Hai Tasha, hai semua. Lama tidak berjumpa. Maaf ya, aku relatif jarang ke sini. Padahal, dulu, aku datang setiap hari, lalu turun ke seminggu sekali, lalu sebulan sekali. Sekarang, mungkin aku hanya datang dua atau tiga bulan sekali.
Tidak. Aku tidak sibuk bekerja. Posisi sebagai kepala intelijen sudah memberiku gaji dan tunjangan yang lebih dari cukup. Ditambah Ease yang bekerja sama dengan AmiAmi Corporation, menjadi waralaba multi nasional. Belum lagi uang yang dikirim oleh Agade walau aku sudah bilang tidak butuh. Aku sudah tidak perlu bekerja untuk mencari uang. Karena bosan, aku pun mulai menggeluti perakitan penjualan barang antik lagi.
Kesibukanku yang utama, saat ini, ini adalah mengurus anak-anak. Emir bekerja sebagai instruktur di sekolah intelijen. Inanna melakukan pekerjaan sebagai peneliti di universitas. Rina ... dia Ratu, selalu ada pekerjaan untuknya. Padahal, dulu, ketiga istriku ini pengangguran. Kondisi benar-benar sudah berubah.
Ah, lalu, untuk anak-anak panti asuhan Sargon ... jujur, aku bingung bagaimana ceritanya. Menurut Lacuna, mayoritas anak-anak panti asuhan Sargon memiliki potensi untuk menjadi mercenary kelas atas, seperti Mulisu atau aku. Iya, Mulisu yang nama aslinya Melinda. Mengingat Mulisu juga keluaran dari panti asuhan Sargon, aku berpikir ini berhubungan dengan pendidikan panti asuhan Sargon. Kalian yang tidak mengutamakan pengendalian kelihatannya menjadi faktor penting.
Jadi, sekarang, sebagian dari mereka menjadi mercenary, sebagian lagi menjalani hidup normal. Jujur aku bingung. Mereka bukan anak-anak lagi, sudah bisa menentukan masa depan. Namun, di lain pihak, aku juga khawatir. Tidak terhitung berapa kali aku mewanti-wanti mereka untuk berhati-hati, apalagi sejak kejadian Maul dan Hanna. Yah, pada titik ini, aku hanya bisa pasrah dan berdoa.
"Ayah, Mari ngantuk."
"Sebentar ya, sayang."
Suara pelan muncul dari sosok yang sedari tadi memegangi celanaku. Aku merendahkan badan dan menggendong anak perempuan berambut merah membara ini, Mari.
Ini Mari. Kamu masih ingat kan, Tasha? Terakhir dia ikut bersamaku mungkin setahun yang lalu. Ya, dia anak kedua Emir. Saat ini, aku sudah memiliki 6 anak, Clara, Rian, Mari, Rimu, Mita, dan Lula. Dari mereka berenam, 4 anak inkompeten. Hanya Rian dan Mita yang memiliki pengendalian seperti ibunya, silika.
Dan, ya, tangan kananku masih setengah lumpuh, dari siku ke bawah. Bahkan, akhir-akhir ini, rasanya tanganku semakin susah digerakkan. Kalau sudah begini, hanya tinggal menunggu waktu sebelum siku kanan ke bawah lumpuh total. Jangan tanya soal jari. Aku sudah tidak bisa menggerakkannya sejak beberapa minggu lalu. Hahaha.
Yah, menurutku, ini adalah harga kecil yang harus kubayar demi Rina. Rina sering murung dan membuang pandangan ketika melihat tangan kananku. Jujur, aku sedih ketika melihatnya merasa bersalah.
Ah, sudah dulu ya, Tasha, lainnya. Mari sudah mulai tidur. Aku akan kembali lagi kalau ada waktu luang.
***
"Terima kasih, Ibla."
"Sama-sama, Gin."
Meski tangan kananku setengah lumpuh, aku masih bisa mengemudi mobil. Namun, Ibla dan anggota Agade lain bersikeras untuk mengantar dan menjemputku kalau ingin pergi. Normalnya, ada agen yang berjaga di sekitar rumah. Tadi, kebetulan Ibla dan Ninmar baru pulang. Ketika melihat aku akan berziarah, Ibla langsung mengantarku.
