Chereads / I am No King / Chapter 147 - Arc 4-3 Ch 10 - Memburuk ... Untuk Sesaat

Chapter 147 - Arc 4-3 Ch 10 - Memburuk ... Untuk Sesaat

"Aku pulang."

"Gin!"

Inanna menjemputku di pintu. Namun, dia tidak tampak bahagia, panik. Baru saja aku melepas sepatu, Inanna sudah menarikku.

"Ada apa?"

"Rina, Gin! Rina!"

"Ada apa dengan Rina?"

Inanna tidak memberi jawaban. Dia hanya menarikku tanpa jawaban. Kami masuk ke kamar di lantai satu. Di dalam, terlihat Emir yang berusaha merengkuh Rina, tapi gagal. Semua usaha digagalkan oleh Rina yang berontak.

"Tera! Tera!"

Namun, yang repot adalah, Rina tidak sadar, matanya terpejam. Ini adalah kasus histeris Rina yang paling parah sejak Tera tewas.

Aku masuk begitu Inanna melepas tanganku. Dengan paksa, aku menahan tangan kanan Rina dan langsung merengkuhnya, memeluknya erat.

"Tidak apa, Rina. Tidak apa."

Rina tidak langsung tenang. Dia masih berontak. Namun karena aku memiliki kekuatan fisik yang jauh lebih besar dari dirinya, Rina tidak bisa melepaskan diri. Perlahan, Rina semakin tenang. Setelah beberapa saat, akhirnya, Rina tidur dengan tenang. Dia kembali tertidur dengan pipi lembap, bekas tangisan.

Rina adalah inkompeten sehingga dia memiliki fisik yang lebih kuat dari orang normal. Ditambah lagi Rina juga mendapat latihan berat dari ibunya. Jadi, tidak heran kalau dia bisa menggagalkan usaha Inanna dan Emir untuk menenangkannya.

Aku menggendong Rina di depan badan, princess carry. Bersama Inanna dan Emir, kami pun keluar dari kamar. Angin segar akan lebih bermanfaat untuk Rina daripada ruang ber-AC.

Tanpa menunggu instruksi, Inanna dan Emir sudah bergerak. Sementara Inanna menyiapkan bantal di sofa, Emir membuka jendela.

"Bisa tolong jelaskan apa yang terjadi?"

"Tadi malam adalah giliranku menemani Rina." Emir menjawab. "Tadi malam, dia juga histeris. Namun, histerisnya seperti biasa, aku masih bisa menenangkannya. Pagi ini, dia tidak bangun awal seperti biasa. Aku kira mungkin dia kelelahan dan butuh tidur lebih. Jadi, aku tidak terlalu ambil pusing. Namun, saat aku dan Inanna memasak untuk sarapan, tiba-tiba kami mendengar suara Rina."

"Saat mendengarnya, kami langsung berhenti memasak. Awalnya aku mencoba menenangkannya, tapi gagal. Kemudian, Emir juga melakukannya, tapi gagal juga. Saat itulah kamu datang."

"Begitu ya..."

Repot juga. Kalau fase histeris Rina sudah sampai pada pergerakan fisik, otomatis, hanya aku yang bisa menenangkannya. Inanna dan Emir tidak akan bisa melakukan apa-apa.

"Tera ... Tera ..." Rina memanggil Tera dalam tidurnya.

Aku membelai rambut Rina dan mengusap punggungnya dengan lembut.

"Kalian bisa lanjutkan masak. Biar aku yang akan menangkannya."

"Tolong ya gin."

"Iya. Jujur, kami tidak tega melihatnya yang seperti ini."

Emir dan Inanna mengungkapkan kekhawatiran mereka sebelum pergi ke dapur. Aku ingin membantu, tapi Rina membutuhkan perhatian lebih saat ini.

Di lain pihak, tiba-tiba saja sebuah ingatan melintas di benakku. Belum ada setahun yang lalu, aku mengajari Emir memasak. Aku teringat ketika dia menangis saat memotong bawang, atau bagaimana jarinya penuh luka gara-gara tidak piawai memotong.

