Kastel Silant, bangunan utama di lingkungan istana Kerajaan Nina. Meski disebut kastel, bangunan ini tidak lagi dibuat dari batu. Setelah proses pembangunan ulang, Kastel Silant tersusun atas rangka baja, batu-bata, dan jende. Namun, dibandingkan bangunan besar pada umumnya, bangunan ini tentu saja termasuk tua. Di zaman sekarang, bangunan dengan dinding batu-bata sudah sangat langka.
Kastel Silant merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Nina. Bangunan ini digunakan sebagai tempat pertemuan, pengurusan administrasi kerajaan, bahkan tempat tinggal anggota keluarga kerajaan. Dan, Kastel Silant juga lah yang kini menjadi pertahanan terakhir Kerajaan Nina.
"Gin! Kamu ngelamun?"
"Ya, sedikit."
Inanna cukup mengejutkanku. Tidak aku duga dia bisa tahu kalau aku sempat melamun. Yah mau bagaimana lagi. Malam sudah tiba dan banyak lampu yang tidak berfungsi, membuat bangunan ini menjadi remang-remang. Suasananya sangat mendukung untuk tidur atau melamun, kalau bukan karena suara peluru dan ledakan. Di lain pihak, aku terkejut masih ada lampu yang berfungi. Aku kira orang istana atau militer akan memutus listrik bangunan ini. Namun, tampaknya tidak.
Sejak memasuki kastel Silant, bau hangus dan anyir sudah menusuk hidung. Ledakan, mesiu, darah, dan tubuh tak bernyawa menjadi sumber bau yang bisa membuat orang normal muntah. Kalau Rina melepas maskernya, aku berani bertaruh dia juga akan muntah. Mungkin.
Ira memang sudah menyampaikan informasi mengenai serangan militer Kerajaan Nina. Namun, aku tidak mengira jumlahnya sebanyak ini. Jenazah dapat ditemukan hampir di setiap sudut bangunan. Bahkan, tidak jarang hanya ada kepala, tangan, atau organ tubuh lain yang sudah tidak berbentuk. Padahal setelah gerbang istana roboh, hanya kami bertiga yang masuk. Namun, bangunan ini seolah sudah menerima serangan masif.
Ah, koreksi. Bangunan ini memang sudah menjadi target serangan, oleh militer kerajaannya sendiri.
Selama menyusuri lorong dan melewati semua anggota tubuh yang berserakan, pandangan Rina lurus ke depan. Dia tampak tidak memedulikan keadaan sekitarnya. Apakah Rina sudah dibutakan oleh dendam sampai tidak memedulikan kondisi istana? Atau memang bangunan ini tidak menyimpan kenangan indah baginya? Entahlah. Aku belum cukup mengenal Rina.
Namun, sejak masuk, aku tidak mendapati tubuh yang mengenakan pakaian khas pelayan istana. Semua tubuh, baik utuh atau yang tercecer, mengenakan atribut atau seragam militer. Mungkin Ira dan Ibla telah mengevakuasi para pelayan istana.
Setelah melewati gerbang istana, aku dan Rina memberi Emir dan Inanna assault rifle. Aku memegang sepasang pistol sedangkan Rina siap dengan senapan penembak jitu. Tentu saja, semua senjata kami telah terpasang bayonet.
Beberapa kali kami terpaksa berhenti, membunuh militer Kerajaan Nina yang menyerang. Kalau militer Kerajaan Nina berusaha membunuh kami, besar kemungkinan petinggi yang bertanggung jawab tidak ingin menjadi Feodal Lord. Petinggi militer yang bertanggung jawab atas semua ini pasti ingin menjadi Kepala Kerajaan Nina, kudeta. Dengan kata lain, ada kudeta lain sedang berjalan.
"Berhenti!"
Aku berteriak dan merangkat, menempel tembok. Inanna berada di belakangku sementara Emir dan Rina di dinding seberang. Sebenarnya tanpa perlu aba-aba ketiga istriku pasti berhenti. Namun, tidak ada salahnya jaga-jaga.
Setelah kami berhenti, ledakan muncul di depan, membuat dinding berlubang. Kalau tidak berhenti, kami pasti terhempas. Dari dalam lubang, muncul beberapa tentara. Sambil berjalan mundur, mereka melepas tembakan ke balik dinding. Karena terlalu fokus dengan serangan, tidak satu pun tentara menyadari keberadaan kami.
Dengan sigap, kami berempat membuat peluru bersarang ke tentara di depan.
"Musuh di luar!"
Suara lain muncul dari dalam, memberi peringatan. Namun, tidak lama, beberapa aura keberadaan di balik dinding menghilang. Setelah tentara di depan kami tewas, tidak lagi terdengar suara tembakan. Meski demikian, masih ada aura keberadaan beberapa orang di balik dinding. Karena tidak mengenal satu pun aura keberadaannya, aku tidak menunjukkan diri.