Karena sudah memiliki 6 anak, aku memutuskan untuk memperluas rumah. Kalau dibandingkan, rumahku 3 kali lebih luas dari yang sebelumnya. Daerah pemukiman ini tidak lagi kosong seperti saat perang, tapi sudah penuh. Namun, yang tinggal di pemukiman ini bukanlah orang normal. Orang-orang yang tinggal di kompleks ini adalah militer, intelijen, atau anggota organisasi Empat Pilar. Karena hal ini, frekuensi bertemu dengan orang-orang dari lingkungan kerja relatif tinggi.
"Lho, Gin, kamu baru pulang? Dari mana?"
Ketika sampai di depan pintu, aku berhenti dan memutar badan. Di balik pagar terlihat Inanna dan Rina yang turun dari mobil bersama Clara, Rimu, dan Lula. Tentu saja mereka tidak datang dengan taksi. Sudah ada mobil khusus yang dioperasikan oleh Kerajaan Bana'an untuk mengantar jemput Rina setiap minggu.
"Hai Inanna. Aku memutuskan untuk ke makam Tasha. Sudah agak lama tidak berkunjung."
"Ah, begitu ya." Inanna merespons enteng.
"Clara sayang, tolong ayah dibukakan pintu."
"Baik bu!"
Clara menjawab dengan penuh semangat dan lari ke pintu. Namun, sebelum Clara sempat menyentuh gagang, pintu sudah terbuka dari dalam.
"Ah, ternyata benar ayah sudah pulang."
"Rian! Kenapa kamu membuka pintu! Tadi aku mau membukakan pintu untuk ayah, tahu!"
"Eh?"
Clara kesal ketika melihat anak laki-laki berambut merah membara di hadapannya, Rian. Meski rambutnya memberi kesan garang, Rian relatif lunak di depan orang, sepertiku. Jadi, kecil kemungkinan dia akan melawan ketika kakak atau adiknya marah.
"Ma-maaf kak...."
"Sudah, sudah, jangan bertengkar."
Aku berusaha melerai Clara dan Rian. Ya, berusaha. Aku hanya bisa menenangkan mereka lewat kata-kata. Kedua tanganku sudah penuh untuk menggendong Mari.
"Sudah, ayo masuk."
"Hmph!" Clara mengabaikan Rian dan berjalan di depanku.
Selain Mari, Clara juga relatif lengket denganku. Namun, dia masih lebih memilih ibunya.
"Emir, kami pulang!"
"Selamat datang!"
Ketika masuk, bau harum bumbu dan masakan yang sempat tercium dari luar menjadi sangat kuat. Berbeda dengan dulu, sekarang, Emir sudah bisa memasak dengan lihai. Di rumah ini, hanya aku yang tidak bisa memasak lagi karena tangan yang setengah lumpuh.
"Ung, sudah sampai rumah?" Mari bangun dan mengusap mata.
"Iya, Mari, kita sudah sampai rumah."
"Ung..."
Mari kembali tertidur. Hahaha, aku tidak tahu apakah Mari sudah terlalu nyaman di gendonganku atau memang dia mengantuk. Di saat itu, perempuan kecil berambut coklat, Mita, datang.
"Kak Clara, Kak Rian, ibu minta tolong kakak membukakan jendela supaya aroma bumbunya tidak mengumpul di rumah."
"Baik!"
"Kamu jangan menyerobot lagi, Rian!"
Aku hanya bisa tersenyum masam melihat Clara yang agak sengit dengan Rian. Hahaha. Aku penasaran Clara menuruni sifat yang suka mendominasi dari siapa mengingat aku dan Rina sama-sama pasif. Iya kan?
Di lain pihak, aku melihat sosok Mita kecil yang menyeringai. Sekali lagi, aku hanya bisa tersenyum masam melihat kelakuan anakku.
"Mita! Apa jendela sudah dibuka?"
"Sudah bu!"
Mita berlari ke dapur dengan wajah bingar, tidak menunjukkan rasa bersalah.
Rina berkomentar, "dan, Lugalgin cilik pun berlari ke dapur seolah tidak ada yang salah dengan yang dilakukannya."
