Gunung Raksa, Banten
Kira Larasati menatap medali perak di telapak tangan kanannya. Sinar matahari pagi yang menembus sela-sela pepohonan rindang, melempar ingatannya kembali pada peristiwa naas di hari itu. Siksaan energi dari Medali Salakanagara pada punggungnya, perasaan yang bercampur antara harapan dan sakitnya kenyataan, hingga saat tubuhnya bersimbah darah di atas pangkuan Adiraga. Perlahan, potongan ingatan yang samar mulai membentuk satu bingkai yang utuh. Rasa perih mengalir mengingat bagaimana ia merangkak di tanah basah hanya ditemani desir angin yang meniup dedaunan di tengah hutan. Cukup lama ia termenung.
Adiraga tiba-tiba muncul dari belakang, kemudian berdiri di samping Kira Larasati "Itu medali milikmu Kira," Ucap Adiraga. "Kita bawa pulang, dan pasang di pakaian seragam Pramuka kebanggaanmu."
Kira Larasati menarik nafasnya dalam-dalam. Ketika semilir angin menerbangkan rambutnya yang tergerai, gadis itu meniup ruang kosong di depannya dengan cepat, seolah ingin membuang semua beban yang bergelayut dalam pikirannya.
"Aku masih tidak menyangka, Kita berhasil melewati ini semua." ujar Kira Larasati sembari tersenyum penuh rasa takjub. "Kejadian demi kejadian yang tidak semua orang bisa merasakan dan melaluinya. Peristiwa ini membuat aku tersadar, bahwa menjadi seorang Pramuka ternyata seperti memutuskan untuk mengambil pilihan jalan hidup."
Kira Larasati memandang Adiraga dengan tatapan lembut, menggenggam erat benda di tangannya. "Kita menentukan pilihan hidup untuk menjadi benteng pertahanan terakhir Ibu Pertiwi, yang harus sungguh-sungguh dibuktikan secara nyata," ujar Kira Larasati. Kemudian memandang ke sekeliling hutan untuk mengusir kenangan pahitnya.
Adiraga tersenyum. "Iya, aku juga merasakan apa yang kamu rasakan Kira," balas Adiraga. Kemudian kedua tangannya sibuk merapikan rambutnya yang berantakan akibat tiupan angin kencang dari arah belakang.
"Aku dulu merendahkan kalian yang selalu berseragam cokelat, kegiatan latihan cuma tepuk tangan, nyanyi, camping, upacara dan selfie-selfie. Kirain cuma bisa menghasilkan Pramuka narsis macam si Alfarash. Tapi di balik itu, aku melihat ada semangat yang membara seperti api unggun yang berkobar saat dingin dan gelap terjadi. Kapanpun dan di manapun, selalu siap sedia untuk mengulurkan tangan, dan berkorban jiwa raga." ucap Adiraga. Kira Larasati tersenyum, menyimak pengakuan jujur dan bijaksana Adiraga.
"Kalian tetap optimis meski situasi dan kondisi tidak memungkinkan." Lanjut Adiraga. Ia lalu menengadah, seolah membendung air mata haru agar tidak keluar dari dua bola matanya. "Melewati semua kejadian bersama kalian, mengajarkan aku satu hal. Bahwa anggota Pramuka adalah benteng api unggun terakhir yang dapat diandalkan ketika Ibu Pertiwi memanggil kapan saja," ucap Adiraga.
Tiba-tiba, seseorang dari arah belakang memotong perbincangan antara Kira Larasati dan Adiraga.
"Wah asyiknya yang lagi berduaan, sampai tidak sadar kita serasa jadi obat nyamuk dari tadi." tegur seseorang dengan gaya bercanda yang kaku.
Adiraga dan Kira Larasati berbalik badan hampir bersamaan.
"Chakra!" teriak Adiraga dan Kira Larasati hampir bersamaan.
Mereka mendapati Rakean dan Alfarash kini bersama-sama dengan Chakra, sahabat mereka dari Buana Attala. Ia berdiri gagah sdengan kain berwarna putih seperti susu. Bagian dada dan lengan kanannya terlihat kekar, karena kain penutup bagian atas hanya disampirkan ke bahu sebelah kiri, layaknya pakaian seorang pertapa.
