"Isabella! Apa yang sedang kau lakukan!"
Naomi, seorang guru Seni Rupa dengan usianya yang masih dua puluh empat tahun. Dia sedang memandang David dengan mata memicing dari balik kacamatanya.
Naomi mengambil buku David yang sudah berada dalam dekapan dengan satu tangannya, sedangkan satu tangan lainnya merentang lurus kearah meja. Dia harus membungkuk agar bisa melihat wajah Isabella saat itu.
Rambut Naomi panjang dengan warna cokelat gelap yang bergelombang, dan saat ia membungkuk sebagian rambutnya justru melewati bahunya. Sepasang mata cokelat yang indah itu menatap wajah David, wajah yang sebenarnya milik dari Isabella.
"Isabella! Hh..! Kau tidak pura-pura tuli, kan?" Naomi menjulurkan satu tangannya ke arah wajah David, "Ah... ternyata ini yang membuat kau tidak bisa fokus! Sejak kapan kau memakai earphone ini?"
"Hah..! Apa...! Kembalikan itu milikku!" ucap David yang sudah sadar dari lamunannya. Dia beranjak bangun dari duduknya, dengan kedua tangan yang sudah menjulur ke arah guru Seni Rupa tersebut.
"Kau tidak boleh menggunakan alat ini saat kau masih berada dalam pelajaran, Bella! Dan dengan siapa kau sedang terhubung!" Naomi yang penasaran memasang earphone tersebut di telinga kananya.
"Jangan! Kau tidak bisa melakukan itu! Kau... sial...!" umpat David tanpa ia sadari.
"Bella! Apa kau baru saja mengumpat kepadaku! Aku akan memberikan hukuman kepadamu atas ucapan kasarmu! Dan... Halo... dengan siapa aku berbicara?" tanya Naomi mencoba untuk berbicara.
Jauh disana di sebuah ruang pertemuan, Isabella yang berada didalam tubuh ayahnya terkejut ketika mendengar suara guru yang ia kenal.
"Miss. Naomi? Itu kau?" celetuknya tiba-tiba. Padahal saat itu ruang pertemuan sangat hening, dan semua mata memandang ke arahnya dengan heran.
"Apa? Kau... kau tahu namaku. Siapa ini?" Naomi berucap lebih galak. Dia tidak peduli jika ada Isabella yang terus saja mencoba meraih alat komunikasi yang sedang digunakannya.
"Isabella, apa bisa duduk dengan tenang. Aku ingin tahu, dengan siapa kau berbicara!" ucap Naomi dengan tegas dan memberikan satu telunjuknya ke arah wajah David.
"Apa! Tidak... berikan itu padaku!" Teriak David dengan kesal.
"Tunggu, ada apa sebenarnya!" Isabella berdiri dengan tiba-tiba. Dan terlihat sangat aneh, karena di ruang pertemuan itu hanya ada dia saja yang berdiri.
Ryan melihat sosok David dengan bingung. "Ehem..." dia berdeham keras sambil tersenyum karena tingkah David yang aneh. "Apa ada masalah, David?"
"Uhmm... Tidak ada. Dan Miss. Naomi, aku adalah ayah Isabella. Apa kau bisa membiarkan aku berbicara dengan putriku?" tanya Isabella dan akhirnya dia mulai memainkan perannya.
"Apa? Kau menghubungi putrimu disaat kita sedang rapat?" Celetuk Ryan hampir tidak percaya.
"Ssst... Hei... pria tampan. Apa kau bisa diam sebentar, telepon ini sangat penting!" Isabella memberikan satu telunjuknya ke arah wajah Ryan.
Pria itu menatap semakin tercengang, tapi Ryan menurut dan tidak lagi bertanya.
Isabella sudah bisa untuk fokus kembali berbicara saat itu, "Jadi... dimana dia... Uhm... maksudku putriku, Isabella," lanjutnya berbicara dengan Naomi.
"Maaf sekali. Tapi kau tidak bisa menghubungi putrimu sesuka hati di jam pelajaran," jawab Naomi kesal. "Dan..."
"Tut..."
"Halo... halo...?!" Naomi lebih terkejut ketika dia sadar sudah tidak lagi berbicara dengan sosok yang ia anggap sebagai ayah Isabella.
Ternyata David sudah mematikan melalui ponselnywa, "Untung saja, jika tidak bisa gawat tadi," batinnya sambil menyeringai ke arah Naomi.
"Maafkan aku, Miss. Naomi," ucap David berusaha untuk menunjukkan wajah bersalahnya.
