Chereads / Aku dan 1000 kota / Chapter 25 - Hallstatt, Austria

Chapter 25 - Hallstatt, Austria

Deretan rumah rumah tradisional Austria abad ke-19 yang berjajar rapi di tepi danau terlihat memukau dengan latar belakang gunung yang menjulang indah membuatku merasa seperti negeri dongeng. Hallstatt adalah desa kecil di Austria yang sangat mempesona, saking kecilnya aku dan Yura hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk menelusuri desa ini dari ujung ke ujung.

Desa kecil dengan penduduk kurang dari seribu orang ini nampak sangat ramai dengan wisatawan yang berkunjung dari seluruh pelosok dunia, para pengunjung kebanyakan orang asia yang di dominasi dari Tiongkok, Korea Selatan. Rasanya seperti kembali ke rumah tapi dengan background Eropa.

Ketika kami sampai, suasana di Hallstatt begitu ramai karena ada perayaan Corpus Christi di tengah alun alun desa, sebuah prosesi traditional rakyat setempat. Sepertinya semesta memberkati perjalanan kami, karena prosesi ini hanya berlangsung sekali selama musim semi.

Hallstatt terletak di lereng pegunungan Dachstein dan di tepi danau Hallstatt. Alun alunnya begitu indah dengan rumah bergaya Austria klasik yang di cat berwarna warni ornamen dari kayu serta dihiasi bunga bunga disetiap balkonnya. Ditengah alun alun berdiri patung Holy Trinity.

Puas mengelilingi desa, aku dan Yura lanjut menuju World Heritage Skywalk dengan naik gondola / kereta gantung hingga keatas, dengan ketinggian tiga ratus lima puluh meter World Heritage Skywalk menawarkan pemandangan panorama yang unik ke Danau Hallstatt dan pemandangan gunung yang mengesankan.

Sepertinya kami akan melakukan tur Hallstatt dengan sedikit terburu-buru mengingat kereta terakhir yang bertolak menuju Salzburg hanya ada di jam 18.00, dan masih ada satu tugas berat yaitu mengembalikan waistbag ini kepemiliknya. puffftt.

Satu hal yang sangat menarik untukku di desa ini yaitu sebuah pemakaman yang terletah dibelakang Gereja Katolik Hallstatt, di dekat Kapel St. Micheal abad ke-12, dikenal dengan nama Hallstatt Beinhaus / Charnel House.

Di ruangan kecil seperti gua ini, lebih dari 2dua ribu tengkorak dan berbagai tulang manusia lainnya ditumpuk dengan sempurna di sepanjang dinding. Ini dikarenakan kurangnya tanah pemakaman di desa kecil ini pada masa itu.

Pada 1720, sebuah tradisi pun dimulai, setiap tengkorak akan diwarnai dan di lukis agar nampak artistik , dekorasi tengkorak ini membantu melestarikan identitas anggota keluarga yang telah meninggal, selain itu tengkorak juga diberi label dengan nama lengkap atau inisial.

Bentuk dan corak dekorasi sebagian besar dalam bentuk salib, karangan bunga, bunga, cabang ivy, daun oak, tergantung pada waktu ketika tengkorak dihiasi.

Almarhum biasanya dibiarkan terkubur lebih dahulu selama lebih dari sepuluh tahun hingga tengkorak siap dikeluarkan dari kubur, kemudian dibersihkan oleh penggali kubur, dan di jemur di bawah matahari di udara terbuka. Intinya proses ini adalah untuk mendapatkan warna tengkorak asli berwarna gading. Lukisan pada tengkorak dilakukan atas kebijaksanaan pelukis dan anggota keluarga.

Dari seribu dua ratus tengkorak, sekitar enam ratus dari tengkorak dihiasi dengan berbagai macam simbol - kemenangan, keberanian, mawar, cinta, dan lain sebagainya. Adapun penanda lain dipisah menurut tahun, dari tahun 1700-an akan dicat dengan karangan bunga gelap yang tebal, sedangkan yang lebih baru, dari tahun 1800-an, menghasilkan gaya bunga yang lebih cerah.

Praktek ini kemudian dihentikan pada tahun 1960, sehingga tidak ada lagi ketambahan tengkorak disana. Ini mengingatkan ku akan penyimpanan tengkorak tanah toraja di daerah Sulawesi Selatan, Indonesia, dengan tradisi yang sedikit berbeda.

