Chapter 504 - Koma

"Kamu kemana?!!" Kenan membentak dengan suara keras di sebuah ruangan. Mario tertunduk saja pasrah. Ada Reno juga disana menyaksikan anak buahnya di marahi dan dimaki atas kesalahannya.

"Saya bayar kamu bukan buat leha-leha ya Mario!!!."

"Iya bos maaf.."

"Maaf?, kamu tahu ga anak saya sekarang gimana?!!, bisa bangun pake maaf?."

"Engga bos…"

"Ga ada toleransi buat kamu, silahkan cari tuan baru." Kenan dengan tegas mengusir Mario darisana namun dia tak sertamerta langsung pergi. Mario masih ada disana.

"Ngapain kamu disini?, pergi!!."

"Saya bakalan tanggung jawab bos."

"Tanggung jawab?, tanggung jawab apa yang kamu maksud? Hah!!."

"Saya bakalan selesain soal David."

"Ga usah!!, masih ada orang lain yang bisa dan yang lebih kompeten dari kamu."

"Ampun bos."

"Pintu keluar sebelah sana Mario, jangan sampai saya sendiri yang seret kamu." Kenan sudah tak sudi lagi melihat Mario. Dia tak suka gara-gara kecerobohan Mario, nyawa Tiara menjadi taruhannya. Reno mendekati Mario dan berbisik pelan. Tidak lama Mario menuruti perintah Kenan untuk keluar dari ruangan itu. Kenan duduk lagi disana, dia menunggu seseorang masuk lagi. Tidak lama Erik dan yang lainnya menyeret seorang pria dengan tangan terikat. Pria itu masih meronta-ronta minta dilepas tapi itu sudah tak mungkin terjadi. Kenan menyilangkan kakinya, matanya tajam menyoroti kedua bola mata pria itu. Ya…pria yang dibawa oleh Erik adalah David.

"Kamu kuliah kok tambah bodoh, udah saya bilang jangan main-main sama keluarga saya." Kenan membuka percakapan.

"Lepasin!!."

"Orang tua kamu udah ga akan bisa bantu kamu lagi, jabatannya udah saya copot."

"Ga mungkin!!."

"Nanti saya kasih waktu buat kamu ketemu sama orang tua kamu, kasian loh mereka."

"Dasar keluarga so kaya, so penguasa!!." David meledek. Hanya dengan menatap pria yang ada disampingnya Kenan langsung memberikan David tamparan.

"Jadi kamu mau minta ampun atau mau minta hukum?."

"Ga sudi aku minta ampun, cuihh…." David sambil meludah membuat dia mendapatkan tamparan lagi dan kali ini dengan pukulan yang cukup keras. Kenan sudah Lelah bersantai. Dia kini berjalan meninggalkan kursi nyamannya. Kenan mendekati David dengan yakin.

"Ada satu nyawa yang kamu permainkan dalam masalah ini, saya ga akan biarin itu. Pernah dengar istilah nyawa dibayar nyawa?." Kenan berbisik menakuti.

"Kita lihat David, sampai ada kabar saya kehilangan anak saya, KAMU GA AKAN SELAMAT!! Tapi kalaupun nyawa anak saya tertolong KAMU GA AKAN HIDUP TENANG!!."

"Kalian tuh orang yang ga punya keadilan, apa-apa selalu berpikir pake uang!! Kenapa?! Karena kalian ngerasa kaya?!! Kalian bisa tutup mulut orang pake uang!!."

"Berati kamu belum kenal keluarga saya."

"Sachi menderita karena Kay!! Tapi orang ga tahu itu, saya yang nolong dia tapi malah saya yang dituduh. Saya kehilangan semua teman, semua kepercayaan dari orang hanya karena saya bermasalah sama anak om. Kenapa harus setega itu om?."

"Itu sih gara-gara kamu bukan gara-gara anak saya." Ucap Kenan yang sempat bingung dengan perkataan David tadi. Bagaimana bisa David menyalahkan anak-anaknya padahal mereka tak melakukan apapun.