Mita, dibanding yang lain, adalah yang paling mirip denganku dalam hal sifat. Dia suka memberdayakan orang lain. Hal ini dibuktikan dari teriakan Emir yang baru saja. Aku berani bertaruh Emir hanya meminta tolong ke Mita. Lalu, Mita meminta tolong ke Clara dan Rian. Padahal dia masih 5 tahun, tapi kelakuannya beda drastis dibandingkan Rimu yang berusia sama.
"Ah, iya, Rina. Nanti malam tolong tidurkan anak-anak lebih cepat ya. Ada tamu untukmu."
"Tamu?"
***
Anak-anak sudah tidur. Aku juga meminta tolong agar Emir dan Inanna menemani mereka.
"Memangnya siapa tamunya, Gin?"
"Lihat saja nanti."
Aku membantu Lugalgin menyeduh dan menyiapkan teh herbal. Saat ini, teh herbal ramuan Lugalgin sudah sangat terkenal di kalangan elite Bana'an dan Nina. Akhir-akhir ini, aku juga mendengar kalangan elite kerajaan dan negara lain juga mulai melirik teh herbal ramuan Lugalgin.
Aku melihat ke Lugalgin yang memasak air dan menyeduh teh herbal dengan piawai. Meski sudah tidak bisa memasak karena butuh dua tangan, untuk hal-hal seperti menyeduh minuman Lugalgin masih sangat ahli. Aku cukup yakin Lugalgin bukan kidal. Dia juga mengaku bukan kidal. Namun, kalau melihatnya beraktivitas, kamu pasti akan berpikir dia kidal.
Meski Lugalgin masih bisa melakukan banyak hal dengan lancar, dadaku masih sesak dan miris setiap melihatnya. Tangan Lugalgin menjadi setengah lumpuh dikarenakan daging dan otot yang terlalu padat. Dan, orang yang membuat Lugalgin mengalami hal ini, tidak lain dan tidak bukan adalah aku. Gara-gara aku berusaha bunuh diri, Lugalgin kehilangan tangan kanannya. Sial!
Meskipun Lugalgin berkali-kali mengatakan agar aku tidak memikirkannya, tetap saja aku merasa bersalah. Sejak saat itu, kami benar-benar melarang Lugalgin untuk turun ke lini depan kalau ada masalah. Atasan biar tetap di atas. Biar kami yang turun.
"Lima gelas? Tamunya tiga orang?"
"Yap. Tiga orang."
Tamu tiga orang. Jujur, aku masih bingung siapa tamu yang dimaksud oleh Lugalgin. Namun, entah kenapa, aku merasa senyum Lugalgin seolah dipaksakan. Ujung matanya sedikit turun. Mungkin tamu yang akan datang ini membawa berita buruk.
Setelah teh siap di teko, aku membawanya dengan nampan ke ruang tamu. Belum sempat kami duduk, bel sudah berbunyi.
"Biar aku. kamu tunggu saja di sini."
Lugalgin langsung pergi membuka pagar. Aku memilih untuk duduk, menunggu di ruang tamu, layaknya istri yang baik.
"Selamat malam, Tuan Lugalgin."
"Selamat datang, Ira."
Ira? Aku tidak salah dengar? Lugalgin menyambut Ira? Kalau Ira adalah satu dari tiga tamu yang dimaksud Lugalgin, siapa dua yang lainnya? Apa suami dan anak Ira? Namun, rasanya kecil kemungkinan Ira akan pergi ke kerajaan lain dengan membawa keluarganya.
"Maaf, sudah merepotkan. Dan, terima kasih, Lugalgin."
Bulu kudukku berdiri ketika mendengar suara ini. Meski sudah bertahun-tahun tidak mendengarnya, aku masih sangat familier dengan suara ini. Napasku pun menjadi pendek. Aku langsung menuangkan teh herbal ke satu cangkir dan menyeruputnya, berusaha menenangkan diri. Pintu dan pagar tidak terpisah jauh. Namun, aku tidak berani melihat keluar. Aku takut.
"Rina, ini adalah tamu kita malam ini."
Mengikuti suara Lugalgin, perlahan, aku menoleh ke pintu, melihat orang-orang dengan pakaian kasual. Lugalgin, Ira, dan ayah minggir, menunjukkan sosok berambut perak yang seharusnya sudah tewas 9 tahun lalu.