"Tuan Lugalgin?"
Sebuah suara asing memanggil. Suaranya tampak tenang, tidak bergetar, seolah kondisi ini bukanlah hal yang aneh.
"Gin, semua pelayan istana menjalani latihan militer. Jadi, normal bagi mereka untuk bisa menangani serangan tentara."
Seperti biasa, entah bagaimana, Rina membaca pikiranku.
"Semua ... semua?"
"Iya! Semua semua!"
Aku dan Rina mengulang ucapan dua kali, meminta kepastian. Aku memang mendapatkan info kalau pelayan istana Kerajaan Nina mendapat latihan militer. Namun, aku tidak menduga kalau semua orang mendapatnya. Kalau semua orang mendapat latihan militer, apa gunanya aku mengirim orang untuk melindungi pelayan dan Ratu Amana? Berasa sia-sia semua usahaku.
Oke. Kembali ke pelayan.
"Benar, aku Lugalgin Alhold, suami Rina Silant."
"Apakah Tuan Putri Rina bersama Anda, Tuan Lugalgin?"
"Ya, Rina bersamaku di sini."
Kenapa pelayan ini memanggilku duluan, bukan Rina? Apakah Ira memberi instruksi khusus pada mereka.
"Tuan Putri Rina, silakan pergi ke ruang Audiensi. Yang Mulia Paduka Ratu sudah menanti Tuan Putri Rina."
"Hah? Ibu menantiku?"
Rina tampak terkejut ketika mendengar informasi dari balik dinding. Tentu saja Emir juga terkejut. Untuk Inanna, aku tidak yakin. Dia di belakang, jadi aku tidak bisa melihatnya.
"Apa kalian mau menjebakku?"
"Tidak, kami tidak memiliki niat untuk menjebak Tuan Putri Rina. Sebelum memerintahkan kami evakuasi, Yang Mulia Paduka Ratu memberi pesan, 'kalau bertemu dengan Rina, katakan aku menunggu di ruang audiensi,'."
Rina dan Emir saling melempar pandangan. Tidak mendapat jawaban yang diinginkan, mereka melihatku. Aku hanya mengangkat bahu, pura-pura tidak tahu.
Kebingungan Rina dan Emir adalah normal. Tidak mungkin orang yang diincar memberi tahu lokasinya kepada sang pembunuh. Di lain pihak, orang yang sudah tahu kejadian di balik layar, tidak akan terkejut.
Yang berada di ruang audiensi dan menunggu Rina adalah Ratu Amana palsu. Karena sudah menjalani proses cuci otak, Ratu Amana tetap menjalankan rencana Ibu Amana, yaitu menanti Rina.
"Lalu, apa yang akan kalian lakukan setelah ini?"
"Kepala Pelayan telah memerintahkan kami untuk pergi ke bunker utara."
"Apakah pelayan lain juga pergi ke bunker itu?"
"Ya, benar. Kami adalah yang terakhir."
Sampai sini, rencanaku berjalan dengan lancar. Pelayan tersebut memang mengatakan bunker, tapi faktanya lain. Di lokasi yang dituju, Ibla bersama agen selundupan sudah menanti. Para pelayan akan dibawa keluar dai lingkungan istana demi keamanan. Dimana mereka diamankan? Aku tidak tahu. Aku telah memberi wewenang penuh pada Ibla dan Ira untuk membuat keputusan.
"Kenapa kalian tidak menghentikanku? Kalian adalah pelayan ibu, kan?"
"Tuan Putri Rina, kami melayani keluarga kerajaan, tidak peduli siapa. Jika ada masalah internal Keluarga kerajaan, kami tidak berhak untuk ikut campur. Posisi kami adalah netral. Namun, meski demikian, kami juga harus siap menerima hukuman jika netralitas tersebut diragukan."
Uwah. Keras sekali kode etik pelayan istana di sini.
"Apakah ada pertanyaan lain, Tuan Putri Rina?"
"Ke–"
"Tidak ada," aku menyela. "Kalian sudah boleh pergi. Semoga kalian selamat hingga akhir."
Meski aku mengatakan mereka boleh pergi, tidak ada satu pun aura keberadaan yang bergerak. Mereka semua masih diam di balik dinding.
"Rina, biarkan mereka pergi."
"Tapi Gin–"
"Semakin lama kita mencegah mereka pergi, nyawa mereka semakin terancam. Ingat, di luar, militer Kerajaan Bana'an dan Nina masih berperang. Kalau militer Kerajaan Nina lebih fokus untuk masuk ke dalam istana, keberhasilan mereka hanya menunggu waktu."
