Chereads / I am No King / Chapter 136 - Arc 4-2 Ch 14 - Prinsip

Chapter 136 - Arc 4-2 Ch 14 - Prinsip

"Ah, maaf. Aku sudah tidak bisa menahan Lugalgin lagi. Dia tidak melawanku sendirian. Dia, seperti biasa, membawa bala bantuan."

Sambil mengikat dua peti arsenal di kanan di kiri pinggang, aku mendengarkan Rina berbicara ke smartphone. Meski mengucap maaf, aku tidak merasakan sedikit pun rasa bersalah dari suara Rina.

"Kamu menelepon siapa?"

"Tentu saja pemimpin Orion. Siapa lagi? Aku hanya memberi janji untuk mengulur waktu, tidak mengalahkanmu."

Kamu mengulur waktu? Mana ada! Yang ada kamu hanya menghabiskan waktu mengobrol denganku dan main kartu. Perempuan ini benar-benar Alhold sejati.

Bukan hanya aku yang bersiap pergi. Semua orang di ruangan ini pun sudah berdiri. Seolah kawan baik, kami berjalan menyusuri lorong dan keluar rumah secara bersama-sama. Dalam perjalanan ini, kami pun mengobrol ringan.

Setelah sampai di depan bangunan, aku pun naik ke sepeda motor model naked bike tanpa kopling. Karena sudah mengikat dua peti arsenal di pinggang, aku memilih sepeda motor tanpa kompartemen penyimpan senjata.

"Ami, hati-hati ya pulangnya. Jangan sampai terseret ke pertarungan ini."

"Jangan khawatir. Seperti yang kakak bilang, begini-begini, Ami adalah anggota keluarga Alhold. Ami tidak mungkin kekurangan akal."

Aku hanya bisa tersenyum masam mendengar respons Ami.

"Dan lagi, Ami tidak keluar sendirian. Om Etana sudah Ami kontrak untuk membawa Ami keluar dari kota ini."

Yap. Seperti ucapan Ami, Etana sudah terikat kontrak. Tadi, saat bermain kartu, Ami menawarkan kontrak ke Etana untuk membawanya keluar dari kota ini. Awalnya, tawaran tersebut ditolak. Namun, setelah Ami mengirim sejumlah uang ke rekening Etana sebagai uang muka, tawarannya pun diterima.

Aku penasaran berapa banyak uang yang dikirim oleh Ami.

Seharusnya, Ami dan Gena bisa keluar dari kota ini dengan mudah tanpa bantuan Etana. Hal ini membuatku berpikir tujuan utama Ami menyewa Etana bukanlah demi keamanan, tapi untuk menjalin hubungan. Setelah revolusi Mariander berhasil, dengan link salah satu tokoh revolusioner yang berperang penting, dia bisa masuk ke pasar Republik Mariander dengan lebih mudah.

Dan, sesuai dugaanku, Ami dan Etana pun membicarakan hal itu di depanku. Di lain pihak, Rina diam, hanya melempar senyum ke arahku.

"Kenapa?"

"Tidak apa." Rina menggeleng. "Dan, jangan lupa! Kamu sudah di ambang kematian. Terluka parah sekali lagi dan kamu bisa ucapkan selamat tinggal pada dunia ini."

Rina kembali menekankan kondisiku. Menurut Rina, kecepatan penyembuhan tubuhku sudah terlalu tinggi. Kalau aku mendapatkan luka parah lagi, massa ototku akan terlalu padat, membuat aktivitas organ tubuhku terhambat.

Selain itu, ada kemungkinan tumor akan muncul dan tubuhku akan mengidap kanker. Kanker apa? Tergantung luka yang akan aku alami. Kalau luka di dada, kanker paru-paru. Kalau tulang patah, kanker tulang. Kalau memar di seluruh tubuh, kanker otot. Intinya, menurut Rina, aku sudah tidak boleh terluka lagi. Bahkan, dia pun menyarankan agar aku mundur dari lini depan dan hanya menjadi ahli strategi.

