Chereads / I am No King / Chapter 154 - Arc 5 Ch 4 - Worst Case Scenario

Chapter 154 - Arc 5 Ch 4 - Worst Case Scenario

"ibu ...."

"Tidak apa, sayang. Ibu di sini."

Sementara Lord Susa menenangkan Maru, aku melepas tembakan.

Setelah gedung pemerintahan runtuh, Emir membawa kami turun ke tanah. Namun, kami tidak lolos begitu saja. Serangan terus datang. Selain itu, musuh sangat berhati-hati. Mereka tidak mengonfrontasi kami langsung, tapi menggunakan sniper. Ketika mencoba bergerak, serangan di arah tersebut langsung intens. Karena hal ini, kami masih terkunci di depan reruntuhan gedung.

Emir dan Inanna fokus menahan dan mengelak peluru artileri. Sementara itu, aku dan Rina menggunakan senapan untuk menjatuhkan semua sniper.

Insting Rina cukup peka. Dia bisa mengetahui dari mana tembakan datang dan menggunakan peti arsenal sebagai pelindung. Aku tidak tahu apakah insting Rina lebih kuat atau lemah dari Inanna dan Emir. Namun, itu tidak penting. Yang penting dia bisa melindungi diri. Di lain pihak, aku mampu mendeteksi aura membunuh para sniper dan menembak mati mereka sebelum peluru meluncur.

"Gin, kamu tidak normal."

"Memang."

Aku dan Rina berbincang santai sambil melepaskan tembakan.

Orang mungkin berpikir kalau saat ini kami lebih unggul. Sayangnya, tidak! Saat ini, posisi kami dan musuh relatif seimbang, tidak ada yang lebih kuat ataupun lebih lemah. Namun, sayangnya, itu adalah keadaan saat ini. Nanti? Aku ragu.

Kalai dibiarkan lebih lama dan musuh memilih untuk mendatangkan tank, bisa dipastikan kami kalah. Aku hanya bisa membunuh infanteri. Tidak satu pun senjata yang kumiliki bisa menghancurkan kendaraan perang berat. Mata Rina bisa mematikan kendaraan perang, tapi hanya yang dia lihat. Dari sudut lain? Tidak. Emir dan Inanna bisa menghancurkan kendaraan perang dengan mudah. Namun, perhatian mereka sudah fokus pada pertahanan.

Aku sempat berusaha menghubungi Ibla dengan handphone candybar. Sayangnya, usahaku gagal. Tampaknya musuh meletakkan jammer yang tersembunyi. Aku tahu kalau saat ini, Ibla dan Agade, pasti sedang bergerak di belakang layar. Namun, kami tidak memiliki waktu yang lama. Emir, Inanna, dan Rina mulai kehabisan napas.

Pengawal Lord Susa? Mereka sudah tewas ketika gedung runtuh karena prioritas Emir adalah kami, Lord Susa, dan Maru. Aku tidak akan menyalahkan Emir atas kematian para pengawal. Maksudku, mereka adalah pengawal feodal lord dan bisa terbunuh oleh bangunan runtuh? Mereka pasti bercanda!

"Gin, terima kasih sudah mengulur waktu."

"Terima kasih, Lord Susa! Emir, Inanna, fokus pada musuh di timur!"

"Siap!"

Emir dan Inanna berhenti menahan serangan dan mengarahkan pandangan ke timur. Emir langsung mengubah Krat menjadi artileri, siap menghancurkan musuh. Inanna, sebagai pemandu, mengeluarkan smartphone dan membuat perhitungan, memperkirakan sumber peluru. Serangan balik Emir dan Inanna pun dimulai.

Peluru artileri lain datang menghujani kami. Meski demikian, tidak satu pun peluru berhasil mencapai tempat ini. Sekilas, peluru yang datang seolah meledak di udara tanpa sebab. Namun, kalau diperhatikan baik-baik, peluru itu tidak meledak tanpa sebab. Sesaat sebelum meledak, muncul sebuah sengatan listrik di udara.

Kami melindungi Lord Susa bukan karena dia perempuan tidak berdaya. Namun, kami melindunginya untuk mengulur waktu.

Lord Susa memiliki pengendalian utama perak. Dia selalu menyiapkan debu perak yang disebar pada gedung pemerintah. Jika terjadi serangan artileri atau kendaraan militer berat, seperti sekarang, Lord Susa bisa membuat kubah listrik yang dialirkan melalui debu perak, mirip seperti amulet yang digunakan untuk latihan militer dan kesatria.

