Ardan menenangkan hatinya, menyiapkan kata yang pas buat mendapatkan simpati si mbah agar merelakan cucu perempuannya untuk mengikuti suami tercinta, alias dirinya.
Si mbah lagi nyapu di halaman depan rumah, bersih hanya daun daun kuning dari pohon mangga yang betjatuhan di terpa angin sedikit kencang semalem. Ardan tampak maju mundur mendekat ke arah mbah, perempuan tua ini ndak bisa dipandang enteng, cara bicaranya bisa menekan lawan hingga mereka ndak akan lagi menyerang untuk kedua kali saat tahu serangannya mampu diluluh lantakkan oleh kemampuan mbah.
"Ada apa nak ardan ? kenapa ? kayak mbah ini bikin kamu takut," kata si mbah menghentikan kegiatan menyapunya.
Ardan menghampiri mbah, "boleh ndak mbah, ardan ajak dek lusi ke Semarang," tatapan ardan meminta restu nenek lusi dengan tulus, "Ardan pingin menjaga istri dan anak ardan mbah, mereka tanggung jawabku," ardan menunduk tidak berani menatap si mbah, dia takut ditolak.
"Sejak kamu mengucap ijab qobul dan syah, dia tanggung jawabmu, tapi sejak kamu biarkan dia pulang sendiri dengan menangis, orang tua mana yang mengira cucunya akan senang bersama laki laki yang ndak ngerti perasaan perempuan, ndak peka" ucapan mbah dengan intonasi yang sedikit meninggi membuat ardan ndak punya nyali. Namun kembali dikumpulkan keberaniannya demi bisa bersama istri dan calon buah hatinya.
"Maafkan ardan mbah, ndak akan ardan ulangi lagi, bener deh, janji, ardan akan menjaga dengan seluruh jiwa raga ardan," ucap ardan bersungguh sungguh.
"Halah, biasa nek ono karepe, kabeh dienggo janji, jajal hara nek wes keturutan, hiyuh iso lali nggo alesan," ( kalo ada maunya, semua dijanjikan, coba kalo sudah terpenuhi keinginannya, lupa bisa jadi alasan ) si mbah begitu marah. "Biar lusi di sini sampai dia melahirkan, mbah pingin ngrawat putu ( mbah ingin merawat cucu ), pasti di Semarang kamu juga akan sering meninggalkan dia sendiri, wes rasah dijak nang Semarang, awakmu iso muleh rene nek kangen bojomu," ( udah dak usah diajak ke Semarang, kamu bisa pulang ke sini kalo kangen istrimu ) ucapan mbah menambah pusing kepala Ardan.
"Bukan saya ingin menentang si mbah, baiklah saya dan lusi akan membicarakan kembali bagaimana keinginan lusi." kata ardan dengan berat hati mesti mengalah dulu saat ini, dia akan membicarakan baiknya gimana dengan istrinya. Satu sisi ardan ingin selalu dekat istrinya, sisi yang lain keluarga lusi dalam hal ini si mbah yang keras tidak memperbolehkan lusi mengikutinya.
Mbah masuk ke rumah meninggalkan Ardan yang masih bingung dengan pikirannya. Mungkin Mbah belum bisa menerimanya kembali bagaimana pun dia sudah mengecewakan keluarga istrinya, saat Lusi hamil dia terlambat mengetahui itu karena kebodohannya. Ardan merasa layak mendapatkan sikap penolakan dari keluarga ini. Masih untung dia diterima kembali dan istrinya memaafkannya, hem bodohnya dia.
"Jangan mengikuti suamimu ke Semarang, kamu sekolah tinggi untuk apa ilmunya kalo cuma jadi istri yang ngintil ( mengikuti kemana pun ) suaminya" terdengar Mbah masih bersambung kemarahannya ganti deh dilampiaskan sama sang cucu yang hanya terdiam. Lusi tahu di sekolah dengan susah payah ibu nya harus ke luar negeri sebagai TKW kalo ujung ujungnya dia hanya sebagai ibu rumah tangga pasti keluarga akan sangat kecewa, tanpa mereka menyadari dan dak mau tahu bahwa menjadi istri dan merawat anak anak di rumah adalah tugas yang mulia, orang desa mereka ngertinya sekolah ya harus buat kerja bukan hanya untuk mencari ilmu, falsafah darimana "mendapatkan ilmu yang bermanfaat" tahunya mereka sekolah tinggi biar dapat kerjaan dan jabatan yang tinggi pula, terus harus gimana coba ngejelasin ke si Mbah tentu yang terjadi "Kowe kuwi wong ngerti Ojo mung manut ae Karo wong Lanang ( kamu itu pinter jangan cuma ikutan aja sama laki laki )" wejangan panjang lebar terus mencecar Lusi.
