Lilia masih ingat saat William dan Sara meninggalkan Indonesia untuk berkarir di Hollywood. Keduanya mengumumkan kalau mereka tidak akan kembali sebelum menjadi sukses. Tapi sekarang Lilia bertemu lagi dengan mereka di toko ini. Haruskah Lilia mensyukuri atau justru mengutuki nasibnya?
Saat Lilia mematung di dalam ruang gantinya, dia mendengar suara William.
"Baju ini cocok untukmu, Sara. Kamu terlihat cantik memakainya." Suaranya lebih berat dan lebih dewasa dibandingkan tiga tahun yang lalu.
Lilia tidak tahu apa yang harus dia lakukan, apakah sebaiknya dia mencoba menyelinap keluar? Ataukah lebih baik dia sembunyi saja di ruang ganti ini sampai William dan Sara pergi?
Entah berapa lama Lilia terdiam di situ ketika dia mendengar manajer toko itu memanggilnya.
"Nona Lilia, apakah ada yang bisa saya bantu? Apakah Anda baik-baik saja?" Tanya sang manajer dengan nada khawatir.
Begitu Sara mendengar nama Lilia, senyum di wajahnya menghilang. Dia mengembalikan baju yang barusan dia coba pada seorang pegawai toko. Pandangannya menuju pintu ruang ganti yang tertutup, kemudian berpindah ke William.
Dalam sekejap, Sara kembali memasang senyumnya. "Will, ayo kita pergi ke toko lain. Aku tidak suka model-model baju di sini!" ucapnya dengan manja sambil menggandeng lengan William.
"Oke, ayo pergi." Ucap William sembari mengangguk santai.
Melihat reaksi William yang tenang seolah pria itu tidak mendengar apa-apa, Sara kembali bernafas lega. Keduanya pun meninggalkan toko itu tanpa sepatah kata lagi.
Sementara itu, Lilia tetap diam di dalam ruang gantinya sampai suara langkah kaki kedua orang itu menghilang. Setelah yakin mereka sudah pergi, Lilia akhirnya keluar dari ruang ganti.
"Nona Lilia, apakah Anda baik-baik saja?" Sang manajer segera menghampiri Lilia dan menyodorkan sebotol air. Ekspresi wajahnya terlihat menyesal karena kecerobohannya.
Manajer itu tahu gosip yang beredar tentang kandasnya hubungan Lilia dan William tiga tahun yang lalu. Dia juga mendengar kabar kalau William Anggara baru saja kembali ke Indonesia. Tapi dia tidak pernah menyangka keduanya akan bertemu di tokonya. Lebih buruk lagi, William sedang bersama kekasih barunya!
Lilia hanya tersenyum pada manajer itu dan menerima botol air itu. Dia menunduk untuk mengamati baju yang dicobanya.
"Aku mau baju ini dan baju-baju yang sudah kupilih. Tolong kirimkan semuanya ke alamatku."
Sang manajer menghela nafas lega karena Lilia tidak menyalahkannya. "Baik, serahkan saja pada kami!"
*****
Hari sudah semakin larut saat Lilia meninggalkan mall itu.
Bulan purnama tersembunyi di balik awan, tapi cahaya bintang-bintang di langit memberi rasa damai bagi orang yang melihatnya. Sayangnya Lilia tidak tertarik untuk menikmati pemandangan langit malam. Dia memakai kacamata hitamnya dan berjalan cepat ke arah jalan raya. Wanita itu hanya ingin segera pulang ke rumah tanpa bertemu siapapun lagi.
Namun harapannya kandas saat seorang pria bertubuh tinggi menghalangi jalannya. Penampilan pria itu tersembunyi oleh kegelapan malam, membuat Lilia mundur selangkah dengan was-was.
"Lili." Hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama panggilan itu. Suara berat pria itu terdengar tidak asing di telinganya.
Pria itu mendekat dan Lilia bisa melihat sosok William dengan lebih jelas. Tubuh atletisnya dibalut kemeja biru gelap, rambut hitamnya tersisir rapi, dan dagunya tampak mulus. Tatapannya yang lembut dan romantis selalu dapat meluluhkan hati Lilia saat mereka masih berpacaran dulu.
Tapi sekarang tidak lagi demikian.
Lilia menghela nafas panjang dan menegakkan punggungnya. "Lama tidak berjumpa, William." Ucap Lilia dengan suara datar tanpa emosi.
Selama ini, Lilia seringkali membayangkan bagaimana dia akan bereaksi saat bertemu dengan William lagi. Akankah dirinya marah-marah dan mencaci-maki William? Atau, apakah dia justru akan menangis dalam pelukan pria itu dan memaafkannya?
Namun sekarang, melihat mantan kekasihnya tidak lagi menggugah perasaan apapun dalam hati Lilia. Rasa macam apapun yang dahulu mungkin tersisa telah menguap, lenyap bersama dengan air matanya semalam.
William mengerutkan dahi melihat sikap dingin Lilia. Kemudian dia memasang wajah sedih sambil berusaha berbicara selembut mungkin, "Tadi di ruang ganti, kenapa kamu tidak keluar dan menyapa kami?"
Namun Lilia hanya tersenyum sinis. "Kenapa kamu ingin aku menyapa kalian? Supaya kamu bisa menunjukkan kedekatanmu dengan Sara?"
"Lili, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Awalnya aku dan Sara…"
"Cukup!" Lilia segera memotong ucapan William. "Aku tidak tertarik dengan apapun yang terjadi antara kamu dan Sara. Aku punya kesibukan lain. Jadi pergilah dan jangan ganggu aku lagi!"
Lilia berjalan melewati William tanpa meliriknya. Sejak pria itu mengkhianati perasaan cintanya yang tulus, Lilia bersumpah dia tidak akan pernah mempercayai William lagi.
Namun William belum menyerah dan memegang lengan Lilia. "Lili. Tolong dengarkan aku." Ucapnya memelas sambil menarik wanita itu mendekat.
Lilia kehilangan keseimbangan dan menabrak dada bidang William. Dia dapat mencium aroma buah segar yang merupakan aroma khas pria itu dan juga bau parfum yang aneh dari tubuhnya.
Lilia memelototinya dan berusaha mendorong William menjauh, tapi pria itu bergeming.
"William Anggara, apa sebenarnya yang kamu mau dariku?!" Tanya Lilia dingin.