Cica menatap Bintang yang tengah tidur pulas. Ia akan melancarkan aksinya. Cica membawa bantal dari rumah, dengan perlahan Cica mulai membekap Bintang hingga nafasnya terhenti.
'Biar hidup lo itu sama kayak gue sa, hilang kasih sayang dari orang tua. Dan lo berani nolak gue,' Cica tersenyum puas. Bersalah? Tidak, memang ini yang ia inginkan.
Cica tersenyum puas. "Antariksa, gimana ya perasaan lo saat kehilangan orang yang berharga?"
Masuk ke rumah Antariksa? Sangatlah mudah, jendela kamar Bintang terbuka ia masuk melalui itu. Rumah Antariksa sepi.
Setelah selesai, Cica akan merayakan kematian Bintang dari tangannya sendiri.
☁☁☁
Pengambilan rapot sudah selesai pada pukul 9 pagi. Seperti saat ini Antariksa menyetir mobil Aurel.
"Gimana tadi? Seneng ya?" tanya Aurel pada Rinai. Anaknya itu cemberut.
"Bosen," jawab Rinai ketus.
Antariksa meliriknya melalui kaca spion. 'Kamu kalau marah makin cantik ya Rin,' Antariksa ingin mencubit pipi gembul Rinai, saat marah pipi Rinai menggembung lucu.
"Jalan Anggrek ya nak, rumah tingkat dua pagar warna coklat sebelah warung kopi," sudah melewati lampu merah, dua menit lagi akan sampai di rumah Rinai.
'Kayak aku gak ada apa-apanya sama kamu Rin, cuman cowok sederhana,' batin Antariksa sendu. Mungkin derajatnya dengan Rinai itu tak seimbang. Tapi kalau sudah terlanjur cinta apapun kedudukannya tak ada yang membedakan.
"Disini aja, nanti biar pak Jamal yang masukin mobilnya di garasi,"
"Iya tante, saya boleh mampir nih?" seharusnya Aurel yang menawari itu. Rinai langsung melotot mendengar Antariksa mampir di rumahnya? Pasti mau menyebarkan kalau dirinya anak orang kaya.
"Boleh banget, ayo masuk,"
Rinai bertambah kesal, lebih baik ia mengurung diri di kamar.
Melihat Rinai yang melewatinya begitu saja Antariksa menyusulnya.
Rinai menutup pintu kamarnya, lalu di kunci. 'Ngapain ikutan juga?'
"Yah, padahal pingin ngomong sebentar aja,"
"Antariksa, kesini dulu nak," teriak Aurel dari ruang tamu.
"Iya tante ada apa?"
Aurel memberikan ponselnya. 'Semoga kamu kuat nak,' Aurel baru saja mendapatkan telepon dari Angkasa, teman bisnisnya di perusahaan.
"Pulang sekarang," suara Angkasa terdengar dingin, seperti menahan emosi.
"Baiklah yah. Tante, saya pamit pulang dulu ya," Antariksa salim kepada Aurel.
"Hati-hati ya nak. Biar sopir aja yang nganterin kamu pulang,"
Entahlah, Antariksa ingin tau mengapa ayahnya itu emosi. Dari suaranya ini tak main-main.
Dalam perjalanan menuju pulang, Antariksa tak berhenti memikirkan maksud ayahnya itu. Hanya kata pulang.
"Makasih ya pak," ujar Antariksa setelah ia sampai di pekarangan rumahnya.
Pak Jamal mengangguk. "Sama-sama den,"
Ketika Antariksa berbalik melihat rumahnya betapa terkejutnya saat ada bendera kuning, siapa yang meninggal?
Langkah Antariksa lemas, ia berusaha berpikir positif. Jangan sampai itu orang terdekatnya, bukan orang paling berharga.
Sudah masuk Angkasa menatap jenazah Bintang dengan wajah datarnya. Sedih? Tidak, Angkasa yakin pasti ada unsur kesengajaan.
Antariksa menatap ibunya berbalut kain kafan. Benarkah ini? Apakah hanya mimpi semata?
"Yah, ibu kenapa?" suara Antariksa serak, lalu air mata merembes tanpa permisi.
"Ibu kamu, meninggal. Aku tidak tau, penyebabnya apa. Bukankah tadi pagi ibumu baik-baik saja?"
"Iya yah, ibu demam. Tadi pagi aku ke sekolah ambil rapot,"
Angkasa semakin heran, siapa pelakunya?
Antariksa menggeleng, ia masih tak percaya. Tadi pagi adalah sesi curhatnya yang terakhir?
