Chereads / I am No King / Chapter 121 - Arc 4 Ch 15 - Berita Duka

Chapter 121 - Arc 4 Ch 15 - Berita Duka

Hah?

Aku terbangun. Tampaknya efek obat bius dan obat tidur yang diberi Yuan sudah habis. Aku beruntung karena badanku sudah tidak merasakan sakit. Namun, entah kenapa, dadaku terasa begitu sesak.

Aku melihat ke seluruh ruangan. Tidak ada seorang pun di tempat ini, aku sendirian. Di kanan, meja yang terletak di antara sofa, tersaji banyak makanan dan minuman. Aku rasa mereka khawatir aku akan kelaparan saat bangun seperti sebelumnya. Dan, benar, aku memang benar-benar lapar. Perutku terasa kosong, keroncongan.

Namun, meski perut kosong dan keroncongan, bahkan berbunyi, entah kenapa aku tidak memiliki nafsu makan sama sekali.

Aku bangkit dan menuju kamar mandi. Mungkin, setelah mengusap wajah dengan air, aku bisa lebih segar dan membangkitkan nafsu makan.

Eh? Kenapa pipiku lembap? Bukan hanya lembap, mataku tampak begitu merah. Padahal, seharusnya, aku bukan tipe dengan mata merah total saat bangun. Selain merah, aku juga menyadari kalau kedua mata bengkak. Ada apa ini?

"Gin?"

Suara Inanna terdengar dari kamar. Aku pun keluar dari kamar mandi untuk menemuinya.

"Ada apa?"

Inanna sedikit terentak bahkan mundur satu langkah ketika melihatku. Kenapa dia begitu terkejut? Bahkan, dia tidak melihat ke mataku. Inanna justru menoleh ke kanan kiri.

Selain Inanna, aku merasakan keberadaan orang ini di luar kamar ini. Namun, karena hanya Inanna yang masuk, aku akan mengabaikan mereka.

"Ada apa?"

"Ah, um, kamu pasti lapar, kan? Bagaimana kalau kamu makan dulu?"

"Iya sih, aku lapar. Tapi....entahlah. Aku tidak nafsu makan."

"Tidak nafsu makan...? Ta-tapi, kamu harus tetap makan. Ayahmu bilang kamu harus makan untuk memulihkan semua stamina yang terkuras. Aku temani deh. Makan ya?"

"Baiklah kalau kamu memaksa,"

Aku menurut dan mulai makan. Sesuai ucapannya, Inanna menemani makan. Namun, meski makan bersama, mata kami tidak pernah bertemu. Meskipun bertemu, Inanna akan langsung mengalihkan pandangan.

Setelah beberapa saat, kami pun selesai makan.

"Inanna, apa kamu masih khawatir dengan penampilanmu?"

"Eh? Kenapa kamu berpikir seperti itu?"

"Kamu terus menghindari tatapanku?

"Ah...hahaha, itu ya. Tapi, bukan kok. Aku sudah tidak terlalu mengkhawatirkan penampilanku. Yah, sebenarnya masih sedikit khawatir. Tapi, aku sedang berusaha untuk menekannya. Dan lagi, kan aku bisa melakukan operasi wajah untuk menghilangkan bekas luka ini. Jadi, rasanya, aku tidak perlu terlalu khawatir."

Perempuan ini, seharusnya, jauh lebih ahli dalam berbohong daripada Emir. Namun, Inanna yang terus menghindari tatapanku memberi indikasi dia tidak ingin berbohong. Lalu, tidak biasanya dia memberi jawaban panjang lebar untuk pertanyaan yang tidak berhubungan dengan sains atau penelitian seperti barusan.

"Apa ada yang ingin kamu sampaikan?"

"Itu...."

"Kabar buruk?"

"...."

Inanna terdiam. Dia tidak memberi jawaban, hanya menundukkan kepala.

"Kalau kamu tidak mampu menyampaikannya, mungkin akan lebih baik kalau aku bertanya pada–"

"Tidak!" Inanna menyela. "Biar aku yang mengatakannya."