Kubah listrik yang melindungi kami tidak bisa dibandingkan dengan amulet. Jika amulet bisa ditembus oleh peluru tajam, kubah listrik ini bisa menahan peluru artileri. Hal ini disebabkan sumber listrik kubah ini tidak berasal dari benda kecil, tapi langsung dari kabel listrik yang tertanam. Selain Lacuna, ini adalah pertama kalinya aku melihat pengendalian perak yang memukau.

Kami mengulur waktu gara-gara debu yang disiapkan berserakan setelah gedung runtuh. Jadi, butuh waktu untuk Lord Susa menemukan posisi semua debu dan mengendalikannya.

Sebenarnya, aku ingin protes kenapa tidak sejak awal saja dia menggunakan kubah listrik ini, sebelum gedung runtuh. Namun, aku mengurungkan niatku karena Lord Susa harus menenangkan Maru. Seperti ucapan Rina, Lord Susa lebih mengutamakan perannya sebagai ibu daripada feodal lord.

Untuk saat ini, kondisi kami sudah membaik. Namun, entah untuk berapa lama. Tinggal menunggu waktu sebelum musuh menyadari teknik Lord Susa dan memutus aliran listrik ke tempat ini. Emir dan Inanna berusaha menghancurkan artileri di timur secepat mungkin demi meningkatkan kondisi. Sesaat sebelum Emir melepas tembakan, Lord Susa membuat sedikit lubang, membiarkan peluru keluar.

Aku terus memperhatikan Emir dan Inanna. Keringat mereka mengalir deras. Tidak ada satu pun bagian tubuh yang tidak basah. Kalau kami berada di rumah, mungkin aku sudah terangsang. Namun, kami di tengah medan perang.

"Rina, aku butuh konfirmasi,"

"Apa?"

Kondisi Rina tidak lebih baik, napasnya pendek. Kini, dia duduk dan bersandar pada satu peti arsenal. Tampaknya, kehamilan membuat stamina menurun.

"Menurutmu, berapa persen kemungkinan kalau serangan ini direncanakan oleh ibumu?"

"... seratus persen."

Rina tidak langsung menjawab, ada jeda. Namun, akhirnya, dia berani mengonfirmasi.

Kenapa aku dan Rina berpikir kalau dalangnya adalah Ratu Amana? Mudah. Karena kami juga akan melakukan hal yang sama.

Orang normal mungkin berpikir serangan di luar gedung adalah hal bodoh. Seharusnya, kalau ingin hasil pasti, mereka tunggu hingga kami masuk ke dalam ruang konferensi, serang di dalam. Ya, normalnya, langkah itu yang akan diambil. Tidak peduli secepat apapun refleks dan insting seseorang untuk merasakan aura haus darah, percuma kalau dikepung.

Namun, dua inkompeten mengubah segalanya. Jika diserang dalam ruangan, Rina cukup melepas lensa kontak, mematikan semua benda yang bergantung pada pengendalian seperti lampu dan alat elektronik.

Ketika penerangan mati, sementara musuh bingung, aku bisa membunuh semua musuh dengan mudah hanya berdasarkan aura keberadaan. Dan karena semua rekan di depan, bersama, aku tidak perlu mengkhawatirkan salah tembak, friendly fire. Dan lagi, aku masih bisa menggunakan tubuh musuh sebagai perisai. Dan, karena hal ini lah, aku dan Rina berani datang ke wilayah Kerajaan Rina.

Namun, tampaknya, rencana kami sudah dibaca. Dan, satu-satunya orang di Kerajaan Nina yang bisa mengetahui jalan pikir kami, dan memiliki kuasa untuk menggerakkan militer, hanyalah satu orang, Ratu Amana.

Sudah sepuluh menit lebih berlalu, tapi Emir dan Inanna masih belum selesai menghancurkan semua artileri i sisi timur. Kalau begini terus, tinggal menunggu waktu sebelum semua orang kelelahan. Ketika hal itu terjadi, kami akan dibombardir oleh peluru artileri.

Berpikir, Lugalgin! Berpikir!

Di saat aku berusaha mencari ide, Rina membuka peti arsenalku dan mengambil benda kecil. Benda yang diambil Rina bukanlah senjata, tapi syringe berisi cairan perak.

"Apa yang kamu pikirkan? Kamu mau menggunakan serum pembangkit?"

"Gin, serum ini adalah satu-satunya jalan keluar kita! Hanya aku yang bisa menggunakannya. Kamu sudah tidak mungkin menggunakannya lagi. Seluruh tubuhmu bisa terjangkit kanker karena serum ini. Kamu mau mati?"

Secara teori, menurut Rina, serum pembangkit melemahkan seluruh tubuh untuk menerima pengendalian. Dengan kata lain, serum ini menyerang seluruh tubuh. Kemungkinan terburuk adalah kanker bisa menjangkiti seluruh tubuhku. Tidak hanya kanker daging dalam bentuk keloid, tapi semua. Mulai dari kanker kulit, tulang, hati, paru-paru, dan lainnya. Jadi, serum pembangkit adalah tiket kematian untukku.

