Pesawat jet pribadi, lalu dijemput oleh minibus. Sekilas, kami tampak seperti orang kaya sedang liburan. Well, aku tidak mengelak sih bagian kami adalah kaya. Namun, ketika melihat penjagaan yang dilakukan, daripada liburan, orang pasti mengira kami adalah delegasi Kerajaan. Penjagaan ini sama sekali tidak sesuai dengan pernyataan resmi yang menyatakan kami sedang bulan madu.
Melihat semua pengamanan ini membuatku sedikit nostalgia, teringat ketika mengawal Jeanne ke Mariander. Yang membedakan adalah perannya. Saat itu aku yang menjaga, sekarang yang dijaga. Ada hal lain yang membedakan. Saat ini tidak ada orang lain di dalam mobil ini selain kami berempat. Tidak ada guide atau apapun. Hanya sopir yang dipisahkan oleh pembatas. Di lain pihak,
Sementara ketiga istriku ngobrol tanpa arah, aku mengalihkan pandangan keluar. Sebagai daerah pegunungan, tentu saja, tempat ini tidak memiliki susunan bangunan yang rapat. Antar satu bangunan dengan yang lain memiliki jarak yang cukup jauh. Gedung yang paling tinggi, tampaknya, hanyalah lantai 5. Daripada membangun gedung beberapa lantai, warga lokal lebih memilih untuk membangun rumah-rumah kecil yang terpisah sebagai penginapan.
Reservasi yang kubuat, tentu saja, adalah gedung yang paling tinggi dengan 5 lantai. Jika diserang, ada banyak dinding dan pilar yang bisa digunakan sebagai pelindung. Rumah kecil yang terpisah-pisah tidak bisa memberikan perlindungan maksimal kalau diserang.
"Reservasi atas nama Lugalgin Alhold, di King's Suite. Silakan diperiksa datanya. Kalau sudah benar, silakan tanda tangan."
"Terima kasih."
Aku mengembalikan kertas setelah memastikan isinya benar dan membubuhkan tanda tangan.
"Gin kita di kamar nomor berapa?"
"Lantai paling atas, King's Suite. Seluruh lantai adalah tempat menginap kita."
Aku menjawab Emir yang mendorong trolley berisi beberapa tas. Sebagian besar dari tas yang kami bawa berisi senjata, lebih tepatnya senjataku dan Rina. Senjata Inanna dan Emir sama-sama hanya membutuhkan satu koper besar karena bisa diubah bentuknya.
"Ayo, Gin! Ayo!"
Ketiga istriku tampak begitu ceria dan bahagia, seolah memang berbulan madu. Aku tidak protes karena kesan dari luar penting. Untuk apa? Untuk menunjukkan pada orang-orang yang melihat kalau kami memang benar bulan madu, bukan untuk tujuan yang lain.
Daripada kamar, king's suite yang kami sewa lebih seperti rumah satu lantai. Begitu keluar dari lift, kami dihadapkan pada ruangan kecil dengan pintu ganda. Di balik pintu, langsung masuk ke ruang keluarga yang menerus hingga ke balkon, memberi pemandangan ke dataran dan gunung. Sebelah kanan dan kiri ruang keluarga dibatasi dinding dengan walppaper merah.
Di balik dinding kiri, adalah kamar yang sangat mewah dan penuh dengan perabotan mahal. Di balik dinding kanan adalah alasan kenapa orang rela menyewa King's Suite ini, sebuah pemandian air panas dalam ruangan dengan panorama pegunungan, dilindungi oleh kaca anti peluru.
Tanpa instruksi, ketiga istriku sudah bergerak. Mereka menggeledah setiap sudut ruangan dan perabotan, mencari alat perekam yang mungkin dipasang, baik oleh intelijen maupun pasar gelap. Dan, tentu saja, kami mendapatkan ratusan alat perekam video dan audio.
Sudah beberapa jam berlalu tapi penggeledahan belum selesai. Sementara ketiga istriku melakukan penggeledahan, aku mengambil handphone dan membuat panggilan.
[Ada apa gin?]
"Ibla, saat ini, sudah ada lebih dari 200 alat perekam video dan suara terpasang di ruangan yang kutempati, dan masih terus bertambah. Aku tidak tahu Tigris juga terlibat atau tidak. Kalau terlibat, berarti mereka tidak bisa dipercaya. Kalau tidak, mereka lalai, kualifikasi mereka payah."