Inanna menarik nafas dan menegakkan badan. Akhirnya, dia menatap mataku dalam-dalam, tidak menghindar lagi.

"Gin, aku ingin kamu sabar dan tabah menerima berita ini."

Aku terdiam, menanti kabar buruk yang akan disampaikan oleh Inanna.

"Gin, Mari tewas kemarin malam."

"....Ah, sebentar. Apa aku salah dengar? Sebentar! Mungkin telingaku belum berfungsi sepenuhnya karena aku baru bangun. Sebentar....."

Aku memasukkan jari ke telinga dan beberapa kali memukulnya pelan, memastikan semua berjalan dengan normal.

"Baik, bisa tolong ulangi?"

Inanna menarik nafas dalam, "Gin, Mari tewas kemarin malam."

Ah, tampaknya telingaku masih salah. Yah, telingaku pasti masih–

"Gin?"

Tidak...mungkin....

Seluruh tenaga seolah meninggalkan tubuh. Untuk membuat tubuh ini tetap duduk, rasanya begitu berat dan sulit. Tubuhku terasa begitu lemas

"Mari...tewas? Tidak...aku...tidak..."

Aku hanya bisa menunduk, menatap lantai. Tampaknya, tubuhku menyadarinya. Ya, benar, tubuhku menyadarinya. Bahkan, mungkin, perasaanku sudah mengetahui hal ini. Jadi, mata bengkak dan pipi lembap itu adalah karena aku menangis ketika tidur. Perasaan sesak di dada ini juga membenarkannya.

Jadi, meskipun logikaku ingin menolak ucapan Inanna, sayangnya, tubuh dan perasaan ini sudah mengetahuinya.

"Maaf, Gin, maaf. Tapi, kamu harus menerimanya. Mari.... sudah tiada."

Aku tidak percaya. Aku sangat tidak ingin percaya. Namun, aku bisa melihat seluruh tubuh Inanna yang bergetar. Ya. Dia bergetar....atau tidak? Setelah beberapa saat, aku menyadari tubuhku lah yang bergetar, memberi ilusi seolah tubuh Inanna yang bergetar.

Tidak! Aku harus menahannya. Aku tidak boleh menangis di depan anggota Agade. Aku tidak boleh menangis di depan Anggota Agade. Tidak boleh menangis.

Tidak...

Tidak...

"Gin!"

Tanpa aku sadari, Inanna sudah duduk di sebelah. Dia langsung menarik kepalaku dan membenamkannya di dadanya.

"Menangislah, Gin. Tidak akan ada yang melihat. Tidak akan ada yang akan menyalahkanmu."

"Tapi....tapi...."

"Sebelum menjadi anggota Agade, aku adalah calon istrimu. Aku memiliki hak sekaligus kewajiban untuk mengemban beban dan kesedihanmu di saat seperti ini. Menangislah, Gin. Menangislah."

Di saat itu, semua momenku bersama Mari terlintas. Ketika pertama bertemu, ketika dia masih menyandang nama Hanna. Mari adalah anak yang terkesan acuh tak acuh. Namun, sebenarnya, hanya wajahnya yang ketus. Mari memiliki banyak ketertarikan. Dia hanya tidak pandai menunjukkannya. Dirinya lebih sering menahan diri.

Setelah dijual oleh Bana'an, aku menemukan Mari di kamp pelatihan organisasi pasar gelap. Aku masih ingat suaranya yang pelan, serak dan hampir habis, memanggilku. Bahkan, setelah itu, walaupun aku memberinya jalan untuknya menempuh hidup baru, Mari menolak. Dia lebih memilih untuk berlatih di bawahku, membantuku mencari anak-anak yang lain.

Walaupun menurutku aku sudah cukup keras pada Mari, Mulisu dan yang lain mengatakan aku lebih lunak dan lembut jika berhadapan dengan Mari. Menurut mereka, aku solah sedikit mengistimewakan Mari. Namun, karena hanya sedikit, mereka tidak mempermasalahkannya.