"I-ibu?"
"Selamat malam, Rina. Maaf karena berkunjung malam-malam."
"Ini ... tidak mungkin! Aku sudah membunuhmu 9 tahun lalu. Aku ...."
Dadaku sesak. Aku kesulitan bernapas. Cangkir di tanganku pun memperdengarkan suara gemeretak.
"Rina!"
Lugalgin langsung mengambil cangkir di tanganku dan menggenggamnya erat. Dia berusaha menenangkanku yang gemetaran.
"Sebelum memulai cerita lengkapnya, aku ingin mengatakan kalau Ratu Amana yang kamu bunuh 9 tahun lalu adalah palsu."
"Pa-palsu?"
"Ya," Lugalgin mengangguk.
Lugalgin langsung duduk di sebelahku, masih menggenggam erat tanganku.
"Ibu Amana, Bapak Bilad, Ira silakan duduk."
"Tidak, terima kasih, Tuan Lugalgin. Saya akan berdiri saja."
Ira, selayaknya pelayan istana, loyal pada pekerjaannya. Sementara ayah duduk begitu saja, ibu masih berdiri, terlihat ragu. Wajahnya tampak masam. Bahkan, dia tidak berani memandangku.
"Ibu Amana, tolong. Semakin cepat Ibu Amana duduk, semakin cepat kita bisa memulai perbincangan ini."
"Tapi ...."
"Amana."
Panggilan ayah tidak mampu membuang keraguan ibu. Pandangannya masih tidak fokus. Dia melihat ke sana sini. Di saat itu, entah apa yang terlintas di benakku, sebuah kalimat muncul dari mulut ini.
"Ibu, tolong duduk. Aku ingin mendengar apa yang kalian ingin sampaikan."
Ketika mendengarku, ibu tampak terentak. Tidak terlihat lagi niat melawan. Ibu pun duduk di sofa, di seberang meja.
"Baiklah, mari kita mulai. Rina ...."
***
"Tidak ... mungkin ... kalian pasti berbohong, kan?"
Dari awal sampai akhir, aku bisa merasakan badan Rina gemetaran. Bahkan, ketika semua cerita ini selesai, gemetaran di badan Rina justru semakin hebat. Aku merengkuh Rina erat, berusaha menenangkannya. Aku bersyukur dia hanya diam menerima rengkuhanku, tidak mencoba melepaskan diri.
"Maafkan aku, Rina. Maafkan aku."
Rina tidak memberi respons terhadap permintaan maafku. Matanya masih fokus pada Ibu Amana yang membuang pandangan.
Aku telah membohongi Rina selama 9 tahun. Meski aku melakukan ini semua demi Rina, tetap saja itu bukan pembenaran. Ya, aku mengaku salah atas semua ini.
"Rina," Ibu Amana menambah. "Kami menceritakan ini bukan ingin meminta pengertian dan permintaan maaf. Kami–"
"Aku hanya ingin kamu mendengar cerita yang sesungguhnya, Rina." Aku menyela. "Dan, sekali lagi aku tegaskan, Ibu Amana tidak memiliki peran dalam penyusunan rencana ini. Semua rencana Ibu Amana sudah tergantikan oleh rencanaku dan Tera."
Tiba-tiba saja Rina menoleh ke arahku. Pandangannya kosong. Perlahan, aku bisa melihat mulutnya yang terbuka.
Hina saja aku. Benci saja aku. Aku tidak peduli.
"Terima kasih, Gin. Aku tidak menyangka akan mendapat suami sebaik dirimu."
"... hah?"
Aku melihat ujung mulut Rina yang naik. Wajahnya tampak lemas, rileks.
Rina menarik napas dalam, lalu meminum teh. Setelah menarik napas dalam dan meminum teh, badannya tidak gemetaran lagi.
"Dengan begini, semuanya menjadi masuk akal."
"Masuk akal?"
"Gin, kamu sudah bisa melepaskan pelukanmu. Aku sudah cukup tenang."
"Ah ... kamu yakin?"
"Iya, aku yakin, sayang."
"Okelah kalau begitu."
Meski enggan, aku melepaskan Rina.