Jujur, aku agak terkejut ketika mendengar Rina mengatakan hal yang sama dengan Emir dan Inanna. Namun, meski ucapan mereka sama, aku bisa tahu kalau niatnya berbeda. Emir dan Inanna benar-benar khawatir dengan keselamatanku. Di lain pihak, menurutku, Rina lebih khawatir kalau aku tewas dia lah yang akan dipaksa menjadi Ratu dari Bana'an dan Nina.

"Dan, Gin, untuk rencanamu," Rina menambahkan. "Aku bisa bilang kemungkinan berhasilnya sangat kecil. Bahkan terlalu kecil."

Aku masih tersenyum masam. Seperti ucapan Rina, rencanaku, atau lebih tepatnya rencana Emir, memiliki kemungkinan berhasil yang sangat kecil. Yang dimaksud Rina bukanlah seluruh rencana gagal, tapi hanya sebagian. Lebih tepatnya, pada bagian dimana aku berusaha tidak menjadi Raja. Kalau pada bagian perombakan Bana'an, bisa dibilang rencana Emir akan berhasil.

"Tapi tidak nol. Aku tidak bisa diam saja dan menerima keadaan, kan? Aku seorang Alhold. Sudah pasti aku akan mengerahkan seluruh usaha untuk mendorong tanggung jawab itu ke orang lain. Dan, jangan khawatir. Aku juga tidak ada niat untuk tewas."

Senyum Rina semakin lebar, seolah dia baru mendengar berita baik. Apa dia bahagia ketika aku mengakui kalau aku seorang Alhold? Atau dia bahagia ketika aku menyatakan akan memberi perlawanan? Entahlah.

Aku menempelkan smartphone ke atas tangki motor dan memunculkan proyeksi peta ke udara, ke depanku. Dengan headset masih menempel di telinga kiri, aku sudah siap.

"Baiklah, sudah cukup segitu. Aku harus segera mengakhiri pertarungan ini."

"Da da Kak Lugalgin."

"Sampai jumpa ya, Gin."

Sementara Ami dan Etana melambaikan tangan dan memberi perpisahan, Rina hanya mengantar dengan senyuman.

Aku menyalakan sepeda motor dan langsung pergi, meninggalkan kantor pemerintahan.

"Halo, Yuan. Aku butuh laporan."

[Baik. Total ada 284 titik pertarungan di kota abu. Sebanyak 189 pertarungan sudah selesai, 95 masih berlangsung. Agade memenangkan 110 pertarungan dan sisanya dimenangkan oleh Orion. Namun, meski ada 79 pertarungan dimana Agade kalah, tidak satu pun anggota Agade tewas. Aku sudah memberi instruksi agar mereka mundur sebelum jatuh korban jiwa. Setelah mundur, aku mengarahkan mereka untuk bergabung dengan anggota lain yang telah menang, membuat kemenangan Agade semakin pasti.]

"Mulisu?"

[Mulisu sudah dievakuasi. Kita beruntung karena sebagian besar senjata masih menancap, jadi dia tidak kehilangan banyak darah.]

Aku menghembus nafas lega. Kalau tidak kehilangan banyak darah, maka pengendalian Mulisu tidak akan terancam lagi.

Menurutku, kemenangan Mulisu adalah salah satu bentuk karma. Sebelumnya, Ukin hampir membunuh Mulisu di rumah sakit. Mulisu kehilangan banyak darah, kakinya lumpuh, dan pengendaliannya sempat hilang. Namun, setelah itu, kekuatan pengendaliannya justru meningkat, membuatnya mampu bersanding dengan Ukin. Dan, dengan pengendalian yang meningkat drastis, dia membunuh Ukin.

Kalau pertarungan head to head seperti ini, seharusnya, Mulisu sama sekali tidak memiliki kemungkinan menang. Kalau mau menang, Mulisu harus menggunakan strategi dan meminta bantuan pihak lain, seperti sniper.