"Tapi–"
"Ini demi kita juga, Rina. Kita sudah mengetahui lokasi ibumu, apa lagi yang kamu mau? Kalau terlalu berlama-lama, ada kemungkinan militer kerajaan Nina yang akan membunuh ibumu. Apa kamu mau hal itu terjadi?"
"Tidak!"
Begitu aku mengalihkan topik, Rina langsung menurut. Tampaknya dia benar-benar telah dibutakan oleh dendam. Saat ini, di mata Rina, nyawa para pelayan ini sama sekali tidak penting.
"Berikan perintahmu."
Rina menggertakkan gigi, mulutnya tampak sulit terbuka. Namun, akhirnya, mulutnya bisa memberi perintah seperti yang kumau.
"Aku izinkan kalian untuk pergi."
"Terima kasih, Tuan Putri Rina."
Setelah mengucap terima kasih, aku merasakan keberadaan mereka menjauh.
Saat ini, aku kembali diingatkan bahwa yang memiliki kuasa adalah Rina. Aku hanyalah rakyat jelata yang menikahi calon Ratu, tidak lebih. Kekuasaan masih di tangan Rina, bukan di tanganku. Ira dan Lord Susa yang senantiasa mendengarkan dan menurut membuatku lupa akan fakta ini.
"Mereka sudah pergi."
"Sekarang kita yang pergi!"
Rina berlari di depan, memimpin. Tidak lama, kami melewati bagian tengah bangunan, sebuah tempat yang aku cukup familier. Anak tangga besar yang kami lewati mirip dengan tempat pertarunganku dan Ira. Karena ini lantai 1, mungkin tempat bertarungku dengan Ira ada di atas.
Setelah melewati anak tangga, kami menuju ke belakang kastel. Dari denah yang kuingat, dari depan sampai tengah adalah ruang pengurusan surat semacam perkantoran. Ruang audiensi diletakkan di belakang karena menyangkut keamanan Ratu. Jadi, kalau ada percobaan penyerangan, pelaku tidak bisa kabur dengan mudah.
Selama menyusuri lorong ini juga kami beberapa kali berhenti, berlindung di balik dinding, dan melepas tembakan. Sesekali aku mendobrak pintu dan membunuh semua tentara di dalam ruangan. Kastel ini memiliki desain jendela menghadap luar bangunan, bukan ke dalam lorong. Oleh karena itu, susah mengetahui ada apa di balik dinding. Tanpa insting yang terasah, kami tidak akan berani mendobrak pintu ruangan.
Dibandingkan bagian depan kastel yang kami lalui, jumlah mayat di lorong penghubung ke ruang audiensi jauh lebih tinggi. Karpet yang kami injak telah basah oleh darah. Tidak! revisi! Bukan hanya basah, tapi becek oleh darah.
"Ira!" teriak Rina.
Di ujung lorong, di depan sebuah pintu ganda, tampak Ira berdiri. Meski kedua tangannya memegang assault rifle dan pisau, dia masih setia dengan seragam pelayan. Namun, yang membuat pemandangan di sekitar Ira jauh lebih horor adalah jumlah badan yang tergeletak. Mayat sudah memenuhi lantai. Bahkan, akan normal kalau aku bilang mayat sudah menggantikan karpet.
Rina mengabaikan mayat y di lantai. Dia menginjak mayat-mayat seolah semua itu memang bagian dari lantai. Di lain pihak, Emir dan Inanna memilih untuk melayang, tidak menyentuh satu pun mayat. Aku? Aku melakukan hal yang sama dengan Rina, menginjak mayat yang kebetulan di bawah kaki.
Ketika melihat sosok Rina, Ira membungkuk. Di saat itu juga aku meningkatkan kecepatan dan berdiri di depan Ira. Dengan bayonet pistol, aku menghentikan bayonet senapan Rina. Ya, Rina berusaha membunuh Ira. Di lain pihak, Ira, tidak menunjukkan tanda-tanda akan menghindar, siap menerima serangan Rina.
Oi! Kalau kamu mati, aku yang repot!
"Gin, kenapa kamu menghentikanku?"
Aku mengabaikan Rina. "Ira, apa kamu akan menghentikan Rina?"
"Tidak. Sebagai pelayan istana, saya disumpah untuk netral, tidak berpihak pada anggota keluarga Kerajaan mana pun. Kalaupun netralitas saya diragukan, saya bersedia untuk menerima hukumannya."
Aku mengalihkan pandangan ke Rina. "Kamu dengar sendiri, Rina."
"Dari tadi! Apa kamu benar-benar percaya para pelayan netral, Gin?"
"Kenapa tidak?"
