Vrans menyesap sebatang rokok yang sudah terselip di jarinya. Ia menikmati semilir angin di rooftop mansion-nya. Dengan segala pikiran yang sudah menjelajah kemana-mana membuat dirinya semakin pusing merasakan penat yang teramat. Bayangan Klarisa seolah-olah menghantui dirinya setiap waktu, tidak kenal tempat.
Drtt..
Drtt..
Ia menoleh ke arah ponselnya. Nama 'Paula' terlihat di layar ponselnya. Dia adalah Paula Victoria Davinci. Salah satu sahabatnya dengan Klarisa di UCL, gadis yang mengagumi dirinya dalam diam dan selalu bersembunyi di status persahabatan, sama seperti dirinya.
Paula is calling..
"Hai, Paula." Ucap Vrans.
"Hai, apa kabar, Vrans? Padahal baru tiga hari kamu pindah ke New York, aku sudah rindu sama kamu." Ucap Paula di sebrang sana. Vrans yakin sahabatnya itu tengah mengerutkan bibirnya saat ini.
Vrans menyesap kembali rokoknya. "Aku baik disini. Sangat baik. Apa kamu sudah mendapatkan pekerjaan?"
"Belum, aku masih jadi ART di rumah sendiri. Habisnya aku bingung ingin bekerja dimana."
"Sebaiknya segeralah bekerja, Paula."
"Aku juga maunya seperti itu, tapi nanti siapa yang mengurus rumah?"
Vrans menggaruk tengkuknya. Benar juga apa yang dikatakan oleh Paula, mengingat Valleri --kakak Paula-- yang sudah tidak berada di dunia ini.
"Yasudah, jaga kesehatanmu."
Diseberang sana, terdengar paula terkekeh geli. "Selalu, dong!"
"ADA KABAR BAGUS, VRANS!" sambung Paula yang menjerit.
Laki-laki itu menjauhkan ponselnya dari telinga. Benar-benar Paula sama seperti Klarisa yang suka sekali berteriak.
"Apa?"
"Klarisa hamil, dan sepertinya ia akan melahirkan bayi kembar."
Deg
Sakit sekali dadanya kali ini. Napas Vrans memburu, matanya mulai memerah. Astaga kenapa sesakit ini? Harusnya ia senang, bukan? Tapi ini benar-benar menyakitkan, lebih sakit daripada mengetahui fakta jika cintanya tidak terbalaskan.
"Oh bagus deh, sudah dulu ya aku banyak kerjaan."
Pip
Vrans mematikan sambungan telpon secara sepihak. Ia melempar putung rokoknya dengan kasar sambil merapalkan kalimat kasar lainnya. Ia tidak tahan, ia benci dengan semuanya. Ia benci kenapa persahabatannya harus didasari dengan rasa sayang. Kenapa harus seperti ini?! Membayangkan Klarisa sudah disentuh oleh Damian membuat emosinya memuncak. Apa-apaan ini, seharusnya ia bahagia.
"SHIT!"
Ia mengacak rambutnya kasar. Apa belum cukup kisah percintaannya hancur berantakan? Apa ada lagi yang bisa lebih parah dari ini semua? Sungguh ia sangat menyayangi Klarisa. Matanya kini benar-benar memerah sampai secara tidak sadar air mata mulai membasahi wajahnya. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding, merasa lelah dengan semua perasaan ini. Ia menangis dalam diam. Klarisa, gadis pertama yang berhasil membuat dirinya selemah ini, serapuh ini. Dadanya sangat sakit sekali, ia berkali-kali mengacak rambutnya dengan kasar. Persetanan!
Cinta memang tidak harus memiliki, tapi ternyata sesakit ini ya, sial.
"AKU SAYANG KAMU, KLARISA!"
Dari awal, ia menyukai Klarisa secara diam-diam. Namun sialnya, sifatnya pada Klarisa memang sangat berbeda jika dibandingkan dengan sifatnya pada Paula. Ia memang menyembunyikan perasaannya, tapi ekspresi wajahnya sangat terang-terangan mengatakan jika dirinya menyukai Klarisa. Ia bodoh, ia menyesal kenapa tidak langsung bertindak sebelum Damian merebut gadisnya itu. Bahkan jika Klarisa dulu sudah dalam genggamannya, ia berjanji akan membantu perusahaan Daniel yang waktu itu sempat jatuh. Harusnya ia yang berada di posisi Damian saat ini.
Membayangkan segala hal tentang Klarisa membuat dirinya lemah. Ia kalah jika menyangkut dengan Klarisa. Ia rindu menjadi perisai pelindung untuk gadis itu. Benar kata Paula, baru tiga hari rasa rindu sudah menyeruak keseluruh rongga dadanya. Benar-benar menyakitkan!
Tapi ia juga tidak bisa menjadi penghalang bagi Damian dan Klarisa. Ia sudah bilang berkali-kali menjadi orang ketiga di hubungan orang lain sangatlah tidak keren. Merebut kebahagiaan orang lain? Bahkan seorang pelacur pun lebih baik daripada orang ketiga. Miris.
