Aku berdiri dan menatap rumah berwarna kuning dengan atap orange, aku memeriksa kembali alamat di dalam phone cell memastikan aku tiba ke alamat yang benar, yapz ! sieveringer strabe, distrik 19, dobling 1190, Vienna, Austria.
Bangunan rumah bergaya arsitektur biedermeier tampak klasik dan lebih terlihat seperti Villa, cukup terlihat sederhana dari luar, dengan pintu depan yang kecil, balkon kecil di atas pintu, terdiri dari 2 lantai, dengan jendela kaca yang tidak begitu besar, dan ruangan kecil yang memiliki jendela di bagian atap .
Di depan rumah ada taman hijau, dan pohon yang lumayan besar, juga tempat bersantai lengkap denga kursi meja kecil di depan. rumah dan vila vila disekitar, terpisah dikelilingi oleh ruang hijau, dengan rute hiking ke bukit bukit di sekitar perkebunan anggur.
Aku mendorong pelan pagar besi yang tidak terlalu tinggi dan masuk melewati taman, Nathan membuka pintu dan menyambutku sambil tersenyum di depan rumah.
" Selamat datang di Vienna, Jade. Aku sangat menghargai kamu dapat menyempatkan diri untuk datang. "
"Tolong anggap ini sebagai rumahmu juga karena ibu mengangapmu seperti anak sendiri. " Sahut Nathan sambil berjalan menuntunku masuk ke rumah.
Nathan menarikku dan berbisik sebelum aku mencapai pintu rumah. "Maafkan aku, tapi sepertinya drama akan segera dimulai. Kuharap kamu tidak keberatan jika aku akan memperlakukanmu dengan sedikit mesra. "
Aku hanya menganguk pelan.
Ruang dalam rumah nampak simple, dengan ornamen kayu mendominasi ruangan mengingatkanku dengan rumah rumah peningalan Belanda yang banyak terdapat di kawasan kota Yogyakarta, nampak ibu duduk di kursi roda sambil tersenyum, di sampingnya berdiri perawat yang memperhatikan kebutuhan ibu setiap hari.
Aku kemudian mendekat memeluk ibu dan mencium kedua pipinya. Badan ibu tampak kurus, dengan cekungan hitam yang melingkar di kedua pipi, dengan tutup kepala yang menyembunyikan rambutnya yang habis akibat efek kemoterapi. Hatiku bergetar memeluk ibu, badan ibu sangat kurus dan rapuh, aku memeluknya dengan sangat hati hati, aku takut pelukanku bisa menyakitinya. mata ibu tampak berkaca kaca, namun ada bahagia disana.
" Kenapa ibu berada disini, Nathan ? Bukankah seharusnya di Rumah Sakit ? " tanyaku sambil melirik ke arah Nathan.
" Besok ibu akan pindah ke Pusat perawatan paliatif di Vienna, untuk pasien kanker stadium seperti ibu tidak dianjurkan untuk dirawat di bangsal rumah sakit, itu hanya akan membuat ibu stress."
"Ibu akan mulai perawatan paliatif demi meningkatkan kualitas hidupnya dan juga kenyamanannya, disana juga ada perawat dan dokter private yang intensif fokus menangani pasien dan yang pasti kehadiranku akan sangat dibutuhkan. " sahutnya lagi.
Nathan mengeluarkan kotak cincin dari sakunya...
" Ibu ingin kau memakai cincin ini, sebagai tanda resmi kita bertunangan. " sahut Nathan sambil memasangkan cincin bermata diamond itu di jari manisku.
Aku hanya bisa pasrah menatap Nathan memasangkan cincin di jari manisku, aku bisa melihat betapa bahagianya ibu melihat hal itu. Nathan kemudian memelukku dan mengecup pipiku setelahnya.
-
Sore hari setelah memastikan ibu beristirahat kami menyempatkan waktu untuk berjalan jalan tidak jauh dari rumah, menyusuri hamparan kebun kebun anggur di sore hari.
" Aku tidak tau harus mengucapkan apa lagi untukmu, kamu melakukan hal yang sangat berarti untuk keluargaku. " sahut Nathan
" Tidak usah terlalu berlebihan Nathan, anggap lah aku melakukan ini semua untuk diriku sendiri, aku yatim piatu, aku menyayangi ibumu , aku melihatnya seperti melihat ibuku sendiri. Ada kebahagiaan sendiri buat diriku ketika aku melakukanya. " ucapku
Distrik ke-19 kota Vienna, Austria memiliki banyak kafe, restoran, dan pondok pondok kayu di sela sela perkebunan anggur dan bukit bukit yang indah yang bisa digunakan untuk hiking dan olahraga, sambil memanjakan mata dengan alam pepohonan yang hijau, udara yang sangat segar dan sehat, Aku dan Nathan menikmati roti tawar dan wine yang sangat lezat di pondok restaurant di sekitar.