"Tidak. Kita akan mencari cara lain. Kamu tidak boleh menggunakannya."

Meski demikian, aku tetap menolak ide Rina.

"Tapi Gin–"

"Tubuh itu bukan hanya milikmu lagi," Aku menyela. "Rina, apa kamu lupa kalau kamu mengandung? Menurutmu, apa yang akan terjadi pada janin di rahimmu kalau serum ini digunakan, hah?"

"I, itu..."

Tubuh Rina akan mengalami tekanan yang sangat berat. Dan, hal ini, hampir bisa dipastikan berujung pada keguguran.

"Apa kamu mau jadi seperti ibumu? Mengorbankan anakmu untuk mencapai tujuan?"

Rina terentak. Wajahnya pucat dan dia terjatuh ke belakang.

Aku mengambil serum pembangkit di tangan Rina dan mengembalikannya ke peti arsenal.

"Daripada menggunakan serum pembangkit, lebih baik kamu coba semua kode jammer. Segera hubungi Ibla."

"Ba-baik!"

Rina menurut dan mengambil handphone candybar dari sakunya. Kini, kami berdua melakukan input tipe jammer ke handphone candybar, satu per satu.

"Emir, tembakanmu terlalu rendah 2 derajat!"

"Maaf, Inanna."

Tampaknya Emir mulai kehabisan tenaga. Tingkat presisi pengendaliannya berkurang. Kecepatan Inanna dalam menghitung proyeksi jalur peluru juga sudah berkurang. Kubah listrik yang melindungi kami belum menampakkan penurunan kualitas. Namun, napas Lord Susa semakin pendek. Bahkan, Maru ikut pucat, tampak khawatir pada keadaan ibunya.

Aku sangat ingin menghina diriku sendiri yang hanya bisa melakukan input tipe jammer ke handphone candybar. Apakah tidak ada hal lain yang bisa kulakukan?

"Gin, tersambung!"

"Terima kasih!"

Rina langsung melempar handphone candybar dan aku menangkapnya.

"Ibla! Kondisi!"

[Tidak baik! Pertahanan militer Nina jauh lebih ketat dibanding yang kami kira. Walaupun sudah berusaha melakukan serangan frontal sebagai pengalih perhatian, masih gagal. Kami butuh waktu lebih lama lagi.]

"Bagaimana kalau kalian menjemput kami dengan kendaraan?"

[Negatif! Semu jalan dalam radius 5 Km telah diblokade ketika serangan dimulai. Walaupun bisa menerobos masuk, aku tidak yakin kami bisa membawa kalian keluar.]

Brengsek!

"Berapa lama ?"

[Paling cepat 10 menit. Paling lama 30 menit.]

Paling cepat sepuluh menit? Aku melihat sekitar. Tubuh Lord Susa mulai goyah. Dia bahkan harus menggunakan tangan untuk menopang tubuhnya. Pengendalian Emir sudah tidak presisi. Dia berkali-kali melakukan kesalahan. Inanna pun tidak luput dari efek kelelahan. Beberapa kali dia menjatuhkan smartphone.

Tanganku meraih kotak arsenal, mengambil syringe berisi cairan perak.

"Gin, tidak apa. Aku tidak akan menyalahkanmu. Biar ini jadi yang pertama sekaligus yang terakhir aku berlaku seperti ibu."

Rina mengambil syringe dari tanganku. Dia menunjukkan sebuah senyum.

"Maafkan aku, Rina. Maafkan aku."

"Gin," Rina menutup mulutku dengan telunjuk. "Aku lah yang seharusnya minta maaf. Aku sudah menarikmu ke dendam pribadiku. Ini bukan salahmu. Ini adalah salahku."

"...Tidak, Rina. Ini bukan hanya salahmu. Ini adalah salah kita."

Aku tidak akan membiarkan Rina mengemban rasa bersalah ini sendirian.

"Terima kasih Gin."

Rina menusukkan syringe ke lehernya, memasukkan cairan perak ke tubuh.

Beberapa saat berlalu. Namun, Rina tidak kunjung roboh. Dia tampak heran dan mengangkat kedua tangan.

"Ada apa ini? Kenapa tubuhku tidak bereaksi?"

Rina menatapku dalam. Tampaknya, dia sudah melihatku yang tidak lagi cemberut, tapi tersenyum masam.

"Jangan salahkan dirimu, Rina. Ini adalah salah kita. Aku juga bersalah."

"Gi ...."