[... baik. Aku akan mengatur anggota Agade yang sudah ada di kota itu untuk mengambil alih peran Tigris.]
Identitasku sebagai Saru tidak diketahui banyak orang. Jadi, orang pasar gelap, umumnya, hanya menganggapku sebagai kepala intelijen. Mungkin mereka berpikir akan memerasku dengan informasi rahasia, dari hasil penyadapan, atau sekedar mengancam akan menyebarkan gambar istriku yang bugil.
Semua orang yang mengetahui rencana kami patut dicurigai, mulai dari Tigris, intelijen Kerajaan Agrab, pasar gelap, hingga manajemen hotel.
Setelah semua alat perekam dicabut, aku melakukan pemeriksaan kembali. Yap. Tidak ada yang tersisa. Ketiga istriku mampu melakukan pemeriksaan dengan baik. Apa yang kami lakukan dengan semua barang ini? Tentu saja kami melemparnya dari balkon ke luar, membiarkan semua alat perekam itu jatuh ke halaman hotel.
Apa yang kami lakukan, tentu saja, adalah sebuah provokasi dan pernyataan tegas.
"Jangan macam-macam!"
Adalah pesan yang kami sampaikan dengan membiarkan semua alat perekam itu berserakan di halaman hotel.
"Jadi, Gin, ayo?"
Emir dan Inanna begitu aktif. Mereka langsung menarikku ke pemandian air panas. Sementara itu, Rina, seperti biasa, selalu ragu ketika dia harus melepas pakaiannya. Rina akan melihat ke Emir dan Inanna, lalu melihat ke dadanya. Dia akan melakukannya berkali-kali lalu menghela nafas dalam.
Ayolah, Rina. Aku sudah bilang meskipun dadamu inferior, pinggangmu superior.
"Ahh ... nikmat sekali pemandian air panas ini."
Aku menyandar di samping kolam sambil melihat ke pemandangan pegunungan sore, seharusnya. Jendela anti peluru pemandian air panas menghadap utara dan barat. Sebelah timur, bagian belakang pemandian, adalah dinding. Namun, untuk mencegah sinar matahari silau, jendela pada bagian barat memiliki warga gelap.
Kami, tentu saja, masuk dengan menggunakan handuk atau sekedar pakaian renang. Sebenarnya kami bisa saja masuk dengan telanjang dan mengaktifkan fitur kaca gelap total. Namun, akan sayang kalau menikmati pemandian air panas di tempat ini tanpa pemandangan pegunungan.
Mari nikmati pemandian air panas ini sebelum nanti malam berjalan di dinginnya pegunungan.
***
"Gin, Dingin."
"Gin, kamu hangat ... "
Emir dan Inanna memelukku dari kanan dan kiri sementara Rina berada di depan.
Entah kenapa, tapi aku tidak merasa dingin sama sekali. Apa ini disebabkan oleh metabolisme tubuh inkompeten? Namun, ketika melihat Rina yang duduk di depan, aku meragukannya. Samar-samar, aku melihat bahu dan punggung Rina bergetar. Tampaknya dia juga kedinginan tapi masih jual mahal.
Karena hanya aku yang tidak merasa dingin, mungkin penyebabnya adalah tubuhku yang sudah abnormal. Di lain pihak, anehnya, belum ada satu pun benjolan merah tumbuh di wajah atau leherku. Padahal, biasanya, tengah malam begini sudah ada beberapa benjolan kecil muncul. Apa ini berarti dingin mampu melambatkan regenerasi dagingku? Bisa jadi.
Rencana awalnya adalah kami akan dipandu oleh anggota Tigris hingga perbatasan. Namun, karena masalah siang ini, terjadi perubahan rencana. Agade langsung mengambil alih seluruh tugas dan koneksi yang dimiliki Tigris di wilayah ini. Di satu sisi, aku merasa kasihkan karena yang berusaha di awal adalah Tigris. Namun, masalah tadi siang adalah hal yang serius. Mereka menuai apa yang mereka tabur.
Entah kebetulan atau bagaimana, ternyata hotel yang kami tempati juga merupakan akses pasar gelap antara Kerajaan Agrab dan Kerajaan Nina. Pada basemen hotel, terdapat sebuah terowongan panjang menuju ke Pegunungan Hamurina. Terowongan ini menerus hingga ke wilayah Anshan. Dan sama seperti di sini, di wilayah Anshan, terowongan ini juga terhubung pada satu hotel.
