Chereads / I am No King / Chapter 116 - Arc 4 Ch 10 - Overpowered? Tidak Semudah Itu

Chapter 116 - Arc 4 Ch 10 - Overpowered? Tidak Semudah Itu

Aku menggerakkan helm baju zirah ke kiri, mengarahkan kepalaku ke sebuah sumber suara.

Tidak terlalu jauh, terlihat dua orang sedang berdiri. Yang satu laki-laki dengan rambut perak agak panjang, menyentuh telinga. Dia mengenakan celana tiga perempat biru tua dengan kaos putih dan jaket hijau. Kombinasi warna yang aneh.

Di samping laki-laki itu, berdiri seorang perempuan dengan mengenakan singlet hitam, jaket biru dengan kerah berbulu, dan celana jeans hitam pendek. Seperti si laki-laki, dia juga memiliki rambut perak, panjang dan bergelombang.

Kalau rambut perak mereka berdua adalah murni, bukan warna cat atau semir, pasti mereka bukan orang Bana'an. Aku tidak pernah menemui warna rambut itu.

Yang berteriak menggunakan megaphone, pengeras suara, adalah si perempuan. Setelah memberikan megaphone ke laki-laki di sebelahnya, dia mendekatkan tangan kanan ke wajah.

Entah kenapa, aku mendapat perasaan tidak enak. Instingku memberontak.

Aku langsung membuat dinding raksasa di depan, memisahkan kami. Tepat setelah itu, aku tidak mampu lagi merasakan dinding raksasa ini. Bukan hanya dinding ini. Sebagian besar benda dan material di sekitar sini langsung menghilang. Bukan menghilang dari pandangan atau sentuhan, tapi menghilang dari indra pengendalian. Seolah-olah, semua benda itu dihapus.

Namun, seperti yang kukatakan, sebagian besar. Benda yang ada di sebelah dan belakang perempuan itu masih terasa. Selain itu, banyak benda kecil yang ada di dalam lubang atau tergeletak di tanah masih dapat kurasakan. Kesimpulannya adalah, dia adalah inkompeten dan memiliki kekuatan seperti Etana, menghilangkan pengendalian melalui penglihatan.

Kalau seandainya tadi perasaan tidak enak itu tidak muncul, mungkin sekarang aku sudah terjatuh ke tanah dan tewas. Untuk berjaga-jaga kalau dia tiba-tiba muncul dari samping, aku turun ke tanah.

Namun, perkembangan ini benar-benar tidak aku duga. Aku sama sekali tidak menduga akan bertemu dengan inkompeten lain. Bahkan, bukan aku yang mencarinya, tapi dia yang mendatangiku. Kemungkinan besar dia juga lah yang menggunakan identitas Akadia sebelumnya.

"Hey, Lugalgin Alhold, bagaimana kalau kau menghentikan kebrutalan ini? Kalau tidak, aku yang akan memaksamu."

Sebenarnya, saat ini, aku sangat ingin berteriak dan memulai pembicaraan. Namun, lidah dan pita suaraku tidak bisa digerakkan. Gigiku terlalu sibuk menggertak untuk menahan rasa sakit ini. Bahkan, aku masih mengubah dan mengendalikan benda di balik dinding ini secara acak, mencoba mengurangi rasa sakit.

Namun, aku pikirkan itu nanti saja. Saat ini, aku memiliki pemikiran lain. Kalau aku tidak berhenti, dia bilang akan memaksaku. Meskipun belum tentu, tapi saat ini aku bisa menganggap dia sebagai musuh.

Aku memperkirakan lokasi perempuan itu dari benda-benda yang hilang. Sederhananya, karena kekuatan perempuan itu berbasis penglihatan, maka benda-benda yang menghilang dari pengendalian akan mengerucut pada lokasinya berdiri. Dan, di situlah aku akan menyerang.

Aku melempar benda besar dari balik dinding ini ke arah perempuan itu.

"Tunggu dulu! Hei! Kenapa kau menyerangku?"