Sampai kapan pun, dirinya dan Klarisa hanya akan sebatas sahabat. Lagi-lagi mengingat hal itu membuat dadanya sakit. Tolong katakan pada Klarisa, siapapun, jika ia sangat rindu dengan sosoknya.
Atau ada yang ingin menggantikan posisi Klarisa di hati Vrans? Kalian mungkin?
...
CULTURE ESPRESSO
Atlas New York, NY 10018
72 West 38th St.
Hours :
Monday s/d Friday 7 a.m - 7 p.m
Saturday s/d Sunday 8 a.m - 7 p.m
Suasana cafe malam ini sangat ramai mengingat ini adalah malam minggu. Semua pasangan menghabiskan waktu di cafe untuk sekedar bercengkrama dan mengobrol santai.
Xena menyesap secangkir americano yang lima menit lalu disajikan untuknya. Ia melirik ke setiap sudut ruangan. Apa hanya dirinya disini yang sendirian?!
Astaga, sepertinya ia harus segera menjadikan Vrans kekasihnya!
"Permisi, nona."
Xena mendongakkan kepalanya menatap siapa yang menyapa dirinya. Seorang laki-laki yang cukup tampan, dan di tangannya menggenggam secangkir latte, mungkin?
"Sepertinya hanya kursi ini yang tersisa, bolehkah aku duduk disini? Itu juga jika kamu tidak keberatan." Ucap laki-laki itu dengan sopan sambil menunjuk bangku di seberangnya.
Ia meneliti sekitar, dan ya benar apa yang di katakan laki-laki itu. Kan sudah di bilang cafe ini sedang ramai-ramainya!
"Iya, boleh." Jawab Xena ramah.
"Namaku Nathaniel Gio Alvaro."
Xena yang memang sedari tadi sibuk bermain ponsel menelusuri kehidupan Vrans di media sosial, otomatis menoleh dan mendapati Niel yang mengulurkan tangannya.
"Xena Carleta Anderson." Ucap Xena sambil membalas jabat tangan Niel.
Niel mengerutkan dahinya. "Nama yang cukup unik, sama seperti orangnya."
Mendengar Niel mengatakan itu, Xena kembali mengingat segala tentang Vrans yang selalu menyebutnya dengan gadis yang aneh. Dan ia baru sadar, aneh dan unik beda tipis kan?
"Itu yang dikatakan kekasihku." Ucap Xena yang mulai mengaku jika ia memiliki kekasih. Siapa lagi kalau bukan Vrans kekasih idamannya? Sebentar lagi sepertinya Xena akan gila.
"Lalu mana kekasihmu?"
Xena menunjuk kepalanya. "Ada disini, dia ada di setiap waktu dipikiran ku. Bahkan sekarang aku sedang memikirkan dia."
Niel hanya mengangguk saja. Lalu setelah itu memilih untuk hanyut dalam hangatnya latte yang tadi ia pesan. Malam ini cuacanya sangat bagus. Sinar rembulan menerangi gelapnya malam, menambah suasana mendukung saat malam minggu seperti ini.
Kebahagiaan tersendiri, katanya.
Xena kembali hanyut ke dalam beberapa poto di akun sosial media milik laki-laki itu. Meneliti setiap postan. Ah sangat tampan sekali. Ia mengernyit melihat postan yang terakhir dipost tiga hari yang lalu.
@vransssss
(Vrans picture // Alvaro Mel)
vransssss cheers!
❤️10.567.335 likes
comment
@klarisavnya u look so cool
@vransssss that's right :/ @klarisavnya
@tommysteven ayo bersulang!
@giostan cool
@jessicamila ughhhh❤️
@wennysisca aw ganteng banget!!
@harlieyaps duh kamu single kan? Mending sama aku aja deh, Vrans
@jessiekriel IDAMAN BANGET❤️
@grisellaaurel lumer banget ngeliatnya huhu
@paulaaa sok ganteng :/
Dari sekian banyak komentar di postingan foto Vrans, hanya satu komentar saja yang ia respon. Dan itu, Klarisa Vanaya Wesley? Astaga ada apa mereka!
Xena dengan segera menelusuri akun milik Klarisa. Gadis itu cantik sekali dengan tubuh yang terbilang body goals. Ah tapi tubuh Xena tidak kalah goals, kok!
Namun kedua matanya fokus melihat postan terbaru dari gadis itu.
@klarisavnya
(Klarisa posting foto Vrans)
klarisavnya i miss u, my crazy boy
❤️ 10.256.900 likes
no comment
Dahi Xena semakin mengernyit ketika melihat Klarisa mematikan kolom komentarnya. Padahal di postan sebelumnya ia melihat jika Klarisa sudah memiliki kekasih. Lalu ini apa?
Siapakah Klarisa bagi hidup Vrans?
Sedekat apa mereka?
Apa mereka punya hubungan yang spesial?
Atau...
Klarisa selingkuh?
Ah tidak mungkin, Damian terlalu sempurna untuk diselingkuhi.
Lalu, apa ini?
Banyak sekali pertanyaan yang saat ini di pikirkan oleh dirinya. Ia semakin penasaran dengan sosok Vrans yang menurutnya sangat rumit untuk didekati.
...
Next chapter...
❤️❤️❤️❤️❤️❤️