Lalu, sekarang, kalau membuka lemari Emir, kamu tidak akan menemukan pakaian dalam mahal. Dulu, pakaian dalam Emir memiliki harga dan kualitas top. Namun, repotnya, pakaian dalam ini harus dicuci menggunakan tangan dengan air hangat. Ketika dicuci dengan mesin cuci kain menjadi rusak. Sejak saat itu, dia ganti pakaian dalam menjadi yang normal. Kini, dia sudah bisa memasak, bersih-bersih, dan mencuci sendiri.

Inanna, saat pertama datang, dia benar-benar pasif, pemalu. Sifatnya bertolak belakang dengan Emir yang blak-blakan. Transisi Inanna tidak sesulit Emir karena perbedaan tradisi militer Mariander dan Bana'an. Berkat hidup bersama Emir, perlahan-lahan, sifat pasif Inanna berkurang. Dia tidak lagi memiliki masalah mengungkapkan isi pikirannya. Namun, ini juga membawa sisi buruk. Mode bertarung Inanna pun semakin ganas. Hal ini dibuktikan dari pertarungannya melawan Maila.

Kalau dilihat di kalender, waktu yang kami habiskan, tinggal satu rumah, belum mencapai satu tahun. Namun, melihat perkembangan Inanna dan Emir, semua itu terasa begitu jauh, seolah terjadi bertahun-tahun yang lalu.

Rina, sekarang, kami masih tertutup dan histeris. Aku penasaran, ke depannya, akan jadi seperti apa kamu.

"Gin, makan sudah siap."

"Oke."

Ketika bernostalgia, tidak terasa waktu sudah berjalan lama.

"Ah, Gin?"

Suara pelan terdengar.

"Ah, Rina, kamu sudah bangun."

Rina adalah tipe yang setelah bangun langsung aktif, seperti Inanna. Dan, karena itu, tidak heran kalau dia langsung lompat, melepaskan diri dari pelukanku.

"Kenapa aku tidur di sini? Dan kenapa kamu memelukku?"

Aku menghela nafas. "Rina, ada yang perlu kita bicarakan."

Rina memandangku dalam, menahan nafas. Dia menanti kata yang akan muncul dari mulutku.

"Tapi, sebelumnya, kita sarapan dulu."

***

"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?"

"Sabar. Kita akan bicarakan setelah selesai mencuci piring dan alat masak."

Inanna dan Emir sudah memasak sarapan, jadi, normal kalau yang mencuci adalah aku dan Rina.

"Kita akan membicarakannya baik-baik dengan yang lain, layaknya sebuah keluarga."

"Apa kamu lupa kalau pernikahan kita hanyalah pernikahan diplomatik? Aku hanya membutuhkan posisi dan kekuatanmu untuk membunuh ibu. Kita tidak menikah atas dasar suka sama suka."

"Lalu? Apa itu membuat kita tidak bisa berbicara baik-baik?"

"Bicara baik-baik? Tidak salah? Kamu, orang yang baru membersihkan satu keluarga, ingin bicara baik-baik?"

"Hei, aku sudah mengampuni dan mencoba bicara baik-baik dengan keluarga Fafniari sebelumnya. Mereka yang memilih untuk mengkhianatiku. Dan, sebagai catatan, aku tidak membersihkan seluruh keluarga mereka. Yang memilih untuk tidak mengkhianatiku masih hidup, kan?"

"Bicara baik-baik? Lebih tepatnya ancaman."

"Well, tanpa risiko dan ancaman, manusia tidak akan menurut, kan? Anggap saja seperti hukum. Tanpa hukuman yang jelas, kriminalitas tidak akan bisa diredam."

"Tch. Aku benci berbicara denganmu."

Tidak. Rina bukanlah tipe pemalu yang menutupinya dengan kemarahan. Dia bukan tsundere. Yang membuat Rina membenci percakapan kami adalah hal lain.

Aku dan Rina memiliki jalan pikir yang sama. Logika kami sama-sama mendominasi. Di lain pihak, kami juga bisa melihat fakta dari sisi lain untuk memunculkan logika lain. Kalau berbicara denganku, Rina pasti berpikir seolah dia ngomong sendiri. Kenapa bisa tahu? Karena aku juga merasa seperti itu. Aku merasa seperti ngomong sendiri ketika berbicara dengan Rina.