"Akhirnya aku bisa mengatakan ini." Sebuah tarikan napas dalam, sekali lagi, dilakukan oleh Rina. "Ibu, maafkan aku."
"..."
Bukan hanya Ibu Amana yang terentak, aku dan Bapak Bilad pun terentak. Kami sama sekali tidak menduga ucapan Rina. Di lain pihak, Ira masih diam dengan wajah datar, selayaknya pelayan istana kelas atas.
"Sejak Tera tewas, pikiranku terlalu fokus pada balas dendam. Aku bisa bilang telah dibutakan oleh dendam. Setelah terpaksa membunuh ratu palsu itu, tanpa mengeksekusinya, hidupku terasa hampa. Di saat itu, aku benar-benar tidak memiliki tujuan hidup. Hal ini lah yang membuatku berusaha bunuh diri berkali-laki. Bahkan, kelahiran Clara pun tidak mampu mengubahku.
"Entah karena waktu atau mungkin ada alasan lain, setelah Rimu lahir, aku menjadi lebih tenang. Melihat Clara yang bermain dengan adiknya memberiku sebuah makna hidup yang baru. Setelah pikiran mulai tenang, aku mulai mengingat semua kejadian di masa lalu. Ketika mengingat masa lalu, aku menyadari pergerakan kami di Kerajaan Nina, bisa dibilang, sangat lancar. Bahkan, terlalu lancar. Setelah mendengar kalau ternyata Lugalgin bekerja sama dengan Ira, semuanya menjadi masuk akal."
Aku jadi teringat momen ketika Rimu belum lahir. Saat itu, yang lebih sering menghabiskan dengan Clara adalah aku, Emir, dan Inanna. Rina jarang sekali menghabiskan waktu dengan Clara. Kami sempat khawatir Clara akan menjaga jarak atau bahkan membenci ibunya. Namun, untungnya, hal itu tidak terjadi.
Aku benar-benar bersyukur Clara tidak membenci ibunya. Setelah bertahun-tahun hidup tanpa kasih sayang ibunya, akhirnya Clara bisa merasakannya setelah Rimu lahir. Menurutku, hal ini lah yang membuat Clara menempel lekat pada ibunya. Dia ingin mendapatkan kompensasi atas waktu yang dilalui tanpa kasih sayang ibunya.
"Semenjak saat itu aku berpikir, mungkin walaupun eksekusi berhasil dilakukan, perasaan hampa itu memang tidak terhindarkan. Bahkan, aku mulai mempertanyakan apakah keputusanku untuk membunuh ibu adalah benar. Sebagian dari diriku takut kalau ternyata keputusan yang kuambil adalah salah. Ternyata ada alasan lain yang membuat ibu melakukan semua itu. Jadi, tadi, aku gemetaran bukan karena marah atau sejenisnya. Justru sebaliknya, aku takut. Aku takut kalau–"
"Sudah," aku menyela sambil mengusap kepala Rina. "Masa lalu tidak usah terlalu dipikirkan. Intinya, ibumu sekarang masih hidup dan kamu tidak perlu merasa bersalah. Yang penting adalah itu, oke."
Meski Ibu Amana masih harus minum obat penawar setiap hari, aku tidak akan mengucapkannya lagi.
Senyum lebar terkembang di wajah Rina. Sejak menikahinya, mungkin ini adalah senyum paling lebar dan paling tenang yang pernah kulihat. Aku bisa melihat otot wajahnya yang mengendur, rileks, seolah dia mendapatkan pencerahan dan ketenangan.
Tiba-tiba Rina memelukku. "Terima kasih banyak Lugalgin. Terima kasih. Berkat kamu, aku tidak membunuh ibuku."
Aku balik memeluk Rina dan mengusap punggungnya dengan perlahan, tanpa jawaban.
Rina membenamkan wajahnya ke dadaku. Meski tidak melihat, aku bisa mengetahui kalau Rina menitikkan air mata.
Tidak lama, Rina pun melepaskan pelukannya. Setelah menyeka air mata, Rina menghadap ke Ibu Amana di depan dan sedikit membungkukkan badan.
"Semoga ibu mau menerima maafku."
"Tidak, Rina. Ibu lah yang harus meminta maaf. Karena kesalahan ibu, Tera ...."