Dari balik dinding, terdengar suara benda besar dan berat terjatuh. Sumber penghilang pengendalian, ujung kerucut, bergerak. Tampaknya, dia berhasil menghindari benda-benda yang kulempar.

Yah, dia adalah inkompeten. Tidak heran kalau dia memiliki kemampuan motorik yang tinggi.

"Hey, Lugalgin, aku bilang berhenti!"

Akhirnya kerucut itu bergerak ke samping. Dia berusaha meletakkanku di pandangannya agar aku tidak bisa menggunakan pengendalian. Namun, aku juga tidak sebodoh itu. Aku membuat dinding lain di samping kanan dan aku pun melemparkan badan ke kiri.

"Hei! Jangan kabur!"

Siapa yang mau menurut?

Pengendalian semua material ini memang benar-benar menguasai medan perang dalam keadaan normal. Bahkan, aku bisa bilang overpowered. Namun, efek samping yang membuatku tidak bisa bergerak menjadi kelemahan terbesar. Jika lawannya adalah orang normal, hal ini bukanlah masalah. Sayang, jika lawannya adalah inkompeten yang mampu menghilangkan pengendalian, hal ini mengubah segalanya.

Hingga kini, aku terus melemparkan tubuhku ke sana kemari, menghindari perempuan ini. Ya, yang bisa kulakukan hanyalah berlari dari perempuan ini hingga efek obat menghilang. Namun, sambil berlari, aku juga membuat senjata yang tersebar di seluruh area ini. Setelah kekuatan pengendalian ini menghilang dan kondisi kembali normal, aku bisa mengonfrontasinya secara langsung.

"Lugalgin Alhold, bisa tolong berhenti menyerang kakakku? Kami tidak bermaksud buruk."

Dor dor dor

Kali ini, sebuah suara tembakan terdengar. Suara tembakan ini muncul dari arah selatan. Aku bisa merasakan satu senjata dipegang oleh seseorang. Karena komposisi senjata itu adalah tembaga, aku menduga dia adalah Mulisu.

"Jangan keluar, Lugalgin! Kita tidak tahu mereka disewa oleh siapa!"

Ya, benar. Dia adalah Mulisu.

"Kumohon. Kami tidak bermaksud buruk."

Dor

Satu buah tembakan terdengar.

"Jangan bergerak atau peluru yang selanjutnya akan bersarang di tubuhmu."

"Jangan macam-macam kau dengan adikku!"

Kau lah yang jangan macam-macam!

Tampaknya perempuan itu mengalihkan pandangan ke Mulisu. Aku tidak bisa lagi merasakan assault rifle yang digunakan oleh Mulisu.

Aku langsung melemparkan benda besar ke atas. Kali ini aku tidak melempar dan membiarkan gravitasi mengambil alih. Karena perempuan itu tidak melihat ke arahku, atau atasku, aku bisa menjatuhkan benda-benda itu tepat di atas kepalanya.

"Ah!"

Setelah menghindar beberapa kali, akhirnya perempuan itu melihat ke atas. Benda-benda yang sebelumnya kukendalikan di udara pun terjatuh ke tanah.

Sementara itu, perlahan-lahan, aku merasa rasa sakit ini semakin menghilang. Jariku pun mulai dapat kugerakkan. Di saat yang sama, jarak benda-benda yang bisa kukendalikan semakin sempit. Bukan hanya semakin sempit, aku bisa merasakan radius benda yang bisa kurasakan mengecil dengan cepat, sangat cepat.

Dalam waktu lima detik, indra tambahanku sudah tidak ada lagi dan rasa sakit di tubuhku sudah menghilang.

Ini, aneh! Kata perlahan-lahan hanya cocok digunakan pada awal. Setelah itu, semuanya terjadi begitu cepat. Dulu tidak seperti ini. Apakah karena aku menggunakan dosis rendah? Mungkin. Yah, biar aku pikir lain kali saja.

Aku mengambil tombak yang telah kubuat di dekat sini, berlari ke kanan, memutari dinding raksasa, dan melancarkan serangan ke perempuan itu.

"Eh?"

Clang

Laki-laki berambut perak muncul di antara kami. Dia membawa sebuah logam besar dan menahan tusukan tombakku.

