Chereads / I am No King / Chapter 139 - Arc 4-3 Ch 2 - Perkembangan Perang

Chapter 139 - Arc 4-3 Ch 2 - Perkembangan Perang

"Selamat datang di Front Danau Mein."

"Sungguh suatu kehormatan saya disambut langsung oleh mayor jenderal Zortac."

Begitu turun dari pesawat pengangkut personel militer, aku langsung disambut oleh satu peleton tentara dan beberapa petinggi. Dari semua petinggi, mungkin, orang yang menyambutku ini adalah yang pangkatnya tertinggi.

Untuk orang yang tidak mengenal pangkat militer, mereka tidak akan terkejut kalau melihat seorang dengan pangkat mayor jenderal di sini. Namun, seharusnya, orang dengan pangkat ini tidak berada di medan peperangan.

Orang-orang yang berada di medan perang umumnya hanya setingkat mayor atau lebih rendah. Sesekali akan ada letnan kolonel yang datang untuk mengatur operasi baru, maksimal kolonel. Pangkat Jenderal seharusnya hanya menanti di pangkalan militer kota atau bahkan di ibukota, tidak di front perang seperti ini.

Kami tidak berjalan ke ruang terdekat, tapi langsung naik mobil, meninggalkan pangkalan udara. Lima mobil berjalan iring-iringan. Dua peti arsenal yang kubawa dan tombak tiga mata terletak di mobil lain, tidak di mobil ini.

"Jujur, meski sudah mendengar informasi mengenai kehadiran Jenderal Mayor Zortac, saya masih belum bisa percaya sepenuhnya kalau Anda berada di front peperangan."

"Hahaha. Lugalgin, kamu bisa membuang cara berbicara yang formal itu. Posisimu adalah kepala intelijen. Secara pangkat, posisimu setara dengan kolonel jenderal."

"Baiklah kalau begitu." Aku tidak menolak. "Jadi, jawabannya?"

"Perang terakhir dimana Bana'an menjadi peserta adalah 50 tahun yang lalu. Dan, semua tentara yang berpartisipasi pada perang itu, setidaknya, sudah menjadi brigadir jenderal. Sayangnya, orang-orang yang menjadi brigadir jenderal, umumnya, hanyalah kapten. Untuk melihat jalan perang lebih baik, butuh letnan kolonel atau kolonel yang pernah berpartisipasi. Dan, kebetulan, pangkatku adalah yang paling rendah di antara semua orang itu."

Alasan yang masuk akal. Namun, tetap saja aneh ketika seorang mayor jenderal ada di front peperangan.

"Jadi, karena ada mayor jenderal di sini, otomatis petugas dengan pangkat brigadir jenderal dan di bawahmu juga datang, kan?"

"Hahaha, tentu saja. Mereka tidak mungkin diam saja ketika atasannya mendatangi front perang."

Aku tersenyum masam ketika mendengar laki-laki berusia kepala 7 ini.

Perang yang dimaksud Zortac adalah perang dunia yang terjadi di benua lain. Perang ini tidak memiliki pengaruh besar pada negara-negara di Benua Ziggurat. Negara-negara di tempat ini hanya mengirimkan tentara karena negara sekutu ikut berperang, tidak lebih.

Mobil berhenti dan kami tiba di sebuah bangunan besar. Bangunan ini adalah balai kota yang terletak di pesisir danau Mein, kota Merkaz. Kota ini, selain kota wisata, juga memiliki pangkalan militer yang cukup lengkap mulai dari angkatan darat, laut, dan udara. Meski tidak di laut, danau Mein yang begitu besar hampir terlihat seperti laut. Bahkan, kamu tidak akan bisa melihat ujung danaunya. Jadi, meletakkan kapal di sini adalah hal yang lumrah. Dan, tentu saja, Mariander dan Nina melakukan hal yang sama.

Kami masuk ke balai kota dan pergi ke ruang bawah tanah yang sangat besar. Di dalam ruangan ini, terlihat ada banyak orang berpakaian militer mondar-mandir dengan membawa dokumen. Di dinding ruangan terpasang layar monitor yang menunjukkan peta Danau Mein dan sekitarnya. Terlihat beberapa titik berwarna merah, kuning, dan biru di layar. Titik merah berada di daerah Mariander, kuning di Nina, dan biru di Bana'an.

Dari semua sosok di ruangan ini, hanya satu sosok yang aku kenal.