-

Perjalanan pulang dari Hallstatt menuju Salzburg terasa lebih singkat, hanya sekilar satu jam lebih lima belas menit, waktu setempat sudah menunjukan pukul 19.20, aku dan Yura bergegas membeli kabel charger sesuai type hp, dan balik ke Loft.

-

Sudah lima belas menit berlalu, pemilik waistbag ini tak kunjung tiba, badanku rasanya nyaris remuk tak bersisa, untuk kesekian kali aku menyeruput coklat panas di sebuah cafe yang terletak di sudut jalan, tidak jauh dari Loft yang kami tempati. Sudah beberapa kali aku menguap menahan kantuk.

" Selamat malam ".

Aku mengangkat wajahku, di depanku berdiri seorang pria , dengan umur jauh diatasku, kurang lebih sekitar dua puluh delapan tahun tahun, ia menyungingkan senyum sambil menyodorkan tangannya.

" Kenalkan, namaku Nathan. " sapa pemuda itu ramah dan sopan.

" Aku Jade." sahutku singkat. Aku benar benar ingin segera memberikan waistbag dan segera berlalu pulang. " Ini tas anda, mohon segera diperiksa apakah ada yang hilang, maaf sebelumnya, aku sudah memeriksa isi dari waistbag anda. "

Nathan memeriksa semua isi tas, dan mengeluarkan kotak cincin di dalamnya, wajahnya berbinar binar lega.

" Aku sangat berterima kasih atas kebaikan hati anda memulangkannya, cincin ini sangat berharga bagi ibu ku. Beberapa hari ini aku tidak tenang, kupikir cincin ini tidak akan kembali." ucapnya, sambil menatap cincin lekat lekat.

Aku segera berdiri dari kursi dan pamit pulang,

" Tunggu... " sambil menahan tanganku untuk tetap tinggal.

" Ijinkan aku berterima kasih kepadamu, biarkan aku mengajakmu makan malam sebagai tanda terima kasihku. "Sahutnya penuh sopan

" Maaf Nathan, ini hari yang panjang buatku, aku harus segera pulang istirahat. hari ini aku baru aja kembali dari Hallstatt dan besok aku harus kembali ke Munich." Sahutku sembari kembali duduk, dengan wajah letih dan tidak bergairah.

" Suatu kebetulan, aku juga bekerja di Munich. Aku berasal dari Salzburg, aku hanya pulang sebentar mengunjungi ibuku." sahutnya lagi.

Aku sama sekali tidak tertarik dengan pembicaraan dan cerita panjangmu Nathan, sekalipun aku mengambil peran sebagai super hero kali ini, batinku.

" Oke kalo begitu, ijinkan aku mengantarmu dan memiliki kontak ponsel mu, aku tidak ingin merasa terbebani karena berhutang budi padamu, minimal ijinkan aku membalasnya jika ada kesempatan." ucapnya lagi dengan penuh harap.

whatever....aku sudah sangat ingin tidur.

" Baiklah, kau boleh ikut denganku hingga ke depan lobi dan memiliki nomor kontakku." sahutku sambil berjalan cepat.

-

Hari ini kami sengaja tidak memasang alarm pagi, kami sepakat akan bangun sesuka hati, memulihkan energi kami yang terkuras di hari hari sebelumnya, dan bersiap kembali ke Munich sore hari ini. Segalanya berlangsung slow motion di hari itu.

Ada sedih menyelinap di hati, mengingat hari ini hari terakhir bersama Yura, besok adik kecilku ini akan segera kembali ke Korea Selatan meneruskan pendidikannya.

Aku menemukan Nathan sedang duduk menungguku di lobi bawah, ketika kami bermaksud untuk keluar makan siang.

" Selamat Siang, Jade. " sapanya tersenyum manis.

" Selamat siang. Kenapa kamu tidak menelp sebelumnya ? sudah berapa lama kamu berada di lobby." tanyaku sambil menatap Nathan.

" Belum lama. Tidak masalah bagiku untuk menunggu." Sahutnya lagi sambil memamerkan senyuman.

Orang aneh ini sepertinya selalu senyum dan tidak berbeban, apa dia terlalu girang mendapatkan kembali tas nya ? pikirku.

" Kenalkan, ini Yura, teman perjalananku. Yura ini Nathan pemilik waistbag kemarin."

