Chereads / The Losing Time (Vampire origin) / Chapter 3 - Perusak Suasana

Chapter 3 - Perusak Suasana

Marry Shania berlari masuk ke bilik kamarnya. Menutup pintunya dengan keras.

"INI GILA!!!" pekik kerasnya, dengan napas berburu tak beraturan. Kenapa suara menakutkan dalam mimpinya seolah nyata, bahkan setelah dirinya terbangun. Menghapus air matanya yang mulai turun, tidak mungkin ia ketakutan karena hal itu.

"Aku tidak mungkin gila bukan?" gumam tanyanya pada diri sendiri. Walau berada ditempat remang-remang tidak mungkin ia menjadi gila hingga membuatnya berhalusinasi, pikir Marry.

Stop kontak. Tapi percuma juga ada stop kontak dirumah ini, lampunya juga dibuat redup, padahal ini siang hari. "Aku bukan terkurung di goa kelalawar!" kesalnya memainkan stop kontak dikamarnya dengan emosi.

'Apa nenekku seorang wanita yang memiliki selera yang buruk' pikir Marry, hingga setiap lorong dan ruangan dibuatnya redup. Padahal Mountela kota yang sudah mendapat sedikit sekali cahaya matahari, Marry jadi kesal memikirkannya.

'Hanya ada satu cara.' Pikir Marry Shania.

Marry Shania bergegas beranjak dari kamarnya, untuk menemui Salbi. Mencari disetiap lorong. Tidak jauh, syukurlah ia melihat gadis pucat itu sedang menata tanaman.

"Salbi." Panggi Marry. Membuat Salbi menoleh.

"Katakan pada Tuanmu, aku minta lampu. Apa dia pria tua yang tul__" Marry harus sedikit menahan amarahnya, ini semua karena suara aneh yang terus memanggil namanya.

"Katakan padanya, aku butuh lampu." Pintanya untuk kesekian kali, walau sepertinya belum 100 kali.

Salbi hanya memandang-nya, 'Oh Good' pikir Marry.

"Jika begitu, biar aku yang menemui tuanmu."

"Tidak!" cegah Selbi. "Aku bisa mengatakannya pada Tuan" ucap Salbi mencegah Marry untuk menemui sang Tuan.

"Jika begitu secepatnya kumohon. Aku benar-benar butuh lampu. Kau tentu juga tahu aku butuh menyelesaikan tugasku. Aku tidak pernah meminta apapun sebelumnya bukan? Hanya kali ini. Kau tahu seandainya saja aku punya_" dia malu untuk mengatakanya 'Uang' mungkin Marry akan membeli-nya sendiri. Tapi juga Marry tidak ingin mengambil resiko untuk keluar dari Rumah Kastil dan ditemukan antek-antek Gober. "Ku mohon," pinta Marry. Untuk pertama kalinya ia memegang tangan pucat Salbi. Membuat Salbi mengangguk waspada.

"Baiklah, terima kasih Sal," haru Marry Shania. Setidaknya masih ada seorang Salbi yang masih mampu untuk ia ajak bicara.

Merry meninggalkan Salbi, memegang tangan kuning langsatnya. 'Bagaimana bisa tangan Salbi sedingin itu?' pikir Marry Shania.

Sudah tiga hari, William mengabaikan permintaan gadis yang tak berhenti meminta lampu pada para abdinya. Untung saja ia sekarang tidak minat tertawa karena kelakuan Marry. William tidak berpikir untuk mengganti kediamannya menjadi istana cahaya, bisa sakit matanya.

Suara ketukan pintu terdengar. "Masuk," pinta William. Hanya Baron dan Smith abdi Vampir Slave yang ia percaya untuk bisa masuk ke ruang pribadinya, tapi tidak dengan ruang lubang hitam.

"Gadis itu meminta lampu kembali Tuan paduka. Jika tidak. Dia meminta untuk bertemu dengan anda."

'Lagi,' pikir William.

"Abaikan saja Baron. Jika gadis itu meminta lampu. Jangan pernah katakan hal itu lagi padaku. Satu kali kau beritahu aku saja sudah cukup. Sekarang keluarlah," Pinta William. "Dan Baron, ambil satu gelas darah untukku." Pinta William, setiap kali William melihat Marry Shania dari balik jendela lubang hitam tenggorokannya menjadi kering, terasa sangat haus.

