Chereads / I am No King / Chapter 133 - Arc 4-2 Ch 11 - Maila dan Illuvia

Chapter 133 - Arc 4-2 Ch 11 - Maila dan Illuvia

"Wah, Lugalgin benar. Kita benar-benar menemukan mereka di tempat ini."

Sebuah suara terdengar dari pintu masuk. Kami menoleh dan mendapati dua sosok. Tidak seperti anggota Agade yang lain, dua sosok ini tidak mengenakan topeng dan jubah, membiarkan wajah dan rambutnya terekspos. Emir dan Inanna tidak membiarkan rambutnya terburai begitu saja. Mereka sama-sama mengucir rambutnya menjadi ponytail.

Tempat ini adalah lobi resor yang terletak di bagian atas kota Abu, di dekat puncak. Tempat ini menyimpan kenangan untuk kami anggota eksekutif SMA Karia, terutama Lugalgin dan Illuvia. Resor ini adalah tempat dimana kami melakukan pesta di tahun kedua. Dan, di tempat ini lah Illuvia pertama kali menyatakan perasaannya pada Lugalgin.

Saat itu, aku berharap Illuvia dapat membuat hati Lugalgin terbuka, mencegah semua ini. Namun, sayangnya, Lugalgin menolak perasaan Illuvia dengan alasan dia tidak mau memiliki hubungan romantis dengan bangsawan. Aku penasaran, kalau seandainya saat itu Lugalgin tidak menolak Illuvia, apakah semua kejadian ini bisa dicegah?

Kami berdua bangkit dari sofa dan berjalan ke tengah lobi, bersiap menghadapi dua calon istri Lugalgin.

"Kau! Kau! Putri jalang! Kalau bukan gara-gara kau!"

Illuvia tiba-tiba berteriak, mengeluarkan hinaan pada sosok di hadapannya, Emir.

Illuvia....

Tampaknya aku sudah berbuat kesalahan. Awalnya, aku berpikir membawa Illuvia untuk membuatnya menghadapi Lugalgin. Kalau Lugalgin menghadapi Illuvia, aku berharap dia tidak bisa serius. Lugalgin yang tidak bisa serius akan memberi banyak celah untukku menyerang, mengakhiri semua masalah ini.

Dengan menunggu di tempat ini, aku berharap Lugalgin akan datang, menghormati kenangan yang dia miliki bersama Illuvia, mengakhiri semua ini dengan tangannya sendiri. Namun, aku tidak mengira kalau Lugalgin tidak datang dan justru mengirim dua calon istrinya. Lugalgin, ternyata aku memang tidak mengenalmu.

Di lain pihak, mungkin, ini adalah yang diinginkan Illuvia. Semenjak dipulangkan dari Agade, Illuvia tampak kesal, sangat kesal. Dari pelayan Illuvia, Nerva, Aku mendapati kalau dia dibentak dan dikesampingkan oleh Lugalgin. Tampaknya, Illuvia merasa dikesampingkan oleh Lugalgin gara-gara anggota Agade, membuatnya merasa tidak lebih penting dari Agade. Dan, entah dari mana, dia mulai menyebut nama Emir.

Setelah mengenal Illuvia cukup lama, aku menyadari kalau dia menyalahkan Emir. Dia menganggap Emir yang melepaskan status putri kerajaan dan melamar Lugalgin adalah penyebab semuanya. Menurut Illuvia, kalau Emir tidak melakukan itu, Lugalgin pasti masih peduli dengannya. Dia tidak akan dikesampingkan untuk orang asing di Agade.

Sebenarnya, aku ingin mengatakan kalau asumsi Illuvia adalah salah besar. Lugalgin terlibat di pasar gelap jauh sebelum menemui Emir. Dan, Lugalgin lah yang mendirikan Agade. Dengan kata lain, Lugalgin mengenal Agade sebelum badan eksekutif SMA Karia. Jadi, normal kalau Lugalgin mengesampingkan Illuvia demi Agade.

