Chereads / Aku dan 1000 kota / Chapter 7 - Denizli, Turkey

Chapter 7 - Denizli, Turkey

hiyaaa...

Deniz menyetujui permintaanku mengunjungi Pamukalle, aku sudah banyak mengenal nama nama kota di Turkey dari buku yang di berikan Deniz sejak pertama kali tiba.

Pamukalle berada di kota Denizli, Turkey tujuan kami selanjutnya.

Terdaftar sebagai satu situs warisan dunia yang berada di wilayah tenggara Aegean Turki yang memiliki keajaiban alam yang luar biasa.

Dari gambar di buku aku bisa membayangkan tempat seperti apa Pamukalle, dengan perasaan tidak sabar.

Pamukalle ini berisi mata air panas dengan suhu tiga puluh lima derajat celcius dan Travertine-mineral karbonat yang jatuh dari puncak gunung ke lereng sehingga menciptakan kontur yang eksotis.

Pamukkale dalam bahasa Turki berarti 'Istana Kapas' karena semua berwarna putih, dan tersusun dari batu batuan berwarna putih yang terasa mengagumkan dari gambar foto di buku membuatku tidak sabar untuk segera tiba.

Pamukkale berjarak dua ratus empat puluh sembilan km dari kota Izmir, tidak ada penerbangan dari Izmir menuju Pamukkale, para turis biasanya menggunakan layanan bus bila berangkat dari Izmir menuju wisata Pamukalle.

Kami menempuh perjalanan memakai mobil keluarga Deniz, Emir ikut serta bersama kami, dia akan mengantarkan kita hingga Cappadocia.

Aku dan Deniz akan kembali ke Istanbul dengan penerbangan dari Cappadocia.

Perjalanan dari Izmir ke Pamukkale kurang lebih tiga jam lebih, aku tertidur di bahu Deniz selama perjalanan, Deniz membangunkanku ketika kita tiba di depan signboard Hierapolis.

"baby, kita sudah sampai." Deniz menyentuh tanganku dan menggoyangkannya.

Aku membuka mataku dengan berat, segera mengangkat badanku dari bahu Deniz, dan duduk tegak. aku melirik Deniz dengan ekor mataku, ia nampak memperhatikanku.

Aku merapikan rambutku yang sedikit berantakan, dan mengoleskan lipbalm di bibirku agar tidak terlalu kering.

"Kamu sudah cantik, baby." bisik Deniz ketika melihatku memakai lip balm,

"Hey ini hanya pelembab bibir di cuaca kering, aku tidak maksud berdandan. " ucapku protes.

"Ayo turun." Deniz tertawa kecil mendengarku protes.

Aku melangkah mengikuti Deniz dari belakang, langkah kami terhenti di sebuah papan besar berisi peta dan keterangan tentang Hierapolis.

"Hierapolis adalah nama sebuah kota kuno di Pamukkale, berupa reruntuhan kota tua zaman Romawi kuno abad ke dua sebelum masehi, Hierapolis dikembangkan menjadi tempat spa kepada Raja Pergamon, Eumedes II karena memiliki mata air panas yang berkhasiat untuk penyembuhan." ucap Deniz dengan bahasa Inggris yang fasih dan formal.

Aku mengamati setiap detil keterangan dalam peta.

"Kenapa disebut kota suci?"

"Karena di dalam kota terdapat banyak kuil keagamaan yang juga tempat tinggal bagi orang orang Yahudi dan Kristen pada zaman dahulu." Deniz selanjutnya meraih tanganku dan membawa kami masuk ke dalam area Hierapolis.

-

Deniz Gazne adalah typikal pria yang nyaris sempurna, memiliki pekerjaan bagus , jebolan Institute Teknologi Massachusetts, Cambridge US, wajah yang tampan, pembawaan yang tenang dan ramah walau sedikit keras kepala, penyayang juga perhatian.

Deniz memiliki tatapan mata tajam sekaligus sinar keteduhan yang ia warisi dari sang ibu. Perpaduan yang sempurna untuk seorang pria.

Aku memberikan nilai sembilan puluh untuk pria seideal Deniz.

Deniz pun sangat pandai mengambil hatiku, dia amat tau kalau aku menyukai diajak ke tempat yang memiliki nilai sejarah, aku betah berlama lama menatap sebongkah batu bernilai sejarah, Kadang Deniz selalu menggodaku dengan mengatakan kalau aku sebenarnya memiliki kemampuan mistik yang mampu berkomunikasi dengan batu dan alam.

Aku bisa menghabiskan lebih daridua puluh menit untuk setiap batu atau patung yang kuamati. hahaha...atau mungkin saja Deniz yang kurang sabar menungguiku.

-

Kami duduk sebentar di kawasan kolam air panas yang dilengkapi food court, cafe dan kedai souvenir di dekat Hierapolis Museum.

Deniz membelikan aku sebotol jus segar pomegranate kesukaanku, sangat membantu agar aku segar kembali setelah tertidur kurang lebih tiga setengah jam.

Emir dan Deniz menikmati kopi yang mereka pesan sambil bercerita menggunakan bahasa Turki, Deniz mengengam tanganku erat yang sudah terbungkus rapi dengan gloves menjaganya agar senantiasa hangat.

Bagi orang Turki menikmati kopi atau teh setiap hari adalah cara hidup dan tradisi , penduduk kampung pedalaman Turki mampu menghabiskan berjam jam hanya untuk merokok sisha, bermain kartu sambil menghirup kopi.

Seorang calon pengantin wanita sering diukur oleh keluarga tunanganya dari seberapa baik dia menyediakan dan menyajikan kopi Turki untuk suaminya.