Karena jarak yang jauh, sekitar 20 Km, dipasang mode transportasi di terowongan. Transportasi yang digunakan adalah sebuah trem kecil bisa yang digunakan untuk menampung hingga 100 orang. Namun, hanya bagian depan kiri yang terpasang kursi, untuk 9 orang.
Mengikuti susunan kursi, aku, Emir, Inanna duduk di tengah. Rina dan 2 anggota Agade duduk di depan, tiga anggota Agade duduk di belakang. Sisanya adalah lantai kosong yang umumnya digunakan untuk menyelundupkan barang. Kali ini, digunakan untuk memindahkan barang dan senjata kami.
Jumlah tas kami lebih sedikit kali ini karena aku sudah membawa peti arsenal. Tadi siang, aku tidak membawa peti arsenal karena terlalu besar. Aku sudah meminta anggota Agade yang ke Diyala untuk membawa 4 peti arsenal. Tiga peti arsenal untukku, satu untuk Rina. Menurut Rina, metode bertarungku yang menggunakan peti arsenal sangat efisien untuk seorang inkompeten. Oleh karena itu, aku membuatkan Rina satu peti arsenal lengkap dengan senjata.
Jujur, aku benci terowongan. Jika terjadi serangan atau disergap dari dua arah, selesai sudah hidupmu.
Tidak lama, kami tiba di titik singgah pertama. Terowongan panjang ini memiliki 2 titik singgah, 1 di sisi Kerajaan Agrab, 1 di sisi Kerajaan Nina. Titik singgah dibuat demi melakukan pendataan barang masuk dan keluar sekaligus keamanan. Rel trem juga tidak menyambung, tapi berhenti di titik singgah. Ruang singgah ini berbentuk lingkaran, seperti kubah. Trem kami berhenti di sisi kanan dan trem lanjut ada di sisi kiri.
Kami turun dari trem, disambut oleh 10 orang dengan setelan abu-abu. Dua orang duduk, sisanya berdiri di belakang. Menurut anggota Agade, yang menyambut kami adalah dari pihak Kerajaan Agrab, baik pasar gelap, intelijen, atau pihak berwenang.
Pandanganku fokus pada dua orang yang duduk. Seorang ibu-ibu dengan rambut coklat gelap panjang diikat di belakang dengan ornamen. Hal yang paling mencolok dari ibu-ibu ini adalah kakinya yang tampak panjang karena mengenakan celana. Di sebelahnya, remaja perempuan, tampak lebih muda dariku, dengan rambut coklat terang dikepang dua. Selain setelan, mereka mengenakan jubah bulu tebal.
Aku, Emir, Inanna, dan Rina berjalan maju, berjajar. Kami semua siaga menghadapi orang-orang di depan. Sementara itu, lima anggota Agade yang bersama kami menurunkan barang-barang.
"Selamat datang, Lugalgin Alhold."
"Aku kira hanya pasar gelap dan intelijen yang akan menyambutku. Aku sama sekali tidak menyangka kalau Permaisuri Shara dan Tuan Putri Usmu yang akan menyambut kami."
Ya, benar. Dua perempuan yang menyambut kami adalah permaisuri Kerajaan Agrab beserta Tuan Putri. Hal ini lah yang membuat kami siaga.
Permaisuri Shara membuka tangan ke depan, menunjuk ke satu kursi lipat, mempersilakanku duduk. Namun, aku tidak menerima tawaran Permaisuri Shara.
Aku mengambil kursi lipat yang sudah disediakan dan membawanya ke kiri, ke Rina.
"Rina, kamu saja yang duduk. Kamu butuh istirahat."
"... hah?"
"Sudah. Jangan melawan. Wanita hamil tidak selayaknya melakukan banyak aktivitas berat."
"... baiklah."
Rina menurut setelah pandangan kami bertukar. Dia sadar kalau tujuan utamaku bukanlah memaksanya istirahat. Ya, aku memang ingin dia istirahat, tapi itu tujuan kedua.
