Suara logam bertabrakan dan hancur terus terdengar, menambah variasi suara medan perang di malam ini. Saat ini, aku dan Weidner bertarung di atas tanah, di taman rumah sakit, menghancurkan semua yang ada di pandangan.
Suara dentingan logam terhenti sejenak, senjata raksasa kami saling mengunci.
"Pengguna senjata raksasa dari Agade. Jadi, kau adalah Mari, ya?"
Aku tidak memberi jawaban, membiarkan Weidner menerka-nerka. Karena menggunakan topeng badut dan jubah hitam, dia tidak bisa melihat wajahku. Walaupun melihat wajah ini, aku ragu dia bisa mengenaliku, mengingat kami tidak pernah bertemu sejak dijual oleh kerajaan ini.
Aku mengendalikan dua pesawat yang terbang dan meluncurkan misil ke arah Weidner. Namun, dia tidak menerima misil itu tanpa perlawanan. Tanpa melihat ke belakang, Weidner membuat dinding logam melayang, menghalangi misil.
Pengendalian utamaku adalah besi, dan pengendalian utama Weidner adalah Nikel. Jadi, tidak satu pun dari kami yang merasakan tekanan pengendalian lawan. Namun, aku berani bertaruh, niat membunuh dan aura haus darah kami saling menyerang. Kalau ada orang normal datang ke tempat ini, besar kemungkinan mereka tidak akan bisa bernafas dan mati dalam waktu singkat.
Senjata kami terlepas dari posisi saling mengunci. Di saat itu, aku dan Weidner sama-sama mengayunkan pedang raksasa kami, mencoba membunuh lawan.
"Secara pribadi, aku merasa tidak pernah berurusan dengan Agade. Namun, dari caramu menyerang, kau seperti memiliki dendam pribadi padaku. Katakan, apa yang membuatmu menaruh dendam padaku."
Sejak dulu, aku selalu membenci kelakuan Weidner yang seperti ini. Dia selalu menganggap semua hal enteng, tidak pernah serius.
Tiba-tiba saja, aku ingin mencoba sesuatu.
"Apa kau mengingat perempuan bernama Lili?"
"Lili?"
Weidner sempat terhenti untuk sejenak, kaku. Berhentinya Weidner memberi kesempatan. Aku langsung mengayunkan pedang sekuat tenaga, berusaha membelah tubuh Weidner. Namun, sayangnya, Weidner jauh lebih responsif dari yang aku inginkan.
Weidner mengubah bentuk pedang panjangnya menjadi perisai, menerima seranganku secara penuh. Karena hantaman dari pedangku, Weidner dan perisainya terlempar ke udara.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan, aku menerbangkan tiga pesawat lain yang ada di atas gedung dan melepaskan semua misil.
Sebelumnya, misil yang meledak akan menghancurkan perisai atau dinding yang dibuat oleh Weidner. Namun, karena Weidner selalu memberi jarak antara dirinya dan perisai, dia tidak pernah khawatir akan terluka. Sayangnya, kondisi saat ini berbeda.
Perisai yang dipegang oleh Weidner menempel di tubuh. Jarak antara Weidner dan dinding di belakangnya pun semakin dekat. Meskipun Weidner menahan misil yang kutembakkan dengan perisai atau dinding, dia tidak akan lolos dari semua ledakan yang memburunya.
"MATI KAU!"
Bola dan bunga api bermunculan di udara, menandakan misil yang kuluncurkan dari pesawat telah menyentuh perisai atau benda apapun yang dipegang oleh Weidner. Perlahan, tampak bunga dan ledakan api semakin rendah hingga akhirnya menyentuh tanah, mengobarkan taman. Taman yang sebelumnya hanya mendapat sinar dari gedung rumah sakit, kini memiliki sumber cahaya sendiri, kobaran api membara.