Bersama Mari, aku meneruskan untuk mencari informasi dan keberadaan mengenai anak-anak panti asuhan yang lain.

Setelah membantai keluarga Cleinhad dan menyadari jalan pasar gelap sudah buntu, aku hilang arah. Saat itu, aku meninggalkan Agade, mencari anak-anak yang belum ditemukan melalui jalur yang lebih terbuka, jalur bangsawan. Ketika kembali, aku sedikit berpikir Mari akan marah atau bahkan membenciku. Namun, di luar dugaan, dia menerimaku dengan tangan terbuka, bahkan jadi lebih menempel.

"Mari.... Mari....Uwaahhh......"

Sungguh sulit dipercaya Mari sudah tewas. Aku tidak ingin percaya. Aku ingin lebih memanjakanmu. Namun, apa daya, takdir berkata lain. Aku tidak mampu lagi melihat senyuman di balik wajah ketusmu itu. Ya, aku tidak akan pernah melihatnya lagi.

Aku merengkuh Inanna erat, mencari ketenangan dan kehangatan dari tubuhnya, berharap pelukannya bisa menenangkanku meski hanya sedikit.

"Mari....kenapa.....kenapa....."

Aku menangis dan menangis tanpa henti. Sejauh yang aku ingat, ini adalah pertama kalinya aku menangis dengan kencang. Selama ini, walaupun menitikkan air mata, aku tidak pernah menangis dengan kencang seperti ini.

Aku terus dan terus menangis. Tanpa kusadari, aku sudah tertidur di pelukan Inanna.

***

"Bagaimana, Inanna?"

Aku membuka pintu pelan dan hanya memasukkan kepala.

"Dia sudah tertidur. Kalian bisa masuk, tapi jangan terlalu berisik."

Aku dan Mulisu pun masuk ke dalam kamar, tapi tidak sekedar jalan. Kami melangkah tanpa suara dan menyatukan ritmenya dengan nafas, mencoba menghilangkan keberadaan.

Akhirnya kami tiba di sofa, di depan Inanna yang membiarkan Lugalgin tertidur di pangkuan. Wow, perempuan ini benar-benar cepat! Dia sudah mempraktikkan saran ibunya dari beberapa hari yang lalu!

Eh? Aku? Tidak, aku sedang tidak ingin melakukannya. Aku ingin memberi kesempatan sekaligus penghiburan pada Inanna karena dia baru terluka. Ya, aku sengaja membiarkan Inanna menenangkan Lugalgin.

"Lama juga dia menangis. Hampir dua jam."

Seperti ucapan Mulisu, Lugalgin menangis hampir dua jam. Kami berdua yang berada di depan ruangan hanya bisa menanti hingga Lugalgin berhenti menangis. Bahkan, kami hampir tertidur di koridor. Kalau Inanna tidak mengetuk pintu dengan mengendalikan sendok, mungkin kami sudah terlelap.

"Sejak aku menjadi calon istri Lugalgin, mungkin ini adalah pertama kalinya aku mendengar Lugalgin menangis sekencang itu."

"Emir, jangankan kamu. Aku yang sudah menjadi rekan Lugalgin selama 5 tahun lebih saja baru tahu kalau Lugalgin bisa menangis seperti itu. Aku kira, kalaupun menangis, dia hanya akan menitikkan air mata tanpa suara. Ya, aku mengira seperti itu."

"Jujur," Inanna masuk. "Tadi, dia hampir melakukan hal itu, hanya menitikkan air mata tanpa tangisan. Namun, aku tidak tega melihat tubuhnya yang tampak begitu lemas seolah akan roboh kapan saja. Aku pun memaksanya menangis. Aku harap tangisan ini bisa mengurangi kesedihannya walaupun hanya sedikit."

Inanna memberi penjelasan sambil membelai rambut Lugalgin.