Kembali ke Illuvia. Kalau dibandingkan dengan Emir, Illuvia adalah pengecut. Ketika dia tidak berani meninggalkan status bangsawan, Emir justru melepas status keluarga kerajaan. Bahkan, dia tidak melepaskan status tuan putrinya dengan mudah. Dia harus memenangkan battle royale terlebih dahulu. Jadi, cinta Illuvia ditolak adalah salahnya sendiri, bukan orang lain.

Namun, tentu saja, aku tidak mengatakan hal itu. Kalau mengatakannya, aku bisa memastikan Illuvia akan menganggapku sebagai musuh. Dan, saat ini, aku tidak mau menambah jumlah musuh. Aku harus menghentikan Lugalgin. Aku tidak akan membiarkan urusan personal Lugalgin menghancurkan kedamaian kerajaan ini.

Menurut rumor, dulu, Lugalgin mendirikan Agade agar para korban bisa membalas dendam ke kerajaan. Awalnya, aku tidak percaya rumor ini. Namun, melihat bagaimana Lugalgin dan Agade membuat kestabilan kerajaan berantakan, aku tidak punya pilihan selain percaya.

Aku kembali fokus pada dua sosok di depanku. Mereka mengenakan pakaian Igni, sepatu bot, celana kargo, dan jaket. Tidak terlihat Jubah dan topeng. Karena tidak mengenakan jubah, aku bisa melihat senjata yang mereka bawa. Emir mengenakan sepasang sarung tangan besi yang bisa digunakan sebagai pertahanan dari benda tajam. Selain itu, dia membawa dua buah pistol di pinggang dan pisau survival di kedua kaki.

Inanna membawa empat buah pedang sepanjang 1 meter di belakang pinggang. Melihat dari bentuknya yang kotak, aku memperkirakan pedangnya adalah katana tipe shirasaya. Namun, tidak berhenti di situ, di kedua pahanya terikat pistol beserta sarung dan pisau terikat di kedua tangan.

Dan, seolah tidak cukup, keduanya masih membawa sebuah assault rifle yang menggantung di bahu.

Penampilan dua perempuan ini memberi kesan kalau mereka sudah siap bertarung tanpa pengendalian. Tampaknya, Lugalgin sudah mengantisipasi penghilang pengendalian Illuvia. Saat ini, meski tahu Illuvia menggunakan penghilang pengendaliannya, aku tidak tahu dimana dia meletakkan alat yang, seingatku, berbentuk garpu tala itu.

Di lain pihak, Illuvia masih mengenakan pakaian dan jubah Sarru palsu yang aku beri beberapa bulan lalu. Yang beda hanyalah kali ini dia tidak mengenakan topeng, membiarkan wajahnya yang mirip dengan Inanna terlihat. Yang tidak aku duga adalah peti mati berisi senjata di punggungnya. Aku kira senjata itu sudah dirampas oleh Lugalgin. Apa Illuvia memiliki simpanan senjata lain?

Di lain pihak, pakaianku sama dengan Emir dan Inanna. Aku membawa assault rifle, pistol di paha kiri, tombak terikat di punggung, dan pedang dua sisi di belakang pinggang.

"Illuvia–"

"DIAM KAU! GARA-GARA KAU, GARA-GARA KAU!"

Illuvia menyela Emir dan berteriak. Dia tidak lagi menghina Emir, hanya mengatakan hal yang sama berkali-kali.

Namun, di lain pihak, Emir terlihat begitu melow dan lunak. Apa dia ragu dengan pertarungan ini karena kami adalah teman SMA Lugalgin? Apa dia khawatir kematian kami akan membuat Lugalgin bersedih? Tampaknya, ini bisa kumanfaatkan.

Kalau Emir aku paksa melawan Illuvia, besar kemungkinan dia tidak akan serius. Kalau Emir tewas, mungkin mental Lugalgin akan goyah, membuatnya lebih mudah dibunuh. Ya. Rencana ini bisa berhasil.

"Gara-gara kau. Gara-gara kau. Berisik! Tidak ada kata lain yang bisa keluar dari mulutmu? Atau kau tidak tahu kata lain? Apa kau begitu bodoh? Tidak heran Lugalgin lebih memilih Emir."