Serangan tidak berhenti di situ. Aku membuat lima pesawat jet itu melayang dan melepaskan tembakan dari gatling, menghujani Weidner dengan 3.000 peluru per menit. Setelah putaran peluru habis, aku melepas kotak senjata yang ada di atas dan bawah masing-masing pesawat, mengubah semuanya menjadi tombak sepanjang 3 meter.
Setelah hujan peluru, rasakan hujan tombak ini!
Aku harus melakukan semua ini. Kalau tidak, akan ada bagian tubuh yang tersisa dari laki-laki ini. Aku tidak mau ada sisa dari pengkhianat i-Eh?
Instingku berontak dan aku melompat ke samping kiri. Tepat saat itu pula, beberapa benda mendarat dari langit.
"Aakkkkhhh..."
Aku ingin berteriak kesakitan, tapi aku harus menahannya. Aku melompat dan berlari, menghindari apa pun yang berusaha mencapaiku. Akhirnya, setelah berlari beberapa puluh meter, instingku mulai tenang.
Namun, aku tidak bisa tenang begitu saja. Rasa sakit menjalar dari tangan kanan. Aku mendaratkan semua pesawat di atas atap dan mengambil satu gatling gun, membuatnya melayang, perlahan turun ke tanah. Begitu tiba, aku langsung menempelkan ujung tangan kanan ke laras gatling yang masih panas.
Dalam serangan tadi, tangan kananku kena. Benda yang jatuh adalah lempengan logam, siap memotong apapun yang dilalui. Dan, tangan kananku mulai dari bawah siku telah hilang, terpotong oleh serangan yang dilancarkan Weidner. Kini, aku tidak bisa merasakan pergelangan dan telapak tangan kanan lagi, sudah hilang.
Tangan kananku terasa begitu nyeri, rasa sakit menyebar walaupun lukanya sudah kering setelah aku tempelkan pada laras gatling gun.
"Serangan tadi berbahaya sekali, tahu tidak?"
Sebuah suara terdengar dari dalam kobaran api. Di antara kobaran api dan tombak yang telah menancap di tanah, sebuah sosok berjalan.
Dari kejauhan, aku melihat sosok itu sudah kehilangan beberapa bagian tubuh. Terlihat bahu dan perut kiri hilang. Tangan dan kaki kanan pun juga sudah berlubang. Bahkan, terlihat tiga tombak menancap di badannya. Seharusnya, dia sudah tidak hidup.
Namun, begitu dia keluar dari kobaran api, semuanya sudah terjawab. Di balik pakaian yang compang-camping dan tubuh yang tidak lengkap, tidak terlihat darah mengalir. Dari anggota tubuh yang hilang dan tidak mengalirkan darah, terlihat kilauan cahaya terpantul. Dengan kata lain, sebagian besar tubuhnya bukan lagi tubuh manusia, tapi logam. Dia sudah menjadi setengah robot.
Dalam waktu sesaat, anggota tubuh yang hilang muncul kembali. Bukan! Bukan muncul kembali. Beberapa logam datang dan menggantikan anggota tubuh yang hilang.
Satu-satunya tempat darah mengalir adalah dari atas kepala Weidner, sedikit menutupi matanya. Jadi, mungkin, kepala dan otaknya masih normal.
Weidner terus dan terus berjalan hingga akhirnya berhenti. Dia tidak berhenti tepat di depanku. Weidner memberi jarak sejauh 10 meter di antara kami.
"Hei, asal kamu tahu, serangan tadi bisa membunuhku. Kamu tidak mau membunuhku dan membuat Kak Lugalgin bersedih kan, Hanna?"
"...kau sudah mengetahuinya, ya?"
"Tentu saja! Orang yang mengenal Lili hanyalah dari panti asuhan kita. Ditambah lagi, hanya kamu, yang seharusnya dijual di kerajaan ini, yang keberadaannya tidak mampu kutemukan. Jadi, aku bisa menarik kesimpulan dari sini."