Mereka juga mampraktekan ramalan pernikahan melalui kopi - setelah kopi selesai di minum dan menyisakan ampas , piring dibawah kopi akan dibalik, dan memutarnya searah jarum jam beberapa kali.

Piring kemudian diangkat dan paranormal akan membaca ramalan melalui bentuk pahatan ampas kopi di piring.

Sekalipun kebanyakan orang melalukan untuk keisengan, namun ada juga yang mengambil serius akan ramalan itu, terutama para pencari nasib baik atau mencari pasangan yang berpotensi.

Setelah menikmati sebotol jus dan kopi kami berjalan mendaki bukit menuju Hierapolis Theatre yang berbentuk seperti mini Colosseum.

Membuatku teringat kenangan bersama orang tuaku ketika mengunjungi Colosseum di Roma, nyaris sama persis hanya berbeda dari segi ukuran saja.

Theater ini di bangun abad 62 M , dan mengalami pembangunan kembali pada tahun 206 M, berada di lereng bukit , tingginya sembilan puluh satu meter , mampu memuat lima belas ribu penonton. Tahun dan keterangan bisa kita baca pada sign board.

Reka bentuk mini theater ini sangat mengagumkan, bentuknya yang seperti corong kebawah mampu membuat gema tanpa memerlukan sound system digital yang canggih.

Sehingga seluruh penonton dapat dengan mudah menyaksikan pertunjukan tanpa bantuan sound system. Manusia begitu genius sedari dulu.

Amazing !

Emir mengambil banyak foto aku dan Deniz dengan latar belakang Hierapolis, aku sangat senang, Deniz membuntutiku kemana aku pergi seperti seekor anak ayam yang mengikuti induknya.

Sesekali dia merangkulku dan mencium rambutku jika aku berhenti mengamati sesuatu.

Kami bertiga menuruni jalan menuju Traventine setelah puas menjadi 'Dora the explorer' di Hierapolis,

yapz!

Kita menuju ke kolam air panas yang bertingkat tingkat dan berwarna putih, dengan salju everywhere sepanjang tahun. Sooo...instagramable banget !!!

Sayangnya aku bukanlah peminat social media aktif, lagipula siapa temanku? siapa yang nantinya menjadi followers? hhhh....

Terlihat banyak pengunjung berendam air panas, mereka percaya kolam ini mampu menyembuhkan rematik, tekanan darah, penyakit kulit dan lain lain, karena kandungan mineralnya yang tinggi.

Deniz memegang erat tanganku ketika kami menuruni tingkat tingkat kolam air panas, pijakan sangat licin.

Dari atas Traventine kami dapat melihat pemandangan hijau subur di bawah kami, gunung gunung yang ditutupi salju pada puncaknya, dan langit yang dipenuhi awan menyatu dengan indahnya, sebuah pemandangan yang sangat memukau.

Berkali kali aku menutup mata, memandang dan memandangnya lagi seakan tak pernah bosan, mengucap syukur dan menghirup dalam dalam udara segar ketika berada ditempat ini. Deniz memelukku dari belakang, bersama menikmati indahnya Pamukkale.

Keluar dari pintu Traventine kami berjalan kaki menuju restaurant yang berada tak jauh dari situ untuk makan siang.

Selepas makan siang aku merasa sangat letih, dan ingin segera beristirahat hingga makan malam nanti. Kami berencana menginap di kota ini semalam, dan menuju Cappadocia keesokan harinya.

-

Doga Thermal adalah hotel di distrik Karahayit, Pamukkale tempat kami bermalam. Deniz memesan dua kamar, satu untukku dan satu lagi untuk Deniz dan Emir.

Aku tertidur setelah spa dan massage dari fasilitas hotel, dan terbangun dengan bunyi bel pintu kamar. Itu pasti Deniz.

Aku bergegas membuka pintu kamar, dan mempersilahkan Deniz masuk, Deniz duduk di pinggir tempat tidur sambil memencet remote TV mencari saluran yang layak ditonton. Aku duduk di sofa dibawah TV, tepat di depan Deniz, dengan mata masih setengah tidur. [ mengumpulkan nyawa ].

Aku mengamati wajah Deniz diam diam, rahang kokohnya yang simetris, hidung mancung khas middle eastern, alis tebal yang rapi, bulu mata lebat, dipadukan mata indah yang yang tertarik tajam seperti elang dengan sedikit jenggot dan kumis tipis sebagai aksesoris pemanis.

Deniz menatap tivi " aku tahu kamu lagi memperhatikanku, apa berharap tatapan itu adalah tatapan kekaguman. " sahutnya sambil menahan senyum.

Aku tergelak dan tertawa mendengarnya. Sedikit rasa malu karena dipergoki mengaguminya. Wajahku bersemu merah.

"Aku hanya berusaha memberi score untuk calon suami apakah layak di masuk nominasi." ucapku asal sambil berdiri dan melewatinya.

Deniz tertawa sambil berusaha mengapai tanganku

Deniz menarik tanganku dan membuatku duduk di sampingnya dengan jarak yang rapat.

"ok, Mrs. Deniz ku yang cantik, kau mau kita bulan madu kemana setelah menikah ? " ia menatapku sangat dekat, memperhatikan kedua mataku.

Oh Tuhan, jantungku berdegup kencang, berada terlalu dekat dengannya.

Semenjak hari dimana Deniz melamarku, aku berusaha membangun keyakinanku, membuka hati ku untuknya. Kita tidak bisa meramal masa depan, namun mengapa aku harus menyia - nyiakan hari ini dan orang baik ini.

Aku mendekatkan wajahku ke Deniz , kita saling berciuman. Aku merasakan kehangatan sekaligus rasa bahagia.

💋💋💋