"Lugalgin, selamat datang."

"Ibla."

Aku tersenyum dan menjabat tangan Ibla.

Saat ini, Ibla tidak menggunakan topeng silika. Dia menggunakan wajah aslinya, mata sipit dengan rambut coklat. Namun, rambutnya tidak panjang lagi. Sekarang rambutnya pendek, rapi.

"Ah, hati-hati!"

Aku langsung melompat dan mencengkeram tombak tiga mata yang hampir menyentuh salah satu alat elektronik. Ketika turun dari mobil, peti arsenal dan tombak ini dibawa oleh tentara yang menemani kami. Namun, entah tentara ini penasaran dan membukanya atau memang ceroboh, kain yang melilit tombak tiga mata setengah terbuka.

"Tombak ini terbuat dari material penghilang pengendalian. Kalau salah satu ujungnya menyentuh alat elektronik, efeknya sama seperti mati listrik. Paham?"

"Ma-maaf Pak."

"Letakkan saja kedua petiku di ujung ruangan. Kedua peti itu sudah kulapisi dengan kulit, jadi efek penghilang pengendalian tidak akan bekerja. Untuk tombak ini biar aku bawa saja."

"Siap, Pak!"

Aku mengambil tombak tiga mata dan memperbaiki kain yang melilitnya, memastikan tidak ada satu pun bagian yang menyembul.

"Lugalgin, Ibla, mari kita pergi ke ruanganku."

Aku dan Ibla menurut dan pergi ke ruangan lain di sebelah. Ruangan ini tidak dipenuhi oleh alat elektronik seperti ruang utama sebelumnya. Di ruangan ini lebih banyak dokumen dan lemari. Satu-satunya alat elektronik yang terpasang di ruangan ini adalah televisi layar lebar di ujung ruangan. Di ujung satunya, sebuah meja tinggi lengkap dengan tiga kursi.

Zortac duduk di satu kursi, aku dan Ibla duduk di kursi seberang meja. Baru saja kami duduk, seorang tentara masuk, meletakkan tiga cangkir teh di atas meja, dan keluar lagi.

"Baiklah. Jadi, apa yang harus kulakukan di sini?"

"Tidak banyak," Zortac menjawab. "Kamu hanya perlu mengunjungi beberapa base militer, berbincang-bincang, sudah. Tujuanmu ke sini hanya untuk meningkatkan moral, meyakinkan para tentara kalau intelijen masih berjuang bersama mereka."

Sangat sederhana. Tidak lebih. Meski aku meragukan kebenarannya.

"Maaf ya, Lugalgin. Kamu terpaksa meninggalkan Emir yang sedang terluka. Meskipun seharusnya keberadaan Ibla, yang adalah perwakilanmu, sudah menunjukkan hal itu, permintaan dari atas tidak bisa ditolak."

"Tidak apa-apa. Kamu juga tidak mungkin mengabaikan perintah, kan? Apalagi, kalau menolak permintaan ini, aku khawatir hubungan baik militer dan intelijen jadi buruk."

Zortac menghela nafas. "Aku harap Permaisuri Rahayu tidak melakukan hal buruk pada Emir."

Aku terdiam sejenak. "Informasi itu sudah mencapai telingamu?"

"Gin," Ibla menyela. "Aku mendapat kabar bahwa informasi ini tidak hanya beredar di kalangan intelijen, tapi juga di militer. Dan, menurutku, cepat atau lambat informasi ini pun akan menyebar ke kepolisian dan bangsawan."

"...serius?"

"Ibla benar." Zortac mengangguk. "Gosip ini sudah menyebar di kalangan militer. Melihat dari kecepatan informasi ini beredar, aku bisa menduga ada yang sengaja membocorkannya. Dan, melihat dari responsmu, aku simpulkan kamu bukan dalang di baliknya, kan?"

Bukan! Aku bukan dalang di balik penyebaran informasi ini!

Jika dipikir-pikir, orang yang mungkin memberi perintah untuk membocorkan informasi ini dengan sengaja adalah Yuan. Namun, dia adalah asistenku. Dia tidak akan membocorkan informasi ini begitu saja. Satu-satunya orang yang terlintas di pikiranku adalah–

"Emir." Aku menepuk dahi. "Emir yang sudah emosional semakin emosional karena sedang sakit. Ya, aku tidak bisa menyalahkannya sih. Saat ini, tampaknya, dia benar-benar menaruh dendam pada ibunya."