Ah, begitu ya. Tidak membuat identitasku mati adalah salah satu kesalahan.
"Lalu, apa kau mau meminta belas kasihan dariku?"
"Belas kasihan.....? Kukuku....."
Weidner terdiam sejenak. Perlahan, aku bisa mendengar suaranya yang terkekeh.
"HAHAHAHAHA,"
Akhirnya, suara terkekeh Weidner meledak, berubah menjadi tawa lepas.
"Untuk apa aku meminta belas kasihan? Kamu lah yang seharusnya meminta belas kasihan. Karena saat ini, tidak mungkin kamu bisa mengalahkanku."
Di belakang Weidner, muncul beberapa senjata raksasa, melayang dan siap menyerang.
Aku menarik semua senjata yang sebelumnya menancap di taman dan mengubahnya menjadi senjata raksasa juga.
"Aku tidak akan membiarkan Kak Lugalgin menemuimu."
Kami berdua sama-sama meluncurkan senjata raksasa sebagai proyektil. Di antara itu semua, kami juga maju dengan senjata di tangan. Dalam waktu singkat, aku membuat tangan besi yang menempel dengan senjata.
Berbeda dengan sebelumnya dimana Weidner akan menghalau atau menghindari seranganku. Kali ini, dia membiarkan seranganku mendarat selama bukan di dada, leher, atau kepalanya. Tampaknya, dia tidak ada niatan menyembunyikan fakta kalau tubuhnya adalah logam.
Dan, sialnya, gaya bertarung Weidner membuatku kerepotan. Sementara dia bisa menghindari semua serangan, aku terpaksa menghindar, membuatku lebih sering bertahan daripada menyerang.
"Akhirnya, aku bisa melihat wajahmu lagi, Hanna."
Aku terpaksa mengadopsi gaya bertarung Weidner. Selama serangannya tidak mengarah ke organ vital, aku akan menerimanya. Untuk melakukannya, aku mengorbankan topeng ini. Dengan hilangnya topeng ini, pandanganku akan menangkap setiap gerakan Weidner secara penuh.
Aku akan memenangkan pertarungan ini.
***
"Lemah!"
Aku berusaha melepaskan diri dari dinding.
Tampaknya, gada Shanna lebih kuat dari pedangku. Pedangku hancur berkeping-keping dan Shanna melanjutkan serangan. Pukulan Shanna begitu kuat hingga melemparku yang mengenakan armor hingga menembus satu dinding.
Gara-gara serangan Shanna, kini tubuhku menempel di dinding, di dalam bangunan rumah sakit. Tanpa armor ini, mungkin tubuhku sudah terpisah menjadi dua.
Di lain pihak, aku beruntung karena kami berada gedung yang sudah dievakuasi, jadi tidak ada korban jiwa. Dan, karena berusaha memperdaya musuh, lampu dan peralatan pun masih menyala. Berkat tubuhku yang terlempar, ruangan yang seharusnya resepsionis ini menjadi porak-poranda. Meja dan kursi hancur dimana-mana.
"Kau tidak mengenakan topeng atau jubah. Kau bukan anggota elite Agade, ya? Hah! Kalian meremehkanku atau apa? Kalian pikir anggota biasa bisa mengalahkanku?"
Shanna berteriak tidak jelas. Dia bahkan tidak melihat ke arahku. Pandangannya mengarah entah kemana.
Shanna, kamu masih saja seperti dulu, congkak. Kamu benar-benar tidak berubah.
Aku mengangkat tangan, mengendalikan kepingan-kepingan pedang yang tersebar di dekat Shanna.
"Hah?"
Shanna mengeluarkan respon pelan, sedikit terkejut atas seranganku. Namun, dia bergerak dengan cukup cepat dan melindungi tubuhnya dengan Gada. Namun, karena seranganku mendadak, Shanna pun terpisah dari papan selancarnya.
