Chereads / My Coldest CEO / Chapter 17 - Enam belas

Chapter 17 - Enam belas

Bronx Zoo

2300 Southern Blvd, The Bronx, NY 10460, Amerika Serikat.

Tempat rekreasi dan konservasi bagi kehidupan liar di New York. Tempat yang digunakan untuk belajar dan melihat keanekaragaman dari seluruh dunia. Bronx Zoo terdiri lebih dari 6000 binatang yang menempati habitat alami dengan luas sekitar 265 acres (170 ha). 

Paula menggenggam erat tangan Vrans. Hari ini adalah hari kedua dirinya di New York dan ia meminta tour keliling tempat wisata kepada Vrans sambil merengek tiada henti. Tentu saja laki-laki itu tidak bisa menolak keinginan sahabatnya ini. Klarisa dan Paula adalah kesatuan yang membuat hidupnya bewarna. Jadi apapun yang mereka minta, tidak ada alasan untuk menolaknya.

Dengan antusias, Paula melihat beraneka macam satwa yang ada disini. Matanya berbinar begitu melihat bronx river. Ia segera meminta bantuan orang lain untuk memotret dirinya dengan Vrans. Membuat Vrans hanya terkekeh melihat tingkah Paula.

Mereka melakukan banyak gaya. Menjulurkan lidah, merangkul satu sama lain -- ya walaupun Paula tidak sampai merangkul Vrans karena tinggi badannya yang kalah dengan laki-laki itu, Vrans yang mengelus puncak kepala Paula dan terakhir gadis itu memeluk tubuh Vrans dengan erat.

Setelah berterima kasih kepada orang yang memotret dirinya dengan Vrans, ia kembali menyatukan jemarinya dengan laki-laki itu. Ia berjanji tidak akan melepaskan genggaman ini lagi.

Mata Paula kembali berbinar melihat harimau besar yang sedang mengaum. Dengan segera ia meminta pada Vrans untuk memotret dirinya dengan harimau tersebut, tentu saja foto jarak jauh.

Paula menjulurkan lidahnya dan menaruh kedua telapak tangannya di samping telinga.

Cekrek

Paula berkacak pinggang sambil mengubah raut wajahnya menjadi semenyeramkan mungkin.

Cekrek

Paula mengubah posenya menjadi tersenyum, membuat matanya menyipit sambil mengangkat kedua jarinya ke arah kamera.

Cekrek

Paula tersenyum senang melihat hasil foto yang sangat bagus. Diam-diam, Vrans menatap lekat wajah Paula. Rasanya masih sama saja seperti dulu, ia menyayangi Paula sebagai sahabat, tidak lebih. Namun ia segera mengangkat bahunya acuh dan melangkah mendekati kandang harimau untuk melihat jelas aktifitas apa yang sedang hewan itu lakukan.

Drtt..

Drtt..

Paula mengangkat sebelah alisnya.

Pluto is calling...

Ia menoleh hendak memanggil Vrans, namun melihat Vrans yang sedang serius memperhatikan harimau dengan sangat lekat membuatnya mengurungkan niat. Baiklah, ia akan mengangkatnya. Jika penting ia akan memberitahu Vrans nanti.

"BOSAYANG!"

"MAAFIN XENA YA!"

"HABISNYA KAMU NGESELIN BANGET SIH!"

"MASA PELUK ORANG LAIN DI DEPAN AKU, DASAR JAHAT, HUH!"

"AKU MINTA MAAF KARENA CUEK SAMA KAMU KEMARIN."

"MAAF YA!"

Raut wajah Paula menjadi datar.

Oh jadi namanya Xena? pikir Paula

"Maaf ini siapa?"

Tidak ada jawaban. Hening seketika. Baru saja ia ingin mematikan sambungan ponselnya, Vrans mengambil benda pipih itu dari genggamannya. Astaga ia takut Vrans marah karena lancang mengangkat telepon dari ponselnya.

"Halo." Ucap Vrans dengan nada dingin.

"Hai, Vrans. Kamu kenapa absen ke kantor? Dan tadi, siapa yang mengangkat ponselnya?" Terdengar lirihan dari seberang sana.