Kami akhirnya selesai mencuci dan pergi ke ruang tamu.

"Mandi dulu!"

Inanna berdiri, mencegah kami yang mau pergi ke ruang keluarga.

"Aku sudah menyiapkan baju ganti kalian di kamar mandi. Untuk mempersingkat waktu, kalian bisa mandi bareng."

"Hah?"

Bukan aku yang terkejut, tapi Rina.

"Cepat! Ini sudah hampir jam 9 tapi kalian masih belum mandi. Dan kalau gantian, akan terlalu lama. Rina, kamu mau segera memulai pembicaraan ini, kan?"

"Iya, sih. Tapi ...."

"Kalau begitu, sudah, mandi bareng saja! Gin, kamu juga harus mandi! Badanmu masih bau darah, tahu tidak?"

Tidak mungkin! Aku melakukan pembersihan dengan pakaian lain. Bahkan, pakaian yang digunakan untuk pembersihan sudah kubuang. Masa aku masih bau darah? Dan lagi, kalau benar aku masih bau darah, seharusnya Inanna menyuruhku mandi sebelum sarapan. Pasti dia memiliki niat lain.

"Sudahlah, Gin, turuti saja Inanna."

Aku hanya bisa menghela nafas ketika Emir mendukung Inanna. Ketika dua calon istriku ini kompak dalam satu hal, mereka tidak bisa dihentikan.

"Sudahlah, Rina, kita turuti saja."

"Hah?"

"Sudah! Ayo! Lebih cepat mulai, lebih cepat berakhir."

"Tidak ... aku ... Gin ... tapi ...."

Rina tidak mampu mengatakan kalimat utuh sementara aku menggeretnya ke kamar mandi.

***

"Oke. Aku sudah sarapan. Sudah mencuci piring. Dan kami juga sudah mandi. Jadi, bisa kita langsung mulai saja pembicaraannya?"

Rina sudah tidak sabar.

Dia duduk di seberangku, di sofa satu orang. Emir dan Inanna duduk di kiriku, di sofa panjang untuk 3 orang.

"Baiklah." Aku menurut. "Rina, apakah terjadi sesuatu semalam?"

Rida terdiam dengan poker face, tidak menunjukkan ekspresi terkejut atau yang lain. Namun, sesaat, bahunya terentak.

"Apa yang membuatmu berpikir demikian?"

"Baiklah, karena kita akan menjadi keluarga dalam waktu 5 hari lagi, kita harus mulai terbuka. Rina, sebenarnya, ada hal penting yang kami sembunyikan darimu."

"Tunggu dulu!" Rina mengangkat tangan ke depan, menghentikanku. "Aku sudah bilang pernikahan kita adalah pernikahan diplomatis. Kalian tidak perlu membuka rahasia padaku."

Aku menoleh ke kiri, meminta konfirmasi Inanna dan Emir. Mereka berdua mengangguk, memberi izin.

"Tapi, Rina, rahasia ini sangat berhubungan erat denganmu."

"Denganku."

"Sejak beberapa hari setelah kematian Tera, setiap malam, kamu histeris ketika tidur."

"...hah?"

Aku memberi penjelasan ke Rina. Penjelasan ini sama dengan yang didapat oleh Emir dan Inanna.

Selama mendengarkan penjelasanku, Rina menganga dan mata membelalak. Tidak jarang juga dia berkata, "tidak mungkin,". Tampaknya, dia sendiri tidak mampu memercayai ucapanku sepenuhnya. Namun, ketika Emir dan Inanna membenarkan, Rina tidak bisa mengelak.

Setelah penjelasan selesai, Rina tidak mampu memberi jawaban. Dia hanya menunduk dengan kedua tangan menutup wajah.

Aku, Emir, dan Inanna tidak mengatakan apapun. Kami menunggu Rina. Setelah beberapa menit kesunyian, akhirnya, Rina memberi respons pertama.

"Jadi, alasan kalian selalu tidur denganku adalah karena hal itu?"

"Ya," aku mengangguk.

"Dan, apa alasan instingku tidak aktif saat tidur malam, adalah karena histerisku juga?"