Aku tidak sekedar menyerang Shanna. Aku mendorongnya, membuat tubuh Shanna melayang ke arahku. Begitu dia sampai, aku menjulurkan tangan kanan lurus dan menghantam wajahnya, serangan lariat gulat.
Tubuh Shanna berputar di udara dan menghantam dinding, seharusnya. Shanna berhasil mendaratkan kakinya di dinding dengan cepat. Di saat itu juga, dia melontarkan tubuh dan menerjangku.
Kali ini, aku tidak menerima serangan Shanna dengan pedang, tapi dengan lengan berlapis armor baja. Hasilnya? Gada Shanna hancur dan tubuhnya kembali terpental. Kali ini, tubuh Shanna benar-benar menghantam dinding. Tidak ada lagi aksi akrobat mendarat di dinding. Setelah menghantam dinding, tubuh Shanna terjerembap di atas lantai.
"BRENGSEK! SIAL! BERANINYA KAU!"
Sambil berteriak dan mengumpat, Shanna berusaha bangkit.
Aku tidak langsung menyerang Shanna. Aku menunggunya bangkit.
"MATI KAU!"
Shanna menambatkan ujung cambuk logam di tanah sampingku. Dengan cambuk itu, dia menarik tubuhnya dengan kencang. Dari belakangku, papan seluncur melayang dan mendarat di tangan Shanna. Shanna mengubah papan seluncur menjadi sebuah gada baru. Kali ini, gadanya jauh lebih besar dari sebelumnya.
Aku tidak bergeming begitu saja. Aku berjalan ke depan, ke arah Shanna. Gada Shanna melawan tangan berlapis armor. Dan, sekali lagi, tangan berlapis armor kembali menang.
Gada milik Shanna pecah. Karena dia melontarkan badan begitu cepat, begitu wajahnya berhadapan dengan tinju besiku, tubuhnya pun berputar di udara dan menghantam dinding, lagi.
"SIAL! SIAL! BRENGSEK!"
Ketika melihat Shanna yang mengumpat dan bersumpah ketika dia gagal, aku menyadari Shanna memang belum berubah. Dia masih omong besar tapi minim prestasi. Momen-momen masa kecil kami jadi muncul ke benakku.
Aku jadi teringat ketika kami mencoba memasak untuk pertama kalinya. Dan, seperti biasa, Shanna selalu menyombongkan diri.
(Huh, kalau hanya memasak, semua orang juga bisa. Lihat saja! Akan aku buat kalian terpukau.)
Namun, setelah itu, hasil masakan Shanna justru paling hancur. Bukan hanya dari tampilan, rasanya pun tidak layak dimakan. Ada yang mencoba memakannya, tapi dia langsung memuntahkannya. Bahkan, walaupun sudah memuntahkannya, dia masih terkena diare.
Ketika hal itu terjadi, Shanna akan pergi ke pojok ruangan dan menangis. Kak Tasha pun terpaksa menenangkan Shanna, mengatakan selama dia belajar, Shanna pasti akan bisa mendapatkan hasil yang diinginkan.
Dulu, ketika dia masih kecil, wajah kesal dan kelakuannya masih terlihat lucu. Namun, sekarang, dengan tubuh orang dewasa, justru tampak menyedihkan. Dia, dengan air mata di ujung kelopak, mengumpat dan berteriak tidak jelas.
Sebagian besar dari dirinya tidak berubah. Mungkin, masih belum terlambat untuk Shanna. Mungkin, aku bisa menariknya kembali ke jalan yang benar.
"Dari dulu, kamu tidak berubah ya, Shanna."
"HAH? KAU PIKIR SIAPA KAU MENGATAKAN AKU TIDAK BERUBAH?"
Kenapa perempuan ini selalu berteriak? Apa yang membuatnya begitu emosional?
Aku membuka helm yang menutupi wajah, membiarkan Shanna melihatku.
"....Maul?"
