Chereads / Aku dan 1000 kota / Chapter 27 - Munich, Germany ( 3 )

Chapter 27 - Munich, Germany ( 3 )

Bunyi dering hp mengagetkanku dari mimpi panjangku, aku menengok jam dinding di ruang kamar. 10.00, fufttt...untuk yang kesekian kalinya aku kesiangan, Valter pasti sudah berangkat kerja, dan yang pasti sudah menyiapkan makan pagi untukku.

Aku memang calon istri yang super payah jika kelak aku berkeluarga, bangun selalu telat, tidak bisa masak, tidak bisa mengupas buah, juga tidak pandai bersih bersih. Aku bangkit dari ranjang dengan langkah gontai, dering ponsel ku berbunyi lagi.

" Hello." sapaku.

" Pagi , Jade. Ini aku Nathan. Kuharap aku tidak mengangu pagimu." ucapnya dengan suara riang.

" Pagi Nathan. Aku baru saja bangun. apa kabarmu ?"

" Aku di Munich. Apakah kamu punya waktu ? Marilah bertemu. " sahut Nathan.

" Baiklah. Kirimkan lokasi dan jamnya. Aku akan berada disana. bye " sahutku lagi sambil memutuskan sambungan telp.

-

Aku menemukan Nathan duduk di dalam sebuah restaurant italy, yang tidak begitu jauh dari tempat ku tinggal, aku hanya perlu melewati 2 station kereta untuk sampai di tempat itu.

"Well, apakah ini berarti traktiran makan siang untuk kedua kalinya. " candaku ketika menyapanya.

" Senang melihatmu lagi, Jade. " sapa Nathan, berdiri tersenyum dan menyalamiku.

" Kenapa pilihanmu restaurant Italy kali ini. Nathan, ini Germany, kamu seharusnya memperkenalkanku makanan khas Bavarian. " candaku lagi sambil duduk pelan di kursi tepat berhadapan dengan Nathan.

" Kamu pasti sudah cukup bosan menikmati makanan Bavarian bersama pacarmu yang Germany itu. " Sahutnya sambil terkekeh.

Percakapan terhenti oleh pelayan yang mengantarkan makanan pesanan kami. Aku memesan Mushroom Risotto ( hidangan nasi campur khas Italia Utara, yaitu beras yang dimasak dengan kaldu jamur sehingga lengket menyerupai krim), Nathan dengan salad roket dan bruschetta.

" Btw, kapan kamu tiba di Munich, bagaimana keadaan Ibu? " sambil menyuapkan Risotto.

" Aku baru tiba pagi ini, Ibu sangat senang dikunjungi olehmu, kemoterapinya sukses mungkin efek dari rasa bahagianya. Setiap hari dia menanyakan kapan kamu akan mengunjunginya kembali. " sahut Nathan dengan wajah serius.

"Sebenarnya, jauh sebelum Ibu bertemu ayahku Ibu pernah jatuh cinta dengan seorang mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Vienna, Austria. Mereka harus terpisah karena sang pria harus kembali ke negaranya. Sedikit sedih memang, tapi dia menyimpan rasa cinta itu begitu lama, hingga kemudian bertemu ayahku. " ungkap Nathan dengan mata menerawang seolah kisah ini sudah dituturkan ibu semenjak ia kecil.

Aku tertegun mendengar kisah ibu Nathan, mungkin itu sebabnya dia senang dengan kehadiranku. memory lamanya tentang sosok Indonesian membuatnya bergairah untuk lebih kuat berperang dengan penyakitnya. Sekuat itukah memory cinta, hingga bisa menguatkan orang yang sudah diambang kekalahan oleh penyakit ?

" Sebenarnya aku tidak pantas meminta hal ini kepadamu. Ini sebuah permintaan berat, tapi aku tidak punya pilihan lain lagi. Aku sudah berusaha semampuku, untuk membuat ibu bertahan, tapi aku hanya melihat sinar kehidupan dari mata ibu semenjak bertemu denganmu. " sahut Nathan terbata bata.

" Aku mengerti. Situasi ini begitu sulit untuk Ibu dan juga untukmu. Bisakah aku mengetahui apa yang bisa kubantu untuk meringankannya. " sahutku pelan.

Nathan menatapku serius, beberapa kali dia menghela napasnya dengan berat.

" Maukah kamu berpura pura sebagai tunanganku di depan Ibu ?" sahutnya memelas.