"Kalian terlalu asyik romantisan, sampe nggak sadar kalo si gembul tukang makan ini datang," ucap Rakean mencairkan suasana dengan lelucon ringan. Adiraga tertawa terbahak-bahak, karena lelucon pria berkacamata itu ditujukan kepada Chakra, karena kegemaran makannya melebihi porsi manusia biasa.
Tiga bulan lamanya mereka saling tak bertemu. Sejak perpisahan mereka di Yogyakarta, Chakra kembali ke dunia Atala karena tugasnya mendampingi Kira Larasati sudah selesai. Hari ini, Chakra kembali menemui para sahabatnya melalui portal dimensi di Gunung Raksa. Nampaknya, setelah kejadian di Candi Sukuh, semua pintu jalan pintas sudah dapat dipergunakan kembali oleh para penyintas.
Chakra berjalan dengan gagah, menghampiri Kira Larasati dan Adiraga yang menebak-nebak tujuan Chakra muncul tiba-tiba di belakang mereka.
"Aku kesini mengabarkan kepada kalian, bahwa telah terjadi penjarahan pusaka di Lembah Bada dan Pulau Rakata." ungkap Chakra dengan suara tegas setelah berada di depan Adiraga dan Kira Larasati. "Akibatnya, terjadi pergeseran lempengan bumi yang membentang dari Pulau Sulawesi dan Kalimantan. Jika pusaka di Mangkalihat dan Pegunungan Meratus berhasil diambil, maka gunung berapi purba bawah laut yang tertidur sejak ribuan tahun lalu akan aktif kembali."
Adiraga dan Kira Larasati saling beradu pandang.
"Sepertinya, misteri legenda Toraya dan peradaban tanah bertuah telah mampu mereka pecahkan. Aku harap kalian bersiap-siap," saran Chakra. Angin Gunung Raksa yang berhembus pelan, tidak mampu mendinginkan kegelisahan yang pada getaran bibirnya.
"Musibah yang menimpa Palu dan Pandeglang, masih ada kaitannya dengan hilangnya pusaka-pusaka ini. Dampak terburuk selain aktifnya kembali gunung berapi purba, akan ada rentetan letusan cincin api yang akan membelah Pulau Jawa." Ungkap Chakra. Ia melihat tatapan rasa tidak percaya dari empat orang di hadapannya.
"Terus, kita harus bagaimana?" Tanya Adiraga dengan nafas yang tertahan. Batinnya gelisah.
Meski empat orang di depan Chakra membayangkan kengerian yang akan terjadi. Tetapi, wajah-wajah letih terpancar setiap kali kenangan terhadap Legion kembali muncul. Sudah berkali-kali mereka hampir kehilangan nyawa karenanya. Adiraga sendiri berharap kejadian di Candi Sukuh adalah yang terakhir. Hari ini, ia berniat mulai menikmati keindahan hari-hari bersama Kira Larasati. Tetapi belum juga memulainya, dirinya sudah harus menghadapi tantangan baru yang menggugah hati kecilnya. Rasa bimbang bergelayut dalam benak dan pikirannya.
Adiraga menatap Kira Larasati sejenak, namun gadis itu masih tertunduk mencari jawaban. Ia kemudian melirik ke Alfarash yang sedang menatap ke arahnya sambil membalas chat Widia tanpa sedikitpun menoleh ke layar ponsel. Adiraga berusaha mencari jawaban atau apapun itu untuk melawan rasa bimbang yang menguar dalam batinnya. Semua sahabatnya seakan tenggelam dalam kebimbangannya masing-masing.
Bosan menunggu jawaban, Chakra mengibaskan tangannya ke udara.
Sebuah lubang hitam muncul di antara pepohonan dan udara kosong di dekat kepalanya. Cahaya beraneka warna berputar-putar, membentuk pusaran yang bergulung-gulung. Percikan sinar putih keperakan sekali-kali terlihat seperti petir yang menjilat-jilat bagian luar lingkaran.