"Efek serumnya sudah hilang?"

Perempuan itu tampak terkejut sambil melihat ke arahku. Di lain pihak, laki-laki di depanku, yang adalah adiknya, tampak kesusahan menahan seranganku. Aku menarik tombak dan mengayunkannya dari samping bawah, menjegal laki-laki ini. Tanpa memberi kesempatan, aku menodong ujung tombak ke depan laki-laki ini.

"Hey, perempuan, jatuhkan senjatamu atau laki-laki ini akan mati."

Perempuan itu terdiam, melempar pandangan antara aku dan laki-laki ini. Setelah melihat kami beberapa kali, dia menggertakkan gigi dan membuang sepasang pedang panjang yang dia genggam.

"Aku sudah membuang pedangnya. Puas?"

"Bagus!" Aku melihat ke arah Mulisu. "Mulisu, lebih baik kamu berdiri di sampingku. Aku tidak mau dia menghindar saat kamu melepas tembakan dan pelurunya bersarang di tubuhku."

"Baik!"

Mulisu, dengan assault rifle mengarah ke perempuan itu, berjalan ke arahku. Dia berjalan seperti kepiting, ke samping. Setelah beberapa saat, akhirnya, Mulisu tiba di sampingku.

"Aku akan mengajukan pertanyaan. Pertama, apa kau disewa oleh seseorang dari kerajaan ini?"

"Apa? Itu pertanyaan pertamamu? Kau tidak ingin tahu siapa–"

"Tuan Putri Rina Silant dari kerajaan Nina, calon Ratu kerajaan Nina."

Rina bersiul. "Aku sama sekali tidak menduga kalau kau mengenalku."

Tidak juga. Aku tahu identitas Rina bisa dibilang kebetulan. Saat dulu bertemu Lacuna, aku mencari tahu rambut perak berasal atau dominan di daerah mana. Saat aku mencarinya, hasil yang pertama kali muncul adalah kerajaan Nina di timur.

Saat itu, aku masih mengira rambut Lacuna adalah murni perak, yang kemudian aku ketahui kalau rambutnya hanyalah dicat. Namun, informasi tidak pernah sia-sia.

Alasan lain adalah nama kerajaan Nina, terutama keluarga kerajaan, muncul sebagai "kemungkinan inkompeten". Ibla, sebagai orang yang kutugaskan mencari informasi mengenai keberadaan inkompeten, memberi laporan bahwa kerajaan Nina memiliki tradisi dimana calon Ratu tidak diperbolehkan menggunakan pengendalian sama sekali.

Sebelum menikah, entah kakak atau adiknya, akan selalu berada di sisinya untuk mengendalikan benda-benda. Dan, bersama perempuan itu, adalah adiknya. Dengan kata lain, sejak berdiri, kerajaan Nina sudah bersiap kalau ada inkompeten lahir.

Selain itu...

"Yah, karena ada suatu Raja yang ingin kerajaannya dipimpin oleh inkompeten, kami pun terpaksa mencari penggantiku, dan namamu muncul. Kalau saja Raja itu tidak berkhianat, mungkin kami sudah mendatangimu. Dan, apa kalian juga yang mengirim senjata penghilang pengendalian beberapa bulan lalu?"

Rina tersenyum. "Karena tidak ada ruginya, ya benar, kami lah yang mengirim senjata itu. Kami bermaksud menambah sedikit bumbu di konflik pasar gelap kerajaan ini."

"Konflik pasar gelap kerajaan ini sudah cukup memiliki rasa. Jadi, bumbu itu sudah tidak diperlukan."

"Umm.... bisa tolong lepaskan aku? Aku berjanji tidak akan melakukan apa pun."

Perbincangan kami terhenti oleh sebuah suara dari kakiku. Kami berdua pun melihat ke bawah, ke laki-laki berambut perak dan bermata biru ini. Aku baru menyadari warna mata mereka adalah mirip. Kalau tadi Rina meletakkan tangan di mata, berarti dia mengenakan lensa kontak untuk menahan kekuatannya.