Kalau seandainya Ukin tidak mencoba membunuh Illuvia saat itu, dan Mulisu tidak di ambang kematian, dia pasti yang akan menang pada pertarungan tadi. Yang akan tewas adalah Mulisu, bukan Ukin. Mulisu yang lama tidak mampu mengendalikan ribuan senjata dan membuat satu lipan raksasa seperti yang terlihat di cctv.

Yah, seperti yang orang bilang, karma is a bitch.

"Bagaimana dengan tante Hervia?"

[Sulit. Dia bisa mengendalikan tentakel logam dengan sempurna seolah ada lapisan pelindung tidak terlihat di sekitar. Bahkan, baru saja aku memerintahkan anggota Agade untuk menggunakan tank dan artileri. Sayangnya, tante Hervia juga bisa mengelaknya, membuat peluru tersebut menghancurkan bangunan di sekitar.]

Mengelak peluru tank dan artileri? What the fuck? Pengendalian macam apa itu? Bukan hanya pengendaliannya! Insting tante Hervia pun sudah tidak manusiawi!

"Coba ditimpa dengan gedung?"

[Akan aku coba.]

"Tetap ulur waktu. Jangan biarkan tante Hervia bergabung dengan anggota Orion yang lain. Dan tolong kirimkan rute terpendek dan tanpa titik pertarungan dari tempatku ke tempat Emir dan Inanna."

[Baik!]

Proyeksi peta di depan sepeda motor bergerak mundur, zoom out, menunjukkan rute yang harus kuambil untuk mencapai resor yang menjadi tempat pertarungan Inanna dan Emir. Aku melihat ke peta sekilas. Begitu rutenya sudah hafal, aku mematikan proyeksi, kembali fokus ke jalan.

***

Sial! Sial! Sial!

Aku terus mengumpat di dalam hati. Kondisi lengan kanan memar. Karena sulit digerakkan, aku hanya bisa menggunakannya untuk menekan perut kiri yang berlubang. Hanya dengan sarung tangan besi kiri, aku berusaha mengelak serangan Illuvia. Namun, tidak semua serangan berhasil kutelak. Sebagian sabetan pisau berusaha berhasil menebas jaket anti peluru yang kugunakan, tapi, untungnya, tidak membuahkan hasil. Jaket anti peluru bisa melindungi tubuh dari tebasan, tapi tidak dari tusukan.

Dor

Sebuah tembakan kembali melesat. Aku menunduk, menghindar. Aku terus dan terus mundur, mencoba menambah jarak dan mencari kesempatan untuk mengambil pistol. Namun Illuvia tidak membiarkanku. Dia terus menempel. Bahkan, walaupun aku pergi ke lantai dua dan pindah ruangan, Illuvia terus menempel.

"Hahahahahahaha,"

Selama pertarungan berlangsung, suara tawa Illuvia yang melengking terus terdengar. Entah apa yang ada di pikirannya.

Seharusnya, aku bisa membunuh Illuvia dengan mudah. Namun, sayangnya, aku lengah. Aku hanya tidak ingin membuat Lugalgin bersedih dengan membunuh teman SMAnya. Dan aku sendiri bisa berempati pada keadaan Illuvia. Karena dua hal itu, aku sedikit berharap Illuvia mau menerima kenyataan, menerima fakta kalau Lugalgin adalah calon suamiku. Namun, sayangnya, aku terlalu naif.

[Emir, bagaimana kondisimu?]

"Lugalgin?"

"Eh?"

Tiba-tiba serangan Illuvia terhenti sejenak. Tampaknya dia terkejut ketika aku menyebut nama Lugalgin. Tanpa membuang waktu, aku langsung mengambil pistol dan melepas tembakan. Namun, tembakanku tidak mampu menyentuh Illuvia. Semua peluru yang kumuntahkan hanya mendarat di dinding semen. Namun, aku tidak berhenti. Aku terus melepaskan tembakan. Setidaknya tembakanku akan membuat Illuvia tidak mampu bergerak, memberiku waktu untuk mengobrol dengan Lugalgin sambil menambah jarak.

