Lembah Bada, Sulawesi Tengah
Sinar matahari yang merangkak naik mengusik Nata Adiraga yang tidur pulas bersandar pada patung batu. Sisa-sisa embun pagi masih bergelayut di ujung rerumputan yang hijau, butirannya seperti cermin mungil bagi serangga yang sedang menjemput anugerah dari Sang Pencipta. Kicau burung saling bersahut-sahutan, menyambut pagi hari yang cerah di kawasan Lembah Bada.
Pancaran sinar matahari pagi yang hangat, menembus kelopak mata Adiraga dengan lembut. Hangatnya seperti belaian lembut seorang ibu yang membangunkan anaknya perlahan dan penuh kasih sayang. Adiraga mengangkat kelopak matanya perlahan-lahan, pandangannya masih terasa berkabut. Di kiri pundaknya, kepala Kira Larasati masih terbaring dengan nyamannya. Setelah menguap pelan, Adiraga mengusap-usap rumput yang berada satu jengkal di samping kakinya, membasahi tangan kanannya dengan sisa air embun di atas rumput, lalu mengusapkan tangannya yang basah perlahan-lahan pada kedua matanya. Gaya mencuci muka darurat ala anak Pramuka untuk mengusir rasa kantuk yang mendera. Hamparan rumput yang menghijau di atas tanah lapang dan puluhan batu-batu yang bertebaran di sepanjang lembah, seakan menyambut dengan ramah setelah kabut di matanya mulai pudar.
Suara Kira Larasati menguap terdengar lembut di telinga Adiraga. Gadis itu terbangun dari tidurnya karena sinar matahari ikut mengusik kelopak matanya. Pemandangan indah yang tersaji di hadapannya membuat rasa kantuknya terusir dengan seketika. Setelah menarik nafas panjang, Kira Larasati mengangkat kedua tangannya, diregangkan di atas kepala.
"Selamat pagi Ratu Kira!" sapa Adiraga lembut, senyumnya secerah matahari yang mulai beranjak naik.
Kira Larasati melirik sebentar ke arah Adiraga. "Selamat pagi Raja Gombal," balas Kira Larasati sembari melemparkan senyum menggoda.
Kening Adiraga mengkerut seketika. Ia terkejut mendengar jawaban yang tak terduga dari bibir Kira Larasati. Raut muka cemberutnya malah semakin membuat Kira Larasati tertawa geli.
"Sudah-sudah, ayo kita berkeliling sekalian cari sarapan!" protes Adiraga sembari beranjak berdiri. Uluran tangannya disambut garis senyuman terbaik gadis cantik di depannya.
Kira Larasati sejenak menoleh ke belakang, mengamati dengan seksama tiap lekuk patung batu tempat mereka keluar dari lorong cahaya. Dalam hatinya kembali muncul keraguan bagaimana semua bisa terjadi. Namun, semakin dalam pikirannya menggali jawaban, semakin sakit kepalanya di bagian belakang. Tarikan tangan Adiraga mengajaknya berjalan berhasil membuat Kira Larasati kembali ke dunia nyata.
"Kita ke sana yuk!" ajak Adiraga sembari menunjuk ke arah Timur. "Kita cari petunjuk pusaka apa yang berhasil dicuri, dan siapa yang telah mencurinya," lanjutnya. Dengan lembut ia menggandeng lengan Kira Larasati untuk mengikuti langkah kakinya, berjalan menyusuri ladang ilalang setinggi lutut mereka.
***
Setelah puas menjelajah puluhan patung megalitik di Lembah Bada, Adiraga mengajak Kira Larasati menikmati perbukitan yang mengelilingi tanah datar di Kawasan Lore Lindu. Awan yang tertahan di puncak bukit dan mengelilingi lembah, menjadi pemandangan yang dramatis. Sisi kiri Lembah Bada terlihat air hujan sedang jatuh. Sedangkan di sisi kanannya, sang surya sedang menyelinapkan cahayanya dari balik awan. Deru hujan, desau angin lembah dan suara aliran air Sungai Lariang yang menyatu dengan Sungai Malei membuat suasana di Lembah Bada sangat berkesan bagi mereka berdua.