"Kami tidak bisa memastikan." Inanna menjawab. "Kalau dilihat sekilas, besar kemungkinan memang itu penyebabnya. Namun, mungkin ada alasan lain. Entahlah."

"Hah ... " Rina menghela. "Aku pasti tampak bodoh sekali ya. Sejak awal aku terus menekankan kalau pernikahan ini hanyalah pernikahan diplomatis. Aku terus mencoba memberi jarak antara kita. Namun, kalian tidak memedulikannya dan tetap meluangkan waktu untuk menenangkanku. Aku pasti tampak seperti orang bodoh."

Dan, seperti biasa, sebuah klise pun muncul. Apa itu? Tokoh yang percaya diri mengalami breakdown karena fakta yang mencengangkan. Well, meski klise, repotnya, hal ini adalah normal. Akan lebih repot kalau tidak. Kalau Rina tidak mengalami mental breakdown, aku bisa bilang, dia adalah orang yang arogan dan congkak. Namun, untungnya, Rina tidak demikian.

"Tidak juga. Kamu tidak tampak seperti orang bodoh." Emir masuk. "Setidaknya kamu masih lebih normal dari seseorang yang memilih untuk tidur di makam."

"... maaf."

Seperti ucapan Emir, Rina yang histeris ketika tidur adalah normal jika dibandingkan dengan seseorang, aku.

"Jadi, Rina," aku kembali masuk. "Histerismu pagi ini, bisa dibilang, berbeda dari biasanya. Pasti terjadi sesuatu semalam, kan?"

Rina menurunkan kedua tangan dan mengangkat kepala. Pandangannya terlihat sayu.

"Semalam, aku mendapat sebuah email dari salah satu bangsawan Nina. Dia mengatakan aku hanyalah aib dan pengkhianat kerajaan yang meminta tolong orang luar. Orang itu bilang seharusnya aku meminta bantuan bangsawan Nina.

"Dan, bukan hanya satu, banyak sekali email masuk seperti itu. Bahkan, beberapa email datang dari teman bangsawanku. Aku mencoba mengabaikannya dan langsung tidur. Namun, tampaknya, aku tidak bisa benar-benar mengabaikannya. Histerisku yang lebih parah menunjukkan kalau aku masih terguncang."

Posisi Rina sangat sulit. Dia adalah korban dari rencana ibunya. Namun, dia justru dianggap sebagai aib dan pengkhianat karena membawa masalah ini keluar wilayah. Kalau reaksi para bangsawan seperti itu, aku tidak akan terkejut jika perang Bana'an melawan Nina justru semakin parah.

Kalau mental Rina stabil, mungkin, dia bisa mengabaikan ucapan orang-orang itu. Namun, sayangnya, Rina sedang tidak stabil. Jadi, ucapan orang-orang itu membebani pikirannya.

"Rina, apa kamu keberatan kalau mulai sekarang aku yang memegang smartphonemu?"

Satu alasan adalah aku ingin melindungi Rina dari email lain semacam itu. Namun, tentu saja itu bukan satu-satunya alasan. Bisa saja ada email yang menyatakan dukungan tapi tenggelam oleh email ancaman lain, kan? Tidak ada salahnya melakukan pengecekan ulang.

Rina menggeleng. "Aku tidak keberatan. Dan lagi, tidak ada juga yang bisa kusembunyikan dari jaringan informasimu, kan? Kalaupun aku tidak menceritakan semua ini, cepat atau lambat, jaringan informasimu pasti akan mengetahui penyebab histerisku pagi ini."

"Memang benar kalau jaringan informasiku bisa mengetahui itu semua." Aku membenarkan. "Tapi aku lebih senang ketika mendengarnya langsung dari mulutmu. Setidaknya, dengan kamu bercerita sendiri, ini menandakan kami sudah mendapat kepercayaanmu."

"Lugalgin benar." Emir masuk. "Kepercayaanmu adalah yang terpenting. Dan, tenang saja, kami tidak akan memaksamu kok. Lugalgin juga membutuhkan waktu lama untuk mau menceritakan masa lalu dan penyesalannya ke kami. Bahkan, kalau aku bilang, kamu lebih mau bekerja sama daripada Lugalgin."

Ya maaf.

