Chereads / Dibatas Senja / Chapter 68 - Bab 68

Chapter 68 - Bab 68

Ardan bahagia dengan kehamilan istrinya, ingin rasanya selalu dekat dan mendampingi istrinya, namun tugas sebagai dosen yang memanggilnya, dia sudah ijin sekalian cuti seminggu untuk tetap dekat dengan lusi yang sedang manja manjanya, maklum hamil anak pertama. Usia kehamilan lusi menginjak empat bulan, ndak tega ardan meninggalkannya apalagi mereka barusan berbaikan. Ardan menggaruk kepalanya yang ndak gatal menandakan kegalauan hatinya, untuk meminta istrinya ninggalin kerjaannya agar ikut ke Semarang bisa terus sama sama, rasanya ndak mungkin dia dulu dah janji kalo lusi akan bethenti ngajar saat tahun ajaran berakhir, karna dia sayang sama anak didiknya.

Perjalanan mengantar istrinya ke sekolah yang memang dekat hanya butuh 15 menit menggunakan motor metic yang biasa dipakai lusi kerja, sejak hamil lusi hanya mengajar untuk menjaga tubuhnya agar ndak terlalu lelah, dia sudah mengundurkan diri dari kerjaannya sebagai administrasi di Pemda kabupaten bukan karna hanya tenaga honorer namun lebih disebabkan jarak dengan rumahnya masih lumayan jauh.

Lusi merangkul pinggang suaminya diatas sepeda motor bebek hingga tak berjarak disandarkan kepalanya di punggung lebar sang suami, "Jadi ngantuk mas," ucap calon ibu muda sengaja menyandarkan tubuhnya, ardan jadi lebih pelan mengendarai motornya.

"Pulang aja, ndak usah masuk, gimana ?" ardan membuat tawaran karna menyadari tubuh wanita hamil butuh banyak istirahat.

"Adek, sering cepet lelah ndak ?" menyadari ndak ada sautan dari suara di punggung belakangnya ternyata semakin berat dan tangan yang tadi melingkar dipinggang sedikit merenggang menandakan si empunya sudah berlayar dialam mimpi.

"Ada ada saja istri cantikku, " ucap lirih ardan, "kasihan semoga dedek bayi ndak sering merepotkan, biarlah aku balik rumah aja, dari pada lanjut di sekolahan orang bu guru ndah terlelap, biar nanti aku sendiri saja yang balik lagi ke sekolah memintakan ijinnya.

Di.putarnya kembali sepeda motor menuju rumah lusi dengan amat hati hati karna satu tangannya memegangi dua tangan lusi yang berada di pinggangnya biar ndak terlepas bisa dua nyawa dipertaruhkan, dasar bumil aneh aneh kelakuannya, untung ardan sudah membaca beberapa artikel tentang perilaku ibu hamil dan beberapa hal yang disarankan buat pasangannya di trimester pertama, kedua dan ketiga, beberapa hari lalu semenjak tahu istrinya mengandung buah hatinya, dia ingin menjadi suami siaga, gimana cara merayu lusi biar berhenti bekerja ardan terlalu kawatir dengan kandungan istrinya, dia ingin mengajaknya serta di dekatnya.

Sesampai di rumah ardan mengendong istrinya dan membawanya ke kamar, namun lusi terbangun. "lho kok balik ke rumah sih mas," ucap lusi ketus, ardan menarik nafas panjang, "adek tadi bobok di atas sepeda, ya mas balik pulang lah, gimana mau mas anter lagi nih balik ke sekolah," ardan menahan senyumannya mendapati istrinya yang malah bergelayut manja di lengan kanannya.

"Istirahatlah, dak usah memaksakan diri, mana nomor telpon kepsek biar mas hubungi nyampein kalo kamu ndak bisa ngajar," ucapan ardan bernada tegas, lusi menyodorkan handpone yang sudah menekan nomor kepsek dan memberikannya pada sang suami.

