Chereads / Aku dan 1000 kota / Chapter 5 - Izmir, Turkey ( 1 )

Chapter 5 - Izmir, Turkey ( 1 )

Jarak antara Istanbul dan Izmir yang cukup jauh, membuat kami berdua memilih untuk melakukan perjalanan udara ketimbang berkendara, sekaligus menghemat energi agar tidak kelelahan di jalan.

Deniz membayar semua flight trip kami, dan tidak mengizinkan aku untuk menginap di hotel selama di Izmir.

Selama berada di Turkey sedikit banyak Deniz memudahkan hidupku, aku tidak perlu berbantah bantah dengan para pedagang yang kebanyakan tidak mengerti berbahasa Inggris, juga tidak tersesat, dan ada pemberi keterangan tanpa di bayar tentang setiap sudut kota Istanbul.

Perjalanan ke Izmir ditempuh selama satu jam sepuluh menit dari bandara Sabiha Gokcen, Istanbul, menuju lapangan terbang Izmir Adnan Menderes.

Aku terlihat sedikit letih karena kurang tidur semalam, 'bag eyes' yang mengelanjut manja di bawah mataku membuat aku tidak menghiraukan ajakan obrolan Deniz, selama di pesawat aku berusaha keras menutup mata berharap alam mimpi membawaku serta agar tampak prima bertemu orang orang baru di Izmir nanti.

Tanganku terkulai pasrah dalam gengaman tangan Deniz selama perjalanan, tidak punya banyak tenaga untuk berbantah bantah soal tangan, biarlah... tidak ingin mengartikan segala sesuatunya terlalu mendalam.

Tangan yang di pegang hati yang merespon.

Gengaman tangan itu menyalakan rasa hangat di pojok hati, membuatku dengan mudah tertidur.

Tepat pukul 13.20 kami tiba di 'The Pearl Of Aegean', julukan untuk kota Izmir karena unsur wisatanya yang eksotis dan bersejarah namun tetap mempertahankan unsur modern.

Seorang pria muda bernama Emir menjemput kami di bandara, yang kemudian kutahu itu adalah sepupu Deniz yang hidup bersama keluarganya di Izmir.

Cuaca di Izmir nampak lebih hangat dibandingkan Istanbul, mungkin karena daerah pantai membuatnya lebih hangat.

Rumah Deniz terletak di distrik konak tidak jauh dari Clock Tower-Saat Kudesi , Tower kebanggaan dan ciri khas kota yang berada tepat di pusat kota Izmir, rumah Deniz berwarna putih, tertata rapi , dengan halaman luas yang asri dan hijau.

Kami disambut dengan pelukan orang tua Deniz, yang menurutku super ramah dan murah senyum.

Ibu Deniz menyentuh lenganku dengan gemas nya, sambil menuntunku masuk ke dalam rumah.

Komunikasiku dengan ibu Deniz cenderung menggunakan bahasa tubuh atau perantara orang ketiga, karena ibu Deniz kurang fasih berbahasa Inggris yang bikin kadang percakapan akan diakhiri dengan tawa, anggukan atau hanya senyuman pertanda sepakat.

Bahasa tubuh dan bahasa kalbu. hihi

Beliau adalah type yang suka mengekspresikan rasa sayang dengan sentuhan, beberapa kali dia selalu berbicara dekat, mengusap lenganku atau memegang lenganku.

Beliau sangat hangat, atau mungkin karena Deniz tidak memiliki adik / kakak perempuan. Atau kerinduan hadirnya menantu perempuan.

Gleg..

menelan ludah

Ibu Deniz adalah wanita Turki paruh baya, memakai hijab, cantik berhati lembut, sinar matanya yang teduh dan senyumnya yang selalu menghiasi bibir nya mengingatkanku dengan nenek ku di Queensland ketika kami berkunjung, waktu itu usia ku sekitar enam tahun.

Nenek yang selalu berjalan menuntunku pelan, terlalu perhatian hingga tidak ingin aku jatuh atau terpeleset. juga kebiasaan yang sama dengan ibu Deniz selalu mengajakku makan walau perutku sudah tidak mampu diisi.

hiks.. aku rindu.

Penduduk di kota Izmir lebih terlihat santai daripada kota Istanbul, mereka pun lebih ramah dan open mind, kebanyakan penduduk Izmir menganut paham sekuler - dimana mereka memisahkan kehidupan akhirat dengan kehidupan dunia.

Tidak ada diskriminatif atau perbedaan perlakuan disini.

Berbeda dengan Istanbul , hal hal berbau religius bukanlah merupakan atraksi utama yang ditawarkan oleh kota ini.

Masyarakat lebih terbuka dengan budaya eropa, dan mampu menjaga kerukunan, hingga Izmir dikenal sebagai kota teraman di Turkey, Deniz mengenalkan Izmir dengan begitu detil.

Sore yang indah di kota Izmir, Deniz membawaku menghabiskan waktu ke Alsancak, sekedar untuk memanjakanku berbelanja di butik butik branded dan kemudian menikmati secangkir kopi dan Turkish Delight di sebuah cafe di pinggir pantai di sekitar Kordon.

Aku terbawa suasana sore dengan taste yang berbeda dengan Istanbul.

Aku berdiri menyapu seluruh pemandangan sore di pantai yang bersih, dengan udara yang segar memenuhi rongga dada, nampak gedung apartment modern berjejer rapi di sampingnya, dan beberapa yatch terlihat berseliweran.

Keindahan itu berlangsung sesaat karena kami harus segera bergegas pulang tidak ingin melewatkan makan malam bersama dengan keluarga Deniz.