"Jawaban kalian ada di balik itu," tandas Chakra sembari melangkah masuk ke dalam pusaran cahaya, meninggalkan Adiraga dan kawan-kawannya yang masih tenggelam dalam kebimbangan masing-masing.
Kira Larasati mengangkat dagunya, menatap Adiraga dengan sorot mata bertanya-tanya. Ia mencoba menebak apa yang ada di dalam pikiran pria berambut sebahu di sampingnya. Namun, tatapan gelisahnya hanya dibalas dengan genggaman tangan yang erat oleh Adiraga di tangan kirinya. Lubang cahaya di depan mereka semakin mengecil dari ukuran semula, terus mengecil dalam hitungan detik, seolah tidak mau menunggu jawaban dari mulut mereka masing-masing.
Tiba-tiba, lambang cakram di dada Adiraga mengeluarkan cahaya merah bercampur putih keperak-perakan. Tanpa diduga, cahaya merah dari dalam lorong cahaya menghisap tubuh Adiraga dengan cepat seperti sebuah magnet raksasa. Adiraga melayang ke atas, tubuhnya terpelanting masuk ke dalam lorong cahaya dengan kedua kaki menggantung di udara. Kira Larasati terkejut, ia juga ikut terseret bersama Adiraga yang kini tinggal lengannya yang terlihat. Akibat kuatnya genggaman tangan Adiraya yang seakan tidak ingin terpisah lagi dengan Kira Larasati, gadis itu akhirnya ikut terhisap ke dalam lorong cahaya. Kejadian yang begitu cepat membuat Alfarash dan Rakean terhenyak dari kebimbangannya masing-masing. Keduanya bergegas menyelamatkan Kira Larasati yang berusaha melepaskan diri. Tinggal dua jengkal lagi mereka berhasil menggapai bagian kaki Kira Larasati, lorong cahaya menghilang lenyap tanpa bekas.
***
Lorong Cahaya
"Arrgghh!!!" teriak Adiraga kaget. Sekujur badannya seperti sedang dihisap sebuah vacum raksasa, menarik dengan kencang seluruh tubuhnya tanpa ampun. Dari ujung kaki hingga kepalanya terasa sedang digigit ribuan semut kecil saat tubuh Adiraga seperti menggantung di lorong panjang penuh cahaya. Cahaya yang berkilat-kilat membuat matanya terpejam, rasa silaunya seperti ingin merobek bola mata. Tangannya masih menggenggam tangan Kira Larasati yang masih di luar garis cahaya.
"Tidak.. aku tidak ingin kehilanganmu lagi kali ini!" gumam Adiraga dalam hati. Tangannya menggenggam semakin kencang.
Sepersekian detik berikutnya, tubuh Kira Larasati ikut masuk ke dalam lubang cahaya. Mereka berdua melayang-layang sebentar, lalu jatuh berguling-guling saling bertumpukan. Kepala Kira Larasati jatuh tepat di atas dada Adiraga yang jatuh terlentang, keduanya tidak sadarkan diri.
Selang beberapa menit kemudian, Adiraga mulai siuman. Meski kelopak matanya masih terpejam, namun pancaran cahaya terang di sekelilingnya membuat isi kepalanya terselubung cahaya putih. Alam sadarnya masih meraba-raba apa yang baru saja terjadi, namun aroma melati yang menguar di hidungnya membuat Adiraga sadar bahwa ia tidak sedang bermimpi.
Matanya terbuka, namun silaunya cahaya memaksanya untuk mengerjapkan beberapa kali kelopak matanya hingga akhirnya terbiasa. Adiraga terkejut, mendapati Kira Larasati tergeletak lemas di atas tubuhnya.
"Kira.. Kira?" panggil Adiraga lirih. Tangan kirinya menggoyang-goyangkan punggung Kira Larasati. Kepala gadis itu rebah tidak bergerak di atas dadanya namun masih ada tanda-tanda kehidupan. "Syukurlah, ternyata cuma pingsan," ucap hatinya lega.