Rina tidak bisa menyelesaikan kalimatnya dan roboh. Aku menangkap Rina sebelum menghantam tanah.

Aku sudah berjaga-jaga kalau hal ini akan terjadi. Jalan pikir Rina relatif sama denganku. Aku yakin dia pasti akan menggunakan serum pembangkit sebagai alternatif terakhir. Jadi, keberadaan serum pembangkit sengaja tidak kuhilangkan dari peti arsenal agar alternatif terakhir Rina tidak berubah.

Namun yang tidak diduga Rina adalah, tidak semua syringe berisi serum pembangkit. Sebagian syringe berisi obat tidur. Ada sedikit perbedaan pada warna pangkal jarum, serum pembangkit berwarna abu-abu, obat tidur berwarna hitam. Tadi, aku mengambil syringe di tangan Rina karena dia berhasil mengambil serum pembangkit. Begitu sudah ditukar dengan obat tidur, aku membiarkan Rina mengambilnya dari tanganku

Rina mungkin berpikir dia menggugurkan kandungan akan menjadi pertama sekaligus terakhir kali dirinya menjadi seperti Amana, mengorbankan keluarga demi tujuan, membalas dendam. Namun, aku sama sekali tidak yakin. Ada kemungkinan Rina tidak akan berhenti sampai di situ. Dia mungkin akan membuat pengorbanan lain dengan alasan yang sama.

Rina, aku tidak mau kamu menjadi seperti ibumu, Ratu Amana. Cinta dan kasih sayang terbesar seorang perempuan, seharusnya, adalah untuk sang anak, bukan orang lain. Aku menyadarinya ketika melihat ibu dan tante filial.

Ibu dan tante Filial menyayangiku, Inanna, Ninlil, dan Ninshubur dengan sepenuh hati. Ibu mendirikan Akadia agar dia memiliki kekuatan untuk melawan keluarga Alhold, mengentaskanku dari lingkar penyiksaan. Tante Filial rela kehilangan status selir dan semua hartanya demi kebahagiaan Ninshubur dan Inanna. Ya. Seorang ibu, seharusnya seperti itu.

Dan, di lain pihak, biar lah sosok ayah yang egois dan menentang sang ibu, seperti aku.

"Emir! Inanna! Jaga Rina baik-baik!"

"Hah?"

Aku menusukkan syringe ke leher, mengalirkan serum pembangkit ke dalam tubuh. Seketika itu juga, tubuhku seperti terbakar, daging dicabik, tulang dipatahkan. Normalnya, aku sudah berteriak kesakitan. Namun, kali ini, aku bisa menahan semua rasa sakit itu. Demi istriku, rasa sakit ini bukanlah apa-apa.

Kubah listrik menghilang. Suara artileri redup. Peluru-peluru terhenti di udara. Bahkan, smartphone Inanna pun mati. Ya, saat ini, semua material berada di bawah kendaliku. Lord Susa menoleh ke kanan kiri, bingung.

"GIN?"

Di lain pihak, Emir dan Inanna berlari, menghampiriku.

Aku menyelimuti tubuh dengan logam dan melayang, tidak menunggu Emir dan Inanna. Karena otot sudah lumpuh, aku tidak tahu apakah wajah ini masih tersenyum atau tidak.

Aku mengendalikan semua material dan membuat kubah raksasa. Kubah raksasa ini memiliki tebal 1 meter, tidak bisa ditembus peluru artileri. Aku membuat pintu di satu sisi agar Emir, Inanna, dan yang lain bisa keluar setelah serangan berakhir.

Sesaat sebelum terhalangi oleh kubah logam, aku mendapati wajah Emir dan Inanna yang menangis. Maafkan aku Emir, Inanna. Aku percayakan Rina ke kalian.

Tidak membuang waktu, aku meluncur ke sumber peluru, ke pangkalan militer yang menyerang. Dalam waktu kurang dari satu menit, aku sudah menghancurkan pangkalan militer pertama. Aku mendatangi pangkalan militer satu per satu, menghancurkan semua senjata dan kendaraan perang. Sesekali, aku melihat ada anggota Agade yang menyerang pangkalan militer.

Dalam waktu kurang dari 30 menit, aku sudah menghancurkan semua pangkalan militer yang menyerang. Di saat itu, tiba-tiba saja, aku terjatuh. Bukan hanya terjatuh, gambaran 3 dimensi di kepala yang kudapat dari pengendalian seluruh material juga menghilang.

Efek serum pengendalian belum menghilang. Tubuh ini masih belum bisa bergerak dan aku masih merasakan sakit di sekujur tubuh. Tampaknya, pengendalianku dihilangkan.

Tampaknya, ini adalah akhirku.

Bersambung