"Aku ingin bertemu tuan-mu Salbi, aku mesti berbicara dengannya." Pinta Marry Shania yang diabaikan oleh Salbi. Marry tarik kembali ucapannya, bahkan Salbi sekarang tidak bisa diajak bicara. Marry meninggalkan Salbi untuk ia temui Tuan Baron.

Mengetuk ruangan Tuan Baron yang mempersilahkan Marry Shania masuk.

"Tuan Baron, jika tidak mendapat lampu kukatakan aku ingin bertemu dengan Tuan Paduka itu. Ayolah Tuan Baron. Kita memang tidak saling mengenal, tapi aku tahu kau cukup dekat dengan nenekku. Aku sedikit merasa aneh, bagaimana bisa rumah nenekku seketika dikuasai orang lain? Nenekku bilang kakekku sudah tiada. Tuan Paduka itu bukanlah Kakekku bukan? Tidak mungkin nenekku berbohong. Dan lagi, jika dia kakekku atau kakek tiriku. Tidak mungkin dia sepelit itu hanya untuk memberi cucunya sebuah lampu. Atau rumah ini sudah dijual! Tidak mungkinkan? Buktinya kau masih ada disini." Tidak ada jawaban, Tuan Baron hanya menatap nyalang Marry Shania. 'Ada apa dengannya?' pikir Marry heran.

"A. Aku tidak bermaksud menyinggung apapun. Aku hanya meminta lampu. Jadi Tuan Baron, kumohon. Kuminta secepatnya." Pinta Marry Shania. Setidaknya suasana cerah mungkin saja bisa membuat otak-nya jernih, dan suara aneh itu menghilang.

Marry Shiana segera keluar dari ruangan Tuan Baron, 'kenapa dia menatapku seperti itu?' heran Marry.

'Apa mungkin pikiranku benar?' Rumah neneknya telah dimanipulasi entah dijual atau bagaimana, yang pasti seseorang telah menguasainya.

'Aku harus mencari bukti kepemilikan rumah ini' pikir Marry Shania. Menyadarinya, ia harus bertindak cepat.

William kembali mendapat sebuah surat.

"Lily!" Marah William Dimitri, matanya menyala merah. Meremas kertas putih dengan barisan tulisan pekat tinta hitam.

'Dominic Klan Morgan, berhasil mencuri Ratu Ramosas. Kau puas? Mereka akan membunuh Ratu untuk menghancurkan Klan kita.'

Saudaramu, Louis Alenour.

William kalang kabut dibuatnya. "Apa yang harus kulakukan?" Lily-nya. Tidak mungkin.

Selalu saja gadis itu terlibat hal yang sama. Ia tidak mungkin membiarkan Lily-nya mati ditangan Morgan. Tapi ia sudah tidak bisa lagi melihat Zorgothi dalam Istana Rams.

Sementara, seharian ini Marry Shania disibukan dengan mencari akta Rumah Teresia Liam, neneknya. Mencari disetiap ruangan. Akhirnya ia menemukan kunci masuk ruang pribadi Teresia. Mencari disetiap lemari, mengobrak abrik banyak berkas, dan pada akhirnya ia menemukan sebuah brangkas.

"Aku tahu kau pasti disini!" senang Marry Shania, akhirnya. Dia menemukannya akte kepemilikan Rumah Kastil Teresia.

Dia punya bukti kuat jika Rumah Kastil ini belum terjual. Marry Shania berpikir harus berhati-hati walau ia sudah mendapat bukti. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya jika dia bertindak gegabah dengan marah-marah pada semua orang apalagi orang yang menguasai rumah neneknya. Jangan sampai lagi ia mendapat daftar tambahan orang yang ingin membunuh dirinya. Cukup si Gober, pamannya yang sudah gila.