"Kamu masih mengenaliku?"
"Bagaimana aku tidak mengenalimu? Beberapa saat lalu, wajahmu muncul di berita sebagai anak yang dijual ke Mariander."
Ah, ya, aku lupa soal itu. Bodohnya aku.
"Aku kira kamu sudah melupakan kami semua, keluargamu."
"A-apa maksudmu? Aku melupakan kalian semua? Ba-bagaimana bisa?"
Beberapa kali Shanna menjawab dengan terbata-bata.
Saat ini, kelakuan Shanna benar-benar berbeda dari sebelumnya. Apa ini berarti ada harapan?
"Lalu, kenapa kamu tega melakukan hal itu pada Lili?"
"Pada Lili? Apa maksudmu?"
"Jangan pura-pura kamu! Aku mendengar semuanya! Kau menganiaya organ vital Lili hingga dia tidak mampu memiliki keturunan. Kamu lah yang membuat Lili menderita."
"I, itu..." Shanna tidak mampu memberi jawaban. Dia menundukkan wajah. "Ma, maafkan aku. Aku tidak bermaksud. Aku.....aku tidak tahu apa yang merasukiku saat itu. Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku."
Tanpa bisa kucegah, ujung bibirku naik. Tampaknya, tidak bisa aku pungkiri kalau hal ini memang yang kuinginkan.
"Apa kamu bersedia meminta maaf pada Lili kalau diberi kesempatan?"
Shanna mendongak, melihat ke arahku. "Apa menurutmu Lili akan memaafkanku?"
"Aku akan turut serta meminta maaf bersamamu. Bagaimana?"
"I, itu....."
Blarr
Tiba-tiba saja sebuah suara keras terdengar dari belakang. Bersamaan dengan suara keras tersebut, penerangan di lantai ini mati.
Aku berbalik dan melihat sebagian lantai ini sudah hancur. Bahkan, mungkin, sebagian gedung ini sudah hancur. Di depanku, terlihat beberapa pedang raksasa yang tergeletak, menyandar gedung.
Di dalam gedung, terlihat sosok yang..... bukan manusia? Entahlah, aku tidak yakin. Dari pakaiannya yang compang-camping, aku melihat banyak sekali benda berkilau, logam. Hanya sebagian tubuh di dada hingga kepala yang tampak tidak bercahaya.
"Hanna, kamu benar-benar kuat! Didikan Kak Lugalgin memang tidak mungkin lemah!"
"Diam kau!"
Sebuah pedang raksasa datang menghantam sosok yang aku perkirakan adalah Weidner.
Aku tidak yakin apa yang terjadi, tapi serangan itu pasti membunuh Weidner, kan? Namun, tidak berhenti sampai situ. Beberapa pedang raksasa lain muncul, menghantam tempat Weidner berada.
"Mari, apa kau tidak berlebihan?"
Meski belum melihat sosoknya, aku berteriak. Namun, tampaknya, Mari tidak mampu mendengarku. Di luar dugaan, aku baru sadar kalau aku sudah tidak memanggil Mari dengan Hanna. Sekarang, bahkan di pikiranku, aku memanggilnya dengan Mari.
"Eh?"
Tiba-tiba saja instingku berontak. Aku melompat ke samping sambil berbalik. Namun, gerakanku terlambat. Sebuah benda tumpul berhasil mendarat ke pelipis kananku. Seolah ingin mencegah kepala terputus, tubuhku melompat ke kiri.
Tubuhku pun terjatuh ke lantai. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha memutar tubuh, melihat ke arah Shanna.
"Shanna?"
"Kau pikir aku akan meminta maaf pada perempuan jalang itu? Dia sudah merebut Weidner dariku! Aku tidak akan memaafkan atau meminta maaf padanya!"
Di saat itu, aku jadi teringat siapa orang yang memakan masakan Shanna atau paling sering menghiburnya. Orang itu bukanlah Kak Tasha, tapi Weidner. Jadi, perlakuannya pada Lili bermula dari kecemburuan.