Aku menatapnya iba, entah jawaban apa yang harus aku kukatakan selanjutnya. berpura pura bukanlah sebuah keahlianku, apalagi ber akting seolah olah tunangan orang. Tapi ini demi sebuah nyawa manusia. Dimana hati nuraniku jika aku menolaknya ?

" Baiklah Nathan, aku akan membantumu. kamu hanya perlu menunjukkan bagaimana caranya. " jawabku mantap sambil menatap Nathan lekat lekat.

" Benarkah ? Sekali lagi aku berterima kasih atas kebaikan hatimu, Semoga Tuhan selalu memberkati orang baik sepertimu. Kuharap ini tidak akan menjadikan masalah bagi hubunganmu dengan orang Germany itu. " ucap Nathan lagi.

" Namanya Valter. Aku pernah berada diposisimu, tidak usah merasa bersalah, aku melakukannya dengan tulus ingin membantu. Urusan Valter biarlah aku yang akan mengatur dan memberinya pengertian nanti. " jawabku.

Aku berjalan pulang menuju station kereta, pikiranku berada pada kesepakatanku dengan Nathan, aku sekarang mengambil bagian dalam sebuah peran penting sebagai tunangan gadungan. Di sisi lain, aku ingin sekali membuat Ibu pulih seperti sedia kala, penyakit kanker bukanlah penyakit yang bisa pulih begitu saja, tapi tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

Aku ingin merasakan kembali pelukan hangat seorang ibu, harapan akan kebaikan yang selalu dipancarkan seorang ibu lewat sinar matanya, untaian doa yang selalu di ucapkan seorang ibu dalam hati kepada anak anaknya. Ibu adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk setiap anak yang hadir di muka bumi, bolehkan aku merasakan sedikit kenyamanan di balik sayap malaikatmu ibu ?

Aku mempercepat langkah kakiku, memasuki station Josephsplatz Train Station, ada meeting online menantiku di rumah, jam menunjukkan pukul 14.40 waktu Germany, yang berarti pukul 9.40 waktu Jakarta, yang berarti meeting akan di mulai dalam 20 menit.

Aku melangkahkan kaki ke dalam gerbong kereta, memegang tiang besi dalam kereta dan memutuskan untuk berdiri saja dan tidak mengambil tempat duduk, mengingat jarak menuju station ke tempat apartemenku berada hanya 2 kali pemberhentian.

Aku kemudian melemparkan pandangan ke arah jendela kereta yang baru saja menutup pintu dan akan segera berangkat ke station selanjutnya, mataku beradu pandang dengan sesosok yang sepertinya kukenal di luar kereta, berdiri mematung menatapku, aku kaget dan sedikit panik, namun terlambat untuk keluar dan mengejar pria penguntit itu, pintu kereta sudah tertutup dan berjalan pelan. Aku hanya bisa menatapnya dengan pikiran penuh tanya.

Aku menuju apartemen dengan setengah berlari, ada perasaan takut dan penasaran bercampur menjadi kesatuan yang membingungkan, kutangkis segala pikiran buruk yang berusaha membuatku terperangkap dalam ketakutan. Secepatnya aku mengunci pintu rapat ketika sampai di apartement, sambil berusaha mengatur napas berusaha mengembalikan ketenanganku.

Damn, pria itu terus membuntutiku, haruskah aku melaporkan ke pihak yang berwajib bahwa aku di teror seorang pria dari kota ke kota ? Aku ingin sekali menelp dan mengadukan ke Valter, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk mengusiknya, aku harus mampu menenangkan diri dan menceritakan hal ini ketika dia pulang nanti.

Mungkinkah dia seorang psikopat yang mengejarku tanpa alasan pasti ? dan membunuhku ketika memperoleh kesempatan yang tepat ? Akankah ia mengikutiku hingga ke apartemen ? Bagaimana jika dia tiba tiba mengetuk pintu apartemen dan menjebolnya menemukanku disini. Berbagai pikiran buruk lalu lalang di benakku seolah berusaha mencuri ketenanganku.

Ah tidak mungkin, system keamanan di apartemen ini tidak mudah jebol begitu saja, orang tidak akan mudah mengakses lift jika tidak ada rekam sidik jari dari penghuni apartemen, pikirku dalam usaha menangkis semua kekhawatiran buruk yang lalu lalang dalam benak.

Aku harus kuat, aku tidak boleh takut dan berpikiran buruk, belum tentu apa yang kukhawatirkan itu terjadi.

🚝🚝🚝