Aku sudah membunuh Shu En karena dia mengkhianatiku. Aku juga sudah membunuh Kesatria Kerajaan Bana'an karena dia tidak mau berkhianat. Jadi, saat ini, aku tidak ingin membunuh pelayan yang sudah mendeklarasikan netralitas.
Kalau musuh, aku sudah menendang perut lawan dan membuatnya menjauh. Namun, serangan yang kuhentikan berasal dari Rina, istriku. Dia juga sedang hamil. Tidak mungkin kan aku menendang perutnya!
"Rina, target dendammu adalah ibumu, Ratu Amana. Kenapa kamu mau membunuh orang yang jelas-jelas tidak melawan?"
"Tapi–"
"Kumohon, pertimbangkan kembali, Rina. Akan sangat disayangkan kalau kita harus membunuh orang sekompeten Ira."
"..."
"Kalau membunuh orang yang jelas-jelas netral, kamu lebih buruk dari Ratu Amana. Apa kamu sadar hal itu?" Jadi, Rina, sayang, kumohon. Aku tidak mau kamu jadi pribadi yang lebih buruk dari Ratu Amana."
Rina menggertakkan gigi ketika mendengar ucapanku. Meski tampak ragu, akhirnya dia menarik bayonetnya.
Aku berbalik, "Ira, apakah Ratu Amana ada di balik pintu ini?"
"Benar, Tuan Lugalgin." Ira menjawab masih dalam posisi membungkuk.
Aku melirik ke belakang, melihat Emir yang berusaha menenangkan Rina. Di lain pihak, Inanna masih menjaga jarak, khawatir tidak bisa mempertahankan kebohongannya.
"Rina, lebih baik kamu segera perintahkan Ira untuk minggir dan kita masuk. Kita juga dikejar waktu. Kalau Militer kerajaan Nina masuk sebelum kita mendeklarasikan kematian Ratu Amana, ada kemungkinan mereka juga akan membunuh kita dan menjadi Kepala Kerajaan Nina yang baru."
"Baiklah ... Gin." Rina, masih menggertakkan gigi, menurut. "Ira, minggir dan biarkan aku masuk!"
Tanpa mengatakan sepatah kata, Ira melangkah ke samping lorong, menurut. Sementara Rina, Emir, dan Inanna berjalan melewati pintu, aku masih berdiri di depan Ira. Aku tidak mau Rina tiba-tiba menyerang Ira.
"Tuan Lugalgin," Ira berbisik dari belakang. "Meski ada masalah pada militer, saya bisa bilang rencana lancar. Namun, saya mendengar informasi bahwa Tuan Putri Rina ingin meringkus Ratu palsu dan mengeksekusinya di depan umum. Saya harap Tuan Lugalgin bisa mencegah hal ini. Saya khawatir kalau diberi waktu lama, Tuan Putri Rina akan mengetahui kalau ratu ini adalah palsu."
Ya. Meskipun Ira sudah memilih orang yang memilih orang yang memiliki fisik semirip mungkin dengan Ibu Amana, ada kemungkinan Rina bisa mengetahuinya. Mungkin ada sesuatu yang hanya diketahui oleh Rina dan Amana, semacam hubungan ibu dan anak.
"Ya, aku tahu." Aku merespons. "Setelah ini hubungi Ibla dan sampaikan ucapanku. Pertama, aku ingin semua petinggi militer yang bertanggung jawab, atas serangan dan barikade, ditangkap dan dipastikan bersalah di hadapan pengadilan. Lalu, kerahkan semua personil dan sumber daya untuk menghentikan pergerakan militer Nina."
"Baik, Tuan Lugalgin."
Aku benci didesak. Daripada berlomba dengan waktu karena khawatir serangan Militer Nina, aku lebih memilih untuk menghentikan pihak yang bertanggung jawab. Dengan demikian, pergerakan Militer Nina akan terhenti juga.
"Kedua, aku ingin Ibla...."
Ira tidak langsung menjawab setelah mendengar instruksi keduaku. Mungkin dia terkejut.
"Baik, Tuan Lugalgin."
"Bagus. Aku percayakan semua padamu."
Setelah ketiga istriku masuk, aku menyusul. Sebuah aula besar dengan satu singgasana di ujung ruangan menyambut. Berbeda dengan di luar, ruang audiensi ini memiliki lampu penerangan berwarna coklat yang terang. Tidak ada satu pun lampu yang mati. Di atas singgasana, terlihat Ratu Amana duduk. Di kanan kiri singgasana terlihat sepasang pedang panjang.
"Selamat datang, Rina."
"Ibu!"
Rina tidak mampu menunggu lebih lama. Dia menerjang Ratu Amana.