"Maaf, tapi aku tidak bisa melepasmu begitu saja. Kakakmu adalah Alhold sejati, sepertiku. Dan, sepertiku, aku yakin dia akan langsung menyerang begitu kau bebas."

"Well....aku tidak bisa menyangkalmu. Kakak memang orangnya licik seperti itu."

"Kan?"

"Hei! Tera! Kenapa kamu menghina kakakmu sendiri?"

Kakak adik ini pun berdebat kecil. Mereka pasti berharap aku lengah dengan perdebatan kecil ini, tapi tidak. Aku masih awas dengan keberadaan mereka. Bahkan, aku tahu kalau tangan laki-laki ini, Tera, sempat bergerak. Namun, tampaknya dia tahu kalau aku tidak menurunkan penjagaanku. Karenanya, dia pun mengurungkan niat.

"Jadi, apa yang kau lakukan di tempat ini, Yang Mulia Rina?"

Rina mengalihkan pandangan padaku. "Bisa tolong hentikan itu? Aku benci panggilan itu. Sebagai Alhold, kau paham lah."

"Ya, aku paham. Lalu, apa yang kau inginkan dariku? Bukanlah seorang Alhold namanya kalau dia pergi jauh-jauh ke negara lain tanpa suatu tujuan yang pasti, yang menguntungkan."

Dalam hidupku, mungkin ini adalah pertama kalinya aku merasa begitu kompatibel dengan orang lain. Dia benar-benar memahami jalan pemikiranku, dan aku juga memahami jalan pemikirannya. Seolah-olah kami diciptakan untuk bersama...

Tentu saja tidak! Hah! Kenapa? Lihat saja nanti.

"Aku ingin memberimu peringatan. Jangan menggunakan kekuatanmu terlalu sering dan terlalu terbuka. Gara-gara kau, beberapa pihak mulai menduga kalau semua Ratu di kerajaan kami adalah inkompeten. Dan, gara-gara sifatmu yang liar, mereka pun mulai menganggap kami juga luar. Gara-gara kau, aku menjadi sangat repot. Mengerti?"

"Kau di sini, membiarkan Apollo melancarkan serangan yang hampir membunuh dua calon istriku. Di sini saja aku sudah melihat kau tidak peduli kalau aku repot atau bahkan kehilangan orang yang penting bagiku. Lalu, kenapa aku harus peduli kalau kau repot atau bahkan diserang?"

"Well..... fair point."

Perempuan ini tidak mendorong lebih jauh. Dia benar-benar memiliki karakter sepertiku. Dan, hal ini membuatku semakin tidak nyaman. Kalau dia tidak ada niatan untuk memaksa lebih jauh, tujuan yang sebenarnya bukanlah itu. Atau mungkin, dia sudah menyiapkan rencana lain untuk memaksaku menurut.

"Bagaimana kalau–

"Kalau kau macam-macam dengan keluargaku atau orang yang kukasihi, aku akan mengerahkan semua tenaga untuk menghancurkan Kerajaan Nina. Bahkan, aku tidak peduli walaupun Kerajaan ini dan Kerajaan Nina hancur dalam prosesnya dan membunuh semua orang yang tidak bersalah. Dan, aku pastikan ibumu akan menjadi bulan-bulanan orang-orang yang penuh dengan nafsu birahi. Ini adalah sumpahku."

Akhirnya, perempuan itu menggertakkan giginya. Matanya pun melebar, menunjukkan dia tidak suka pada apa yang kudengar.

Ya, sebagai Alhold, kami tidak pernah terlalu peduli jika orang mengancam diri kami. Namun, kalau mereka mengancam keluarga atau orang yang kami kasihi, beda cerita. Aku baru bisa menggunakan trik ini karena dua inkompeten yang kutemui sebelumnya tidak memiliki ikatan batin yang kuat dengan orang lain.

"Apa kau tidak terlalu naif? Kau ingin orang-orang yang kasihi tidak diserang, tapi kau sendiri terjun dan bahkan salah satu orang paling dikenal di dunia, baik dunia normal maupun pasar gelap. Apa ini tidak kontradiktif?"