"Denger ya David saya ga mau bertele-tele. Habis ini polisi jemput kamu, semua bukti udah saya kasih sama mereka. Kita bakalan ketemu dipersidangan nanti. Silahkan cari pengacara sehebat mungkin karena saya yakin ga ada cara apapun yang bisa meringankan hukuman kamu, terlebih jika memang benar-benar ada korban. Mulai detik ini kamu ga akan pernah lepas dari mata saya." Kenan dengan yakin dan pergi begitu saja meninggalkan David. Diluar rupanya sudah ada Kay yang menunggu. Dia sudah seperti supir Kenan saja.

"Kita kerumah sakit." Kenan langsung masuk kedalam mobil diikuti Kay.

"Gimana dad? apa David ngaku?."

"Ga usah nunggu ngaku, kelamaan. Dia yang jelas bakalan nerima hukuman sesuai yang dengan perbuatannya."

"Daddy emang keren, tambah tua tambah oke.."

"Tua..tua...aja tahunya."

"Tapi dad, kasih kesempatanlah buat Mario.."

"Sejak kapan kamu akrab sama dia?."

"Ini bukan masalah akrab dad, dia mungkin ga sengaja."

"Tiara taruhannya Kay, waktu itu kalau dia ga meleng dikit mungkin kecelakaan itu ga akan pernah terjadi."

"Dad...aku yakin Mario ga maksud gitu apalagi sampe nyelakain Tiara, ga mungkin. Dia patuh sama Daddy sama om Reno. Kita juga ga mungkin ngegantungin nyawa kita sama seseorang, mungkin udah takdirnya Tiara harus gitu. Hidup sama mati itukan di tangan Allah dad.." Perkataan Kenan disambut tatapan saja. Kenan mengusap keningnya sendiri merasa sedikit pusing memikirkan nasib Mario yang telah mengecewakannya.

"Lagian kenapa sih dia?."

"Dia...dia...pacaran sama Sachi."

"Apa?!."

"Ya..mungkin karena aku suruh dia tungguin Sachi waktu itu di RS terus ngawasin dia, bantuin dia. Mario jadi suka."

"Ampun ya perkara cewek."

"Ini masalah cinta dad, kasianlah Mario dad selama kita kenal dia belum pernah ngurusin soal pribadinya, dia sibuk kerja terus."

"Kamu belain dia terus ya.."

"Bukan belain dad. Seenggaknya kalo ada Mario, aku ngerasa sedikit tenang. Sachi sama Ansel ada yang jagain. Aku ga ngerasa salah lagi dan kalo kaya gitu Ran jadi ga curiga kalo aku ketemu Sachi, kan dia juga udah punya pasangan."

"Iya-iya nanti Daddy panggil."

"Makasih dad.."

"Kamu lagi ga sopan banget sama Mario, Erik, manggil nama aja. Mereka tuh lebih tua dari kamu harusnya panggil om."

"Mereka yang minta kok dad.."

"Tapi kalo Mario bikin salah lagi, Daddy ga kasih ampun. Kasih kesempatan sama orang cuman sekali. Bujukan kamu pun ga akan Daddy denger."

"Iya dad.."

****

Mungkin sudah hampir seminggu ini belum ada tanda-tanda perkembangan yang baik dari Tiara. Kesadarannya belum juga datang. Jay yang sehari-hari disana bahkan dibuat semakin tak berdaya. Dia hanya terduduk seharian disamping Tiara dengan mata sendu sehabis menangis. Dia juga sengaja membawa Zidan ke kamar itu untuk membangunkan sang ibu namun belum ada juga kemajuan. Dokter yang sering melakukan pemeriksaan rutin sepertinya sudah mulai putus asa, belum lagi beberapa kali terlihat Kenan dan Fahri mengobrol dengan raut wajah yang seurius dan tentu saja menyedihkan. Itu seperti mengatakan tak ada harapan.

"Tiara..bangun Tiara...please..." Ucap Jay sambil memegangi salah satu tangannya yang dihiasi dengan selang. Jay menundukkan wajahnya dilengan Tiara. Menangis sedih karena usaha apapun yang dia lakukan tak membuat Tiara bergerak. Rasanya dia ingin menggantikan posisi Tiara saja. Dibanding dengannya mungkin Zidan jauh membutuhkan Tiara. Jay menaikkan lagi wajahnya, dia menciumi tangan Tiara berharap istrinya itu bisa merasakan air mata yang ada di pipinya.

"Please Tiara....Please...." Ucap Jay lagi namun lagi-lagi hanya ada kebisuan disana.

***To be continue