"Aku bawa sisir kok," Antariksa mengeluarkan sisir di saku seragamnya.
"Sini, deketan. Hehe, maaf ya,"
Rinai menurut, Antariksa menyisirnya pelan, hingga rambut Rinai seperti dari salon.
"Selesai, tuan putri Rinai tambah cantik," puji Antariksa. Putri di hatimu ya mas?
"Udah ah, ayo gabung sama yang lain," Rinai beranjak namun Antariksa meraih tangannya. "Apalagi?!" geramnya.
"Sebentar lagi ada materi tambahan," tatapan Antariksa yang membuat hatu Rinai berdesir. Tidak, cinta datang tiba-tiba itu tidak baik, Rinai masih ragu.
"Buruan dong," Rinai juga ingin merasakan dinginnya air terjun ini.
"Ambalan, satu, dua ti-," perintah Antariksa untuk berbaris berderet membuat para Ambalan yang tadinya asyik bermain air kini berlari tergesa-gesa, tak sesuai kelas.
"Materi tambahan kali ini adalah kalian akan menjadi Bantara, tapi tidak semudah itu. Ada buku syarat-syarat kecakapan umum golongan penegak, di isi dengan sungguh-sungguh. Bukunya besok saya bagikan, jadi persiapkan diri kalian. Sepulang sekolah, bisa berkumpul di kelas Mipa 2. Semuanya faham?"
"Siap, faham kak,"
"Jangan sampai ada sampah sisa makanan yang kalian bawa, mohon di simpan di saku. Nanti di sekolah di buang di tempat sampah. Kalian boleh bersenang-senang dengan dinginnya air terjun,"
Semuanya bersorak gembira, kembali menceburkan dirinya.
Berbeda dengan Rinai, kakinya yang baru menyentuh air saja sudah dingin. "Ntar masuk angin, gak deh,"
Antariksa menghampiri Rinai. "Gak bakalan, ayo sama aku," Antariksa menarik tangan Rinai. Keduanya menceburkan diri di air.
"Wah, seger juga ya," Rinai mencipratkan air itu di wajah Antariksa.
"Eh, mau main air?" Antariksa membalasnya balik. Keduanya tertawa bersama.
"Ehhemm," dehem Brian.
"Batuk? Minum air hangat solusinya," Agung merusak suasana saja.
Antariksa melirik Brian. "Kenapa?"
"Waktunya foto," Antariksa kira Brian cemburu.
"Ayo, semuanya berkumpul. Foto bersama," perintah Brian, saat inilah kesempatan emas mempunyai foto bernuansa alam bagi Ambalan baru.
Caca, belum siap hingga wajahnya masih melongo. Adel, ngupil. Rinai menjaga jarak, Antariksa masih saja menjalankan kemodusannya. Rafi, tak ada ekspresi. Agung, ala chibi-chibi. Brian sibuk membenarkan jambulnya.
"Kak, jangan lupa di post Instagram ya, nanti tag kita-kita," sahut salah satu dari mereka.
"Iya, tapi gak gratis," Brian perhitungan sekali, tapi sebagai gantinya Brian bisa luluh dengan coklat.
"Nanti, di beliin coklat deh,"
"Sama pabriknya sekalian,"
"Kebunnya aja kak, biar kak Brian lama-lama wajahnya coklat,"
Gelak tawa saling bersahutan, Agung mengusap surai Brian. "Sabar ya, nanti di sayang readers,"
Hujan rintik-rintik membuat mereka mencari tempat berteduh, tapi tidak ada.
"Kalian balik saja ke sekolah, kalau ada yang takut hujan dan sakit silahkan mengambil mantel kelelawar di Agung," jelas Antariksa, masing-masing perwakilan dari kelas mengambil mantel kelelawar di Agung.
Adel memetik bunga yang indah, lalu di pasangkannya di telinganya, cantik. "Rinai, sini deh," Rinai yang tadinya melamun melihat tebing-tebing yang curam pun tersentak. "Ya del ?"
Adel memasangkan bunga berwarna merah di telinga Rinai. "Nah, tambah cantik. Eh, gimana kalau nanti pinjem ponselnya kak Brian?" ide cemerlang, Rinai ingin sekali berfoto.