Ratu Amana bangkit dan menahan serangan Rina dengan sepasang pedang panjang. Satu bayonet senapan ditahan oleh sepasang pedang panjang.
Emir dan Inanna hanya berdiri, melihat pertarungan ibu dan anak yang berlangsung di depan mata. Sementara itu, aku menutup pintu ganda ruang audiensi. Aku mensyukuri fakta kalau aura keberadaan yang dipancarkan oleh Ratu Amana berbeda dengan Ibu Amana. Jadi, aku bersyukur karena ibu Amana mau mengikuti rencanaku, tidak bersikeras.
Sementara aku mensyukuri keadaan, Rina sengit menghadapi Ratu Amana. Rina mengambil satu assault rifle dengan bayonet sebagai tambahan. Jadi, dia memegang dua senjata api dengan bayonet. Kalau hanya melihat senjata, Rina lebih unggul dari Ratu Amana. Sayangnya, tidak semudah itu.
Ratu Amana terus menempel Rina. Meski dia memberi Rina kesempatan untuk mengambil assault rifle, Ratu Amana tidak membiarkannya melepas tembakan. Pedang dan bayonet berkali-kali menggores dan menebas tubuh Ratu Amana dan Rina. Namun, semua luka yang dihasilkan tidak cukup dalam, tidak cukup untuk membunuh lawan. Sebelum pedang atau bayonet memberi luka parah, lawan akan menangkis atau menghindar.
Di lain pihak, tampak bahwa Ratu Amana tampak sangat awas terhadap serangan yang dilancarkan. Matanya bergerak sangat cepat. Sebelum melancarkan serangan, Ratu Amana melirik perut Rina, lalu menyerang. Tampaknya, Ratu Amana sudah mendapat informasi kalau Rina hamil.
"Hei, Rina, apa kamu tidak mau mencari tahu kenapa aku, ibumu, melakukan semua ini?"
"Tidak penting! Ibu sudah membunuh Tera. Fakta ini sudah lebih dari cukup untuk membalas dendam."
"Hahaha, kamu benar-benar putriku."
Dan kalian berdua benar-benar sepertiku. Aku jadi teringat pembersihan keluarga Cleinhad hanya karena mereka menggeret anak-anak panti asuhan Sargon.
Teknologi pencucian otak Kerajaan Nina benar-benar mengerikan. Teknologi ini bisa mengubah sifat dan perilaku orang sampai ke akar. Ratu Amana yang tidak menyerang perut lawan menunjukkan bahwa dia tidak mau menyakiti atau mengganggu kehamilan Rina. Dan, yang lebih membuatku terkejut, terlebih lagi, Ratu Amana memiliki jalan pemikiran selayaknya seorang Alhold.
Di kursi penonton, Emir dan Inanna menonton dengan reaksi berlawanan. Sementara Inanna tampak khawatir, Emir tampak–
"Tch."
Tunggu dulu! Kenapa Emir mendecakkan lidah? Apa yang membuatnya kesal? Apa dia tidak sabar?
"Emir, Inanna, aku ingatkan kalau kalian dilarang ikut campur dalam pertarungan ini."
"Aku tahu, Gin!"
"Kenapa?"
Sementara Emir setuju, Inanna mempertanyakan keputusanku.
"Inanna," Emir menjawab. "Pertarungan dan perselisihan ini adalah antara Rina dengan ibunya. Kalau kita membantu Rina, ada kemungkinan, Rina tidak akan merasa puas. Dia harus membalaskan dendamnya seorang diri atau Rina tidak akan bisa melanjutkan hidup."
"Tapi bagaimana kalau Rina terdesak? Apa kita akan membiarkan Rina terbunuh begitu saja?"
"Jangan khawatir, Inanna." Emir menyela. "Dari pengamatanku, entah kenapa, tidak satu pun serangan Ratu Amana mengarah ke organ vital Rina, apalagi perut. Bukti nyatanya adalah tidak ada luka di badan atau perut Rina. Dengan teknik bertarung Ratu Amana, aku yakin dia bisa melakukannya dengan mudah. Tampaknya, Ratu Amana sengaja tidak menyerang organ vital Rina."
Emir berhenti, melihat ke Inanna yang menghela napas lega.
"Inanna, kenapa kamu lega? Normalnya, orang akan terkejut ketika mendengar fakta ini. Namun, karena tampak lega, tampaknya ada yang kamu sembunyikan. "
"..."
"Dan, kalau Inanna menyembunyikan sesuatu, kamu pasti dalangnya, kan, Gin?"
"..."
Aku dan Inanna tidak menjawab. Inanna mengalihkan pandangan, berusaha kabur dari rasa bersalah. Di lain pihak aku tidak memedulikan pertanyaan Emir. Pandanganku fokus ke pertarungan Ratu Amana dan Rina.