Sepuluh menit lamanya Adiraga membiarkan kepala Kira Larasati tetap bersandar di atas scoutlook cokelat yang membungkus badannya. Ia sendiri masih merasakan sekujur tubuhnya terasa lemas tidak bertenaga, seperti habis berlari ratusan kilometer tanpa berhenti.
"argh..." suara Kira Larasati melenguh pelan. Gadis itu sudah siuman.
Jari-jari tangan Kira Larasati mulai bergerak-gerak, lalu mengerjapkan matanya beberapa kali. Gadis itu terkejut, karena menyadari posisi kepalanya sedang berbaring di atas dada Adiraga. Wajahnya merona merah, rasa malu seketika hinggap, membuatnya segera beranjak bangun, lalu duduk bersimpuh di samping Adiraga yang ikut bangun. Mereka saling berpandang-pandangan.
Adiraga menyapa dengan tatapan lembut, mengulum senyum sembari mengangkat alis sebelah kirinya. "Kamu enggak apa-apa Kira?" tanya Adiraga pelan. Ia beranjak duduk, bersila menghadap gadis beraroma melati di depannya.
Kira Larasati menggeleng pelan. "Enggak apa-apa? kamu sendiri gimana Ga?" Kira Larasati berbalik tanya.
"Enggak apa-apa, cuma tadi sempat kejatuhan bidadari," jawab Adiraga menggombal.
Kira Larasati tersipu malu. "Dasar..! gombalan kamu kok gak hilang-hilang yah!" sindir Kira Larasati.
Gadis berambut panjang itu memandang ke sekeliling. "Kita dimana?" tanya Kira Larasati heran. Kedua bola matanya terhenti pada cahaya warna-warni yang berpendar menjilat-jilat. Rasanya seperti di dalam jembatan berlapis kaca yang membentuk lorong panjang dilengkapi lampu panggung.
"Waduh, aku baru mau tanya, kamu kan pernah punya pengalaman lewat lorong seperti ini di Gunung Nabi," protes Adiraga.
"Loh, memangnya pernah? kok aku gak ingat?" tanya Kira Larasati heran. Kedua alisnya saling beradu di bawah garis-garis kening yang mengkerut.
Adiraga tertawa pelan. "Pernah, tapi pasti kamu gak ingat, soalnya kamu waktu itu amnesia" ungkap Adiraga.
"Trus gimana?" tanya Kira Larasati penasaran.
"Ya kita seperti kucing sama anjing, berantem terus di mana-mana. Kamu sama sekali enggak ngenalin aku, padahal aku udah seneng banget liat kamu muncul dari lubang cahaya seperti ini." terang Adiraga. "Tapi, ternyata gadis yang paling aku rinduin itu beda banget, liar dan jutek. Beda 180 derajat dengan bidadari yang ada di depanku sekarang." Jari tangannya menunjuk hidung Kira.
"Oh ya? ceritain dong!" Kira Larasati merengek.
Adiraga tersenyum, "Oke, tapi sambil jalan ya, anggap aja kita lagi ngelanjutin wisata yang tertunda di Gunung Raksa tadi. Mumpung enggak ada Legion!" canda Adiraga. Kira Larasati mengangguk kecil.
Mereka kemudian beranjak dari tempat duduknya, berjalan melewati lorong cahaya yang silih berganti memamerkan permainan warna. Adiraga dan Kira Larasati tidak tahu dimana nanti ujung lorong cahaya ini membawa mereka, tapi setidaknya cukup banyak cerita tentang Kira Larasati yang bisa Adiraga ceritakan. Mulai dari awal perjumpaan dengan Legion, diculiknya Kira Larasati, tubuh Kira Larasati yang menghilang di Gunung Raksa sampai pada peristiwa yang mendebarkan di Candi Sukuh Jawa Tengah saat ekspedisi negeri Sheeba.
***
Lembah Bada, Sulawesi Tengah
"Terima kasih untuk semuanya Ga, semuanya terasa seperti mimpi," ucap Kira Larasati usai mendengar cerita Adiraga yang panjang lebar.
Adiraga mengangguk senang. Senyumnya merekah. "Aku yang seharusnya berterima kasih sama kamu, karena sudah dua kali menyelamatkan nyawaku!" sanggah Adiraga. "Aku berhutang nyawa kepadamu."