"Kira-kira, patung-patung di sini dibuat untuk apa ya?" tanya Adiraga memecah suasana. Ditatapnya Kira Larasati dalam-dalam.
Tatapan serius Adiraga mengusik kesenangan Kira Larasati menikmati desiran angin lembah yang membelai rambutnya. Kira Larasati membalas tatapan Adiraga dengan cengiran konyol.
"Aku tidak tahu" jawab Kira Larasati sembari merapihkan rambut yang jatuh menutupi wajah.
Adiraga menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal.
"Setahuku, banyak cerita yang beredar disini terkait patung-patung di sini," ucap Kira Larasati. Wajahnya mulai menampakkan raut serius. "Masyarakat lokal percaya bahwa batu itu dulunya digunakan untuk melakukan pemujaan terhadap leluhur. Ada juga kisah terbentuknya patung merupakan seorang pemerkosa, yang dikutuk menjadi batu."
Adiraga menyimak penjelasan yang meluncur dari bibir Kira Larasati.
"Ada cerita tentang sebuah patung bernama Tadulako. Dulunya Tadulako dikenal sebagai penjaga desa, tetapi setelah mencuri beras ia dikutuk menjadi batu." Terang Kira Larasati sambil melangkah ke sisi lembah. "Cerita lain, mengaitkan patung-patung di sini dengan pengorbanan manusia. Beberapa juga percaya bahwa batu tersebut dimaksudkan untuk menangkal roh jahat, sementara yang lain mengklaim bahwa benda tersebut memiliki kekuatan supranatural dan mempu menghilang atau berpindah tempat" ucap Kira Larasati sembari menggulung rambutnya ke atas kepala.
Adiraga manggut-manggut pelan. Namun, ia merasa perlu informasi tambahan latar belakang kenapa mereka bisa muncul di Lembah Bada. Sayangnya, belum ada satu orangpun sebagai tempat untuk ia bertanya, meski telah berjalan cukup jauh menelusuri kawasan tersebut.
Di ujung padang rumput, Kira Larasati melihat ada atap ijuk sebuah bangunan berbentuk segitiga. Ia juga mendengar ada suara-suara seperti pukulan yang bersahut-sahutan dari arah bangunan seperti rumah adat suku Lore. Semakin mendekat, suara-suara pukulan berirama itu terdengar semakin nyaring. Kira Larasati melihat sekumpulan perempuan di atas Baruga, sebuah bangunan rumah adat besar tetua suku Lore. Mereka sedang mengayunkan peboba, semacam alat pemukul dari batang enau (Arenga pimata) di atas potongan kulit kayu yang disusun berjajar. Di halaman Baruga, sekelompok wanita lainnya juga memukuli lembaran kulit kayu yang lebih halus menggunakan batu ike, alat pemukul dari lempengan batu berpola garis-garis yang diapit anyaman batang rotan sebagai pegangan.
Kira Larasati terkejut takjub. Suara-suara yang sejak tadi didengarnya di balik ilalang ternyata tradisi pembuatan kain yang sudah ada sejak zaman Neolitikum, sekitar 3.600 tahun lalu di Lembah Bada. Proses pembuatannya masih dilakukan manual, menggunakan bahan alamiah yang jauh dari teknologi mekanik otomatik dan bahan-bahan kimia. Tradisi membuat baju ramah lingkungan yang sudah berkembang jauh sebelum zaman Megalitikum.
"Waaahhh.. ini keren banget! Aku udah lama banget penasaran sama pembuatan baju organik ini!" teriak Kira Larasati bahagia. Ia berlari kecil, meninggalkan Adiraga. Pemuda gondrong itu mencoba mencerna maksud ucapan Kira Larasati.
"Kira! tunggu dulu!" teriak Adiraga. Usahanya memanggil gadis itu sia-sia.
Kira Larasati masuk ke dalam pekarangan rumah, mendekati sekumpulan perempuan yang terus memukulkan benda di tangannya tanpa suara, mereka sama sekali tidak menyadari kehadiran Kira Larasati yang sedang mengamati mereka dari jarak begitu dekat.