" Bagaimana dengan ini Nathan ? " sahutku sambil menunjukkan cincin di jari manisku.
" Kamu bisa memilikinya Jade. Kamu boleh melepasnya di depan Valter. Anggap Vienna rumahmu Jade, kapanpun kamu letih, pulanglah ke rumah, aku dan ibu akan selalu menantimu. Rumah itu rumah kakek nenekku, ayah dari Ibu, rumah kamu juga." sahut Nathan dengan mimik serius.
Aku tersentuh mendengar kata kata Nathan, ingin rasanya aku memeluknya, tapi itu tidak mungkin kulakukan, disekitar kami begitu ramai orang berkumpul dan bercengkerama sambil menikmati suasana. Aku rindu akan keluarga, kakak yang kuidam idamkan sejak kecil, Ibu yang kurindukan, aroma rumah tua tempat kami berkumpul dan bercengkerama, suasana pedesaan yang tentram dan udaranya yang menyejukkan. Aku terlarut akan suasana dan ucapan Nathan yang menyentuh, tanpa sadar mata ku berkaca kaca.
" Jade, ada apa denganmu ? kenapa kamu menangis ? " sahut Nathan sambil menghapus butiran air di pipiku.
" Aku tidak apa apa Nathan. " Ucapku mantap meyakinkan Nathan.
Akulah yang semestinya berterima kasih, bukan engkau, ucapku dalam hati.
-
Sudah 7 hari aku berada di Vienna, Austria, aku terpaksa harus memundurkan rencana ke Frankfurt. Aku tidak punya waktu untuk berkeliling menikmati kota Vienna apalagi untuk pergi mengunjungi tempat wisata, waktuku banyak dihabiskan di pusat perawatan, mengajak ibu berjalan di sekitar taman, menceritakan kehidupanku juga bercerita tentang Indonesia, sesekali pulang ke rumah untuk istirahat dan berganti baju.
" Aku cemburu dengan kedekatan kalian. " sahut Nathan yang sudah berdiri tidak jauh dari kami.
Kami tersenyum melihat kedatangan Nathan, Nathan berjalan mendekatiku dan mengecup pipi ku. Sudah menjadi kebiasaan Nathan untuk mengumbar kemesraan di depan Ibu. Dan Ibu selalu menyatukan tangan kami, jika kami berada sangat dekat dengannya.
Terlepas dari sandiwara yang kami ciptakan Nathan adalah sosok kakak yang baik, dia memperlakukanku dengan sopan dan perhatian.
" Aku harus kembali ke Munich besok hari Nathan. " ucapku sambil meliriknya. Kami dalam perjalanan pulang ke rumah, setelah seharian menemani Ibu di pusat perawatan. Nathan nampak sibuk mengendarai.
" Mia akan menikah, aku menjadi Bridesmaid untuknya, aku harus berada minimal 3 hari sebelum di Frankfurt dan juga membantunya bersiap di Munich. " jelasku lagi.
" Aku mengerti, Aku akan memesankanmu penerbangan besok hari. " sahut Nathan lagi.
Suasana menjadi hening, ada rasa tidak enak ketika harus pulang dan meninggalkan ibu. aku melemparkan pandangan ke luar jendela mobil. jalanan nampak sepi, dan jendela-jendela pertokoan nampak gelap gulita, Vienna memang kota yang tidak begitu ramai, seperti hal nya kota kota di Germany, hari minggu adalah silent day buat mereka, toko toko akan tutup dan jarang terlihat orang yang beraktivitas di luar rumah.
Kota ini memiliki arsitektur bangunan indah di setiap sudut, suasana tidak begitu padat, dengan jalan yang bersih dan teratur, trotoar trotoar lebar khusus pejalan kaki dan jalur untuk pengendara sepeda yang menandakan kota ini tidak di desain untuk mobil. Lalu lintas tertata rapi dan tidak ada kemacetan.
Vienna juga menyediakan transportasi publik, seperti trem, bus, dan kereta bawah tanah ( U-bahn) dan kereta cepat ( S-bahn ) . semua tertata rapi, tidak heran Vienna masuk dalam salah satu kota dengan sistem transportasi terbaik di dunia.
-
Nathan menatapku sedih, seakan tak rela melepas kepergianku pulang ke Munich.
" Aku akan sering datang. " ucapku
" Jaga dirimu disana." ucapnya penuh arti.
🛫🛫🛫