Aku melihat ke wajah Lugalgin yang tertidur. Matanya bengkak dan pipinya pun lembap. Bahkan, air matanya masih mengalir pelan walau dia sudah tertidur, membasahi celana Inanna.

Sebagai catatan tambahan, yang tidak akan pernah aku katakan pada siapa pun, tragedi ini membuat Inanna lebih tenang dan bisa menerima keadaan. Dia bisa meyakinkan diri kalau penampilannya bisa diperbaiki dengan operasi dan pengobatan.

Mari, walaupun sudah tiada, kamu masih memberi bantuan besar pada kami. Aku benar-benar berterima kasih.

"Dan, padahal, kamu belum memberi kabar soal Hurrian, kan?"

Inanna menggeleng. "Aku tidak tega. Aku tidak mampu mengemban beban untuk menyampaikan dua berita buruk sekaligus."

Di saat itu, pandangan Inanna dan Mulisu jatuh pada satu orang, aku.

"Ah....itu...."

Sebenarnya, aku ingin mengelak pandangan mereka. Namun, aku sadar betapa terbebaninya mental Inanna hanya untuk menyampaikan kematian Mari. Dan, Mulisu tidak akan mau melakukannya karena aku adalah calon istri Lugalgin. Kalau dia melakukannya, seolah melangkahi kuasa. Jadi, ini adalah kewajibanku.

Wow, aku sudah mengkhianati keluargaku bahkan hampir membunuh ayah. Namun, entah kenapa, tugas kali ini terasa jauh lebih berat dari semua hal itu. Aku tidak ingin melihat Lugalgin bersedih lagi. Aku tidak ingin. Namun, aku tetap harus menyampaikan kabar buruk ini. Aku tidak bisa menyimpannya.

"Ada apa dengan Hurrian?"

Aku hampir meloncat ketika mendengar suara ini. Jantungku hampir terlepas rasanya. Bukan hanya aku, Mulisu pun memiliki reaksi yang sama denganku. Aku melihat tubuhnya yang sempat bergerak tapi dia menahannya.

"Sejak kapan kamu bangun, Gin?"

"Baru saja. Aku sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba terbangun. Namun, mungkin, untuk mendengar soal Hurrian."

Lugalgin menjawabku dengan lancar. Bahkan, aku tidak mendengar patahan atau suara yang terasa berat, seolah dia tidak bersedih sama sekali. Namun, entah kenapa, aku bisa mengatakan kalau itu semua hanyalah sandiwara yang dia tunjukkan.

"Mulisu, kalau kamu tidak keberatan–"

"Oh, aku tidak keberatan. Tenang saja. Kamu tidak menyakiti perasaanku kok."

Mulisu bisa membaca pikiranku. Tanpa memperpanjang, dia bangkit dan meninggalkan kami bertiga di ruangan ini.

Aku tidak tahu apakah dia memang pengertian atau hanya mencoba kabur. Namun, yang penting, kami bertiga memiliki waktu pribadi.

"Jadi, ada apa?"

Lugalgin bangkit dan duduk di sebelah kiri Inanna. Tiba-tiba saja, tanpa aba-aba atau isyarat apa pun, Inanna bangkit dan pindah tempat duduk. Dia kini duduk di sampingku.

"Um, Emir, aku rasa, akan lebih baik kalau kamu berada di sampingnya."

"Eh? Tapi...."

"Sudahlah, lakukan saja. Percayalah padaku. Ini akan lebih mudah."

Pada bagian terakhir, Inanna berbisik. Inanna jarang memaksa. Kalau dia sudah memaksa atas suatu hal, pastilah hal itu penting.

Aku pun menurut dan duduk di sebelah Lugalgin. Begitu duduk di sebelahnya, aku mendapatkan pandangan penuh dari Lugalgin. Aku melihat matanya yang masih merah dan bengkak. Rambut coklatnya terlihat cukup rapi karena baru dibelai dan dielus oleh Inanna.