Ibla masuk. "Menurut rumor, kunjungan ini adalah ide Permaisuri Rahayu. Dan kebetulan karena petinggi militer di ibukota tidak melihat ada yang salah dari ide tersebut, mereka pun melayangkan permintaan ini ke kamu. Kamu sudah tahu hal ini, kan?"

Aku mengangguk.

"Maaf ya Gin kalau nanti anak buahku di lapangan melihatmu dengan pandangan iba dan kasihan. Mereka juga pasti sudah menduga kalau kehadiranmu ke sini adalah usaha permaisuri untuk memisahkanmu dari kedua calon istrimu."

Jujur, aku tidak tahu harus senang atau sedih dengan kondisi ini. Di satu sisi, aku senang karena mendapat simpati sekaligus pendukung di pihakku. Di lain pihak, sekarang, semua orang tahu mengenai perselisihan calon istri dan calon mertuaku.

Kita di tengah perang! Jangan bawa-bawa drama keluarga ke peperangan!

"Baiklah, mari kita abaikan informasi itu untuk saat ini. Meski sudah membaca laporan mengenai progres peperangan, aku ingin mendengarnya langsung darimu."

"Baik,"

Zortac mulai memberi penjelasan mengenai kondisi di Front Mein. Pada awalnya, Front Mein adalah front yang paling berbahaya. Namun, seiring berjalannya waktu, front peperangan mulai menyebar. Di barat, front perang melawan Nina menyebar, mengikuti sungai Kharier. Di timur, front perang melawan Mariander mengikuti sungai Or'ait. Sementara itu, di utara Danau Mein, ada satu front perang antara Mariander melawan Nina di sepanjang sungai Osier.

Garis pertahanan di sungai Or'ait sudah maju, bergerak ke utara. Front perang di sepanjang sungai Osier juga sudah bergerak ke timur. Garis pertahanan di kedua front telah berada di wilayah Mariander. Hal ini terjadi karena Mariander diserang dari dua arah.

Untuk melawan Nina, Bana'an hanya bisa mengirim angkatan udara dan darat. Sesekali, angkatan laut di danau ikut berpartisipasi, tapi jumlahnya bisa diabaikan. Hal ini juga terjadi ketika Nina mengirim serangan ke Bana'an.

Di lain pihak, Bana'an dan Nina sama-sama bisa mengirimkan kekuatan penuh untuk melawan Mariander, angkatan darat, udara, dan laut. Sementara Bana'an mengirimkan kapal perang melalui laut di timur benua Ziggurat, Nina menyerang dari utara. Karena Bana'an tidak mengirim angkatan laut ke Nina, begitu juga sebaliknya, kedua kerajaan bisa mengerahkan seluruh armada perang ke Mariander.

Mariander, yang berada memiliki kontak jalur laut dengan Nina dan Bana'an, harus membagi kekuatan angkatan lautnya di utara dan di timur. Dan, tentu saja, setengah kekuatan militer laut Mariander tidak bisa mengimbangi seluruh armada Nina dan Bana'an.

Angkatan laut Bana'an dan Nina tidak hanya menghancurkan angkatan laut Mariander, tapi juga mengirim misil ke daratan, menghancurkan pangkalan militer di sepanjang perbatasan. Mariander tidak bisa melakukan hal ini karena angkatan laut mereka hanya memiliki setengah kekuatan untuk melawan Bana'an dan Nina di kedua sisi. Secara tidak langsung, Bana'an dan Mariander seolah bekerja sama untuk menyerang Mariander.

Semakin memperparah keadaan, gerakan True One semakin kuat. Tentara revolusi tidak hanya menyerang bangsawan-bangsawan, tapi juga jalur suplai yang dikirim ke medan perang. Karena hal ini, sumber daya perang Mariander banyak yang tidak sampai ke militer di lini depan, tapi justru menjadi milik True One.

Lalu, ada faktor tambahan lagi yang membuat garis pertahanan Mariander terus dan terus mundur. Hal itu adalah senjata penghilang pengendalian. Dari tiga kerajaan yang berperang, hanya militer Mariander yang tidak memiliki akses ke senjata penghilang pengendalian. Bahkan, lebih buruk, senjata penghilang pengendalian di wilayah Mariander jatuh ke tangan Revolusioner, True One.