Meski paham tujuan yang ingin kucapai, Rina tetap memandangku tajam. Namun, aku mengabaikan pandangan tajam Rina dan berdiri di depan Permaisuri Kerajaan Agrab, Shara. Sementara Permaisuri Shara menatapku dengan senyum, Tuan Putri Usmu hanya menunduk. Dia mengepalkan kedua tangan di atas paha rapat-rapat.
"Maaf, Permaisuri Shara. Saya harap kau tidak keberatan kalau aku berdiri. Seperti yang baru saja kau dengar, istriku hamil."
Semua orang dari kerajaan Agrab terentak ketika mendengar ucapanku. Bahkan, mereka mengeluarkan aura haus darah.
"Tahan harus darah kalian!"
Teriakan Permaisuri Shara sukses menghilangkan aura haus darah yang sempat muncul.
Reaksi orang-orang di belakang Permaisuri adalah normal. Selain menggunakan kalimat informal, aku juga berdiri di hadapan Permaisuri yang duduk. Seharusnya, tidak boleh ada orang yang pandangannya lebih tinggi dari permaisuri atau Raja. Ada alasan kenapa kursi Kepala Kerajaan selalu di atas podium.
Kalau permaisuri duduk, orang di hadapannya harus berlutut atau menunduk. Jadi, ketika diberi kursi, secara tidak langsung Permaisuri Shara telah memandangku sebagai lawan bicara yang setara, seharusnya. Kalau diperhatikan baik-baik, sebenarnya, kursi yang diduduki oleh Permaisuri Shara lebih tinggi. Jadi, dia masih memandangku lebih rendah.
Di lain pihak, saat ini, pandanganku yang lebih tinggi dari Permaisuri Shara sama seperti memandangnya rendah.
Namun, Permaisuri tidak marah. Dia mengikuti permainanku dan berdiri, memperlihatkan tubuh yang tinggi untuk seorang perempuan. Begitu Permaisuri Shara berdiri, pandangan kami setara. Kalau yang berdiri di posisiku adalah Emir, yang paling tinggi dari ketiga istriku, dia masih sedikit mendongak.
Tubuh yang tinggi, dada dan pinggang ideal dibalut dengan setelan, ditambah kaki yang tampak panjang karena mengenakan celana. Damn! Permaisuri ini benar-benar high spek.
"Gin ... "
Tiba-tiba sebuah aura haus darah muncul ... dari belakangku. Aku mengenal aura haus darah kecil ini, yang bisa dibilang hanya bocor. Aura haus darah ini muncul dari Emir. Dan, tampaknya, dia sendiri tidak sadar kalau dirinya sudah bisa mengeluarkan aura haus darah.
Aku berdehem. "Jadi, ada keperluan apa Permaisuri Shara menemui kami? Aku kira kami hanya memiliki urusan dengan organisasi pasar gelap Agrab? Mengingat mereka lah yang akan mengantar kami ke Kerajaan Nina."
"Kudengar kamu tidak suka basa-basi, jadi, aku langsung to the point. Gin, aku ingin kamu mengambil putri ketigaku ini, Usmu, sebagai istri keempat."
"..."
"..."
Semua orang terdiam. Bukan hanya orang dari pihak kami yang terkejut. Bahkan, orang-orang di belakang Permaisuri Shara juga terkejut. Mereka semua membuka mulut dan mata lebar-lebar.
Di lain pihak, aura haus darah yang muncul dari Emir semakin pekat. Padahal, dulu, Emir tidak pernah bisa memancarkan aura haus darah. Sejak Rahayu mencoba merebutku, terkadang, Emir membiarkan aura haus darahnya bocor. Dan, entah kenapa, jika dibandingkan dengan Inanna dan Rina, aura haus darah yang dikeluarkan Emir adalah yang paling kental.
Aku menghela nafas. "Maaf. Tapi, tidak, terima kasih."
Begitu aku menolak tawaran Permaisuri Shara, aura haus darah Emir menghilang. Tanpa perlu melihat ke belakang, aku bisa tahu kalau mood Emir sudah membaik.
Di lain pihak, setelah aku menolak tawaran Permaisuri Shara, terlihat kepalan Tuan Putri Usmu sedikit lemas.
"Kenapa? Apakah putriku tidak cukup cantik?"
Permaisuri Shara memiringkan tubuh dan membuka kedua tangan ke perempuan di sampingnya yang masih duduk.
"Tidak. Putrimu cantik dan jelita. Aku tidak memungkirinya. Kecantikannya tidak kalah jika dibanding dengan ketiga istriku."