Di lain pihak, tuan putri Inanna tampak begitu liar dengan lidahnya yang tajam. Informasi memang mengatakan kalau tuan putri Inanna mengalami pergantian kepribadian saat bertarung. Namun, aku tidak pernah menduga kalau mulutnya sesampah ini.

"Kau pikir, kalau tidak ada Emir, Lugalgin akan memilihmu? Hah! Pikir lagi! Aku sudah mendengarnya dari Lugalgin dan Bu Yueni. Ketika Emir meninggalkan status tuan putri dan keluarganya, kau masih bergantung pada keluargamu dan status bangsawan. Walaupun Lugalgin tidak bertemu dengan Emir, dia tidak akan memilihmu!"

Dan tuan putri Inanna mengatakan apa yang ada di pikiranku sebelumnya. Namun, ternyata, balasan tuan putri Inanna tidak berhenti sampai di situ."

"Dan lagi, dengan dada tepos seperti itu, hampir bisa dipastikan kau tidak akan pernah bisa mendapatkan Lugalgin."

"Eh?"

Tanpa kusadari, aku sudah terkejut dan mengeluarkan kata itu. Aku sama sekali tidak menduga Inanna akan membawa fisik.

"Auh..."

Emir merintih. Tiba-tiba saja, tanpa peringatan, Inanna sudah melingkarkan tangan ke leher Emir dan meraba dada Emir. Karena mereka tidak menutup ritsleting tengah jaket, aku bisa melihat jelas dada Emir yang bergerak dan diraba oleh Inanna.

"I-Inanna–ahh..."

"Biar aku beri informasi menarik untukmu. Lugalgin selalu memainkan dada kami ketika melakukannya. Dia meremas, meraba, bahkan menghisapnya. Aku bisa bilang Lugalgin benar-benar menikmatinya. Apa menurutmu dia bisa melakukan semua itu dengan dada ratamu? Hah! Lupakan!"

Wajah Emir memerah hingga ke telinga. Selain itu suara rintihannya masih terus terdengar. Di lain pihak, Inanna tampak mengabaikan Emir dan terus melemparkan informasi tidak penting ke Illuvia.

"Kau pasti sadar kan bagaimana wajahmu dan wajahku hampir sama? Tapi, Lugalgin memilih aku! Kenapa? Selain karena membuang status tuan putriku, aku bisa bilang karena ini."

Inanna mulai memainkan dadanya sendiri dengan senyum lebar, merendahkan Illuvia.

"Bahkan, sebelum ke sini, kami melakukannya di kantor Lugalgin. Dan, malam ini, tadi, aku bisa bilang Lugalgin jauh lebih bersemangat dari biasanya. Bahkan, kami butuh waktu setengah jam lebih hanya untuk berdiri. Kaki kami begitu lemas karena dia jauh lebih buas dari biasanya. Kau tidak tahu kan apa fetish Lugalgin? Hah! Tentu saja kau tidak tahu! Lugalgin tidak memilihmu!"

"...."

Aku melihat ke samping. Wajah Illuvia sudah merah seperti kepiting rebus. Jika merahnya wajah Emir karena malu dan terangsang, merahnya Illuvia lebih karena kemarahan.

Sial! Aku harus segera menghentikan mulut perempuan ini!

Perempuan ini, tuan putri Inanna, benar-benar memiliki bakat dalam provokasi dan membuat lawan emosi. Kalau emosi, gerakan seseorang menjadi lebih sederhana.

Aku menarik tombak di punggung dan menerjang. Inanna melepaskan tangan dari dada Emir dan dadanya. Dia tidak menarik pedang, tapi menggunakan assault rifle untuk menghantam bagian samping tombak dan membelokkan jalurnya, mengelak seranganku.

Namun, aku tidak berhenti. Dengan bagian belakang tombak, aku melepaskan serangan lain dari bawah. Inanna melompat ke belakang, menghindar. Tidak akan kubiarkan dia pergi begitu saja. Aku harus memisahkan perempuan ini dari Emir dan Illuvia. Aku melompat dan mengejarnya.