"Oke,"
"Yang sudah dapat mantel kelelawar, silahkan berjalan jangan menunggu yang lain. Hujannya nanti deras," benar saja apa yang di ucapkan Antariksa, hujannya bertambah deras.
"Ikuti saya, kita ambil jalan pintas," lewat di jalan sebelumnya sangat beresiko terpeleset ke jurang.
Menapaki tanah dengan hati-hati, saling bergandengan tangan, ada yang memegang ujung mantel, terutama Caca.
"Ah, kenapa lagi-lagi gue. Salma, gatian dong, tangan gue pegel nih," keluh Caca, padahal perjalanan baru saja di mulai.
Salma dengan terpaksa menggantikan posisi Caca. "Ya deh, tapi kalau nanti gue yang pegel, gantian juga,"
"Iya deh, bawel lo," Caca sudah jengah berada di posisi belakang, sesekali terdepan. Seperti yang jarang di jadikan prioritas oleh doi.
Apakah Antariksa sengaja ingin membuat Ambalan kuruan? Sekarang mereka berusaha berjalan naik. Untungnya hujan sudah mulai reda walaupun rintik-rintik.
"Eh, yang bawa minum minta dong," tak ada yang merespon Caca, memberikan minum untuk Caca? Nanti di habiskan.
"Gak setia kawan banget lo semua," Tia yang kasihan pun menghampiri Caca yang kehausan. "Gitu dong dari tadi," Caca meraih botol itu kasar, hanya si pengkhianat yang baik hati?
"Nih," Caca meneguk habis, Tia tidak mepermasalahkan, sebentar lagi akan sampai di sekolah.
"Berhenti bentar dong Rin, lo kok cepet banget jalannya," keluh Adel, kakinya sudah tak kuat menaiki jalan ini. Bantara sudah terbiasa dengan semua tipe jalan, Ambalan baru? Besok-besoknya kurusan.
Rinai menunggu Adel, memang apanya yang cepat? Kakinya sudah tahan berjalan lebih lama sedari kecil. "Sini, mah gue seret aja?", tawar Rinai, Adel menggeleng lemah sama saja menyerahkan nyawanya.
"Kalau gandengan boleh," Rinai meraih tangan Adel, tubuh sahabatnya ini sudah lemas, mungkin lelah.
Hingga sampai di sekolah, Antariksa memerintahkan Ambalan untuk mengembalikan tenda di Brian. Dan Adel lagi yang mengurusi tenda, sudah lelah di tambah beban saja. Andre juga ikut membantu melepaskan pasaknya, Rinai membersihkan beberapa sampah di dalam tenda seperti bungkus makanan dan botol minuman.
"Akhirnya selesai juga," Adel menghela nafas lega. "Ndre, tendanya ke kak Brian ya,"
Andre mengangguk. Adel menatap sengit Caca yang duduk bercerita sambil tertawa.
Antariksa membawa kotak kardus yang berisi ponsel para Ambalan, agar selama pelatihan nanti mereka fokus. "Silahkan ambil ponselnya masing-masing,"
Ambalan berebut mencari dimana ponselnya, mengeluh baterainya habis dan lupa tidak membawa charger sehingga meminjam powerbank yang membawanya.
Rinai berdecak kesal, baterainya nol persen, ia terpaksa mengisi daya dengan berdiri. Di setiap kelas ada stop kontak yang tersedia.
Adel terkekeh melihat nasib sial Rinai. "Yang sabar, lagian pick up nanti datang, isi daya aja dulu. Nanti lo minta di jemput di sekolah,"
"Iya deh, baterai lo apa kabar?" Rinai juga ingin tau, wajah Adel sangat bahagia daripada Ambalan lain yang sekarang sedih, khawatir dan kesal.
Adel menunjukkan powerbank merk Hippo-nya. "Kan bawa ini,"
"Daritadi lo sariawan emang mulut lo di lakban huh?" Rinai menumpang mengisi daya di powerbank Adel.
"Maaf, lo kok sadis banget Rin. Dulu baru kenal aja kalem," heran Adel, ia harus siap jika kaget terus-terusan menjadi pelampiasan amukan Rinai yang entah sampai kapan bisa terjadi.
☁☁☁