"Lalu?"
"Aku tidak melihat alasan kenapa harus menikahinya. Kalau berkenan, bagaimana kalau Permaisuri Shara menceritakan kenapa kau ingin aku mengambilnya sebagai istri keempat?"
"Menurutku alasannya sudah cukup jelas, untuk mencegah Bana'an mendeklarasikan perang pada Agrab."
Aku menyilangkan tangan dan berpikir.
Ucapan Permaisuri Shara cukup logis. Kalau aku mengambil Tuan Putri Usmu sebagai istri, kecil sekali kemungkinan Bana'an akan mendeklarasikan perang pada Agrab. Jika aku tewas, Bana'an justru akan menjalin aliansi dengan Agrab karena tuan putrinya sudah menjadi istriku. Yap. Masuk akal.
Namun, aku tidak mau melakukannya.
"Tidak, terima kasih."
"Begitu ya,"
Permaisuri Shara membuang pandangan sambil tersenyum masam.
"Dengar, Permaisuri Shara, daripada mencoba menikahkanku dengan putrimu, bagaimana kalau kau langsung menghubungi Permaisuri Rahayu dan membuat persekutuan dengan Bana'an."
Permaisuri Shara menggeleng. "Tidak mungkin. Kalau Agrab bersekutu dengan Bana'an, berarti dua pertiga benua ini sudah dalam kondisi perang. Kalau sudah begitu, cepat atau lambat, perang ini bisa merambat ke seluruh benua, atau seluruh dunia."
"Baiklah. Jadi, persekutuan adalah ide yang buruk. Kalau begitu, biar aku hubungi saja Permaisuri Rahayu, memintanya untuk menyetujui perjanjian non agresi."
"... Kau pikir dirimu adalah Raja yang bisa memerintah Permaisuri seenaknya?"
"Tidak, aku bukan Raja. Aku hanya seorang inkompeten."
Aku mengambil handphone candybar dari saku dan menekan tombol ... tunggu dulu! Kita di dalam terowongan, kan?
"Ruang pemberhentian di dalam terowongan ini sudah didesain khusus agar sinyal handphone dan smartphone bisa masuk."
"Oh, baguslah. Terima kasih atas penjelasannya, Permaisuri Shara."
"Sama-sama. Daripada itu, aku tidak mengira kalau kau, yang hanya kepala intelijen, memiliki handphone candybar itu. Bahkan di kerajaan ini, hanya suamiku yang memilikinya, dia gunakan untuk menerima panggilan rahasia dari intelijen atau militer."
Aku tersenyum. "Aku membawa empat buah handphone candybar di dalam kotak senjataku. Rencananya satu akan aku beri pada pendukung di wilayah Anshan, satu lagi untuk pendukung lain yang mungkin muncul kemudian hari. Sisa duanya adalah jaga-jaga, kalau kondisi seperti ini muncul."
Aku melempar handphone ke kanan, ke Emir.
"Emir, telepon ibumu. Bilang mengenai kondisi dan tawaran yang aku berikan pada Permaisuri Shara."
Sementara dia menghubungi Rahayu, atau Mulisu, aku melanjutkan perbincangan dengan Permaisuri Shara.
"Jadi, permaisuri Shara, apa Anda menginginkan satu handphone ini?"
"Tidak terima kasih. Handphone itu memang tidak bisa disadap dan bisa melewati jammer. Namun, telepon itu tidak cukup efisien. Kalau bertemu jammer, kamu masih harus mengetahui jammer apa yang digunakan dan setelah itu kamu masih harus mencoba-coba kode yang belum tentu tebakanmu benar. Dan lagi, tidaklah bijak untuk orang selain Raja memiliki telepon itu. Hanya dengan memilikinya, aku bisa diduga sebagai pengkhianat yang sedang merencanakan pemberontakan."
"Ya. Untuk orang penting seperti kalian, saluran militer dan intelijen sudah cukup aman, lebih mudah, dan efisien."
Handphone candybar ini, secara fungsi, memang tidak efisien jika dibandingkan saluran militer dan intelijen. Namun, yang menjadi masalah bukanlah tidak efisien, tapi kepemilikannya. Jika seseorang memiliki handphone candybar, secara tidak langsung, dia menyatakan kalau tidak ingin didengar oleh pihak manapun, termasuk Kerajaan atau Negara. Secara tidak langsung, kamu seperti mendeklarasikan kalau dirimu melakukan hal yang ilegal.