Lusi cuma diam saja mendengarkan kata demi kata dari si Mbah, dia cukup paham kalo Mbah lagi marah dak bisa disela omongannya, sebagai cucu yang sejak kecil dia faham betul bagaimana karakter dan kebiasaan mbah.
Setelah si Mbah selesai bicara menumpahkan segala unek unek bentuk kekesalannya, Mbah duduk di kursi tamu, Lusi mengambilkan teh hangat tanpa gula kesukaan si Mbah.
"Maafkan mas Ardan Mbah, dak ada maksud lain, mas hanya ingin dekat lusi biar bisa menjaga Lusi dan kehamilan Lusi, biar dak merepotkan si Mbah" kata demi kata diucapkan dengan hati hati biar dak menyinggung perasaan wanita tua yang masih dalam mode sensi.
Ardan pun masuk rumah karena dak tega mendengar istrinya yang terus saja dicecar sama Mbah seperti terdakwa yang terus mendapat berbagai pertanyaan dari si penyidik.
"Dik lus bener Mbah, saya hanya dak mau jauh darinya" Ardan memeluk istrinya, si Mbah melengos menatap ke arah lain dasar anak muda, Mbah masih mangkel sama cucu menantunya yang dianggap mau enak nya sendiri, dan plin plan, kalo marah dia menjauh giliran ada maunya halah Mbah dah hafal otak laki laki sekarang ato dulu sama aja.
"Tapi biar Lusi di rumah sini dulu kalo liburan toh kamu bisa ajak dia ke Semarang" meski dengan nada suara yang pelan namun terlihat Mbah tetep kekeh dengan pendiriannya.
"Dak papa Mbah, saya juga pingin bareng mas Ardan di Semarang, mas ardan di sana ada temen yang punya yayasan pendidikan dan Lusi boleh ikutan ngajar Mbah, dak jauh kok dari rumah mas Ardan, iya kan mas" Lusi mencoba merayu si mbah dengan kalimat sehalus mungkin.
"Mbah dak usah kawatir, nanti kami bakal sering pulang rumah," Ardan menimpali ucapan istrinya mencoba meyakinkan Mbah mertuanya.
"Makanya to mas, jangan bikin mbak lus sedih, iku masalahe, mas Ardan kudu janji akan selalu menjaga mbak lus, terutama jangan lukai hatinya, " tiba tiba terdengar suara Ahmad yang ternyata dari tadi mendengar perbincangan Mbah, kakak dan iparnya. "Mbah sayang sama mbak lus, tapi kan masih ada Ahmad yang siap melayani mbah, cucu kebanggaan Mbah memang mbak Lusi tapi cucu yang paling sayang sama Mbah justru Ahmad, coba deh kalo mau ditimbang berat mana, mbak Lusi atau Ahmad , pasti deh dak akan salah jawabnya ?" Ahmad mencoba menengahi biar Mbah dan kakaknya dak bersitegang. Dak pake lama Ahmad malah mengambil timbangan badan yang berada di dapur, " ayo mbak coba nimbang sini, meski mbak ada dedek bayinya yakin deh, masih berat Ahmad" ucap Ahmad yang disambut kekehan Ardan dak bisa mikir juga ahmad, ya terang aja orang tanpa kacamata juga akan tahu kalo berat Ahmad yang tinggi badannya Gambir 170 cm dengan badan kekar karena sering berolah raga jika dibandingkan kakaknya yang hanya 155 cm tingginya dan gemuk lokal karena hamil siapa pemenangnya, ada ada saja Ahmad untuk mengalihkan pembicaraan si Mbah.
"Baiklah, yang penting kalian rukun di sana, dan selalu kabari Mbah biar dak kepikiran, soalnya yang kamu jaga dak hanya dirimu sendiri lus, ada calon cicitku yang harus juga kamu jaga" Mbah akhirnya mengalah demi kebahagiaan cucunya kalo memang yang terbaik mereka memang harus bersama.
"terima kasih Mbah, " ujar Ardan dan Lusi hampir bersamaan, Lusi mendekati Mbah dan mencium tangan perempuan tua yang sudah keriput oleh usia.