Marry Shania memberanikan diri untuk melepas semua lampu redup disetiap lorong. "Sekalian saja kalian tidak bisa melihat apapun!" Ucap kesalnya, karena permintaan lampunya tak pernah ditanggapi sedikitpun. Marry melepas semua lampu yang terlihat didepan matanya sambil berjalan menuju ke kamar. Bukankah dari dulu sebenarnya ia tidak suka gelap? Tapi berhasil, tiga bulan ia bertahan. Jika saja tidak ada suara yang mengganggu, ia tidak akan memaksa meminta lampu. Dilihatnya lorong-lorong telah gelap gulita hitam pekat sekarang. Tenang saja, untuknya ia mendapat banyak senter yang ia taruh didalam tas saat menjelajahi banyak ruangan, mungkin ia bisa menerangi kamarnya menggunakan senter yang ia temukan, pikir Marry.

Marry Shaina tercengang saat membuka pintu kamarnya kembali.

Hanya ia tinggal dalam waktu 3 jam.

Lampu-lampu disetiap ruangan sudah diganti, dengan lampu baru yang sama redup-nya.

Untuk apa dia membawa tas gendong beratnya yang penuh dengan lampu dan senter serta obeng dan kawan-kawannya kemana-mana hanya agar tidak ada yang mengambil lampu-lampu yang ia copot.

Percuma saja.

"Jadi penguasa itu mempunyai banyak lampu tapi tidak mau memberikan satu lampu terang saja padaku. Tuan Paduka kurang ajar!" Sudah habis kesabaran Marry Shania, yang anehnya juga. Kenapa ia sampai tidak bisa menemukan cadangan lampu terang 15 watt saja satupun?

"Dimana tuan-mu Tuan Baron. Aku minta bertemu!"

Tidak menjawab, Tuan Baron melewatinya.

"Aku pemilik Rumah ini, berani sekali!" pekik Marry menatap kepergian Tuan Baron.

Tuan Baron menghentikan langkahnya. Lantas membalikan tubuh, menatap Marry Shania.

"Maaf Nona, tapi saat ini Tuan tidak bisa ditemui."

"Oh ya? Dimana dia? Bersembunyi? Dia pikir aku tidak bisa menemukannya. Kenapa tidak bisa bertemu? Apa dia sesibuk itu? Jika begitu aku yang akan menemuinya, akan kucari dia sampai dapat. Dan anda tenang saja, aku tidak pernah menggigit" ucap Marry Shania, lantas berbalik pergi.

"Nona Marry, ku usulkan lebih baik kau tidak menemuinya."

Seolah tidak peduli, Marry Shania tak berhenti. Tetap meneruskan langkah.

'Bagaimanapun aku harus menemui-nya.' Tekad Marry Shania sudah bulat.

Hanya dalam hitungan detik, Tuan Baron menemui William Dimitri.

"Gadis itu, sedang mencari anda Tuan." lapor Baron.

William Dimitri yang sejak tadi mencoba menenangkan diri memejamkan mata menumpang dagu dengan kedua tangannya, seketika mengangkat kepala.

"Biarkan saja dia datang Baron. Akan kubunuh dia" ucap tajam William, dengan mata menyala merah, tatapannya penuh kebencian menakutkan. Sudah sangat lama. 'Apa karena Marry Shania?' pikir Baron. Baron tidak pernah melihat William Dimitri tuan-nya semarah ini. Sedikit gentar. Baronpun lantas mengundurkan diri untuk kembali.

"Kemarilah. Marry Shania," bisik William Dimitri.

Berat dan menakutkan.

Marry Shania yang membuka setiap pintu membawa senternya terperanjat. Suara aneh itu datang kembali.

'Kemarilah,'

Membuka pintu demi pintu, dengan nyali yang mulai sedikit menciut karena suara itu menggema, berbisik mengganggu pikirannya.

" KAU YANG KEMARI!" Teriak jengah Marry Shania.

'Kemarilah.'

Marry Shania terus membuka pintu disetiap lorong. Lorong demi lorong. Hingga dirinya tiba dikamar atap.

Menemukan sebuah pintu putih dengan ukiran bunga Lily hitam yang indah.

Marry Shania, mendekat.

Memegang handel pintu.

Pintu berdecit terbuka.

Seorang pria yang ia kira tingginya 190 meter berdiri. Menjulang. Membelakanginya. Dalam kegelapan. Menunggunyakah?

"Permisi Tuan," panggil suara rendah Marry Shania.