"Kau mengecewakanku, Shanna."
Aku berlutut, mencoba bangkit. Namun, entah kenapa, susah sekali untuk bangkit. belum sempat aku bangkit, kedua kaki Shanna sudah terlihat di depanku.
"Apa aku tampak pedu–"
Tiba-tiba saja suara Shanna menghilang. Dia tidak menyelesaikan kalimatnya.
Aku mendongakkan kepala. Tidak terlihat sosok Shanna di depanku. Bahkan, tidak ada apa-apa di depanku. Aku menoleh ke kiri dan melihat sebuah pedang raksasa sudah menancap di dinding. Di ujung pedang itu, tampak tubuh Shanna yang ditembus oleh pedang dari samping.
Bukan hanya ditembus. Lebih tepatnya, tubuh Shanna sudah terpisah. Bagian bawah badannya tergeletak di bawah pedang raksasa sementara bagian atasnya terletak di atas pedang. Aku bisa melihat darah dan usus yang terburai di lantai. Sebagian tangan Shanna pun putus oleh tusukan pedang Mari.
Di saat itu, aku merasa mual. Isi perutku serasa ingin keluar, mendorong melalui tenggorokan. Tanpa bisa aku tahan lagi, isi perutku pun keluar melalui mulut.
Sial! Padahal aku sudah berkali-kali melihat anggota tubuh hancur atau terburai. Aku sudah berhenti muntah sejak lama. Namun, entah kenapa, kali ini, aku tiba-tiba merasa mual. Apa karena Shanna adalah orang yang kukenal?
"Tampaknya perempuan itu belum menjadi robot seperti Weidner."
"Robot?"
Di depanku, tiba-tiba, terdengar suara Mari. Aku mengalihkan pandangan dan melihat sosok Mari yang mengenakan jubah. Dia tidak lagi mengenakan topeng. Dari situ, aku bisa melihat wajahnya yang berlumuran darah. Bahkan, sebagian rambutnya pun sudah hilang, terbakar.
"HAHAHAHA! KAU PIKIR SERANGAN INI SUDAH CUKUP UNTUK MEMBUNUHKU?"
"Sial! Laki-laki ini benar-benar tidak mau mati!"
Mari mengalihkan pandangan dari Shanna dan aku. Pandangannya kembali ke Weidner.
"Hurrian, tolong minta bantuan."
"Eh? Bantuan?"
"Ya. Bantuan. Aku tidak yakin bisa membunuhnya. Headset dan topengku hancur. Jadi, aku tidak bisa meminta bantuan."
"Ba, baiklah."
Aku memegang telinga kanan. Namun, aku baru sadar kalau headsetku sudah tidak ada. Tidak bukan tidak ada. Ketika aku pegang-pegang pelipis dan telinga kanan, tampaknya headset itu hancur. Sebagian suku cadang headset tampaknya masuk ke telinga. Sebagai gantinya, aku bisa merasakan darah mengalir dengan deras dari telinga.
Kenapa aku baru menyadari hal ini sekarang? Alasan kenapa tubuhku susah sekali bangkit sebelumnya adalah karena benda ini masuk ke dalam telinga, merusak keseimbanganku. Dan sebagai efeknya, aku mual bukan karena melihat organ tubuh Shanna yang tersebar, tapi karena aku menoleh terlalu cepat, membuat kepalaku menjadi pusing jauh lebih mudah.
Apa ini yang mereka bilang adrenalin membuat kita tidak sadar pada luka yang diterima?
"Maaf, Mari. Headsetku juga rusak. Aku rasa kita terpaksa membunuh Weidner sendiri atau menunggu bantuan datang."
"Sial juga....."
"Mati kalian!"