Baru saja gadis itu hendak berbincang dengan salah satu perempuan setengah tua yang duduk di balai kayu. Sebuah tepukan keras di punggungnya membuat Kira Larasati terkejut.
"Kira! kamu mau ngapain?" tanya Adiraga heran. Tatapan matanya penuh dengan kebingungan.
"Aku mau wawancarain mereka Ga," jawab Kira Larasati riang.
"Mereka siapa?" tanya Adiraga bertambah bingung. Kepalanya melongok ke belakang tubuh Kira Larasati.
"Mere..." ucapan Kira Larasati terhenti.
Kira Larasati terkejut saat mendapati pemandangan yang baru saja dilihatnya kini sama sekali jauh berbeda dari sebelumnya. Di hadapannya sekarang, hanyalah puing-puing kayu lapuk yang berserakan tidak beraturan.
"Loh, kok mereka enggak ada?" tanya Kira Larasati bingung. Ia berusaha meyakini apa yang baru saja dilihatnya adalah nyata. Namun, rumah adat yang megah dengan aktivitas mengolah kain dari kulit kayu, kini hanya sebuah hamparan rumput dengan sisa-sisa bangunan yang sudah lama ditinggalkan.
Adiraga dan Kira Larasati saling berpandangan tanpa kata-kata, seolah saling bertelepati tentang kejadian yang mereka berdua alami. Tentang kemunculan mereka di Lembah Bada, tentang bertemu dengan Ki Jala dan Ki Jalu dan kini tentang keberadaan mereka di depan sebuah bangunan yang telah lama porak poranda. Padahal, Kira Larasati melihat dengan mata kepalanya sendiri ada aktivitas perempuan di dalamnya.
Keduanya cukup lama termenung, tenggelam dalam imaginasi abstrak antara nyata dan fiksi sehingga tidak menyadari di belakang mereka sudah lama berdiri seorang gadis muda dengan rambutnya yang hitam sebahu. Tshirt abu-abu berlapis kemeja flanel merah tua bermotif kotak-kotak dengan balutan celana jeans biru dan sepatu kets sporty berwarna merah membuat gadis itu terlihat kontras dan sangat mencolok di atas hamparan padang rumput.
"Kalian sedang apa di sini?" tanya gadis bertshirt abu-abu. Suara gadis bermata cokelat itu spontan membuat keduanya menoleh ke arah gadis setinggi satu setengah meter di belakang mereka.
***
Rumah Adat Suku Lore, Lembah Bada
"Patung Megalitik di Lembah Bada merupakan wajah manusia yang sudah distilasi, alis dan hidung digambarkan menjadi satu, sedangkan bagian mulut dihilangkan. Patung di Lembah Bada umumnya memiliki tanda gender yang jelas. Di patung Palindo dan Meturu terukir gambar alat kelamin laki-laki. Sedangkan pada patung Langke Bulawa digambarkan alat kelamin wanita. Perbedaan gender juga digambarkan pada raut wajah, dimana pada patung wanita, wajahnya digambarkan seperti dahi yang tertutup poni." terang Somba kepada Adiraga dan Kira Larasati
Usai mengenalkan diri, Somba mengajak Kira Larasati dan Adiraga untuk menikmati bekal makan siang yang dibawa olehnya di kawasan rumah adat suku Lore. Somba Parama mengenalkan dirinya sebagai mahasiswi asal Toraja Utara yang sedang melakukan riset kehidupan masyarakat adat Lore di Lembah Bada kepada dua orang di hadapannya tadi siang, saat bertemu mereka di sekitar padang rumput.
"Batuan megalitik yang paling terkenal di Lembah Bada adalah Watu Palindo dengan posisi miring. Dinamakan Palindo, yang berarti sang penghibur. Wajah Watu Palindo ini seperti berwajah ceria dan ramah," lanjut Somba. Sesuap nasi putih dengan dendeng ikan kemudian masuk ke dalam rongga mulutnya.
Mendengar penjelasan Somba Parama, Adiraga jadi teringat pada batu tempat mereka muncul semalam. Batu setinggi empat meter berbentuk tubuh oval bermata bulat dan hidung besar memanjang kebawah. Pahatan di bagian mulutnya yang berbentuk senyuman masih teringat jelas dalam ingatannya.