"Kondisiku tidak baik. Perut kiri berlubang oleh luka tusuk, lengan kanan memar karena tembakan."

[Apa kamu bisa bertahan lima menit? Aku sedang dalam perjalanan.]

Lugalgin dalam perjalanan untuk menyelamatkanku, ya. Dari awal, selalu Lugalgin yang datang dan menyelamatkanku. Apa aku tidak bisa mandiri untuk sekali? Apa takdirku memang selalu diselamatkan? Tidak! Aku–

[EMIR!]

Bentakan Lugalgin membuatku terentak, menghamburkan semua pikiran.

[Tidak tahu kenapa, tapi aku merasa harus mengatakan ini. Saat ini, aku memintamu hanya memikirkan satu hal. Aku ingin kamu bertahan hidup sampai aku datang. Tidak usah memikirkan harga diri. Tidak usah memikirkan hal lain. Kamu akan menjadi anggota keluarga Alhold. Jadi, ada satu prinsip yang harus kamu pegang.]

Prinsip?

[Harga diri tidak bisa menggantikan nyawa. Walau kamu harus membuang harga diri, yang penting kamu selamat. Bertahan hidup.]

Harga diri tidak penting?

[Kamu adalah calon istriku. Kamu akan menjadi anggota keluarga Alhold. Kamu sudah bukan keluarga kerajaan.]

"Tapi,"

[Ingat. Satu-satunya yang membuat aku tidak membunuh permaisuri Rahayu dan juga keluarga Jeanne adalah karena kamu. Kalau kamu tewas, aku bisa pastikan mereka akan menyusul.]

"I, itu...."

Aku sempat ragu ketika mendengar ucapan Lugalgin. Karena sudah bersama Lugalgin sekian lama, aku mengira ibu dan Jeanne sudah memiliki peran yang tidak tergantikan bagi Lugalgin. Namun, kali ini, aku kembali diingatkan pada fakta bahwa hidup dan mati mereka bergantung padaku. Kalau aku tewas, keluargaku dan keluarga Jeanne akan dibersihkan oleh Lugalgin. Tidak, aku tidak mau. Tapi....

[Atau kamu lebih memilih tewas dan aku mengambil Illuvia sebagai istri?]

"KAMU LEBIH MEMILIH WANITA GILA INI DARIPADA AKU?"

[Bukan itu. Maksudku–]

"APA KAMU MAU DATANG UNTUK MENYELAMATKANNYA? BEGITU?"

[Emir. Dengarkan–]

"Selain aku, hanya Inanna dan Tasha yang boleh ada di hatimu. CAMKAN ITU!"

[....aku dalam perjalanan.]

Lugalgin brengsek! Apa dia berharap aku tewas dan menikahi Illuvia. Jangan harap!

Ung....eh, apa dia mengatakan itu? Sebentar. Sebelum mengatakan itu, dia mengatakan keselamatan ibu dan Jeanne, lalu soal prinsip, lalu, apa lagi? Apa Lugalgin benar-benar mengatakan ingin menyelamatkan Illuvia? Ah, sudahlah! Tidak penting. Yang penting, sekarang aku harus mengulur waktu sampai Lugalgin datang.

Tapi, lima menit ya. Aku tidak yakin bisa menahan perempuan gila ini sampai lima menit.

Tidak! Aku tidak boleh putus asa. Lugalgin sudah bilang aku harus bertahan walaupun membuang harga diri. Aku bukan keluarga kerajaan lagi. Aku adalah rakyat jelata dan calon istri Lugalgin Alhold. Kalau begitu....

Aku terus memuntahkan peluru yang ada di pistol dengan sambil lari, menjauh dari Illuvia.

"Saatnya kabur!"

"Hahahaha, mau kabur kemana kamu?"

Tawa Illuvia semakin kencang.