Beberapa pedang dan lempeng besi besar melayang. Mari melompat untuk menghindar. Aku juga melompat, niatnya. Sayangnya, tubuhku tidak menurut. Karena keseimbanganku hancur, aku menerima serangan Weidner dengan telak.
"Hurrian!"
Aku terdorong ke ujung hingga menempel tembok. Karena bentuk armorku yang tidak rata, pedang raksasa yang datang mungkin sedikit tergelincir. Jadi, pedang raksasa ini tidak menghantam bagian tengah tubuhku, tapi bagian kiri bawah. Mulai perut kiri hingga kakiku sudah hancur, terlumat oleh pedang raksasa ini.
Belum selesai, masih ada lempengan besi datang. Kali ini, tampaknya, tubuhku mau sedikit menurut. Aku berhasil memiringkan badan ke kiri, membuat lempengan besi itu meleset, seharusnya. Sayangnya, gerakan yang terjadi tidak sejauh yang kuinginkan. Pergeseran badanku terlalu sedikit. Sebagai efeknya, lempeng itu mendarat di bahu kanan, memotong seluruh tangan kananku.
"Aaa....aa....."
Rasanya, aku sangat ingin berteriak, melampiaskan rasa sakit yang muncul di kaki kiri dan bahu kananku. Namun, entah kenapa, suaraku pun tidak mau keluar. Tenggorokanku terasa begitu kering.
Samar-samar, mataku melihat ke sebelah kiri. Di situ, terlihat bagian atas tubuh Shanna yang telah terbelah. Kedua matanya membelalak, memancarkan teror dan kemarahan walaupun sudah tidak bernyawa.
Maafkan aku, Kak Lugalgin. Maafkan Aku, Mari. Tampaknya, aku akan menyusul Kak Tasha.
***
Sial! Hurrian bisa mati kalau begini!
Aku langsung berdiri di depan Hurrian dan membuat pelindung. Pelindung yang aku buat bukanlah lempeng besar, tapi dua buah dinding berbentuk V. Dengan begini, sebagian tenaga dari benda yang dilempar oleh Weidner akan teralihkan.
"Uhuk,"
Aku terbatuk dan darah muncrat dari mulutku.
Sebuah hantaman keras muncul di dinding. Untuk memastikan dinding ini tidak ikut terdorong ke belakang dan melumat kami, aku harus menahannya dengan pengendalian. Meski secara fisik luar tidak terlihat, tapi menahan hantaman tersebut benar-benar membebani tubuh. Aku bisa merasakan seluruh tubuhku ditekan dari segala arah. Bukan hanya itu, rasa sakit juga menyerang kepala yang terus berkonsentrasi.
Dari luar memang tidak tampak karena aku mengenakan jubah hitam. Namun, di balik jubah ini, aku tidak menghitung beraba banyak luka yang aku abaikan. Hanya untuk mengimbangi Weidner, aku mengorbankan tubuhku dengan menerima serangannya selama tidak menuju organ vital. Namun, tampaknya, keputusanku tidak tepat.
Luka-luka yang tersebar di seluruh tubuh mengalirkan darah tanpa henti, seolah aku sedang mandi. Rasanya, tubuhku begitu berat. Namun, aku belum boleh istirahat. Aku harus melindungi Hurrian walaupun nyawaku taruhannya.
"HAHAHAHA? APA HANYA SEGINI KEKUATANMU, HANNA?"
Weidner terus menghantam perisai ini dengan kuat. Aku tidak tahu dia menghantam dengan apa, tapi yang jelas, benda itu besar dan berat. Seiring dengan setiap hantaman, luka-luka di tubuh ini semakin terbuka lebar, membuat darah mengalir semakin deras.
Di tengah serangan, entah kenapa, perlahan, suara teriakan Weidner terdengar semakin pelan. Bukan hanya itu, di saat ini, entah kenapa, waktu terasa begitu lambat. Tekanan yang datang ke tubuhku pun terasa melambat. Bahkan, aku tidak lagi merasakan tubuhku terkena tekanan. Aku merasa tubuhku normal.