"Aku tahu kau tidak bersungguh-sungguh menyesal dengan pebuatanmu barusan. Setelah selesai jam pelajaran ini, kau harus menghadapku di ruang guru. Apa kau paham, Nona Bella?" Naomi memicingkan matanya lebih tajam dan Bella segera mengangguk cepat.
Ethan melihat Isabella dengan tatapan yang terkejut karena sudah seharian ini sahabat baiknya bersikap aneh. Robby menoleh ke arah Ethan, "Ada apa dengannya hari ini. Dia aneh sekali, sih?"
"Mana aku tahu. Aku tidak berani bertanya dengannya, kau lihat, kan! Mood-nya sungguh buruk hari ini," jawab Ethan sambil mengangkat kedua bahunya.
Lalu kedua siswa tersebut menoleh ke arah Isabella bersamaan. Ternyata anak perempuan itu sedang memandangi keduanya dengan wajah geram dan kesal. David menggunakan dua jarinya sendiri, lalu ia membuat gerakan seolah sedang mengiris tenggorokannya.
"Awas saja kalian!" ucap David tanpa bersuara, dan menggunakan mimik wajah psycopat.
***
Ruang Pertemuan masih sunyi, ketika semua tatapan mata mengarah pada sosok David yang masih saja menggerutu tidak jelas.
"Apa dia membuat masalah di sekolah! Awas saja kau, ayah!" Gerutu Isabella kesal.
"David?" Ryan berusaha memanggil tap usahanya sia-sia, karena Isabella belum tersadar dari lamunannya.
"David?!" Kali ini Ryan memangil dengan suara yang lebih lantang.
"YA!" Isabella terkejut dan membuat ekspersi yang kesal. "Kenapa kau berteriak seperti itu!"
"Maaf sekali, David. Tapi apa kita bisa melanjutkan rapat ini?" tanyanya lagi dengan wajah yang lebih serius dari sebelumnya.
"Hhh... sebenarnya apa yang kau inginkan dari rapat ini?" tanya Isabella dan sudah tampak frustasi.
"Tentu saja keputusan dari hasil rapat ini. Jadi... apa kau setuju dengan semua pengajuanku, karena jika tidak, kita harus..."
"Berhenti menjelaskan!" Isabella lagi-lagi memberikan satu telunjuknya yang menunjuk kearah Ryan.
"Aku setuju, jadi... kita akhiri rapat hari ini," lanjut Isabella menjawab.
"Apa? Kau... kau tidak gila, kan!" Ryan lebih tidak percaya dengan jawaban dari viralnya. Selama dia mengenal David, pria itu selalu saja bertentangan dengan setiap keputusannya.
"Kau ini aneh sekali, sih! Mungkin kau yang gila, kau dengarkan apa yang aku katakan barusan!" Isabella berjalan mendekat ke arah Ryan. Dia meraih tangannya, dan memberikan jabat tangan yang erat pada pria yang masih memandanginya dengan heran.
"Untuk apa ini?" tanya Ryan heran.
"Bukankah orang dewasa senang berjabat tangan. Dan ini artinya aku harus mengakhiri pertemuan kita," jawab Isabella seraya mengedipkan matanya dengan sikap yang terlalu ceria.
"Dan kalian semua," Isabella menatap kearah peserta rapat yang sama bingungnya. "Rapat sudah selesai. Maaf jika aku harus mengakhiri pertemuan hari ini. Karena... karena..." dia tampak berpikir untuk membuat alasan.
"Karena apa?" Ryan menimpali dengan kerutan yang masih terlihat jelas pada keningnya, merasa sangat aneh dengan sikap David hari itu.
"Karena... ada hal lain yang sangat... sangat... sangat penting dan harus aku urus segera mungkin," lanjut Isabella menjelaskan.
Setelah menyampaikan pidato dan salam perpisahan yang terlalu singkat. Isabella segera meninggalkan ruang pertemuan, bahkan dia sudah keluar dari Gedung Mahendra. Menaiki mobilnya bersama dengan supir pribadi yang akan membawanya ke suatu tempat.
***
Sekolah.
David berjalan dengan memasang wajah masamnya. Tidak ada waktu istirahat yang bisa ia nikmati, ketika perintah dari seorang guru yang merupakan wali kelasnya sendiri.
Jam makan siang hari itu dia harus bertemu dengan Naomi, menjelaskan dan mempertanggungjawabkan kesalahan yang sudah ia perbuat.
"Sial! Aku seorang David Mahendra. Harus berada di ruang guru?!" gerutunya kesal saat ia baru saja tiba di depan pintu masuk ruang guru.
"Cih... baiklah. Kita akhiri hari ini juga, terserah dia saja mau berbicara apa," ucap David kesal dan membusungkan dadanya dengan tinggi, sambil memasang wajah angkuhnya.