Adiraga berhenti melangkah, lalu menatap dalam-dalam kedua bola mata Kira Larasati.
Kira Larasati gelagapan "Kamu jangan lihat aku kayak gitu dong, aku risih tahu!" protes Kira Larasati.
"Loh kenapa?" tanya Adiraga heran. Kira Larasati berusaha menahan tawa.
"Ujung-ujungnya pasti kamu ngegombal!" jawab Kira Larasati, lalu berlari meninggalkan Adiraga.
"ha..ha.. ha.." Adiraga tertawa. "Hey tunggu dong!" pinta Adiraga sembari ikut berlari mengejar gadis cantik yang menghilang di balik kelokan lorong yang berbelok ke kanan.
Adiraga berhenti berlari, lalu berjalan perlahan-lahan saat mendapati Kira Larasati sedang berdiri di ujung lorong. Gadis itu terlihat kebingungan mengamati tiga lorong cahaya lain di hadapannya.
"Kita lewat mana?" tanya Adiraga setibanya di samping Kira Larasati.
Kedua bahu Kira Larasati diangkat. "Entahlah? aku tidak tahu," jawabnya bingung.
Adiraga menelisik lebih teliti. Kedua bola matanya berganti-gantian menatap tiga lorong cahaya mencari jawaban, tapi akhirnya ia menyerah. "Coba ingat-ingat lagi, barangkali Chakra pernah mengajarkanmu tentang ini," pinta Adiraga.
Ketiga lorong cahaya tidak terlihat perbedaan yang menonjol kecuali gradasi warna yang berpendaran, setiap lorong diselimuti warna putih keperakan.
"Aku tidak ingat apa-apa Ga, maaf!" ungkap Kira Larasati penuh sesal.
"Tidak apa-apa, jangan dipaksakan. Tapi, apakah kamu siap dengan apapun yang nanti terjadi di balik lorong ini?" tanya Adiraga. Keningnya menggernyit sebentar, membuat kedua alisnya yang tebal saling bertaut.
Cukup lama Kira Larasati terdiam, menarik nafasnya dalam-dalam lalu menatap pemuda di sampingnya dengan keyakinan yang tinggi.
"Ok, aku siap!" jawab Kira Larasati mantap.
Adiraga menggenggam tangan Kira Larasati seperti di Gunung Raksa. "Baiklah, tapi sebelum melangkah, aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak ingin kehilanganmu untuk kedua kalinya," ungkap Adiraga jujur. Pandangan matanya tetap tertuju pada lorong cahaya.
Jantung Adiraga berdebar-debar tidak karuan saat mengucapkannya. Ia tidak perduli jika gadis di sampingnya mendengar kalimat yang meluncur dari kedua bibirnya, baginya itu sudah cukup untuk mengurangi beban yang selama ini disembunyikan. Adiraga melangkah lebih dulu melewati garis cahaya putih keperakan, Kira Larasati mengikuti di belakang. Kedua tangan mereka saling menggenggam erat.
***
Pendaran cahaya warna-warni perlahan menghilang, menyisakan warna putih yang menyilaukan. Tubuh Adiraga dan Kira Larasati seperti terlontar ke depan saat ujung kaki mereka melewati ujung lorong. Tidak lama setelah mereka memijak rerumputan yang tebal, sekejap itu juga lorong cahaya di belakang menghilang, menyisakan rasa heran di benak Kira Larasati dan Adiraga yang kini berada di depan sebuah patung batu.
Cahaya bulan separuh bersinar di langit yang melengkung sempurna, menyambut mereka dengan pemandangan lautan bintang-bintang yang menakjubkan. Beberapa batu besar yang tersebar di sekitar padang rumput ikut memantulkan bayangan sinar rembulan.
"Dimana kita sekarang?" tanya Kira kebingungan. Adiraga memandang ke sekeliling, mencari petunjuk yang bisa dijadikan informasi lokasi keberadaan mereka saat ini. Pandangannya berhenti pada patung batu di belakang punggung mereka.
