Dexter hampir terbatuk, tetapi dia tetap mempertahankan ekspresi tampannya, "Matamu yang mana melihat tubuhku tidak bagus?"
"Uuh... Bukan itu maksudku." Kaili sudah tidak tahan lagi, dia langsung mengambil perlengkapan makan, "Aku lapar, aku mau makan!" sumpitnya langsung mengapit ikan crucian yang dimasak steam.
Dexter tertawa pelan melihat Kaili yang sudah tidak sungkan-sungkan lagi. Dia tidak tahan untuk mencibit, "Kau bahkan makan, tanpa membersihkan perlengkapan makanmu terlebih dulu?"
"Uuh... Bukannya ini semua sudah bersih? Restoran sebagus ini, dan sangat populer memangnya akan khawatir lagi dengan kebersihan?" Kaili tidak tergerak, dan langsung makan saja.
"Memangnya kalau restoran bagus, sudah pasti bersih? Biar bagaimanapun, perlengkapan makan ini mungkin yang sudah di cuci beberapa hari yang lalu, dan sudah terkena debu."
"Sangat sulit berbicara dengan seorang dokter. Lupakan tentang itu, aku mau makan!"
"Lihat di sumpitmu, ada noda apa itu?" Dexter mulai menjailinya.
"Haaa? Yang mana?"
Kaili memperhatikan sumpit tersebut, tidak ada yang aneh. Tetapi dia terlalu malas berdebat saat sedang makan, jadi biar menghindari Dexter yang terus berkomentar tentang kebersihan, dia pun berinisiatif untuk membersihkannya.
"Sangat terlambat! Sudah dipakai baru akan dibersihkan?" Dexter terus saja mencibir, "Aku sudah membersihkannya tadi. Lain kali makan di mana pun, harus bersihkan perlengkapan makan terlebih dulu sebelum memakainya! Dalam tubuh, perut manusia paling sensitif, hanya karena memakan makanan yang tidak sehat saja, bisa diare. Kau wanita, perhatikan lagi tentang hal ini. Ada satu kejadian, hanya karena terkena kuman di rahim, wanita kesulitan memiliki anak."
Mendengar nasihat Dexter, makanan yang ada di depan mata pun tidak lagi menarik. Demi Tuhan, apakah harus seperti ini ketika bersuamikan seorang dokter? Nafsu makan Kaili benar-benar rontok.
Dexter tidak memerhatikan perubahan sikap Kaili, dan malah berkata, "Habiskan semuanya!"
Kaili meletakkan sumpitnya, "Mendadak perutku sakit!"
"Jika begitu pergilah ke toilet. Yang seperti itu juga harus dikatakan?"
"Apa kau tidak takut, perutku yang sakit ini karena keracunan perlengkapan makan yang tidak higienis?"
"Tidak! Para racun yang takut padamu, kamu sudah sejahat itu, mana berani mereka menerjangmu?"
Kaili melotot kesal. Pria ini memang tidak bisa berbicara baik-baik!
"Makanlah. Jika tidak habis, maka kau yang akan membayar ini." Dexter tahu, Kaili tidak punya uang, jadi dia menekan hal itu. Sekilas, tadi dia melihat kalau Kaili sudah tidak berniat makan. Dia tidak tahu penyebabnya, tetapi dia tidak menginginkan jika nafsu makan Kaili sampai berkurang.
Suasana makan malam begitu sangat romantis, belum lagi kondisi yang mendukung. Di samping meja mereka, ada sebuah taman kecil, dipenuhi banyak sekali bunga-bunga. Tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah, di antara bunga-bunga tersebut, ada aroma semerbak bunga gardenia yang lebih mendominasi ruangan, menembus masuk hingga ke pernapasan. Aroma wangi yang elegan, membuat orang yang menciumnya akan merasa aman.
Ya, Kaili sangat menyukai bunga Gardenia. Dia dan gardenia bagaikan satu kesatuan. Bahkan orang yang mengenalnya, tiap kali mencium aroma gardenia, akan menghubungkannya dengan Kaili. Aroma ini telah menemani tubuh Kaili sejak remaja.
Beberapa hari yang lalu, saat Kaili ke sini, taman mini ini masih belum memiliki jenis bunga gardenia, hanya selang beberapa hari, bahkan bunga tersebut sudah mekar, mempertunjukkan kelopaknya yang indah, perpaduan warna putih susu dan kuning pucat, penuh dengan aura gadis remaja.