Jujur saja Vrans senang Xena menelepon dirinya, tapi rasa kesal membekukan kembali rasa senang itu. Bayangkan saja gadis itu tidak mengirimi dirinya pesan yang biasanya selalu memenuhi notifikasi ponselnya.

"Bukan urusan kamu."

"Tapi Vrans, kenapa...?"

Suara di seberang sana kian serak.

"Apa?"

"Aku membawakan makan siang untuk kamu."

"Makan saja."

"Tapi kan ini untuk kamu, Vrans."

"Buang."

Terdengar lagi suara helaan napas dari seberang sana.

"Yasudah besok masuk ya, aku akan buatkan kamu sepotong sandw--"

Pip

Vrans mematikan sambungan teleponnya dengan sepihak. Ia menatap datar ponselnya lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Ia menoleh ke arah Paula dan mendapati wajah gadis itu yang menatapnya dengan takut, kristal bening juga mulai menumpuk di kelopak matanya. Ia tersenyum, Paula selalu saja seperti ini. Ia tau niat gadis ini baik, dan dirinya juga tidak berhak untuk marah.

"Jangan takut." Ucap Vrans sambil menggenggam tangan Paula dengan senyuman.

...

"Aku bilang juga apa."

"Apa?"

"Ya apa?"

"Ih Erica apa sih!"

"Berisik."

"Erica ih dengarkan dulu!"

Xena mengerutkan bibirnya sebal, sambil melirik ke arah sahabatnya yang masih saja fokus mengerjakan pekerjaannya. Padahal dirinya lagi bercerai tentang kejadian dirinya yang tadi menelpon Vrans.

"Iya aku mendengarnya."

"Coba, apa yang kamu pahami?" Tanya Xena merasa kesal dengan Erica yang memilih fokus dengan laptop daripada ceritanya.

Erica menghela napasnya. Jujur ia memang belum pernah berada di dalam sebuah hubungan yang di dasari oleh cinta dan kasih sayang. Tapi ia tahu betul efek cinta itu luar biasa. Ia juga dapat menyimpulkan dari kisah kedua sahabatnya --Xena dan Orlin, ia menjadi pakar cinta yang lumayan hebat. Tapi untuk mengatasi gadis yang satu ini, ia menjadi sosok yang lemah dalam urusan percintaan. Xena benar-benar keras kepala.

"Yang mengangkat telpon mu tadi itu seorang gadis kan? Terus kamu beradu mulut sama Vrans mengenai bekal makan siang. Aku cukup mendengarnya, Xena." Ucap Erica sambil memakan kentang goreng yang di belikan Xena untuknya.

Xena mengacak rambutnya. Ia kini menyandarkan tubuhnya di sofa. Entah kenapa gadis malas seperti dirinya bisa bertahan dan di pertahanan dengan baik oleh Leo.

"ARGHHHHHH SIAPA SIH DIA?!"

Erica memutar bola matanya kesal. "Biarin aja sih Na, lagipula Vrans bukan siapa-siapa kamu."

"Vrans bukan siapa-siapa kamu".

Tubuh Xena menegang. Benar kata Erica, bahkan untuk cemburu saja ia tidak pantas. Semua ini hanya halusinasinya menjadi kekasih laki-laki itu, bahkan perasaan Vrans untuknya ia sama sekali tidak tau. Ia sama sekali tidak berhak untuk mengakui Vrans sebagai miliknya, seharusnya ia sadar akan hal itu.

Xena menatap secarik surat yang akan ia letakkan nanti sepulang kerja di ruangan Vrans. Surat yang sudah mati-matian ia rancang sedemikian rupa. Ia hanya ingin Vrans mengetahui tentang keseriusan yang dirasakannya. Mengecup surat itu, meninggalkan jejak bibir berwarna merah membuktikan surat itu sangat berharga.

Brak

Xena maupun Erica terkejut. Pintu ruangan mereka terbuka dengan kasar dan menampilkan sosok Orlin yang sudah menatap tajam ke arah Xena. Tangan kanannya sudah menggenggam amplop bewarna coklat, ia menutup pintu kembali dan mendekati Xena.