Tangan Adiraga menepuk-nepuk sisi kanan patung tempat mereka berdua keluar dari lorong cahaya. "Jika dilihat dari bentuk patung ini, kita berada di Lembah Bada, Sulawesi Tengah." Jawab Adiraga yakin.
"Apa tidak salah? bukannya kita tadi berada di Banten? Bagaimana bisa lorong ini membuat kita menyeberangi lautan?" tanya Kira Larasati heran. Wajahnya terlihat bingung, mencari jawaban perpindahan tempat begitu jauh hanya dengan melewati lorong cahaya.
Adiraga memandang Kira Larasati. "Duh, aku kurang paham istilah ilmiahnya. Tapi ini mungkin yang disebut dengan teleportasi," jawab Adiraga sembari menggaruk-garuk ujung dahinya.
"Setiap daratan saling terhubung melalui jaring-jaring magnet bumi. Dan setiap titik penghubung di tandai dengan batu, pohon, patung, candi dan sebagainya sesuai unsur alam yang menciptakan keseimbangan medan magnetnya," terang Adiraga. "Untuk menggunakannya, diperlukan keselarasan frekwensi. Pintu akan terbuka dan mengubah benda menjadi atom, dari atom diantarkan melalui udara kemudian di titik tujuan dirubah lagi menjadi bentuk semula."
Kira Larasati menanggapi jawaban Adiraga dengan tatapan penuh rasa heran. "Kamu tahu dari mana?" tanya Kira Larasati. Rambutnya menari-nari ditiup angin malam.
"Dari Chakra!" jawab Adiraga singkat. Gadis di sampingnya mengangguk-angguk pelan sebagai tanda mengerti. Jawaban Adiraga sedikit masuk akal bagi Kira Larasati. Setidaknya, hal tersebut tidak membuatnya terlalu lama memikirkan kemustahilan yang baru saja terjadi.
Sejenak, mereka menikmati pemandangan lautan bintang-bintang yang bertebaran di langit. Indahnya cahaya bulan membuat pemandangan yang terhampar begitu indah mempesona, sehingga membuat mereka terbius dan tidak menyadari kehadiran dua sosok bayangan yang muncul dari balik batu besar.
"Salama'ki Tapada Salama!" ucapan salam terdengar parau dari dua sosok misterius.
Suara yang terdengar tiba-tiba dari belakang sontak membuat Adiraga dan Kira Larasati terkejut. Mereka spontan menoleh ke belakang, dan pandangan mereka terkunci pada dua sosok yang berdiri bersebelahan di bawah bayangan patung batu.
"Salama'ki" jawab Adiraga sembari menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada, memberi sikap hormat.
Adiraga berjalan mendekat perlahan-lahan, menghampiri dua sosok di balik batu lalu berdiri terpaut satu meter setelah nampak dengan jelas dua sosok yang memberikan salam kepadanya. Di bawah sinar bulan, mata Adiraga dapat melihat dua orang kakek berikat kepala dari kain berwarna merah menutupi rambut yang putih dan panjang tergerai hingga ke bahu. Setengah menit kemudian, Kira Larasati berdiri sedikit di belakang Adiraga dengan sikap waspada.
"Selamat datang anak-anakku, perkenalkan namaku Ki Jala dan ini adikku Ki Jalu!" ujar kakek misterius di sebelah kiri.
Adiraga melihat wajah kedua kakek itu sangat mirip. Andai saja gaya pakaian mereka tidak berbeda, tentu sangat sulit bagi Adiraga dan Kira Larasati mengenali keduanya. Namun, Meski sama-sama menggunakan baju berwarna merah dan celana hitam, Ki Jalu lebih mudah dikenali karena suka menyampirkan kain tenunnya di bahu ketimbang di ikat rapi pada pinggangnya seperti Ki Jala. Ki Jala berpakaian lebih rapih ketimbang adiknya Ki Jalu
"Salam hormat dari kami Nata Adiraga dan Kira Larasati kepada Ki Jala dan Ki Jalu," balas Adiraga sembari memperkenalkan diri.
Adiraga kembali memberikan salam penghormatan, diikuti Kira Larasati pun ikut menyusul memberikan salam tidak lama berselang.