Yah, Emir memang memiliki insting yang jauh lebih tajam dibanding kami bertiga. Jadi, akan normal kalau dia merasa ada yang mengganjal.
"Jangan khawatir. Tampaknya Rina tidak menyadari semua hal yang aku ucapkan," Emir melanjutkan. "Aku tidak akan tanya apa yang kalian sembunyikan. Aku hanya ingin bertanya kenapa?"
"Itu–"
"Karena aku membutuhkanmu untuk terus berada di sisi Rina, Emir." Aku menyela Inanna. "Saat ini, yang memiliki ikatan batin paling kuat dengan Rina adalah kamu."
Emir tersenyum sinis. "Karena sama-sama dikhianati oleh ibu kami?"
"Ya benar."
Emir tidak memandangku lagi. Dia mengembalikan pandangan ke pertarungan Rina dan Ratu Amana.
"Melihat Inanna yang lega, tampaknya Ratu Amana tidak benar-benar mengkhianati Rina. Pada akhirnya, hanya aku yang dikhianati oleh ibunya sendiri. Kalau aku harus ada untuk Rina, lalu–"
Aku memeluk Emir dari belakang dan mengusap kepalanya. Melalui pelukan ini, aku bisa merasakan tubuh Emir yang gemetaran.
"Tenang, kamu tidak sendirian. Aku dan Inanna akan berusaha sebaik mungkin untuk terus berada di sisimu. Dan lagi, aku hanya butuh bantuanmu untuk Rina untuk sesaat. Setelah pembalasan dendam ini selesai, kita semua akan saling membantu. Kita adalah keluarga."
"... terima kasih, Gin."
Aku bisa merasakan getaran di tubuh Emir mereda. Tampaknya dia mulai tenang.
"Hoi," Inanna menyela. "Kalian sadar kan kalau kita masih di tengah peperangan? Dan lagi pertarungan Rina dan Ratu Amana masih belum selesai, tahu!"
Ahaha. Iya juga. Aku hampir lupa.
Aku menjawab. "Yah, sudahlah. Pertarungan ini juga akan selesai sebentar lagi."
Ratu Amana memang memiliki cara pemikiran dan teknik bertarung yang mirip dengan Ibu Amana. Namun, pada akhirnya, dia bukanlah seorang Alhold. Sekuat apa pun orang normal, fisiknya tidak akan menyaingi inkompeten yang terlatih. Karena hal ini, staminanya cepat terkuras. Napas Ratu Amana tampak pendek, tersengal-sengal.
"Kenapa, ibu? Apa kau sudah lelah? Sudah semakin tua?"
Ratu Amana palsu tidak menjawab. Gerakannya terlihat kaku dan berat.
Tidak lama, akhirnya, serangan fatal pertama mendarat. Bayonet senapan Rina bersarang di bahu kiri Ratu Amana.
Sementara Ratu Amana menggertakkan gigi, menahan sakit, Rina justru membuka mata lebar, ekstasi. Ratu Amana tidak mengalah begitu saja. Dia mencengkeram senapan yang menusuk bahu kirinya, berusaha mengunci pergerakan Rina.
Namun, Rina tidak memedulikan senapan yang dicengkeram. Dia melepasnya dan melompat mundur.
Ratu Amana seolah sudah memperkirakan gerakan Rina. Dia membuang pedangnya dan mencabut senapan yang menancap di bahu kiri. Ratu Amana melakukannya sebelum Rina mengarahkan assault rifle. Jadi, sebelum Rina melepas tembakan, Ratu Amana sudah siap meluncurkan peluru. Jarinya sudah siap di pelatuk.
"RINA!"
Tampak terkejut dengan progres pertarungan, Inanna dan Emir berteriak. Meski tahu kalau Ratu Amana tidak akan menembak organ vital Rina, mereka tetap khawatir. Emir dan Inanna tahu kalau menembak senapan dengan satu tangan tidak memiliki akurasi tinggi. Di lain pihak, aku mencengkeram bahu Emir dan Inanna, menahan mereka agar tidak ikut campur.
Suara letusan terdengar, menggema di dalam ruangan. Peluru bersarang di bahu kanan Ratu Amana Palsu. Kejadian ini memaksa tangan Ratu Amana melepaskan senapan di tangan.
Sebelumnya, pandanganku terpatri pada jari Ratu Amana. Sekilas, jarinya memang terlihat siap menarik pelatuk. Namun, tidak ada tanda-tanda jari Ratu Amana akan bergerak. Bahkan, jarinya hampir lurus walaupun sudah berada di lubang pelatuk. Dengan kata lain, Ratu Amana tidak memiliki niat melepas tembakan. Dia hanya menggertak.