"Dan lagi?" Inanna menambahkan. "Selain kepercayaan, mendengar informasi ini langsung darimu memiliki tingkat kredibilitas tinggi. Kami juga bisa mendapat informasi ini lebih cepat daripada menunggu jaringan informasi Lugalgin. Sisi positif lain juga banyak."

Inanna benar-benar tahu cara meyakinkan Rina. Rina, sama sepertiku, adalah Alhold. Kami mengutamakan logika berpikir. Kalau Inanna bisa mengutarakan logika yang masuk akal, mau tidak mau, kami akan menurut.

"Terima kasih, Gin, Emir, Inanna. Ke depannya, maaf ya aku akan merepotkan kalian."

"Tidak apa." Inanna merespons.

"Iya. Tidak apa-apa. Kami melakukan hal ini juga demi diri kami sendiri, kok." Emir menambahkan. "Kalau histerismu semakin parah dan hanya Lugalgin yang menenangkanmu, kami yang akan repot."

"Repot?" Rina memiringkan kepala.

"Ya, tanpa Lugalgin, aktivitas malam tidak akan bisa dilakukan, kan? Dan, karena sudah ada piket tidur bersamamu, jadwal kami melakukannya dengan Lugalgin pun lebih tertata."

Aku menepok jidat.

Ternyata alasan utama Emir dan Inanna begitu aktif dalam pembicaraan ini karena tidak ingin jadwal aktivitas malam terhenti. Semakin lama, rasanya, dua calon istriku ini semakin liar.

"Eh, Emir, ngomong-ngomong, apakah mungkin setelah melakukannya, histeris Rina bisa berkurang?"

"Ah. Bisa jadi. Mungkin saja Rina akan kelelahan karena melakukannya semalaman lalu tertidur pulas. Kita tidur bisa pulas dan nyenyak banget juga kan setelah melakukannya dengan Lugalgin."

Emir dan Inanna melempar pandangan ke Rina. Pandangan mereka membuat Rina meringkuk, ketakutan.

Aku hanya bisa pasrah, berharap dua calon istriku tidak melakukan yang macam-macam. Namun, aku lengah.

***

"Gin, malam ini jadwalmu tidur dengan Rina. Dan karena Rina sudah tahu kalau dia histeris, kamu tidak perlu menyelinap di tengah malam."

"Emir benar. Kalian langsung saja tidur bareng sejak awal."

Setelah mengatakannya, Emir dan Inanna pergi meninggalkanku dan Rina, di kamarku. Entah kenapa, mereka tampak bersemangat dan bahagia.

Cklek

"Hah?"

Aku menoleh ke sumber suara, pintu. Tanpa aku sadari, pintu sudah dikunci dari luar.

"Hah, Hah, Hah," Rina mendesah. "Gin, aku tidak tahu kenapa, tapi, tubuhku terasa begitu panas?"

Aku menoleh ke kasur, melihat ke sosok Rina yang wajahnya sudah memerah. Nafasnya pendek, tersengal-sengal. Bukan hanya Rina. Aku juga merasa ada yang aneh dengan tubuh ini. Apa yang aneh? Ada yang tegak, tapi bukan keadilan.

Aku ingat dengan sensasi ini. Tidak salah lagi. Emir dan Inanna pasti memasukkan obat perangsang ke makanan atau minuman kami. Mereka benar-benar ingin memaksa kami bercinta malam ini juga hanya untuk mencoba efeknya terhadap histerisnya Rina? Atau mereka memiliki tujuan lain?

"Gin, tolong. Badanku ... aneh."

Rina terbaring dengan tangan masuk ke dalam piamanya, meraba tubuhnya sendiri. Aku bisa melihat tangan Rina yang bergerak menggerayangi dada dan selangkangannya sendiri.

Sial!

Aku langsung naik ke ranjang dan mencium Rina, mempertemukan bibir kami. Saat bibir Rina bertemu denganku, dia sempat tenang. Kini, tangannya merengkuh tubuhku.

Aku menarik kepala, memperlihatkan sebuah benang perak yang terhubung antara bibirku dan Rina. Pandanganku dipenuhi oleh wajah Rina yang memerah dan bernafas pendek. Bibirnya terlihat lembap dan merangsang.

"... Gin?"

Bersambung