Ki Jalu berbisik di telinga Ki Jala, "Mereka pemuda-pemudi yang tahu tatakrama ya Kakang, mengerti adab kepada orang tua seperti kita," ucap Ki Jalu pelan, tangannya menutupi kedua bibir yang berbisik di telinga Ki Jala.
Ki Jala mengangguk. "Iya, tapi apakah mereka benar-benar orang yang tepat untuk masalah ini?" balas Ki Jala. Matanya tetap tertuju kepada Adiraga dan Kira Larasati.
Suara angin yang meniup ilalang terdengar seperti sebuah raungan, terdengar memilukan.
Adiraga dan Kira Larasati menunggu dengan tenang dan penuh kewaspadaan. Pengalaman dua kali menghadapi Legion beserta jaringan agen-agennya seperti Ki Ajun, membuat keduanya sekarang lebih berhati-hati dan tidak ingin melakukan tindakan yang ceroboh.
"Apakah kalian yang diutus oleh Chakra?" tanya Ki Jala, suaranya terdengar berat.
Adiraga berusaha bersikap wajar mendengar pertanyaan Ki Jala. "Mohon maaf jika saya lancang, bagaimana Ki Jala bisa mengenal Chakra dan kaitannya dengan kami berdua?" tanya Adiraga.
"Chakra menyampaikan kepada kami, jika nanti muncul empat pemuda di sini, maka merekalah yang dapat menolong menyelamatkan pulau Sulawesi dan Kalimantan dari bencana," ungkap Ki Jala. "Tapi kenapa hanya muncul berdua saja di tempat ini?"
Adiraga dan Kira Larasati saling berpandangan. Keduanya mengingat peristiwa yang terjadi yang begitu cepat, membuat mereka tidak sempat memperdebatkan siapa, apa dan rencana selanjutnya ketika Chakra memberikan pilihan. Semua berlalu cepat tanpa ada kesempatan menunggu. Bagi Adiraga, belum hilang rasanya bayangan pilu berhadapan dengan Legion, namun ancaman baru sudah menanti tanpa memberikan kesempatan sedikit saja untuk beristirahat sejenak. Ia ingin ada waktu melewati hari-hari yang indah dengan orang yang sangat berarti dalam hidupnya.
Adiraga dan Kira Larasati diam termenung, tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mencari alasan yang tepat untuk diungkapkan kepada Ki Jala dan Ki Jalu yang menunggu jawaban.
"Apakah kalian berempat sudah tidak kompak lagi?" tanya Ki Jalu memecahkan lamunan sepasang anak muda di depannya.
Adiraga gelagapan mendapat pertanyaan mengejutkan dari Ki Jalu.
"Ah, tidak Ki. Kami berempat baik-baik saja. Hanya saja, semua serba cepat kejadiannya," jawab Adiraga sembari mengusap-usap pangkal lengannya menghilangkan kesan gugup.
"Apakah kalian berdua sudah tahu alasan kalian ada di tempat ini sekarang?" tanya Ki Jala menimpali.
Adiraga dan Kira Larasati kompak menggelengkan kepala.
"Sebelum kejadian gempa dan tsunami di pulau Sulawesi, sekelompok orang telah mengambil pusaka di tempat ini. Akibatnya, lempengan di bawah tanah bergerak dan membelah bumi." Kenang Ki Jala. "Ribuan orang-orang yang tidak berdosa terkena dampaknya, hanya karena ulah kerakusan segelintir orang." Raut wajah Ki Jala terselip penyesalan yang amat dalam.
Kira Larasati mencoba menerawang peristiwa Gempa berkekuatan 7,4 Mw beserta tsunami setinggi 5 meter yang melanda pantai barat Pulau Sulawesi. Ada 2.045 orang yang tewas, 632 orang luka-luka, 100 orang lebih menghilang, dan 16.732 penduduk mengungsi. Bagi Kira Larasati, tragedi bencana yang mengorbankan banyak nyawa dan harta demi mengambil pusaka leluhur tanah Sulawesi merupakan kejahatan yang sulit dimaafkan. Benar-benar kejam dan sangat tidak berprikemanusiaan. Rasa geram Kira Larasti tidak tertahankan, tangannya mengepal keras membayangkan itu semua.