Sebuah suara letusan terdengar dan semua tekanan dari hantaman yang dilancarkan oleh Weidner tidak terasa lagi. Apa bantuan datang? Kalau benar demikian, aku bersyukur. Dengan demikian, nyawa Hurrian tidak akan melayang.
Aku rasa, aku sudah boleh istirahat.
"MARI! MARI!"
Teriakan demi teriakan terdengar. Namun, teriakan-teriakan itu terasa begitu jauh. Dalam waktu singkat, aku bahkan tidak mampu mendengarnya lagi.
"Hanna, apa kamu lelah?"
Eh?
Dimana ini?
Setelah sadar, aku tidak berada di gedung rumah sakit yang setengah hancur lagi, tapi.....dimana? Sejauh mata memandang, hanya ada warna putih, baik lantai maupun langitnya.
"Hanna,"
"Eh?"
Aku berbalik. Di depanku, berdiri sebuah sosok yang seharusnya tidak ada lagi. Sebuah sosok perempuan mengenakan blus biru langit panjang. Dia memiliki rambut coklat yang terburai bagaikan sutra. Mata coklat jernih, memberikan ketenangan bagi semua orang. Sudah beberapa tahun berlalu, tapi aku tidak melihat perubahan padanya.
"Kak Tasha!"
Refleks, aku berlari dan melompat ke Kak Tasha. Kak Tasha pun menerimaku dengan tangan terbuka.
"Kak Tasha! Kak Tasha! Kak Tasha!"
Aku terus berteriak sembari merengkuh tubuh Kak Tasha, merasakan kehangatan yang dia pancarkan.
"Iya, Hanna. Kak Tasha ada di sini....."
Aku terus merengkuh Kak Tasha, tidak ingin membiarkannya pergi. Aku tidak ingin melepaskan kehangatan dan ketenangan ini.
"Kak Tasha.... Kak Tasha...."
Setelah beberapa saat berlalu, akhirnya, aku sedikit tenang. Kak Tasha melepas pelukannya, begitu juga aku.
"Tenang. Kamu sudah tidak apa-apa," Kak Tasha mengatakannya dengan tenang sambil menyeka air mataku. "Kamu sudah berusaha sekuat tenaga."
"Kak Tasha?"
Kak Tasha tidak melihat ke arahku. Dia menoleh ke kiri. Aku pun menoleh ke kanan, ke arah yang dituju Kak Tasha. Di depan, terlihat tujuh orang berdiri, tiga perempuan dan empat laki-laki. Dari mereka semua, hanya dua orang yang terlihat masih sama seperti dulu, Luci dan Roko. Yang lainnya, tampak lebih tua beberapa tahun.
Mereka memberikan senyum yang hangat dan menenangkan.
"Apa kalian datang menjemputku?"
"Ya, kami semua datang menjemputmu."
Yang menjawabku bukan anak-anak panti asuhan, tapi Kak Tasha.
"Tapi, Kak Tasha, kalau aku pergi, Kak Lugalgin...."
"Hanna,"
Kak Tasha mengusap rambutku dengan lembut, tanpa mengatakan apapun. Tampaknya, Kak Tasha tidak ingin menyakiti perasaanku.
Setelah dipikir-pikir, kalau seandainya dari awal aku tidak bersikeras untuk melawan Weidner dan Shanna tanpa melibatkan anggota yang lain, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Kalau seandainya sejak awal aku meminta bantuan mereka, mungkin aku masih berdiri tanpa luka. Kalau....
Tidak. Percuma saja aku memikirkan apa yang terjadi kalau melakukan hal lain. Meskipun sedih, aku tidak bisa mengubah yang sudah terjadi.
"Terima kasih, Kak Lugalgin. Dan, maafkan Mari, Kak Lugalgin."
Bersambung