Ketika melihat wajah Lugalgin, sebuah bayangan langsung muncul di benak. Aku melihat Lugalgin yang akan kembali menangis. Dan aku dipaksa untuk melihat sosoknya yang hancur itu. Jujur, aku tidak tega dan tidak mampu melakukannya. Aku tidak mampu.

Hanya ada satu cara untuk bisa melakukannya.

"Lugalgin, maafkan aku."

"Eh?"

Aku menarik kepala Lugalgin dan membenamkannya ke dadaku, merengkuhnya erat. Aku tidak mampu melihat Lugalgin, dan satu-satunya cara untuk dapat menyampaikan berita buruk ini sekaligus menenangkannya adalah dengan cara ini.

"Lugalgin, aku ingin kamu kuatkan diri."

"Ya?"

Dadaku terasa sedikit geli ketika Lugalgin berbicara. Aku harus menahannya.

"Hurrian, mulai dari perut hingga kaki kirinya hancur. Gara-gara ini, dia kehilangan sebagian organ tubuhnya dan hingga saat ini Om Barun sedang berusaha untuk memasang organ artifisial di tubuhnya."

Tiba-tiba saja aku bisa merasakan tangan Lugalgin yang mencengkeram punggungku. Meski terasa sakit, aku harus menahannya. Dibandingkan rasa sakit yang diterima hati Lugalgin, ini tidak ada apa-apanya.

"Belum selesai. Kata Om Barun, telinga kanan dan beberapa organ di kepalanya juga mengalami kerusakan. Setelah ini, kemungkinan besar, Hurrian akan sulit mengendalikan material. Dia juga mengalami masalah dengan keseimbangan tubuhnya gara-gara hal ini. Dan, Hurrian juga kehilangan tangan kanan, mulai dari bahu."

"Jadi, Hurrian...."

"Bisa dibilang, dia hampir lumpuh total."

"Uugghh....."

Lugalgin mulai sesenggukan.

Aku membelai punggung dan rambut Lugalgin dengan lembut, perlahan. Tidak lama kemudian, Lugalgin pun kembali menangis.

Aku menoleh sejenak ke arah Inanna. Dia hanya mengangguk tanpa kata-kata.

Meskipun beberapa hari lalu tante Filial mengatakan momen seperti ini, ketika Lugalgin rapuh, adalah saat yang paling tepat untuk masuk ke hatinya, aku tetap tidak bisa mengambil kesempatan. Di pikiranku, saat ini, aku hanya ingin berada di sisi Lugalgin, bersama, di sampingnya. Aku tidak ingin Lugalgin memikul kesedihan ini sendiri. Aku ingin turut serta memikulnya.

***

Halo, Mari. Maaf aku baru sempat datang.

Jujur, aku belum bisa percaya kalau kamu sudah tewas. Namun, apa yang bisa kulakukan selain percaya ketika melihat jasadmu di depanku?

Saat ini, Hurrian masih dioperasi oleh ayah. Ada banyak organ di tubuhnya yang harus diganti. Namun, meskipun selesai, Hurrian akan kesulitan dalam menggunakan pengendaliannya. Bukan hanya itu, keseimbangan tubuhnya pun sudah rusak. Dia setengah cacat, bahkan lebih parah dariku yang inkompeten.

Mulisu mengatakan yang membuat Hurrian hidup adalah lukanya mendapat tekanan dari benda yang menghantamnya. Jadi, dia tidak kehilangan darah terlalu lama. Sayangnya, hal ini tidak berlaku untukmu. Sebagian besar lukamu adalah luka sayat dan lubang, tanpa ada benda apapun yang menekan atau menyumbat darah, kamu tewas kehilangan darah adalah hal yang lumrah.

Namun, meski mengatakan semua itu, baik Mulisu, Emir, maupun Inanna, mereka tidak mengatakan siapa yang membuatmu tewas atau melukai Hurrian hingga seperti itu. Mereka tidak mau memberi tahu padaku siapa lawan kalian. Mereka bilang yang memiliki hak untuk mengatakannya hanyalah Hurrian, orang yang bertarung di sampingmu hingga akhir hayatmu.