"Bu, cepet sembuh ya. Aku kangen omelan ibu, waktu masukin jemuran, goreng, nyapu, ngepel, belanja sayur,"
"Bu, apa aku yang hadir kesana? Kan orang tua,"
Sayang sekali, lebih baik Antariksa tak meninggalkan ibunya sendirian di rumah. 'Baru tau kalau jendela kamar tadi belum di tutup,' Antariksa melangkah ke kamar ibunya. Benar saja, semua pintu depan dan belakang rumahnya sudah di kunci.
Antariksa menatap ranjang itu, sedih. "Bu, maaf seharusnya aku tadi nemenin ibu di rumah,"
Antariksa menangis kembali, ia tak pernah mengira hidupnya akan kehilangan seorang ibu. Ibunya itu memang galak, tapi masih ada rasa sayang.
Tatapan Antariksa tajam, siapa yang berani melakukan ini?
Aurel mengetuk pintu kamar Rinai. "Rin, Antariksa lagi berduka. Kamu gak mau kesana?"
Rinai yang tadinya fokus melihat drakor pun mengernyit. Antariksa berduka?
"Kenapa ma? Emang siapa yang meninggal?" Rinai membuka pintunya. Cemas? Antariksa pasti sedih, sebenarnya Rinai malas ke rumahnya Antariksa, mau bagaimana lagi kalau Aurel yang menyuruhnya.
"Ibunya,"
Rinai langsung melangkah ke garasi mobil. "Kalau kamu nangis nanti ibu kamu gak bakalan seneng liat anaknya sedih," Rinai menyetir mobilnya mengebut.
Lampu merah Rinai terobos. Biarlah, sekarang adalah keadaan Antariksa.
Sesampainya di kediaman Antariksa, Rinai melangkah masuk. Angkasa masih memandangi istrinya.
"Maaf om, Antariksa dimana ya?"
"Kamar ibunya,"
"Kamu pasti kuat," ujar Rinai setelah ia di kamar Bintang. Antariksa berbaring memunggunginya.
"Gak bisa, Rin," Antariksa beranjak, menghampiri Rinai yang di ambang pintu.
Antariksa memeluk Rinai. "Rin, boleh gak kalau aku pinjam bahumu sebentar?"
Rinai mengangguk. "Boleh, nangis aja sepuasnya,"
Bahu Antariksa bergetar. Antariksa menangis kembali, kali ini air matanya lebih deras sampai kaos Rinai basah.
Rinai mengusap punggung Antariksa. "Mungkin ini cobaan terberat buat kamu sa. Ikhlasin aja ya,"
"Sulit Rin, semua moment ibu itu masih ingat. Ngepel, nyapu, jemuran, masak, goreng, ikan asin. Gimana mau ikhlasin Rin?"
Rinai ingin menoyor Antariksa, tapi ia tunda dulu. "Yaudah, mikirin aku aja,"
Antariksa menatap Rinai tak percaya, apakah ini Rinai ya?
"Seriusan? Makasih," Antariksa mengusap surai Rinai.
Rinai menyingkirkan tangan Antariksa. "Gak usah kepedean deh," Rinai kembali ke mode macan.
'Gitu dong, jangan sedih,'
"Seneng kan kalau aku mikirin kamu? Hm? Ngaku deh," Antariksa semakin menggoda Rinai.
"Udah ah mending pulang, ngapain kesini. Gue sebenarnya gak mau ya kesini," Rinai ingin pergi namun Antariksa meraih tangannya.
"Rin, makasih ya. Seenggaknya aku gak terlalu sedih kayak tadi," Antariksa tersenyum tipis.

Pipi Rinai merona, kenapa harus baper juga sih?
Antariksa mencolek pipinya. "Cie yang lagi blushing nih, baper kan?"
"Apaan sih, gue bukan sabun colek ya!" Rinai ingin pulang saja kalau Antariksa mode modus begini.
"Bukan sabun colek, sih. Tapi bidadari nyasar ke rumah aku," kalau Antariksa terus gombal Rinai lebih baik pulang.
Rinai masih mendengar tawa Antariksa, senang sekali membuatnya salah tingkah.
Di ruang tamu sudah sepi, mungkin jenazah Bintang sudah di kuburkan.
Rinai menghentikan langkahnya sejenak. "Akhirnya lo bisa bangkit seneng sa,"
"Tunggu, kenapa tadi manggilnya aku-kamu ya? Aish, Antariksa tambah ge'er nanti. Bodoh ah, awas aja kalau panggilan aku-kamu di ungkit-ungkit,"
Di kamar ibunya Antariksa kembali sedih, ia tak menangis. Kehadiran Rinai mengusir kesedihannya sebentar.
Antariksa menatap Rinai dari jendela. Kenapa Rinai belum pulang juga?
"Rin, makasih ya. Sama panggilan aku-kamu yang tadi," Antariksa ingin tertawa saja saat itu, namun ia tahan harum stroberi rambut Rinai membuat Antariksa tenang.
☁☁☁