"Illuvia! Biar aku yang urus perempuan bermulut sampah ini! Kamu urus Emir!"

"Memisahkanku dari perempuan tepos itu? Ide yang bagus. Baiklah! Aku akan melayanimu!"

Meski tampak melompat mundur, dari nadanya yang tenang, tampaknya Inanna memang berencana memisahkanku dari Illuvia. Apa yang ingin dia capai dari memisahkan kami? Tidak ada gunanya memikirkan hal itu di tengah pertarungan. Dan aku tidak perlu tahu!

Inanna terus mundur, menuntunku hingga keluar ruangan dan tiba ke taman. Sambil mundur, Inanna tak henti-hentinya menangkis seranganku. Kalau orang melihat, saat ini seolah aku sedang mendesak Inanna. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Aku lah yang terdesak oleh Inanna.

Aku menggunakan tombak, senjata dengan panjang hampir dua meter, sedangkan lawan menggunakan assault rifle yang panjangnya hanya 1 meter sebagai senjata pukul. Dalam pertarungan di ruang terbuka, seharusnya pengguna tombak dengan senjata lebih panjang yang mengatur jalannya pertarungan. Namun, hal ini tidak terjadi. Inanna mampu mengarahkan dan mengatur seranganku. Dia lah yang mengatur jalannya pertarungan.

"Eits...."

Tiba-tiba Inanna tidak berusaha menahan seranganku lagi. Dia menodongkan assault rifle tepat ke wajahku.

Aku menancapkan tombak ke tanah, memaksa tubuh ini berhenti, dan meloncat. Beruntung, gerakanku lebih cepat dari jari Inanna menarik pelatuk. Tembakan Inanna meleset.

Aku tidak mau melakukan kesalahan lagi. Aku memutar assault rifle yang menggantung di bahuku dan melepas tembakan. Inanna berlari ke samping, menghindar.

Taman ini hanya terdiri beberapa jalur pejalan kaki dan pohon setinggi paha. Tidak ada tempat untuk bersembunyi atau berlindung. Dan, itu juga berlaku untukku. Inanna melepas tembakan sambil berlari, memaksaku bergerak juga.

Kami berdua berlari sambil melepaskan tembakan. Namun, tidak ada satu pun peluru yang mendarat di tubuh kami.

Cklek cklek

Peluru kami habis. Tanpa mengatakan apapun, kami berdua membuang assault rifle dan maju.

Aku memegang pedang di kiri dan pistol di kanan. Inanna melakukan hal yang sama. Aku menodong pistol ke wajah Inanna, tapi dia menebaskan pedang untuk memotong tanganku. Tebasan Inanna memaksaku melipat siku, membatalkan tembakan. Di waktu singkat itu, Inanna menodongkan pistolnya ke wajahku. Namun aku melakukan hal yang sama, menebaskan pedang. Inanna pun terpaksa melakukan gerakan yang sama denganku.

Kami berdua terus berusaha melepaskan tembakan dari pistol, tapi serangan lawan membuatnya tidak mungkin. Selama beberapa puluh detik, yang mampu kami lakukan hanyalah menodongkan, menghindar, dan mengelak serangan lawan.

Aku bisa merasa nafasku yang mulai pendek dan berat. Keringat pun mulai membasahi bajuku. Terkadang, aku bisa melihat tetesan keringat di mataku.

Di lain pihak, Inanna masih tersenyum lebar. Nafasnya masih normal, sama sekali tidak tersengal-sengal. Tidak hanya itu. Bahkan, aku tidak melihat keringat mengalir dari wajahnya.

"Apa? Apa kau penasaran kenapa aku tidak berkeringat?"

Dia bisa membaca pikiranku di tengah pertarungan ini? Kau pasti bercanda, kan?

"Ya, kalau hanya setingkat ini, kau tidak akan melihatku berkeringat. Namun, walaupun berkeringat, kau tidak akan bisa melihatnya. Maksudku, topeng silika tidak memiliki pori-pori untuk mengeluarkan keringat, kan?"

Topeng silika? Tapi aku tidak melihat ada perubahan di wajahnya. Wajahnya sama seperti biasa.

"Ugh...."