"Aku sadar benar ini adalah kontradiktif. Namun, apa yang bisa kulakukan, arus membawaku ke sini. Aku tidak dilahirkan di kalangan keluarga yang memang menginginkan kelahiranku, tidak sepertimu."

Mata perempuan ini semakin membelalak.

Aku belum memeriksa sejarah dan latar belakang perempuan ini, Rina, dengan saksama. Jadi, ada kemungkinan ucapanku salah atau bahkan menghinanya. Namun, aku tidak akan memedulikan hal itu untuk saat ini.

"Namun, di lain pihak, aku juga bisa mengatakan hal yang sama padamu."

"Hah?"

"Calon Ratu dan pangeran berada di kerajaan lain, terlibat dengan urusan internal Kerajaan ini. Kalau pihak kerajaan seperti Permaisuri Rahayu mengetahui hal ini, dia bisa mengira Kerajaan Nina memasok senjata ke pasar gelap. Di lain pihak, pihak pasar gelap juga bisa mengira Kerajaan Bana'an mendapatkan bantuan dari Kerajaan Nina. Kalau kau ingin melindungi keluargamu dan kerajaanmu, langkah yang paling tepat adalah tidak pernah terlibat urusan kerajaan ini."

"Itu...."

"Aku juga bisa lihat kau hanya mengikuti arus." Aku tersenyum. "Kalau kita bertemu dalam keadaan lain, mungkin aku akan merasa iba bahkan jatuh hati padamu. Sayangnya, atau untungnya, kita bertemu dalam keadaan ini."

"Yah, untuk hal jatuh hati, aku setuju. Namun, tidak untuk yang lain."

Tiba-tiba saja kakiku terasa panas. Sebelum lebih parah, aku menarik kaki dan melompat ke belakang.

Tanpa menunggu instruksi dariku, Mulisu langsung melepas tembakan ke arah Tera.

Rina mengantisipasi tembakan Mulisu dengan melemparkan lempeng besi tepat ke samping Tera, melindunginya. Di saat bersamaan, sebuah asap muncul dari tubuh Tera.

"Mulisu, hentikan tembakanmu dan mundur!"

Tanpa memberi konfirmasi, Mulisu menurut. Dia melompat mundur dan menghentikan tembakan. Meskipun demikian, Mulisu tidak menurunkan senjatanya.

Di lain pihak, aku merasa urusan ini sudah selesai. Aku berjalan ke samping Mulisu dan meletakkan tangan di senapannya.

"Ayo pergi."

"Eh?"

"Sudahlah."

Menurut, Mulisu pun menurunkan senapan apinya dan berlari bersamaku. Bersamaan dengan kepergian kami, sebuah suara terdengar dari dalam asap.

"Asap ini adalah asap khusus. Kalau kalian melepas tembakan, asap ini akan meledak dan membunuh kita semua. Apa menurutmu dua calon istrimu akan bisa bertahan hidup setelah kematianmu?"

Sudah kuduga! Kalau Mulisu langsung melepaskan tembakan, kami pasti sudah tewas.

Perempuan itu, Rina, adalah seseorang dengan darah Alhold sejadi. Dia akan mengerahkan segala cara untuk menjamin keselamatannya. Kalaupun keselamatannya tidak terjamin, dia akan mengajak pihak lawan hancur bersamanya. Benar-benar pemikiran yang sama denganku.

Duar

Sebuah ledakan muncul tepat suara itu. Aku dan Mulisu terlempar. Karena sudah cukup jauh, kami hanya terkena hempasan udaranya, tidak terluka sama sekali.

"Kita akan bertemu lagi Lugalgin Alhold. Dan, saat itu, kita akan mengobrol lebih lama."

Sebuah suara terdengar dari pengeras suara yang tampaknya ditinggalkan di medan perang ini.

Aku menduga pengeras suara itu terhubung dengan smartphone secara nirkabel (wireless). Jadi, percuma saja kalau aku mau mencarinya.

"Yah, kita akan bertemu lagi."

Bersambung