Baik Ibu Amana maupun Rina sama-sama menunduk ketika nama Tera muncul. Hah, dasar, Tera. Lihat! Gara-gara kamu bodoh, ibu dan kakakmu jadi menderita! Kalau kamu hidup lagi, aku sangat ingin menghajarmu.
Jujur, aku sangat ingin menyaksikan adegan Rina dan Ibu Amana berpelukan, saling memaafkan satu sama lain, seperti di film-film. Namun, tentu saja, hal itu tidak mungkin terjadi. Mereka sudah 9 tahun tidak bertemu. Bahkan, pertemuan sebelumnya dipenuhi dengan permusuhan dan kebencian. Tentu saja, mereka akan canggung.
"Rina, kamu bisa melanjutkan obrolan dengan Ibu Amana di kamar tamu."
"Eh?"
"Tidak, kami tidak mau merepotkan, Gin."
"Tidak. Kalian tidak merepotkan." Aku merespons. "Ibu dan Ibu Filial sudah memintaku untuk membiarkan Ibu Amana menetap malam ini. Mereka berharap Ibu Amana dan Rina menghabiskan waktu bersama. Meski hubungan kalian tidak akan langsung baik, setidaknya ada progres."
"Eh?"
"Dan lagi," aku menoleh ke Bapak Bilad.
Bapak Bilad merespons pandanganku, "aku, Lugalgin, Barun, dan Ira sudah ada janji minum untuk malam ini."
"Ira?"
Rina dan Ibu Amana sama-sama menoleh ke Ira.
"Maaf, Yang Mulia Paduka Ratu, tapi saya butuh minuman beralkohol. Mungkin saya terdengar kasar, tapi saya benar-benar frustrasi melihat perseteruan kalian selama bertahun-tahun. Ditambah lagi aku harus menyembunyikan rencana Lugalgin dari Yang Mulia Paduka Ratu Rina selama 9 tahun. Melihat sosok Yang Mulia Paduka Ratu Rina yang tidak bersemangat membuatku stres."
"Ah, itu ...."
"Maaf, Ira."
Rina dan Ibu Amana sama-sama meminta maaf ke Ira.
"Oke, sudah, silakan masuk ke kamar tamu. Semakin cepat kalian masuk, semakin cepat kami bisa mulai minum."
"Hahaha, iya deh." Rina menurut. "Terima kasih ya, Lugalgin."
"Kamu tidak perlu berterima kasih. Aku hanya melakukan kewajibanku sebagai suami."
"Meskipun begitu, sekali lagi, terima kasih."
Rina dan ibu Amana meninggalkan ruang tamu. Ira membuat panggilan dan tidak lama kemudian mobil sedan berhenti di depan rumah.
"Terima kasih sudah menjemput, Barun."
"Akhirnya aku bisa mengobrol terang-terangan dengan besanku."
"Tuan Barun, silakan pindah ke belakang bersama Tuan Bilad. Biar saya yang mengemudi."
"Oh, terima kasih atas tawarannya, Ira."
Ayah dengan senang hati pindah ke kursi penumpang di belakang. Dia pun mulai mengobrol asyik dengan Bapak Bilad.
Jujur, melihat Rina dan Ibu Amana membuatku ingin memperbaiki hubunganku dengan ibu yang hanya berbasis timbal balik. Aku ingin memperbaiki hubungan kami. Namun, aku tidak akan tergesa-gesa. Selama Ibu masih hidup, kesempatan masih ada.
Namun, tidak semua orang terlahir di kalangan keluarga yang baik. Yang aku maksud adalah Emir. Sejak menikah, Ibu dan Ibu Filial terus berusaha sekuat tenaga agar bisa menjadi sosok ibu yang baik bagi Emir. Mereka tidak ingin Emir menganggap semua ibu seperti Rahayu. Ke depannya, aku berharap, Ibu Amana bisa memberi kasih sayang juga pada Emir. Dan, tentu saja, aku dan yang lain siap mendukung Emir.
"Mari, Tuan Lugalgin. Kami sudah siap."
Aku tersenyum, memikirkan masa depan yang tampak cerah.
"Terima kasih, Ira. Ayo berangkat!"
I am No King – Selesai