Tiba-tiba saja sebuah tendangan mendarat di perutku, melemparku hingga beberapa langkah.

"Akh..."

Aku menarik nafas dalam.

Sial! Apa dia benar-benar perempuan? Tidak! Bukan hanya perempuan. Apa dia manusia? Tendangannya sakit sekali! Kalau jaket ini bukan jaket anti peluru dan aku menerima tendangannya tanpa peredam, mungkin organku sudah hancur.

"Ah, pertarungan ini membosankan. Karena kau teman Lugalgin dan rekan si Ukin itu, aku kira akan mendapat perlawanan yang lebih baik. Kalau hanya seperti ini, aku bosan."

Perempuan ini. Dia benar-benar meremehkanku. Bahkan, dia berbalik dariku. Bodoh! Peraturan pertama, jangan pernah memalingkan wajahmu dari lawan.

Tanpa membuat suara, aku menodongkan pistol dan melepas tembakan.

Tidak mungkin! Perempuan ini bukan manusia! Dia bisa menangkis peluru dengan pedang? Tidak mungkin!

Gerakannya terlalu cepat! Bahkan, tanpa aku sadari, dia sudah memasukkan pistolnya kembali ke holster dan kini memegang dua pedang.

"Apa kau lupa kalau pengendalian utamaku adalah timah? Berkat perempuan berdada datar itu, aku memang tidak bisa mengendalikan timah lagi. Namun, sayangnya, penghilang pengendaliannya inferior jika dibandingkan Lugalgin. Aku masih bisa merasakan keberadaan timah dan memperkirakan arah peluru. Jadi, menangkis atau menebas peluru timah adalah hal yang mudah."

Tidak! Walaupun bisa merasakan dan memperkirakan arah peluru, tidak berarti kau bisa mempertemukan pedang yang selebar beberapa sentimeter dengan kecepatan peluru. Itu masih tidak mungkin! Bahkan, menurut Ukin, Lugalgin juga tidak bisa melakukannya. Yang bisa dilakukan Lugalgin selalu berlindung di balik peti senjatanya.

Inanna berjalan. Senyum di wajahnya sudah menghilang. Sekarang kedua alisnya begitu tegang. Pandangannya menjadi tajam.

"Aku sudah melakukan kesalahan beberapa minggu lalu. Kalau saja saat itu aku sudah bisa menangkis peluru, tidak sekadar menahannya di udara, luka di setengah wajahku ini tidak akan pernah ada. Namun, yang membuatku sedih bukanlah luka ini. Yang membuatku sakit adalah ekspresi Emir setiap kali melihat wajahku. Setiap melihat wajahku, dia akan langsung kaku dan meminta maaf. Apa kau tahu betapa hancurnya hatiku melihat Emir yang tersakiti seperti itu, hah?

"Tidak hanya itu! Kalau saat itu aku tidak terluka, Lugalgin tidak akan terburu-buru. Dia tidak perlu menggunakan serum pembangkit yang membuatnya harus dibius. Kalau seandainya aku tidak terluka, Mari tidak akan tewas. Lugalgin tidak akan mengalami kesedihan itu. Ya, seandainya saja aku tidak terluka...."

Tiba-tiba saja, perempuan ini mengatakan sesuatu yang tidak jelas.

"Kau pikir selama masa gencatan senjata ini aku hanya diam? Tidak! Aku meminta latihan pada ibu. Dan berkat latihan itu, aku sudah bisa menghalau dan menangkis peluru walaupun yang ditembakkan bukanlah peluru timah. Aku tidak mau, dan tidak akan, mengulangi kesalahan yang sama."

Suara langkah kaki semakin mendekat. Inanna, secara perlahan, mendekat.

Apa aku akan mati?

"Sebenarnya, aku ingin segera membunuhmu, tapi Lugalgin meminta agar kami tidak membunuhmu, Maila. Namun, dia tidak mengatakan apapun soal tidak melukaimu."

***

Suara logam berdenting terus terdengar tanpa henti. Penyebab suara itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah Illuvia dan aku. Illuvia mengambil dua buah pedang satu sisi dan terus melepaskan tebasan ke arahku. Namun, aku berhasil menghindar dan menghalau tebasannya hanya dengan sarung tangan besi.