"Kamu pernah mendengar ada penggalian benda-benda di sekitar sini?" tanya Adiraga sembari mengunyah suapan nasi terakhir. Beberapa suap nasi pemberian Somba Parama membuatnya kembali segar dan bertenaga.
Wajah Somba sedikit terkejut mendengar pertanyaan dari Adiraga yang duduk tepat di hadapannya. Somba menelan makanan yang baru setengah dikunyah. Lalu membalas tatapan pemuda dengan raut wajah serius di depannya.
"Iya, beberapa hari sebelum kejadian gempa dan tsunami di Palu ada penggalian di sini. Lokasinya tidak jauh dari Langka Bulawa, patung batu berukiran sosok wanita yang mempunyai arti nama Ratu bergelang kaki emas," jawab Somba. Ia lalu merapihkan sisa-sisa nasi yang tersisa, membungkusnya dengan rapih.
Kira Larasati juga ikut merapihkan wadah nasi dendeng ikannya yang sudah habis tak bersisa. Pertemuannya dengan Somba di puing-puing bangunan tadi menjadi awal kedekatan mereka saat ini. Duduk di atas bangunan rumah adat yang menjadi tempat menginap Somba selama melakukan penelitian.
Tidak jauh dari tempat mereka menikmati makan siang, beberapa rumah adat berbentuk segitiga dengan atap ijuk berbaris memanjang diantara padang ilalang.
"Kamu tahu mereka dari mana?" tanya Kira Larasati, menyelidik lebih jauh informasi yang mereka dengar dari Ki Jala dan Ki Jalu semalam.
"Yang aku dengar, proyek penggalian itu dibiayai oleh seorang pengusaha bernama Juna Birawa, aku tahu itu dari Rahman Saputra, mahasiswa yang ikut melakukan penggalian." jawab Somba. Tangannya mengambil ponsel dari dalam tasnya lalu menunjukkan beberapa gambar yang dikirimkan mahasiswa itu melalui Whatsapp.
Kening Adiraga menggernyit melihat photo di ponsel Somba Parama. Seorang pria bertopi koboi sedang tersenyum bangga sembari menggenggam benda berwarna hijau pucat di tangannya.
"Itu yang namanya Juna Birawa, pemimpin proyek penggalian tempo hari," ucap Somba menambahkan.
Kira Larasati ikut terkejut melihat wajah yang ditunjukkan Somba Parama dalam photo. Seketika, ada bayangan sebuah candi di Jawa Tengah terlintas dalam ingatannya, kelebatan-kelebatan cahaya dan teriakan-teriakan orang yang meregang nyawa terdengar bising dari dalam telinganya. Kira Larasati berusaha membuang bayangan itu dengan gelengan-gelengan kecil kepalanya.
"Kalian kenal orang ini?" tanya Somba Parama, rasa heran menyeruak dari raut wajahnya mendapati dua orang di depannya terkejut melihat gambar di layar ponselnya.
"Kami seperti pernah bertemu dengan wajah dalam photo itu beberapa bulan yang lalu, tapi rasanya tidak mungkin. Karena orang dalam photo itu sudah meninggal dunia," sahut Adiraga. Wajah bingungnya semakin terlihat mendapati Kira Larasati yang terlihat gamang.
Adiraga merasa tidak percaya, bagaimana mungkin orang yang jelas-jelas tubuhnya terbelah menjadi dua di Candi Sukuh bisa hidup lagi. Apalagi, Adiraga menyaksikan secara langsung bagaimana kematian Ki Ajun di tangan manusia Garuda.
"Somba, sepertinya kami malam ini tidak bisa ikut bermalam bersamamu. Kami ingin melihat-lihat pemandangan bintang di Palindo," ujar Adiraga tiba-tiba sembari melirik Kira Larasati yang termenung. Firasat yang mengalir membuatnya memutuskan untuk kembali ke tempat kemunculan mereka berdua tadi malam.
"Ini pasti ulah Legion lagi!" teriak Dirga dalam hati.
***