Organisasi pasar gelap pun jarang yang memiliki handphone candybar karena mereka bisa dianggap sebagai pengkhianat. Aku? Hah! Aku memang sudah menjadi pengkhianat sejak Bana'an merenggut Tasha. Anggota Agade juga telah dikhianati kerajaan karena mereka diperdagangkan. Jadi, secara tidak langsung, kepemilikan handphone candybar adalah lambang pemberontakan.
"Gin, aku hanya bertanya, kalau tidak tahu tidak apa. Kalau tidak mau menjawab juga tidak apa. Apa kamu tahu jumlah handphone candybar yang tersebar di Bana'an?"
"Aku punya, ketiga istriku punya, permaisuri punya, pemimpin Agade punya, beberapa orang VVIP punya, baru-baru ini pemimpin Quetzal dan Akadia juga punya. Kalau ditotal, mungkin antara 20 – 30. Ya, mungkin sekitar segitu."
Well, sebelumnya, Permaisuri dan Fahren tidak memiliki handphone ini. Permaisuri yang memiliki handphone ini adalah Mulisu, bukan Rahayu.
Permaisuri Shara tidak merespons. Dia hanya menatapku tajam. Di lain pihak, orang-orang di belakangnya masih menunjukkan respons yang sama dengan tadi, mulut dan mata terbuka lebar. Bahkan, informasi dariku mampu memaksa Tuan Putri Usmu mengubah ekspresi wajah. Dia tidak lagi menunduk, tapi juga melihatku dengan mulut dan mata terbuka lebar.
"Itu belum menghitung yang mungkin dimiliki orang lain, yang tidak kamu ketahui, kan?"
"Ah, ung, tidak." Aku menolak ucapan Permaisuri Shara. "Itu sudah semua. Maksudku, aku adalah satu-satunya distributor handphone candybar di Bana'an, jadi aku tahu siapa saja yang memilikinya."
"Gin," Emir menyela. "Ini Mu–ibu sudah mengiyakan. Asal kondisi yang kamu beri tidak merepotkan, ibu akan menyetujuinya."
Emir hampir saja memanggil nama Mulisu. Hahaha, tampaknya dia masih belum terbiasa memanggil Mulisu dengan sebutan ibu.
"Oke, seperti itu, Permaisuri Shara. Jadi, di sini, perjanjiannya adalah Bana'an tidak akan menyerang Agrab atau menduga kalau Agrab bersekutu dengan Nina, walaupun aku tewas. Sebagai gantinya, aku mau Agrab tidak bersekutu dengan Kerajaan Nina, atau pun membiarkan militer mereka lewat, atau menyerang Bana'an. Intinya, perjanjian non agresi."
"Jujur, aku tidak yakin bisa memenuhi tuntutanmu kalau Nina mengancam menyerang kami."
Dengan kata lain, kalau Agrab merasa terancam oleh Nina, mereka akan memilih untuk bersekutu dengan Nina dan menyerang Bana'an.
Aku tersenyum, "Permaisuri Shara, apa kau yakin ingin mengatakan hal itu?"
"... bisa tolong elaborasikan?"
"Kalau kau berpikir kekuatan terbesar Bana'an ada di militer dan kepolisian, maka kau salah. Sejak zaman kerajaan Kish, lalu pendirian Bana'an, bahkan hingga kini, kau tahu kan apa yang membuat kerajaan Bana'an berbahaya?"
"..."
"Kalau kau tidak mau menjawab, biar aku jawab, Pasar Gelapnya. Kalau kalian berpikir keberhasilanku menghentikan perdagangan anak adalah awal dari tumpulnya taring pasar gelap Bana'an, kalian salah. Jika Agrab memutuskan untuk menerima tawaran sekutu Nina atau sekedar membiarkan militer Nina lewat ...."
Aku tidak melanjutkan. Aku hanya mengangkat telepon candybar ke sebelah wajah sambil tersenyum.
Ketika melihatnya, Permaisuri Shara tidak lagi menunjukkan ekspresi tenang. Dia menggertakkan gigi. Tanpa penjelasan, Permaisuri Shara sudah tahu apa yang aku maksud.