"GARA-GARA KAU! GARA-GARA KAU!"

Berkat provokasi Inanna, gerakan Illuvia menjadi sederhana dan mudah dibaca. Aku bisa membunuhnya kapan saja. Namun, aku tidak mau melakukannya. Aku tidak mau membunuh teman baik Lugalgin.

Sebelum berangkat, Lugalgin hanya meminta agar kami tidak membunuh Maila. Namun, entah kenapa, Lugalgin sama sekali tidak menyebutkan apa pun soal Illuvia. Rasanya tidak mungkin Lugalgin tidak mengetahui kedatangan Illuvia. Apa ini berarti, Lugalgin memang menginginkan Illuvia tewas? Jujur, sebenarnya, akan sangat mudah bagiku untuk membunuh Illuvia sekarang juga.

Sejak masuk militer, sebelum menjadi agen schneider, hal pertama yang diajari adalah membunuh dengan sekop. Jika menggunakan senjata api, efek psikologinya tidak cukup. Kamu hanya menarik pelatuk dan lawan tewas. Dengan kata lain, kamu tidak akan benar-benar sadar kalau sudah membunuh orang lain. Namun, sekop berbeda dengan senjata api. Kamu bisa merasakan getaran sekop ketika menghantam dan menghancurkan tulang lawan, apalagi tengkorak. Getaran ini membuatmu benar-benar sadar kalau kamu sudah membunuh orang.

Sebenarnya senjata tajam memiliki efek psikologi yang mirip, tapi tidak seefektif sekop. Tebasan dan tusukan membuat getaran di tangan berkurang drastis. Jadi, kamu tidak benar-benar merasakan efek membunuh lawan, berbeda dengan sekop yang relatif tumpul. Karena hal ini lah banyak bangsawan lebih memilih sekolah kesatria dan kepolisian yang dilatih menggunakan pedang daripada militer yang dilatih dengan sekop.

Namun, ketika melihat perempuan ini, sulit bagiku untuk membunuhnya, aku merasa iba. Dia dibutakan oleh cintanya pada Lugalgin. Dia mungkin melihat kalau bukan aku, dirinya lah yang akan berdiri di samping Lugalgin.

Meski berkali-kali cintanya ditolak Lugalgin, dia tidak kunjung menyerah. Namun, akhirnya, dia terpaksa menyerah ketika aku melamarnya. Ketika melihatnya, aku sedikit penasaran. Kalau seandainya saat itu Lugalgin menuruti Bu Yueni dan menolakku, apakah aku akan bernasib sama kalau saat itu Lugalgin menolakku? Apakah aku akan terus mengejar Lugalgin?

Meski ucapan Inanna tadi soal aku meninggalkan status tuan putri adalah kuncinya, kalau dipikir secara realistis, keputusan Illuvia adalah yang lebih tepat. Tidak mungkin kamu meninggalkan sumber penghidupan, menjadi bangsawan, hanya untuk seorang inkompeten yang sulit mendapat pekerjaan. Jika menggunakan dasar realistis, keputusanku lah yang salah.

Aku mengalihkan serangan Illuvia dan melemparnya ke ujung ruangan. Ketika melihatnya terluka, selain iba, aku juga sedikit kesal. Wajahnya sangat mirip dengan Inanna. Melihatnya terluka sama seperti melihat Inanna terluka. Dan, momen ketika kami diserang oleh Apollo pun terlintas di benakku.

Saat itu, kalau saja aku lebih cepat dalam mengaktifkan pertahanan rumah, wajah dan kulit Inanna tidak akan terluka. Meski Inanna mengatakan setelah perang ini berakhir dia bisa melakukan operasi, meski Lugalgin mengatakan kalau itu adalah salah Apollo, aku tidak bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri.

Kalau seandainya saat itu aku mengaktifkan pertahanan rumah lebih awal, Lugalgin tidak akan terburu-buru menyerang Apollo. Dia tidak akan menggunakan serum pembangkit. Kalau Lugalgin tidak menggunakan serum pembangkit, dia tidak akan dipaksa tidur. Dan, dengan keberadaan Lugalgin, Mari tidak akan tewas.