" Bolehkan aku mengajak kalian makan ? kebetulan aku bawa kenderaan." ucap Nathan menawarkan bantuan.

" Boleh " sahutku sambil melangkah keluar lobby.

Nathan sepertinya baik dan sopan. Dia adalah type yang tidak ingin berhutang budi kepada orang, atau mungkin cincin itu terlalu berharga untuknya hingga begitu niat untuk melayani kami berdua.

Nathan membawa kami ke restaurant sky bar , tempatnya ekslusif mewah dengan pemandangan menakjubkan, nampak kubah kubah gereja yang indah, benteng Hohensalzburg dan pegunungan Alpen sebagai latar belakang.

" Terima Kasih Nathan. Ini sudah berlebihan rasanya." Ucapku sambil tersenyum.

" Adakah cerita di balik cincin itu ? atau cincin itu untuk seseorang special ? "

Wajah Nathan seketika sedikit berubah, raut wajah yang sebelumnya terlihat ceria mendadak berubah menjadi duka, ia mengeluarkan cincin dari kantong kemeja dan menaruhnya di meja.

" cincin ini milik orang yang paling kusayang, dia adalah satu satunya orang yang kumiliki. " ucapnya lirih.

" Maaf Nathan, aku tidak bermaksud membuat mu sedih." sahutku serba salah

" Ini milik ibu, ibuku sedang dalam perawatan sakit. Aku sedih karena aku bisa saja kehilangan ibuku kapan saja."

" Aku turut bersedih mendengarnya, kalau bisa tau, ibumu sakit apa ?" tanya ku pelan.

" Beliau sakit leukemia stage 4 , Jade. Harapan untuk tetap hidup sangatlah tipis." Nathan tidak bisa menahan rasa sedihnya, matanya nampak berkaca kaca. ia begitu ketakutan dan rapuh.

Seketika itu juga aku merasakan hal yang sama. Delapan tahun lalu, aku berada di posisi Nathan, waktu itu aku duduk di kelas dua SMU, aku yang ketika itu belum tau persis apa yang sebenarnya terjadi, meringkik ketakutan dan menangis tanpa henti melihat keadaan ibu yang semakin lama semakin menurun, kanker membuat nyawa manusia seakan begitu murah, dan semudah itupun ia merengut nyawa orang yang paling berarti di hidupku. mimpi buruk yang menjadi kenyataan.

Kehilangan seorang ibu seperti kehilangan separuh nyawa, sangat menyakitkan, malam malam selanjutnya adalah malam yang penuh dengan rindu yang tak tertahankan. Malaikatku pergi, meninggalkan aku seorang diri. Apa Tuhan benar benar tidak peduli terhadapku ? Ketika ibu menutup mata, seluruh duniaku pun mati.

" Bolehkah aku menjenguknya ? sebelum kami kembali ke Munich." tanyaku sambil mengepalkan tanganku, berusaha keras agar tidak menciptakan genangan basah di mataku.

-

Hawa rumah sakit yang dingin membawa efek tersendiri bagiku, membangunkan rasa trauma yang sudah lama kusimpan di sudut gelap berkarat dalam pikiranku, perasaanku bercampur aduk susah, ketenangan serasa begitu jauh, ketakutan itu masih ada, ada rasa sakit tentang kehilangan, lorong lorong rumah sakit yang hening, bau tajam desinfektan membuatku sesak dan sedikit mual.

Aku menguatkan diri untuk melangkahkan kaki, memasuki ruangan rumah sakit. Nampak olehku seorang wanita berumur enam puluhan terbaring lemah tak berdaya. Badanya sangat kurus, tanpa sehelai rambut akibat kemoterapi, kelopak matanya begitu dalam, dan ada selang yang melingkar di tubuhnya. Mata nya mengatakan bahwa dia menahan sakit yang teramat kuat.

Kami mendekati ranjang wanita itu, wanita itu tersenyum dengan sangat lemah. Nathan mengusap jemari sang ibu, sambil memperkenalkan kami.

" Ibu, ini Jade. wanita yang menemukan cincin ibu." Bisik Nathan pelan.

Wanita itu tersenyum ke arahku, dan seperti berusaha meraih tanganku, dengan refleks aku membelai tangan wanita itu, mengalirkan sedikit energi kehidupan kepada wanita itu. Bertahanlah bu, ucapku dalam hati.

Aku merindukanmu, Ma.

🚑🚑🚑