Ya, saat ini, Agade, Quetzal, dan Akadia sedang dalam proses menyebarkan handphone candybar pada orang-orang terpilih di Kerajaan Agrab. Secara tidak langsung, mereka adalah perpanjangan tangan dari pasar gelap Bana'an. Jika Kerajaan Agrab memutuskan untuk bersekutu dengan Nina atau membiarkan militer Nina lewat, Pasar Gelap Bana'an, melalui perpanjangan tangan, akan menghancurkan Kerajaan Agrab dari dalam.
"Kalau kalian mencari dan menyerang orang yang memiliki handphone ini, pasar gelap Bana'an akan menganggap kalian melakukan serangan. Dan, sebagai tambahan, pasar Gelap Bana'an memang memiliki kode etik untuk tidak mengekspos kegiatan ke permukaan, ke dunia normal. Namun, seingatku, kode etik ini hanya berlaku di Bana'an. Bagaimana kalau konflik terjadi di Kerajaan Agrab? Aku tidak bisa menebak. Kalian bisa mencobanya kalau mau."
Termakan provokasiku, orang-orang di belakang Permaisuri menarik senjata mereka. Namun, mereka langsung berhenti dengan wajah pucat pasi ketika sebuah laras tank muncul di sebelah kanan dan kiriku. Tanpa perlu melihat, aku sudah tahu kalau Emir sudah siap.
Kalau yang bertindak Inanna, mereka tidak akan takut karena yang melayak hanyalah tombak dan pasak. Namun, ketika yang melayang kepala tank, efek psikologinya sangat besar.
"TOLONG BERHENTI!"
Sebuah suara baru muncul. Tuan Putri yang sedari tadi diam saja, akhirnya buka mulut. Sang Tuan Putri Usmu bangkit dan menatapku tajam. Namun, dia melakukannya hanya sejenak. Tidak lama kemudian, dia berdiri di antara aku dan Permaisuri Shara, menatap Permaisuri Shara tajam.
"Ibu, apa kita tidak bisa memenuhi syarat Lugalgin? Menurutku, syarat yang diajukan Lugalgin tidak memberatkan kita. Menurutku, kita setara pada perjanjian ini."
Wow, perempuan ini tampak teguh. Tuan Putri Usmu pasti memiliki alasan kuat kenapa dia ingin ibunya menerima perjanjian non agresi ini.
"Jadi, Tuan Putri Usmu, apa Anda memiliki kekasih di luar sana?"
"Eh?"
Tuan Putri Usmu langsung berbalik melihatku. Wajahnya, memerah, tapi aku tidak melihat alisnya yang menyiku. Justru mulutnya yang setengah terbuka memberi emosi lain, malu.
Ternyata, pertanyaan acakku tepat.
"Tadi, kau terus menunduk. Kedua tanganmu pun mengepal erat. Namun, saat aku menolak tawaran Permaisuri Shara, tanganmu terlihat sedikit lemas, lega. Tampaknya, kau benar-benar tidak mau menikah denganku, iya kan?"
"Ahh ... itu ... ahh ..."
Tuan Putri Usmu mundur satu langkah. Dia melihat ke kanan kiri dengan pandangan kemana-mana, bingung.
Aku menghela nafas dan berhenti menekan Tuan Putri Usmu.
"Permaisuri Shara, tampaknya kau tidak menanyakan pendapat Tuan Putri Usmu. Tampaknya, dia sudah memiliki kekasih di luar sana. Apa kau tidak khawatir aku mengelabui Tuan Putri Usmu untuk memimpin pemberontakan? Aku bisa saja memberikan janji akan melepaskan dan membiarkannya hidup bersama sang kekasih setelah pemberontakan berhasil."
"... dia tidak akan melakukannya."
"Apa kau yakin? Melihat ketiga istriku meninggalkan kesetiaan mereka untuk kerajaan, apa yang membuatmu berpikir aku tidak bisa mengubah jalan pikir Tuan Putri Usmu?"
"..."
"Sudahlah! Aku tidak mau berlama-lama di tempat ini! Tempat ini dingin dan ada ibu hamil di sini!"
"Hei! Jangan jadikan aku alasan!"
Rina mengeluh, tapi aku mengabaikannya.
"Hah ...." Permaisuri Shara menghela nafas. "Baiklah. Aku akan menerimanya."
"Bagus."
Bersambung