Ini terlalu kebetulan, bukan? Apakah Dexter yang dengan sengaja menyiapkan makam malam ini?
Namun, hanya sesaat pikiran itu terlintas di benak Kaili, dia langsung menepiskannya. Mengingat status Dexter, mustahil bukan bisa melakukan hal ini?
Apa pun itu, kebetulan atau memang disengaja, itu bukan hal yang penting. Kaili sangat menikmati momen mereka, dia benar-benar bahagia. Bahkan dalam mimpi sekalipun, Kaili mana berani berharap kalau hari ini akan terjadi, akan ada waktu, dia dan Dexter duduk dan makan dalam satu meja.
"Melihat tubuhmu yang kurus, aku tidak menyangka kau bisa makan begitu banyak!" Cibiran itu menghentikan dunia fantasi Kaili, dan membawanya kembali ke dunia yang nyata.
Deg!
Sialan, tadi dia sudah memperingati dirinya agar tidak makan banyak, terutama di depan Dexter, tetapi perutnya malah seenaknya mengkhianatinya.
Kaili kikuk sekali, apalagi melihat tampang Dexter yang tidak akan berhenti jika tidak membuat Kaili malu. Kaili menyeka mulut, dengan bersikap elegan, layaknya putri seorang pengusaha kaya, Kaili menggerakkan bibir masih sedikit bengkak karena ciuman panas beruntun tadi, dan berkata, "Orang adalah besi, dan nasi adalah baja, tidak makan tentu saja lapar!"
"Lapar? Oh, ya? Tadi sepertinya aku mendengar seseorang berkata, 'aku tidak lapar'."
Kaili menggeram, dia tahu Dexter tidak akan cukup sampai di sini, "Sepertinya kau sudah bisa pergi ke dokter THT, periksa telingamu, barangkali ada sesuatu yang menyumbatnya. Jelas-jelas aku berkata, aku sudah makan, bukan aku tidak lapar."
Dexter tidak melepaskannya, memangnya Kaili akan menyerah? Jelas, tidak akan!
"Dibanding lapar, aku malah melihatmu seperti seseorang yang rakus!" Dexter mencemooh, pandangannya menghina.
Blush.... Tidak ada yang baik memang yang keluar dari mulut Dexter. Padahal bibirnya sangat seksi, tipis dan menggiurkan, tetapi kenapa yang terucap dari bibirnya malah hal omong kosong semua? Kaili menggeleng-geleng kepala dan tidak ingin memedulikan dia lagi.
Dari pada menjawab omong kosong Dexter yang tidak ada habisnya, lebih baik Kaili mengungkapkan isi hati, "Dexter ... sungguh, terima kasih banyak."
Saat mengatakan itu, Kaili menatap mata pria yang ada di depannya. Suaranya pun terdengar sangat seksi sampai di telinga Dexter, membuat Dexter mau tidak mau melepaskan tampang dinginnya. Sudut bibirnya terangkat.
Tetapi reaksi Dexter itu hanya sekilas, 3 detik setelahnya, dia kembali memasang tampang yang tenang, layaknya tidak tertarik dengan perkataan Kaili, tidak lupa, keningnya dikerutkan, "Terima kasih? Buat apa?"
"Buat...." Kaili diam, dia enggan melanjutkan perkataannya. Takut jika Dexter malah memandangnya rendah. Namun, bukankah dia telah bertekat akan menerima semua kemarahan Dexter karena perbuatannya di masa lalu?
Setelah menegakkan keyakinan, Kaili mengangkat wajah dan menatap Dexter. "Untuk apa, masih perlu dikatakankah? Suamiku pasti tahu."
Ketika Kaili memanggilnya kembali dengan sebutan 'suami' hanya dua kata yang terbesit dalam pikiran Dexter, 'Si Centil Manis', tetapi dia senang dengan panggilan itu.
Namun biar begitu, Dexter tetap cuek menjawab, "Aku tidak mengerti dengan yang kau katakan!"
Kaili : "..."
Kaili pun tidak ingin menjelaskan lebih detail, dia merasa Dexter memang sengaja berpura-pura tidak tahu. Tetapi dalam pikiran Kaili sejak tadi selalu saja timbul sebuah pertanyaan. Dia tidak akan tenang jika tidak menanyakan hal ini.
"Dexter...."
Panggilan Kaili menghentikan bunyi Peralatan makan.