Rina tidak berhenti dengan satu tembakan. Dia melepaskan beberapa tembakan tambahan ke tangan dan kaki Ratu Amana, membuatnya roboh.
Rina, pihak yang menang, tersengal-sengal. Seharusnya, staminanya masih banyak. Mungkin karena mengenakan masker dia tidak mendapat pasokan oksigen yang cukup. Setelah Ratu Amana, Rina ikut roboh.
"Rina!"
Aku melepas cengkeraman pada bahu Emir. Namun, tidak dengan Inanna.
"Inanna, dengarkan aku."
Aku membisikkan rencana tambahan ke Inanna. Ketika mendengar rencanaku, pupil Inanna mengecil. Dia pun melihat ke arahku dengan mata membelalak, tampak tidak percaya.
"Kamu baik-baik saja, Rina?"
"Yah ... aku ... hanya ... kehabisan ... napas."
"Untunglah."
Aku dan Inanna berjalan pelan ke arah Rina.
"Jadi, tinggal mengeksekusinya, ya?"
"Benar, Gin."
Rina menjawab dengan nada girang. Kalau dia tidak mengenakan masker, mungkin aku bisa melihat wajahnya menyeringai.
Tiba-tiba ledakan muncul di dinding kanan. Berkat ledakan tersebut, sebuah lubang muncul. Dari balik asap di sekitar dinding berlubang, muncul tembakan, bertubi-tubi. Rina mengangkat peti arsenal, melindungi dirinya dan Emir. Aku melakukan hal yang sama dan melindungi Inanna. Jadi, tidak satu pun dari kami berempat yang terluka karena serangan mendadak ini. Namun, hal yang sama tidak bisa dikatakan untuk Ratu Amana.
Ratu Amana yang sebelumnya roboh di lantai menerima beberapa peluru tambahan.
"Ibu!"
Aku mengambil assault rifle yang telah ditambah pelontar granat dari peti Arsenal. Tanpa aba-aba, Inanna meluncurkan pasak dan tombak ke balik dinding, memunculkan beberapa ledakan. Tembakan dari balik asap terhenti sejenak, memberi kesempatan untukku dan Inanna berlari ke dinding, berlindung di bawah lubang. Sesekali, kami bangkit dan melepas tembakan ke luar. Ketika peluru habis dan kami berlindung, muncul tembakan dari luar.
Sementara aku dan Inanna membalas tembakan, Emir dan Rina berhasil keluar dari jalur tembakan. Tentu saja mereka membawa Ratu Amana yang sudah setengah mati.
"Ibu! Kamu tidak boleh mati di sini! Kamu harus mati di depan umum! Di platform, dieksekusi." Rina berteriak kesal.
Di lain pihak, Ratu Amana tidak mengatakan apa pun. Ketika dia membuka mulut, hanya darah yang keluar.
"Emir!" Aku berteriak. "Apakah Ratu Amana masih bisa diselamatkan?"
"Kalau mendapat pertolongan pertama, mungkin. Tapi harus cepat atau dia akan mati kehabisan darah."
Sesuai rencana.
"Rina! Kamu memiliki 2 pilihan. Pilihan pertama bertaruh militer Bana'an bisa menghentikan serangan ini sebelum ibumu tewas dan melakukan eksekusi sesuai rencana. Pilihan kedua adalah bunuh ibumu sekarang juga."
Rina melihat ke arahku ketika mendengar pilihan ini.
Aku tidak menggubris pandangan Rina terlalu lama dan kembali melepas tembakan ke luar.
"Kalau ibumu tewas karena kehabisan darah, yang membunuhnya bukanlah kamu, tapi militer Nina. Apa kamu rela membiarkan dendammu direnggut begitu saja?"
"Tapi ... ibu ... eksekusi ...."
"Keputusan di tanganmu, Rina!"
Rina memegang kepalanya, bingung.
Sebenarnya, pilihan Rina sudah ditentukan. Siapa yang menentukan? Aku!
Yang membuat lubang dan menyerang adalah Ibla dan orang yang kupekerjakan. Instruksi yang kututupkan pada Ira adalah setelah 20 menit berlalu, Ibla meledakkan dinding lalu setengah membunuh Ratu Amana. Setelah kondisi Ratu Amana tampak buruk, aku dan Inanna melepaskan tembakan ke luar. Dengan pengendalian timah Inanna, jalur peluru bisa diatur agar tidak melukai kami.
Jadi, saat ini, baku tembak yang kami lakukan hanyalah sandiwara, main-main, tidak lebih. Namun, tentu saja, semua ini tampak nyata. Dengan melakukan sandiwara ini, aku membuat Rina terdesak, memaksanya untuk membunuh Ratu Amana.