"Hallo, assalamualikum, " terdengar suara wanita diujung sana, "waalaikumsalam ibu, mohon maaf saya suami bu lusi, mohon ijin istri saya hari ini ndak enak badan, " Ardan menyampekan kondisi lusi yang mesti menjaga kandungannya yang ternyata masih rentan dan sepertinya sang kepala sekolah sudah memberikan ijin tapi dengan syarat melampirkan keterangan dari dokter kandungan yang menangani lusi nanti kalo bu lusi sudah masuk bisa dibawa, kata kepsek, disiplin juga ternyata tempat istrinya mengajar.

Lusi tersipu malu dengan perhatian suaminya, dia merasa kembali berbeda tak lagi merasa takut sendiri.

"Dek, gimana kalo ikut mas aja ke Semarang, nanti kalo udah lahiran boleh ngajar lagi deh, mas kan udah janji nyariin tempat ngajar di sana, mas harus balik ke Semarang tapi...., adek ikut ya ?" ucapan ardan dibuat sehalus mungkin takut buat bumil tersinggung bisa runyam semuanya, yang niat bareng ndak kesampean di jutekin pasti, nasib para calon bapak yang tergantung mood si pembawa bayi.

"Hem, terlalu mendadak mas, ndak enak sama guru yang lain," lusi memberi alasan sebenarnya dia sendiri enggan masih pingin di kampungnya lebih bersahabat orang orangnya, lebih tepatnya dekat dengan si mbah sama adik semata wayangnya, kalo nanti di sana terus dia marahan sama ardan yang belain siapa coba. Pemikiran yang kuno, yang namanya udah nikah, udah mau bunting hasil perbuatan berdua ya mesti mau nanggung konsekuensinya, istri mesti nurut apa kata suami, asalkan ajakan suaminya untuk kebaikan. Kata hati lusi bersebrangan antara tetep tinggal atau ikut ardan suami syahnya.

Wajah ardan sudah berubah masam, "berarti adek lebih milih perasaan ndak enak sama guru yang lain ndak milih perasaan pingin deket suami," ucapan ardan menohok lusi sebagai istri.

"Bukan begitu mas," lusi bingung juga jawab apa, karna realitanya bener omongan suaminya. "ok deh, tapi mas ya yang ngurusin ke sekolahan, dan ada yang lebih penting lagi," kata lusi membuat ardan bertanya tanya apalagi ini ? batinnya kenapa susah banget sih menyakinkanmu. "mas harus bisa merayu si mbah, kalo mau ngajak aku ke Semarang," ungkap lusi sedikit berat, mau gimana ndak ada pilihan dia udah nikah memang tanggung jawab dirinya ada pada ardan.

"Serahkan sama mas, ndak usah kawatir, masmu ini jago nego," sumbar ardan sambil terkekeh ringan, ardan duduk di tepian ranjang mengelus perut sang istri yang lagi rebahan di kasur. "bantu ayah dek, biar bisa bareng sama ibumu," ardan mencium kening istrinya, sebutan 'ayah' membuat haru perasaan lusi. Lusi menyugar rambut suaminya yang selalu rapi setiap saat, bahkan bangun tidur pun masih terlihat rapi ndak kucel, beda dengan dia yang acak acakan rambut panjangnya.

Ardan menarik kerudung istrinya, "mas pingin lihat rambut indah adek," suara ardan sedikit berat seperti menahan sesuatu, "berantakan mas rambutku," ardan membelai rambut istrinya. Ardan meletakkan dua jari di bibirnya, lusi pun diam hanya memandang manik mata ardan, ardan lebih mendekat dan dua bibir mereka saling bertautan, ardan melepas tautan kemudian merebahkan diri di samping istrinya dan kembali menjalin tautan mesranya, " mas pingin membahagikanmu, sayang," ardan merangsek di ceruk leher istrinya, lusi merinding sudah lama dia ndak merasakannya.