"Dan ini semua baru awal," tegas Ki Jalu. Kalimat yang meluncur dari bibirnya membuat Adiraga dan Kira Larasati tercengang.
"A..pa!? baru awal?" tanya Kira Larasati terbata-bata. Kekhawatirannya seketika muncul, rasanya sangat sukar dipercaya.
Rasa kesal menyeruak dalam dada Adiraga. "Lalu bagaimana mencegahnya agar bencana ini tidak terjadi?" tanya Adiraga. Ia menatap Ki Jalu dan Ki Jala yang saling berpandangan sejenak, lalu memandang ke arahnya dengan penuh harapan.
"Kalian perlu tahu, nenek moyang sengaja meletakkan pusaka di beberapa titik tertentu untuk mencegah bencana. Semua saling terhubung, jika satu menghilang, maka harus segera dikembalikan. Jika tidak, maka bencana akan ada di depan mata!" ungkap Ki Jala. Tangannya ikut sibuk bergerak-gerak menggambarkan maksud ucapannya.
"Bagaimana jika kami tidak bisa mendapatkan pusakanya?" tanya Adiraga bimbang.
"Kalian bisa meminjam pusaka lain yang memiliki energi merekayasa kekuatan alam," jawab Ki Jalu. "Tapi pastinya ini berat, karena hanya Sang Terpilihlah yang bisa mengenali para pembawa pusaka itu."
Adiraga menggaruk-garuk kepalanya. Kedua pipinya menggelembung, meniup udara kosong didepannya. Ia berusaha membuang kegelisahan yang bergelayut di dalam pikiran. Tatapan mata Kira Larasati ke arahnya membuat rasa gelisah semakin berlipat-lipat. Terbayang kembali semua penderitaan yang pernah dialami. Dadanya terasa sesak, ditariknya udara panjang-panjang lalu dibuang sekuat tenaga lewat kedua bibirnya. Kepalanya mendongak ke atas sambil memejamkan mata. Adiraga mencoba menguatkan dirinya terhadap tantangan dan resiko yang seolah tiada akhirnya. Adiraga berniat mengajukan sebuah pertanyaan kembali untuk menjawab kebimbangan dalam hatinya.
"Lalu ba.." ucapan Adiraga terhenti karena Ki Jala dan Ki Jalu sudah menghilang dari tempatnya.
Adiraga terkejut. Kedua bola matanya kemudian sibuk mencari-cari ke tiap sudut patung batu. Dengan panik, ia mendekati patung batu dan mencari jejak keberadaan Ki Jala dan Ki Jalu hingga belakang patung. Setelah berputar-putar mencari hingga tiap sudut sisi patung batu, Adiraga duduk bersender di patung batu. Ia menatap Kira Larasati dengan tatapan kosong, hatinya berkecamuk dengan sesuatu yang sulit untuk dipahami.
Angin dingin di lembah Bada mulai menusuk pori-pori kulit. Rerumputan mulai terasa lembab dan basah saat Kira Larasati ikut duduk di samping Adiraga yang tengah menatap langit di atas lembah. Fajar sebentar lagi menyingsing, terlihat di ujung langit mulai berwarna merah cerah.
Bulan dan bintang-bintang seakan begitu tenang melewati pergantian takdir, menanti matahari yang mengantarkan mereka terlelap di balik hangatnya selimut cahaya sang fajar. Namun tidak dengan Adiraga dan Kira Larasati, benak keduanya sedang terombang-ambing oleh gelombang kegelisahan.
"Kemana perginya bintang-bintang saat matahari bersinar terang? Apakah ia bersembunyi di balik awan, atau lari meninggalkan bulan?" gumam Adiraga dalam hati.
Angin dingin yang bertiup membuat kelopak mata Adiraga kian terasa berat. Beberapa menit kemudian, rasa kantuk yang menyergap berhasil membuatnya tertidur, menyusul Kira Larasati yang telah lebih dulu terlelap setelah bersandar pada bahunya.
***