ibunya tak mengerti apa yang sebelumnya ia utarakan tentang Soully.
Kemudian ia meraih ponsel yang tergeletak sembarang di atas tempat tidurnya. Beruntung ponsel tanpa signal itu masih menyala, menunjukkan wallpaper dirinya dan Soully. Lalu ia menjulurkan tangannya yang sedang memegang ponsel itu pada ibunya.
"Dia." Yafizan menunjukkan wallpaper pada layar ponselnya. "Istriku." tersenyum bangga. "Istri mungilku, belahan jiwaku, si bodoh dan ceroboh. Namun aku sangat mencintainya." Sudah berbinar menceritakan tentang Soully. "Dia cantik kan, Bu?" tanyanya kemudian ingin mengetahui pendapat ibunya.
"Ya, dia cantik. Sangat cantik." Ibunya berucap haru.
"Benar kan, Bu? Dia memang cantik. Hatinya juga baik, ibu pasti senang dan akan menyukainya kalau bertemu dengannya. Kami sudah tiga bulan lebih menikah. Aku berharap istriku itu segera mengandung buah cinta kami," harapnya penuh binar.
"Tapi tak apa jika kami belum di karuniai seorang anak. Aku tetap mencintainya, dengan begitu waktu kami berdua untuk berkencan lebih lama, bukan?" ibunya mengangguk melihat putranya dengan penuh semangat menceritakan tentang istrinya.
"Oh, aku sangat merindukannya...Dia memang jiwaku, bidadariku...Bagaimana kabarnya jika aku saja terjebak di sini selama sebulan? Apa dia akan baik-baik saja tanpaku, Bu? Apa mungkin sekarang dia sedang mengandung anakku? Apa..." suaranya tercekat. Kemudian sang ibu berhambur memeluk putranya yang sedang rapuh hatinya.
"Pasti. Ibu pasti akan sangat menyayangi istrimu. Bersabarlah, kau pasti akan segera bertemu dengannya," sedih ibunya menepuk-nepuk pelan punggung putranya yang kembali bergetar karena menangis. Ibunya mengingat Soully gadis yang baik serta dapat menenangkan putranya.
Rona berdiri di ambang pintu. Memperhatikan dengan seksama percakapan ibu dan anak itu. Ia menyeka air di sudut-sudut matanya, merasakan apa yang dirasakan mereka.
Yafizan menunduk dalam pangkuan ibunya. Tubuhnya bergetar hebat, menumpahkan kembali rasa rindu dan kegundahan hatinya. Ibunya kembali mengusap-usap serta membelai sayang putranya.
***
Tok tok
Suara ketukan pintu kamarnya membuyarkan tatapan tajam yang sedang terpaku pada layar ponselnya. Wajah sedihnya tak mengindahkan suara ketukan itu. Hingga akhirnya Rona menghampiri tuan mudanya yang sedang dirundung kerinduan kepada istrinya.
"Bos, Yang Mulia Raja serta Ibunda Ratu sudah menunggu anda di ruang makan," ujarnya pelan, memastikan jika ia tak mengganggu tuannya.
"Tsk, Apa aku memang pantas ditunggu?" Yafizan menyeringai, tak lepas pandangannya pada layar ponselnya.
Seketika ia mendongakkan kepalanya tegak. Matanya berkilat penuh kebencian dan amarah. Segera ia beranjak dari tempat tidurnya. Kemudian tanpa menoleh lagi, ia meninggalkan Rona sendirian yang sempat kebingungan melihat tingkah tuannya itu.
Sesaat alarm kesadarannya membangunkan jiwa bagai signal yang menembus batas dalam otak besarnya, memberitahu jika tindakan tuannya itu menjurus pada hal yang menimpanya sekarang. Segera ia berlari menyusul tuannya yang sudah berjalan dengan tergesa.
.
.
.
BRAKK
Dengan kasar Yafizan membuka pintu ruang makan. Orang-orang yang ada di dalamnya seketika langsung menoleh. Tatapan penuh kebencian itu tak ditutup-tutupi lagi. Segera ia mempercepat langkahnya menuju seseorang yang sedang duduk dengan santai dan tak terpengaruh akan keributan yang disebabkan oleh Yafizan tadi.
Semarah-marahnya Yafizan, namun ia tetap menghormati sosok yang kini sudah berada di hadapannya. Kemudian ia berlutut dan bersimpuh di bawah kakinya.
"Yang Mulia, salam hormat saya. Sudah begitu lama dan bersyukur anda baik-baik saja."
Yang diberi hormat masih bergeming di tempat duduknya.
Sang ibunda hanya duduk terdiam menyaksikan apa yang akan terjadi berikutnya terhadap ayah dan anaknya itu.
Beberapa menit berlalu, Yafizan masih dalam posisinya.
"Duduklah," perintah sang raja kemudian. Namun yang diperintah tak bergeming.
"Syukurlah kau kembali." Suara wibawa dari seorang ayah yang tegas namun terdengar rasa lega dalam helaan nafasnya di setiap kalimat yang diucapkannya.