Rina berusaha menekan luka di tubuh Ratu Amana. Namun, lubang di tubuh Ratu Amana terlalu banyak sehingga usaha Rina sia-sia.
Beberapa menit berlalu dan kami masih melanjutkan sandiwara ini.
"Emir, berapa lama Ratu Amana bisa bertahan?"
"Aku tidak yakin, Gin! Yang jelas, tidak lama."
Tanpa Emir sadari, dia juga sudah berpartisipasi dalam rencanaku. Dengan menjelaskan kondisi Ratu Amana yang kritis, secara tidak langsung, dia juga mendesak Rina.
"Tampaknya dendammu padaku sangat dangkal, Rina. Tampaknya, aku akan mati di tangan militer Kerajaan Nina."
Tiba-tiba saja suara yang tidak kusangka muncul, suara Ratu Amana.
Entah apa yang melintas di benak Rina, tiba-tiba dia mengambil assault rifle dengan bayonet.
"Tidak. Aku tidak akan membiarkan orang lain merenggut dendam ini."
Rina mengangkat assault rifle dan menariknya ke bawah, menusukkan bayonet ke dada Ratu Amana.
Tubuh Ibu Amana kejang untuk sesaat ketika dadanya ditusuk. Akhirnya, Ratu Amana tewas di tangan Rina.
Samar-samar, aku bisa melihat ujung bibir Ratu Amana naik. Di akhir hidupnya, dia tersenyum, bahagia karena Rina membunuhnya, sesuai rencana. Ratu Amana pasti merasa telah berhasil menebus kesalahannya atas kematian Tera. Hingga akhir hayat, dia tidak mengetahui kalau kepribadian dan semua ingatannya adalah palsu.
Sosok yang digeret untuk menjadi pengganti Ibu Amana, aku mengucapkan terima kasih dari lubuk hati terdalam.
"Hahahaha ... hahahaha ... hahahaha ...." Rina tertawa terpatah-patah sambil memandang langit-langit dengan mata kosong.
Aku melempar granat asap ke luar. Granat asap ini adalah sinyal untuk menghentikan serangan 2 menit lagi.
"Rina, apa yang kamu lakukan?"
"Lepaskan aku, Emir!"
"Tidak akan!"
Sejenak saja aku mengalihkan pandangan dari Rina, suasana berubah keruh. Rina memegang sebuah belati dan berusaha menusuk dadanya sendiri. Dia berusaha bunuh diri. Berkat Emir, usaha Rina belum membuahkan hasil. Ya, belum. Perlahan, aku bisa melihat pisau itu semakin mendekati dadanya.
Aku meninggalkan dinding, berlari ke Rina.
Darah segar menyembur. Pisau di tangan Rina menancap. Namun, pisau itu tidak menancap di dada Rina, melainkan di tanganku. Aku memeluk Rina dari belakang dan meletakkan tangan di depan dadanya, menerima tusukan pisau.
"Kenapa, Gin?"
"Karena kamu istriku! Kamu keluargaku! Tentu saja aku tidak mau kamu bunuh diri!"
"Tapi, aku, terpaksa membunuh ibu di sini, sekarang juga. Aku tidak mendapat kesempatan untuk menunjukkan pada Kerajaan Nina kalau dia adalah ibu yang buruk, pantas dieksekusi."
"Kita tidak bisa serakah, Rina. Terkadang, kita harus merasa cukup dengan yang kita miliki. Pada kasus ini, kamu harus merasa cukup dengan mengakhiri hidup Ratu Amana dengan tanganmu sendiri. Dan lagi, semua orang tahu kalau dia adalah ibu yang buruk, pantas dieksekusi."
"Tapi ... tapi ... aku tidak merasakan bahagia. Aku tidak merasa ekstasi. Aku justru merasa hampa, Gin. Bukankah ini berarti dendamku gagal?"
Meski tidak menunjukkannya di wajah, saat ini, aku sangat bahagia ketika mendengar Rina.
"Memang seperti ini lah balas dendam. Pada akhirnya, yang kamu rasakan bukanlah ekstasi atau kebahagiaan. Yang kamu rasakan hanyalah kehampaan karena tujuan hidupmu sudah hilang. Itulah yang kurasakan setela membantai keluarga Cleinhad 6 tahun lalu."
"Tujuan hidup? Lalu, sekarang, apa tujuan hidupku?"
Ya. Pertanyaan itu juga lah yang terlintas di benakku 6 tahun lalu. Kalau bukan karena anak-anak panti asuhan Sargon, mungkin aku juga mencoba bunuh diri, seperti yang dilakukan Rina.
"Hidup bahagia, bersama-sama denganku, Emir, Inanna, dan putra-putri kita."
Bersambung