Mari, apa aku salah karena telah melatihmu? Apa aku salah membiarkanmu masuk ke Agade? Apa aku–tidak. Percuma saja aku menanyakan ini semua sekarang. Kamu lah yang bersikeras dan aku harus menghargai pilihanmu. Kalau aku mempertanyakan hal ini sekarang, sama saja aku meludahi resolusimu.

Maafkan aku ya, Mari.

Kamu akan dimakamkan besok pagi. Kamu akan disemayamkan bersama Tasha dan yang lain. Kamu tidak akan sendirian.

Aku terdiam, tidak ada apa pun lagi yang terlintas di pikiranku. Pikiranku benar-benar kosong.

Aku melihat ke Mari yang terpejam. Perlahan, aku membelai rambut putihnya yang sudah mengeras karena berada di ruangan dingin ini. Wajahnya tidak lagi mulus. Terlihat banyak luka gores dan sayatan.

Saat ini, aku berada di ruang pendingin rumah sakit. Di depanku, sebuah meja terpasang dengan tubuh Mari di atasnya. Tubuh Mari ditutupi oleh selimut putih. Hanya wajahnya yang tidak, kubuka.

Aku bangkit dari kursi, dan mempertemukan dahiku dan Mari.

"Mari, terima kasih karena kamu sudah membantuku mencari yang lain. Terima kasih karena kamu memberiku kesempatan untuk menebus kesalahanku. Dan, terima kasih karena kamu telah terlahir. Besok, aku akan mengantarkanmu menemui Tasha."

***

"Inanna, apa kamu tidak apa-apa mengikuti pemakaman ini?"

"Ah, tidak apa-apa Gin. Aku sudah baik-baik saja," Inanna terdiam sejenak. "Justru, aku harus mengikuti pemakaman ini. Aku ingin memberikan penghormatan terakhir pada Mari."

Aku mengalihkan pandangan ke Emir. Dia tidak mengatakan apapun. Pandangannya ke sana ke sini, tidak mampu menemui mataku.

Aku tidak mengejar pandangan Emir lebih jauh dan kembali mengarahkan pandangan ke peti mati di depanku.

Kami bertiga menaiki mobil panjang yang membawa peti mati berisi jasad Mari. Ur ada di depan, mengemudikan mobil ini.

"Gin?"

"Ya?"

Aku mendongakkan kepala, mengarahkan pandangan ke Emir.

"Aku dengar Quetzal, Orion, dan Ukin menyatakan gencatan senjata selama 14 hari ke depan. Bahkan, mereka menyatakan akan mengawal pemakaman ini. Apa ini serius? Apa ini bukan tipuan mereka dan lalu menyerang ketika kita lengah??"

Inanna langsung menoleh ke arahku dan mengangguk, menunjukkan dia juga memiliki pertanyaan yang sama.

"Ah, itu," aku merespons enteng. "Jangan khawatir, ini bukan tipuan. Mereka hanya tidak ingin berhutang pada Agade."

Aku mulai memberi penjelasan pada Emir dan Inanna. Pada dasarnya, Apollo telah melanggar peraturan pasar gelap dengan melakukan serangan di tempat umum pada siang hari. Karena Apollo melanggar aturan ini ketika aliansi lawan masih berdiri, secara langsung, yang lain harus ikut bertanggung jawab. Biasa, kesalahan satu orang adalah kesalahan satu kelompok.

Tidak berhenti di situ, Karla dan anak buahnya pun menyerang rumah sakit yang adalah tempat umum, yang didominasi oleh orang non pasar gelap. Saat penyerangan ini, Apollo belum sepenuhnya punah. Dan, karena waktunya terlalu cepat, belum ada pengumuman atau pernyataan dari masing-masing organisasi kalau aliansi mereka bubar. Jadi, akhirnya, tanggung jawab masih jatuh di tangan mereka.