"Ya, Yang Mulia. Hamba sangat bersyukur bisa kembali lagi ke sini setelah sekian lamanya," tanggap Yafizan tegas.
"Namun, kenapa harus sekarang?" lirihnya kemudian. Hilanglah sudah ketegasannya.
"Kau ingat tentang kutukanmu?" Sang raja mengingatkan. "Bukankah sudah kubilang saat aku menurunkanmu ke bumi? Kelak kau akan kembali ketika dirimu sudah menyadari dan menemukan cinta sejatimu."
"Ya, Yang Mulia." ucapnya lantang.
"Lalu, kenapa sepertinya kau tidak senang? Kau bahkan menghancurkan seluruh taman yang tidak bersalah dan membuat kekacauan di hari pertama kesadaranmu." sudah mendorong piring kosongnya. "Sungguh kasihan menantuku jika terus bersama dengan suami sepertimu," cibir sang raja sudah meletakkan gelas kosong yang airnya sudah tandas diminumnya.
Usapan hangat tangan sang ratu membuat sang raja menoleh padanya. Sang ratu menggelengkan kepalanya memberi isyarat seakan memberitahu, jangan mengatakan apapun pada putraku, dia masih labil.
Yafizan sudah mengepalkan kedua tangannya menahan amarah. Bagaimanapun sang raja adalah sosok yang harus dikagumi, dihormati sekaligus ditakutinya.
"Apa maksud anda, Yang Mulia?" sudah tak tahan akan perkataan sang raja tadi.
"Kurasa kau harus introspeksi diri, Nak." sang raja dengan ekspresi yang tak bisa ditebak.
"Maafkan hamba, sungguh hamba tidak mengerti apa maksud anda, Yang Mulia. Hamba hanya masih tidak mengerti mengapa kau..." ucapan Yafizan tersekat di tenggorokan. Rasa yang berkecamuk dalam hatinya terus bergemuruh melontarkan hawa panas dalam matanya.
"Sudahlah." Sang raja berdiri dari tempat duduknya. "Sayang, aku ingin beristirahat sekarang," ucapnya lembut pada sang ratu.
Sang ratu ikut beranjak dari tempat duduknya, mengikuti titah sang raja. Ia tak kuasa ketika melihat putranya yang masih duduk berlutut bertujuan memohon pada ayahnya.
"Kenapa? Kenapa harus sekarang?" pertanyaannya langsung pada intinya. "Kenapa kau begitu kejam, Ayah?" sudah tidak memakai kalimat formal lagi. "Kenapa kau pisahkan aku dengan istriku? Di saat aku begitu sangat mencintainya?"
Langkah sang raja terhenti. Sejenak ia menoleh lalu membalikkan badannya kembali.
"Jadi, kau tidak terima? Bukankah sudah kuingatkan tadi. Kutukanmu berakhir ketika kau sudah menemukan cinta sejatimu. Apa kau lupa? Bahwa kau bukan manusia biasa. Ini negeri asalmu. Di sinilah seharusnya kau berada!" tegas sang raja.
"Ya, tapi tak bisakah kau bawa saja kami ke sini? Mengapa kau harus memisahkan kami? Lebih baik aku tidak usah kembali ke sini,karena selama ini aku sudah terbiasa hidup di bumi."
"Apa kau juga lupa? Kau menikahi manusia biasa."
"Ya, itu mungkin sudah takdir kami. Bukankah begitu?"
"Maka kau juga harus terima takdirmu sekarang." Sang raja menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia kembali berbalik dan meninggalkan Yafizan yang mulai frustasi.
"Ayah, aku mohon..." Yafizan bangun lalu mengejar langkah sang raja, menjatuhkan tubuhnya, memegang kedua kaki sang raja. "Kumohon, pertemukan aku dengannya," ucapnya memelas.
Langkah sang raja kembali terhenti. Bagaimanapun, dia tetaplah seorang ayah yang sangat menyayangi putranya.
"Jangan seperti ini, Nak..." sang ratu sudah menangis sedih. "Bangunlah, jangan seperti ini." membantu untuk membangkitkan putranya.
"Tidak, Bu. Sampai Ayahnda mengabulkan keinginanku, aku takkan beranjak dan melepaskan kaki Ayahnda."
"Yang Mulia, hamba mohon." Sang ratu ikut-ikutan berlutut. Ayah dan anak ini sama-sama keras kepala!
"Ibu, bangunlah. Jangan seperti itu," kaget akan tindakan sang ibu yang benar-benar membela putranya.
Sang raja pun terketuk hatinya. Ia sungguh tak ingin melihat sang ratu berlutut kepadanya. Pada prinsipnya, bagi bangsa mereka, kaum perempuan harusnya dipuja, dijunjung tinggi dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Sang raja hanya ingin memberikan pelajaran kepada putranya yang dia fikir masihlah belum dewasa dan sadar diri. Walaupun perlahan sifatnya seiring membaik jika ia bersama istri tercintanya.
***
Bersambung...