Kondisi cukup buruk bagi Mariander. Pada titik ini, akan lebih baik bagi Mariander untuk menyerah pada Nina atau Bana'an dan bersatu untuk menyerang musuh. Dan, sebenarnya, Mariander juga sudah mencoba langkah ini. Namun, sayangnya, hal ini selalu dicegah.

Untuk mencegah lawan bersekutu dan menyerang, Intelijen Bana'an dan Nina terus melancarkan serangan secara diam-diam. Ketika ada utusan Mariander berusaha menemui Bana'an, intelijen Nina akan ikut campur dan melancarkan serangan, menggagalkan pertemuan. Hal yang sama juga akan dilakukan oleh intelijen Bana'an ketika Mariander berusaha menemui Nina. Hal ini, tentu saja, memperburuk keadaan Mariander.

Hanya tinggal tunggu waktu sampai Mariander menyerah tanpa syarat melalui siaran televisi. Menyerah tanpa syarat memiliki sisi positif dan negatif. Misal Mariander menyerah pada Bana'an. Saat hal ini terjadi, Bana'an bisa melewati daerah Mariander untuk mencapai Nina. Selain itu, militer Mariander pun akan mendapat bantuan dari Bana'an.

Sisi negatif dari hal tersebut adalah Mariander harus mengikuti semua keinginan Bana'an. Beberapa diantaranya, misal, sistem pemerintahan Mariander akan direkonstruksi oleh Bana'an. Militer Mariander pun akan mendapat hal yang sama. Tentara Mariander akan disebar dan diletakkan di bawah militer Bana'an. Dan, pada akhirnya, Mariander tidak lagi menjadi kerajaan, tapi hanya sebatas wilayah di bawah Bana'an.

Hal yang sama juga akan terjadi jika Mariander menyerah pada Nina. Walaupun tidak menyerah dan terus melawan hingga titik darah penghabisan, ending Mariander pun tidak akan lebih baik. Wilayah Mariander akan terbagi, sebagian menjadi milik Bana'an, sebagian milik Nina. Dengan kata lain, tidak peduli langkah apa yang Mariander pilih, kerajaan tersebut akan hilang dari peta.

Namun, ada hal menarik lain yang terjadi pada perang ini. Meski secara militer hanya 3 kerajaan yang terlibat, tapi secara intelijen hampir seluruh dunia terlibat. Intelijen di seluruh dunia saling mencegah agar tidak ada satu pun sekutu dari tiga kerajaan yang mengirimkan bantuan militer.

Semua intelijen di penjuru dunia berusaha sekuat tenaga untuk melakukan hal ini. Karena, kalau sampai ada sekutu yang mengirimkan bantuan militer, perang ini akan menjadi perang dunia baru. Dan, untungnya, tidak ada satu pun kerajaan atau negara yang menginginkannya. Well, setidaknya, selain intelijen Mariander. Mariander pasti lebih memilih perang ini menjadi perang dunia daripada hanya kerajaannya yang hancur.

Kalau dirunut ulang, penyebab Mariander dan Bana'an berperang adalah karena aku membawa Maul kembali ke Bana'an, merenggutnya dari militer Mariander. Di lain pihak, kerajaan Nina menyerang Bana'an karena sang ratu ingin agar aku mengambil alih posisi pemimpin kerajaan. Jadi, kalau dipikir-pikir, penyebab perang tiga arah ini, yang membuat intelijen seluruh dunia turun tangan, adalah aku. Aku adalah penghancur kedamaian dunia.

Ya, sudahlah.

"Namun, sayangnya, posisi Bana'an tidak unggul juga. Di antara 3 kerajaan, saat ini, yang paling unggul adalah Nina."

"Pak Zortac, tolong jelaskan."

"Meskipun Bana'an juga memegang senjata penghilang pengendalian, sayangnya, senjata ini tidak terlalu efektif saat digunakan melawan Nina. Seluruh armada, kendaraan, pesawat, tank milik Bana'an masih bergerak menggunakan mesin rotasi. Di lain pihak, sebagian dari kendaraan perang dan pesawat Nina tidak menggunakan mesin rotasi lagi. Mereka menggunakan mesin antik berbahan bakar minyak."

"Sebagian. Berarti belum semua ya?"

"Menurutku seperempat dari militer Nina tidak menggunakan mesin rotasi," Ibla menambahkan. "Sekarang, kita tahu kenapa Nina melakukan import minyak sejak dulu."