Erica menatap mereka dengan heran. Persahabatan mereka cukup berlangsung lama dibandingkan dengan dirinya. Lalu apa yang membuat mereka seperti ini? Lebih tepatnya, apa yang membuat Orlin seperti ini?

"Aku harus bilang sama kamu berapa kali, hah?!" Ucap Orlin sambil membuang kasar amplop coklat itu ke tubuh Xena.

Xena membuka amplop itu dan terkejut mendapati dirinya dan Niel sedang berpelukan, ia sangat ingat ini dimana Niel bertemu dengannya secara tidak sengaja saat ini kerumahnya untuk membatalkan pendekatan dengan dirinya. Bukan hanya itu, terlihat juga mereka berpegangan tangan layaknya seorang kekasih.

Xena menggeleng tidak percaya. Siapa yang mengirimi ini semua pada Orlin?

"Ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan, Lin."

"Aku tidak bodoh ya, Na."

"Tap--"

"Aku kecewa sama kamu."

"Tap--"

"AKU HARUS GIMANA LAGI BILANG SAMA KAMU MENGENAI HAL INI, XENA!" Teriak Orlin dengan wajah yang sudah dipenuhi air mata. Erica yang tadi hanya menyaksikan, ia mulai berjalan mendekati Orlin dan menenangkan gadis itu. Orlin terlihat sangat berantakan.

Xena menggeleng, air mata menetes membasahi pipinya.

"Kamu salah paham, Orlin!"

"Apa lagi yang kurang aku pahami, Na. Semuanya udah jelas, kamu cuma gadis beruntung yang bisa dapat apapun yang kamu mau. Sedangkan aku, kita semua, harus bersusah payah untuk mendapatkannya."

"Dengerin aku dulu, Lin."

"Kamu tidak lebih dari kata sampah!"

Dada Xena berkali-kali lipat lebih sakit mendengar apa yang di katakan Orlin padanya. Kali ini terasa lebih sakit dibandingkan dengan semua perilaku Vrans padanya. Ia beranjak dari duduknya dan berlari meninggalkan Orlin juga Erica, langkah kakinya membawanya menjauh dari gedung pencakar langit itu. Langkahnya kian gontai.

Siapa yang berbuat sejahat ini padanya?

Ia memejamkan matanya menahan semua sakit yang ia rasakan. Berusaha untuk tidak terbawa suasana. Tapi sialnya sangat sulit. Sulit sekali. Ia membuka matanya, namun penglihatannya bertubrukan dengan mobil hitam tanpa plat nomor kendaraan melaju kencang ke arahnya.

Brak

Semuanya menjadi gelap dalam seketika.

💌

Dear Vrans Moreo Luis,

Sifat dingin kamu,

Menarik paksa rasa ingin tahuku untuk mengenalmu lebih dalam.

Semua perlakuan kamu,

Membuat diriku semakin kuat menerima kenyataan dan menelan rasa pahit berjuang sendirian.

Penolakan kamu,

Adalah sebuah semangat dan harapan bagiku. Berharap dengan sifat ku ini, kamu dapat menyimpulkan suatu hari nanti jika kamu mencintaiku juga.

Menanti kamu,

Adalah hobi baruku yang aku isi di luar waktu luang dan di dalam waktu luang ku.

Memikirkan kamu,

Membuat diriku melayang, dan membuatku tidak bisa tertidur setiap malamnya.

Memiliki kamu,

Merupakan impian terindahku

Jika suatu saat nanti, aku melupakanmu, kuatkan pada dirimu, jika di dalam dasar hatiku masih jelas terukir namamu. Jadi, jika saat itu terjadi, tolong perjuangkan aku seperti aku memperjuangkan kamu selama ini.

Terimakasih satu bulan tanpa balasan kasih sayang darimu.

Aku senang jika kita sudah sempat sedekat ini, sebelum kamu dengan mudahnya meninggalkan aku bersama gadis lain.

Percayalah, aku baik-baik saja.

Salam hangat,

Xena Carleta Anderson.

️💌

...

Next chapter...

❤️❤️❤️❤️❤️❤️