Sial! Perempuan ini benar-benar gila. Kenapa aku bisa merasa iba padanya? Apa aku bodoh?

Sambil terus berlari, aku melepas tembakan ke langit-langit di belakang, memecahkan lampu yang ada di atas Illuvia, memberi hambatan. Namun, sayangnya, usahaku tidak membuahkan hasil. Semua kaca bohlam yang berjatuhan diterjang begitu saja oleh Illuvia. Aku melihat wajahnya yang terus tersenyum lebar penuh dengan luka.

Peluru di pistol sudah habis. Namun, aku tidak langsung membuangnya. Aku menempelkan ujung laras yang panas ke perut kiri.

"Akh!"

Meski tidak tertutup penuh, setidaknya darah yang mengalir dari perutku tidak akan sebanyak sebelumnya.

Akhirnya aku tiba di resepsi lantai 1 lagi. Namun, kemana perempuan itu? Dia tidak kunjung muncul di tangga. Apa dia menyerah? Tidak mungkin! Dia tidak mung–

Prang

Aku tiarap, menghindari berondong peluru Illuvia yang muncul dari jendela. Belum sempat aku bangkit, Illuvia sudah berdiri di depanku, menghunuskan pisau. Aku masih tidak menyerah. Aku menahan tangan Illuvia dan bangkit.

Sekuat tenaga, aku melepas tendangan ke satu tempat yang sangat terlarang. Bahkan, aplikasi ini tidak diperbolehkan di militer. Melakukan teknik ini adalah sebuah kejahatan perang. Apakah itu? Teknik ini adalah menghantam perempuan tepat di kemaluan. Pada kasus kali ini, menendangnya.

"Akh....."

Setelah menerima tendanganku, tepat di kemaluannya, Illuvia pun terjatuh ke atas lantai dengan kedua tangan di antara kedua paha.

Banyak orang berpikir bahwa hanya laki-laki yang merasa sakit kalau diserang di kemaluan. Namun, sebenarnya, hal ini juga berlaku untuk perempuan. Kami juga akan merasakan rasa sakit yang amat sangat kalau ditendang di kemaluan.

Bukan hanya itu. Teknik ini juga bisa menghancurkan ovarium perempuan, membuatnya tidak bisa hamil. Luka yang dialami pada organ reproduksi perempuan pun akan permanen, tidak akan pernah hilang. Seumur hidupnya, perempuan ini harus terus merasakan rasa sakit yang lebih parah dari menstruasi.

Karena efek yang berkepanjangan, buruk, dam menyakitkan, serangan pada organ reproduksi dilarang sepenuhnya. Serangan ini termasuk ke dalam kejahatan perang kategori kekerasan seksual.

Lalu, pada kasus ini, aku juga mengenakan sepatu dengan sol dan penutup depan berlapis besi. Jadi, kalau seandainya pertarungan ini adalah perang antar negara, bukan perang pasar gelap, aku akan disidang oleh pengadilan internasional.

Aku tidak diam dan melihat Illuvia begitu saja. Aku langsung mengambil pisau lain dan mengarahkannya ke kepala Illuvia. Namun, hal yang tidak aku duga terjadi.

Aku tidak jadi menusuk Illuvia. Aku langsung melompat ke samping, menghindari tembakan peluru dari belakang Illuvia. Saat ini, terlihat beberapa senjata api sudah melayang di atas tubuh Illuvia. Dia sudah tidak menggunakan penghilang pengendalian lagi.

Sial!

Aku melompat ke pintu keluar, berusaha lari sejauh mungkin. Karena Illuvia sudah tidak menggunakan pengendalian, aku bisa mengendalikan silikon yang terpasang di jaket dan celanaku, membuatku mampu melayang dan menghindar dengan cepat. Namun, tiba-tiba aku tidak bisa mengendalikan silikon di pakaianku lagi, membuatku terjatuh dan terguling.

Sial! Lugalgin Alhold, kenapa sih kamu harus mengajarkan teknik penghilang pengendalian ke perempuan gila ini?