Seharusnya yang menghabisi Karla dan anak buahnya karena melanggar aturan adalah mereka, Aliansi yang tersisa, Orion, Quetzal, dan Ukin. Namun, yang terjadi, justru kita, Agade, yang melakukan hal ini. Kalau tidak memberi gencatan senjata dan memberi penjagaan pada pemakaman agar organisasi lain tidak merecoki, secara resmi mereka akan berhutang budi pada kita. Dan, hutang budi bukanlah sesuatu yang kamu inginkan di pasar gelap.

"Begitu ya...."

Emir dan Inanna merespons pelan, secara bersamaan.

Tidak lama kemudian, akhirnya, kami tiba di tujuan. Sebuah gunung kecil di pinggir kota, pemakaman. Sebelum turun dari mobil, Inanna dan Emir semua mengenakan jubah hitam dan topeng serigala. Aku sudah mengenakan jubah, tapi topengnya belum.

Aku mengamati Mari dalam-dalam. Dia tampak begitu tenang. Dengan pakaian favoritnya, atasan kemeja militer dengan rok mini dan jubah hitam Agade, Mari tampak seolah dia hanya tertidur.

Dulu, saat masih di panti asuhan, aku sering memberi kecupan di kening pada anak-anak panti asuhan, mengantar mereka tidur siang. Setelah menemukan Mari, aku kembali melakukannya. Dia bilang kecupanku membantunya tidur. Namun, tidak lama kemudian, Mari memintaku berhenti karena aku, sebagai pemimpin Agade, tidak semestinya meletakkannya sebagai anggota favorit.

Sekarang, untuk terakhir kalinya, sebelum menutup peti, aku memberi kecupan di kening Mari, mengantarkannya tidur, untuk selamanya.

Akhirnya, aku mengenakan topeng dan turun dari mobil. Mobil kami berhenti tepat di depan gerbang sementara mobil anggota lain berada di sekitarnya. Setelah turun dari mobil, tiga laki-laki datang ke mobil ini. Tiga laki-laki itu adalah Ibla, Simurrum, dan Uru'a. Bersama denganku, kami mengangkat pati mati Mari.

Kami berempat mengangkat peti mati Mari karena tinggi kami hampir sama. Ur terlalu pendek sedangkan Elam terlalu tinggi. Kami berada di paling depan, diikuti anggota elite dan anggota biasa Agade. Sementara Anggota Agade biasa hanya mengenakan topi dengan kelambu penutup wajah, anggota Elite mengenakan jubah hitam dan topeng anjing.

Kami tiba di sebuah titik yang telah disediakan di sisi kiri pemakaman. Tempat peristirahatan Mari tidak benar-benar di samping Tasha. Lebih tepatnya, dia di bawah kanan Tasha. Di kanan, kiri, atas, dan bawah makam Tasha sudah terisi oleh yang lain, anak panti asuhan yang pergi sebelum Mari. Bahkan, ada tiga makam yang sebenarnya kosong, tanpa jasad. Namun, aku tetap membuat nisan mereka di sini.

Kami meletakkan Peti Mari di atas liang yang kosong. Di liang itu, sudah terpasang alat penurun peti.

Berbeda dengan pemakaman normal dimana akan ada satu orang yang memberi semacam pidato penutupan mengenai hidup yang telah ditempuh Mari atau kesan-kesan orang yang mengenalnya, pemakaman anggota organisasi pasar gelap selalu sunyi. Semua orang terdiam, sunyi seribu bahasa. Kami mengucapkan semua keinginan dan ucapan kepada pihak yang meninggal di dalam hati.

Hal ini disebabkan dalam dunia pasar gelap, setiap orang memiliki rahasia yang ingin mereka bawa hingga ke liang lahat. Salah-salah, rahasia itu bisa terbuka di saat pengucapan kesan. Oleh karena itu, cara ini lah yang ditempuh.

Sambil melihat peti yang membawa Mari turun secara, aku hanya bisa menggumam pelan, mengucapkan doa dan keinginanku.

"Selamat tinggal Mari. Semoga kamu bisa bertemu dengan Tasha dan yang lain."

Bersambung