Deniz sangat menghormati kedua orang tuanya, terutama ibunya, Pria Turkey se keras apapun mereka, se kokoh bagaimana pun akan luluh lantah jika berhadapan dengan ibu, bagi mereka ibu adalah segalanya, perwakilan Tuhan di atas bumi, segala perintah dan nasihat tidak akan pernah mereka langgar meskipun bertolak belakang dengan keinginan pribadinya.

Suasana makan malam di rumah Deniz begitu syahdu, dengan suguhan menu khas timur tengah yang mengunakan banyak rempah panas dan wangi, sebagai tumpuan utama daging dan sayur sayuran.

Wangi masakan ibu Deniz membangkitkan selera makanku. Aku memilih menu lamb kebab beserta saos, serta puding beras sebagai penutup.

Kami duduk sambil bercengkrama dalam satu meja panjang, Ayah Deniz, Ibu Deniz, Deniz, Altan Adik kedua Deniz, Berkant adik ketiga deniz, Emir dan aku.

Bahagia sekali rasanya berada di satu meja dalam sebuah keluarga besar, hal yang sudah lama tidak pernah kurasakan.

Ibu Deniz duduk disebelahku, sambil sesekali menyuruhku untuk makan lebih banyak, aku tersenyum mengiyakan.

kalau aku tiba tiba gendut gimana coba ? gumamku dalam hati.

Ada saat dimana aku merasa seperti manusia planet mars , yang tidak mengerti sama sekali dengan bahasa Turki. Yang aku tau hanyalah tamam = yang berarti mengiyakan/ menyetujui, evet = ya, anliyorum = saya mengerti, biliyorum = saya tahu.

Keadaan lebih santai setelah kami menyantap hidangan penutup, aku memperhatikan cara mereka berinteraksi sambil diam diam belajar mengerti bahasa Turkey, mereka senang menggunakan tangan sembari bercerita, sedikit mengingatkanku akan orang India atau orang Italy ketika berbicara, selalu mengoyangkan tangan.

Kreeeekkk,

bunyi kursi di tarik memecah keheningan sesaat di tengah santap malam bersama.

Tiba tiba Deniz berlutut di dekat kursi ku, sembari membuka kotak berisi kilauan cincin.

"Will you Marry Me?"

.

.

.

Aku tersentak kaget juga bingung, ini ada apa?

Tanah tempatku berpijak seolah bergetar meruntuhkan tubuhku. Aku memegang pingiran meja dengan kedua tangan agar tidak limbung terjatuh.

Speechless...

Aku bingung dengan apa yang harus kukatakan. Kutatap satu persatu wajah di sekelilingku , wajah wajah yang menunggu jawaban pasti dariku,

beberapa diantaranya seperti menahan nafas menanti ku memberi jawaban.

Haruskah aku berpura pura menerimanya hanya untuk mengukir senyum di wajah keluarga baik ini?

Apa aku harus menolaknya dengan halus... tapi bagaimana caranya.

Apa aku akan dikutuk setelah ini jika aku berterus terang jika belum siap?

Apa aku harus pura pura pingsan saja?

Atau lari histeris seperti orang gila?

Aduh...

ini gila...

Aku benar benar dalam masalah besar, aku bisa merasakan suhu tubuhku meningkat dan keringat dingin mengalir melewati punggung belakangku,

Oh Tolong...

aku ingin hilang lagi... batinku.

Aku menutup mataku... aku berharap ini hanya mimpi.

Lima menit telah berlalu begitu cepat... perlahan aku membuka mata...aku mencubit lengan kiriku dengan jari kananku...

Deniz tetap disana, dengan posisi yang tidak berubah.. suasana begitu hening, dan semua tampak terlihat tidak sabar menunggu jawaban dariku.

Aku berusaha menenangkan diriku dengan memaksa mengukir senyum di wajahku... sepersekian detik, senyum itu membantuku memperoleh kesadaran dan ketenangan.

Menit berikut, aku memasrahkan tangan kiriku , disematkan cincin pertunangan. Tanpa kata kata, tanpa persetujuan, hanya gerakan tangan dan seulas senyum palsu.

Aku hampir mati rasanya...

"elhamdulillah " ucap ayah Deniz sambil menjabat dan memeluk aku dan Deniz bergantian.

Begitu juga dengan Ibu Deniz , dan adik adiknya. Semua tampak bahagia dan lega. Deniz merangkul aku, dan tersenyum bahagia.

Sesi menyesakkan itu diakhiri dengan foto bersama.

Ada selusin bertanyaan di benak ku tentang apa yang barusan terjadi, dan aku sangat ingin menanyakannya kepada Deniz tapi tidak untuk hari ini... aku tidak ingin merusak kebahagiaan mereka.

Malam ini aku melompat ke atas kasur lebih awal, bukan karena ngantuk, tapi aku butuh waktu untuk mencerna semua yang terjadi enam belas hari terakhir di hidupku.

Segalanya terlalu tiba tiba, aku bahkan tidak bisa memastikan perasaan apa yang kurasakan pada Deniz.

Begitu banyak alasan mengapa aku dan Deniz mustahil bersama. Deniz bahkan tahu bahwa aku tidak seiman dengannya, Deniz tahu aku hanya seorang turis tiga puluh hari yang akan segera pergi.

Aku berani bertaruh, Deniz bahkan tidak pernah tau dimana letak Indonesia dalam peta.

Apa aku akan berakhir menjadi gadis Izmir yang menunggu suami pulang bekerja dengan hidangan kebab yang kukerjakan sepanjang hari?

Oh tidak, aku tidak pernah bermimpi seperti itu.

🤷‍♀️🤷‍♀️🤷‍♀️