Aku tidak menghentikan tubuh yang berguling. Aku terus dan terus berguling, mencoba mencapai pintu. Namun, tepat sebelum mencapai pintu, aku berhenti, mencegah tubuhku tertimpa peti arsenal palsu milik Illuvia. Gara-gara ini, rute kaburku pun tertutup.

"Dasar perempuan tak tahu diri. Aku sudah berbaik hati akan membiarkanmu menjadi istri kedua Lugalgin di sana. Tapi ini balasanmu?"

Aku melihat ke lantai. Terlihat tetesan darah di sekitar kaki Illuvia. Tetesan darah itu tidak berasal dari luka Illuvia ketika menerjang pecahan lampu dan jendela. Tetesan darah itu muncul dari kakinya, yang terhubung ke organ reproduksi Illuvia. Dengan kata lain, seranganku telah mengakibatkan sebuah pendarahan parah.

Dengan wajah merah mendidih dan penuh luka, dia menodongkan sebuah pistol ke kepalaku.

"Selamat tinggal."

dor

***

Tembakan pertama mendarat tepat di tangan kanan Illuvia, membuatnya pistolnya terlepas. Tidak berhenti, aku kembali melepas tembakan ke lengan kiri Illuvia. Dua peluru yang melesat sudah dioles dengan darahku. Jadi, dengan begini, Illuvia tidak akan bisa menggunakan pengendalian. Dia sudah tidak bisa menggunakan garpu tala, yang membuat obyek di sekitar tidak bisa dikendalikan. Selain itu, Illuvia juga tidak akan bisa mengendalikan semua senjata yang ada di belakangnya.

"Lugal....gin...."

Illuvia tidak roboh atau berlutut setelah menerima tembakanku. Dia masih berdiri, tegak, melihat ke arahku.

Aku tidak memasukkan pistol dengan bayonet ini kembali ke kotak arsenal. Aku masih menggenggamnya erat.

Dalam perjalanan, aku terhenti pada satu jalan karena ada gedung yang roboh. Kukira aku harus memutar, tapi, ternyata, sudah ada agen schneider yang bersiap di tempat itu dengan sebuah papan. Agen itu dikirim oleh Yuan untuk mengantarku. Dan, berkat keputusan Yuan, aku bisa mencapai tempat ini lebih cepat. Begitu menurunkanku di taman, agen schneider itu kembali ke tempat Yuan, ke markas lapangan militer dan intelijen.

Saat datang, pandangan Inanna berpapasan denganku. Namun, dia tampak tidak memiliki masalah. Inanna langsung mendongak ke arah bangunan utama resor, memberi isyarat agar aku segera masuk.

Ketika akan masuk, aku melihat Emir yang berguling. Namun, tiba-tiba saja muncul sebuah peti hitam di pintu. Aku langsung lari ke samping kanan sambil mengambil satu pistol dengan bayonet. Melalui jendela, aku melepas dua tembakan, menghentikan Illuvia.

Aku membuka jendela dan masuk.

Apa? Akan lebih keren kalau aku lompat dan memecahkan jendela? Hell No! Tidak terima kasih! Aku tidak mau menambah luka untuk hal yang sepele.

"Emir, kamu tidak usah bergerak."

"Lugal....gin....?"

Illuvia, dengan tangan terjatuh lemas, berjalan ke arahku. Matanya menatap dalam ke mataku. Dia tidak lagi memedulikan keberadaan Emir. Semakin mendekat, semakin terlihat jelas kalau yang ada di pandangan Illuvia hanya aku seorang.

Aku tidak bergerak. Aku hanya berdiri, terdiam, menanti Illuvia yang mendekat. Akhirnya, aku merasakan tubuh Illuvia yang menempel di badanku.

Illuvia, ketika tiba di depanku, merobohkan badan, membuat badanku menjadi sandaran. Dia tidak melihat ke arahku, kepalanya terbenam di dadaku.