Mengingat ratu Nina selama beberapa generasi terakhir adalah inkompeten, tidak heran kalau mereka lebih siap untuk menghadapi inkompeten lain dalam perang. Saat ini, walaupun Bana'an memiliki akses, peluru penghilang pengendalian tidak akan memiliki efek kalau berhadapan dengan tank yang bergerak menggunakan minyak, bukan mesin rotasi.

Tok tok

"Siapa?"

"Mayor Jenderal Zortac, Brigadir Jenderal Karava meminta izin masuk. Ada status darurat."

Meskipun bilang status darurat, nada orang di balik pintu ini tidak terdengar panik, masih normal. Karena tidak melihat reaksinya langsung, aku tidak tahu apakah orang itu tidak sadar dengan arti kata darurat atau sebaliknya, dia bisa menekan emosinya.

"Kami akan keluar."

Tanpa menunggu konfirmasi dariku dan Ibla, Zortac memberi jawaban. Kami bertiga pun bangkit dan keluar dari ruangan.

"Lapor! Semua armada di pesisir danau tidak bisa digunakan. Bukan hanya armada, tapi juga alat-alat elektronik."

"Apa?"

"Mayor Jenderal Zortac, aku ambil alih komando sejenak!"

"Siap!" Zortac memberi konfirmasi. "Dengan ini, aku serahkan komando dan wewenang ruangan ini pada Lugalgin Alhold, kepala intelijen."

"Siap, laksanakan!"

Meski secara kedudukan, kalau disamakan, posisiku lebih tinggi dari Mayor Jenderal, seharusnya aku tidak memiliki wewenang untuk mengambil alih komando karena tidak berasal dari militer. Jadi, sebenarnya, aku penasaran kenapa Zortac mau memberikan wewenang begitu saja.

Sebenarnya, aku hanya ingin memberi arahan. Namun, kalau tidak melakukan formalitas ini, aku khawatir tidak ada satu pun orang di ruangan ini, selain Ibla, yang akan menurut.

"Dengar! Aku butuh lokasi dimana alat elektronik tidak bisa digunakan. Tampilkan informasinya pada peta di layar utama."

"Siap!"

Dalam waktu singkat, pada layar utama muncul sebuah peta.

"Zoom out!"

Menuruti ucapanku, tampilan pada peta mengecil.

Meski belum terlihat bentuk segitiga, perlahan, aku sudah melihat garis miring di peta. Saat ini, Nina hanya memiliki 2 inkompeten, Rina dan Ratu. Aku beruntung karena si nenek sudah meninggal, jadi jumlah inkompeten di Nina tidak mencapai angka 3. Dari informasi yang kuhimpun, Ratu tidak pernah mengenakan kacamata atau kontak lensa gelap ketika berada di depan publik. Jadi, aku bisa simpulkan Ratu bukan tipe penglihatan.

Pada peta, terlihat ada dua garis miring yang kalau dihubungkan akan berbentuk segitiga. Hal ini mencirikan inkompeten tipe penglihatan. Dengan kata lain, tampaknya, Rina dikirim ke sini. Tentu saja, hal ini hanya berlaku kalau Nina tidak memiliki inkompeten tersembunyi lain.

"Apakah semua yang adai peta mati listrik? Atau ada beberapa bangunan yang masih menyala karena tertutup bangunan lain?"

"Siap! Izin bicara! Semua bangunan mengalami mati listrik!"

Semua bangunan, ya. Berarti, Rina ada di ketinggian, entah gunung atau bukit. Kalau dia berada di dataran rendah, akan ada banyak bangunan yang masih menyala karena tertutup oleh bangunan di depannya.

"Penghilang pengendalian yang digunakan Nina, saat ini, bukanlah tipe peluru seperti biasanya, tapi tipe optik. Kalau kalian lihat baik-baik, tampak seperti ada garis miring di bagian utara dan selatan. Sederhananya, bentuk segitiga. Pertemukan dua garis miring ini dan kalian akan menemukan sumber penghilang pengendalian ini."

"Siap!"

"Mayor Jenderal Zortac, sampaikan koordinat penghilang pengendalian ke Ibla. Dia akan menyampaikannya padaku."

"Ah? Lalu, apa yang akan kamu lakukan?"

"Aku akan mendatangi lokasi tersebut."

Bersambung