Maafkan aku, Lugalgin. Aku....

Clang

Suara logam berdenting menyadarkanku. Tanpa disadari, pikiranku sudah mengembara entah kemana dan mengelak serangan Illuvia hanya dengan insting, auto-pilot. Bahkan, aku tidak menyadari Illuvia sudah mengganti senjatanya menjadi tombak.

Meski mengganti senjata, tidak ada perubahan berarti pada serangannya. Bahkan, walaupun Illuvia menggunakan senjata api, aku bisa menghindar karena gerakannya begitu sederhana.

Perlahan tapi pasti, kecepatan menyerang Illuvia menurun. Dan, akhirnya, aku tidak lagi mendengar Illuvia berteriak seperti sebelumnya. Kini, dia hanya menggumam. Normalnya, aku tidak akan memedulikan apa yang diucapkan oleh lawanku. Namun, karena dia Illuvia, teman SMA Lugalgin, aku tidak bisa mengabaikannya.

"Lugalgin, kenapa....kenapa..."

Suaranya terdengar lirih. Sekarang Illuvia justru mewek.

Orang bilang, proses berkembangnya seseorang adalah penolakan, amarah, tangisan, penerimaan, pencerahan, dan move on. Illuvia sudah mengalami penolakan dan amarah. Dan, tampaknya, kini dia sudah berada pada tahap tangisan. Kalau dibimbing, mungkin dia bisa melanjutkan hidupnya.

Akhirnya, Illuvia berhenti menyerang. Namun, aku tidak balik menyerang. Aku menunggu.

Di saat itu, aku melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Di lantai, terlihat sebuah besi kecil berbentuk segitiga dan ada tonjolan di ujungnya, pin granat.

"Kalau Lugalgin tidak mau bersamaku, apalah arti hidup ini."

"Sial!"

Refleks, aku maju menerjang Illuvia. Pandanganku fokus tangan Illuvia yang keluar dari jubah, mencengkeram granat. Karena dia mengenakan jubah, aku tidak tahu apa yang dilakukan tangannya.

Pegangan tangan Illuvia tampak begitu erat seolah granat itu adalah tangannya. Akan sulit kalau aku berusaha mengambilnya dengan cara biasa.

Maafkan aku, Illuvia.

Aku menarik pisau dari kaki dan menebas tangan Illuvia.

"Kyaa,"

Aku hanya menggores pergelangan tangan yang tidak dilindungi jaket anti peluru, tidak sampai memotongnya. Begitu Illuvia membiarkan granat terlepas dari genggaman, aku langsung melemparkannya. Sebelum meledak, aku mendorong kepala Illuvia ke bawah, memaksanya tiarap bersamaku.

Granat itu meledak. Beruntung, kami tidak terluka.

"Illuvia! Apa yang kamu lakukan! Kamu–sial!"

Aku melompat ke belakang, berusaha memberi jarak. Namun, sudah sangat terlambat. Sebelum aku melompat, Illuvia menarik pisau di kakiku dan menusuk perut kiriku. Dan, karena bagian belakang pisau itu bergerigi, luka di perutku tidak menutup sempurna. Kalau dibiarkan, aku akan kehilangan banyak darah.

"Uhuk, uhuk,"

Darah muncul dari batukku. Sial! Tusukan ini terlalu dalam.

Dor

Aku menggeser badan. Namun, aku tidak bisa sepenuhnya menghindari serangan Illuvia. Luka di perut ini membuatku melambat. Meski jaket ini anti peluru, hantaman peluru ke lengan sama saja seperti dipukul dengan palu, sakit dan memberi efek memar. Gerakanku akan sangat melambat setelah ini.

"Ehe, ehehehe....setelah kau tewas, giliran Lugalgin. Lalu, aku akan menyusul kalian. Jangan khawatir. Aku akan berbaik hati dan membiarkanmu menjadi istri kedua Lugalgin di alam sana."

Bersambung