Di lain pihak, aku merasa ancaman utama bukan berasal dari Illuvia, tapi dari sumber lain.

"Lugalgin.....kenapa?"

Kenapa apa ini? Kenapa aku menolaknya? Kenapa aku memilih Emir? Atau kenapa yang lain? Ya, aku tidak terlalu peduli kenapa yang mana.

"Karena kamu bangsawan."

"Tapi....Emir..."

"Selama dua tahun lebih, aku sudah mengatakan kalau aku tidak akan menerima perasaanmu karena kamu adalah bangsawan, kan? Namun, kamu mengabaikan ucapanku dan lebih memilih untuk menjadikanku bangsawan. Di lain pihak, Emir berani melakukan hal yang tidak kamu lakukan. Emir meninggalkan keluarganya, keluarga kerajaan. Dia meninggalkan status tuan putri demi aku."

"Jadi, ini salahku sendiri ya."

Secara sederhana, ya ini salahmu sendiri, Illuvia. Namun, kalau aku bilang, justru keputusan Illuvia adalah yang rasional. Dia adalah anak tunggal dari keluarga bangsawan. Tidak mungkin kan dia meninggalkan keluarganya demi seorang inkompeten tanpa masa depan sepertiku. Ya, setidaknya itulah kenampakan dari luar ketika kami masih SMA.

Kalau seandainya Illuvia mengetahui identitas dan diriku yang sebenarnya sejak awal, dia pasti tidak akan ragu meninggalkan keluarganya. Pada bagian ini, tidak bisa dipungkiri, aku memiliki kesalahan karena menyembunyikannya.

Kalau seandainya Illuvia tidak bertemu denganku di masa SMA, tapi setelah aku memenangkan battle royale, atau setelah aku menggagalkan serangan True One di Mariander, dia pasti akan memilih untuk meninggalkan status bangsawan dan mengikutiku.

Pada dasarnya, pertemuanku dengan Illuvia terlalu cepat. Dia bertemu sebelum aku memiliki reputasi. Berbeda dengan Emir dan Inanna. Pada kasus Emir, dia memang sudah memiliki perasaan padaku sejak lama dan juga beberapa kali mencoba menjadikanku bangsawan. Meskipun ada niat terselubung Fahren, tetap saja alasan utama Emir bisa meninggalkan keluarga kerajaan adalah karena aku menang di battle royale.

Hal ini juga lah yang terjadi pada Inanna. Kalau aku tidak menggagalkan serangan True One, membuat Kerajaan Mariander dan Selir Filial berhutang padaku, Inanna tidak akan dilepaskan begitu saja.

Dengan kata lain, sederhananya, Illuvia memang tidak ditakdirkan untuk menjadi istriku.

"Kalau begitu, setidaknya, biarkan aku–"

Tiba-tiba saja Illuvia mendongak dan melompat. Dia berusaha meraihku, melekatkan bibirnya ke bibirku.

"Maaf."

Aku memiringkan kepala, membuat ciuman Illuvia meleset. Namun, bukan hanya itu, aku pun menggerakkan bayonet pistol tepat ke depanku, menusuk ulu hati Illuvia.

Tubuh Illuvia terjatuh. Namun, aku tidak membiarkannya begitu saja. Aku memeluknya dengan lembut, mencegah tubuhnya menyentuh lantai.

"Maaf, tapi yang bisa kuberikan padamu hanyalah pelukan. Tidak lebih."

"Lugalgin.....aku....."

Perlahan, tangan kiriku mulai bergerak ke atas, ke belakang kepala Illuvia. Dengan lembut dan perlahan, aku membelai dan mengelus rambutnya, mencoba memberi kenyamanan di saat terakhirnya.

"Selamat tidur, selamat malam, Illuvia."

"Lugalgin...aku....mencintaimu...."

Aku bisa merasakan nafas terakhir Illuvia yang meninggalkan tubuhnya, membelai leherku dengan lemah lembut.

Bersambung