"Hah?"
Entah kenapa, tiba-tiba saja, perasaanku tidak enak. Bahkan, perasaan tidak enak ini mampu mengalihkan kesedihan yang semalam kurasakan atau rasa bersalah yang tadi pagi muncul. Ada apa ini?
Teet Teet Teet
Tepat setelah perasaan tidak enak itu muncul, smartphoneku berbunyi sangat keras. Bunyi ini akan muncul secara otomatis ketika sistem keamanan rumah aktif.
Apa ini berarti Emir dan Inanna diserang?
Aku langsung membuka smartphone dan memunculkan proyeksi ke udara. Di udara, di depanku, terlihat 16 persegi menampilkan gambar yang berbeda. Namun, aku fokus pada kamera nomor dua dari kanan dan bawah. Di situ, aku melihat sosok Inanna yang tergeletak, tidak bergerak.
DI gambar itu, terlihat Inanna yang terluka. Bahkan, sebagian tubuhnya tampak hangus. Apa terjadi sebuah ledakan? Aku mengarahkan pandangan ke koridor pintu dan melihat tempat itu juga sudah hangus. Selain bekas ledakan, terlihat banyak sekali peluru berserakan di atas lantai.
Aku kembali mengarahkan pandangan ke Inanna. Tidak terlihat aliran atau genangan darah dari tubuh Inanna. Tampaknya, pakaian anti peluru yang dia kenakan menyelamatkannya. Namun, aku tidak bisa lega. Walaupun mengenakan pakaian anti peluru, dia tetap bisa terluka. Mungkin peluru itu tidak masuk dan bersarang ke dalam tubuh Inanna, tapi peluru yang ditahan oleh kevlar masih memberi efek setara dengan ayunan palu.
Tunggu dulu! Ini bukan waktunya untuk melakukan analisis dengan tenang! Aku harus segera bergerak.
Sebelum aku mematikan layar monitor, terlihat sebuah pergerakan. Di layar, Emir datang dan melepas baju Inanna dengan cepat, memeriksa tubuhnya. Aku sedikit bersyukur ketika dugaanku terkonfirmasi, tidak ada satu pun lubang peluru di tubuh Inanna. Meski demikian, aku masih marah karena kini tubuh Inanna penuh dengan lebam.
Setelah memastikan kondisi Inanna, Emir mengeluarkan telepon dari saku.
Sebuah alunan musik terdengar dari handphone. Panggilan ini hanyalah suara. Emir tidak melakukan panggilan video. Dia pasti menyadari aku sudah melihat kondisi rumah melalui kamera keamanan.
Aku mengangkat telepon. "Emir, bagaimana kondisi Inanna?"
[Antara baik atau tidak,] Emir menjawab. [Kita beruntung tidak ada satu pun peluru yang bersarang di tubuhnya. Namun, kini tubuhnya penuh dengan lebam. Dan, selain itu...]
"Selain itu?"
[....aku akan jelaskan nanti. Yang jelas, Inanna membutuhkan pertolongan secepat mungkin.]
"Baiklah. Aku tutup teleponnya."
[Terima kasih.]
Aku berjalan ke peti arsenal sambil membuat telepon lain.
[Gin?]
Selain suara Ibla, aku mendengar tembakan dan ledakan di latar.
"Ibla. Serangan di rumahku?"
[Saat ini, kami sedang berusaha melumpuhkan serangan mereka. Namun, sangat susah. Selain serangan langsung, mereka juga melancarkan serangan jarak jauh dengan menggunakan artileri dan mortar. Pergerakan kami pun terkunci. Dan, karena Inanna sudah tidak bisa bertarung, kami kesulitan menghentikan peluru mereka.]
Aku membuka peti arsenal dan mengambil sebuah laptop. Laptop ini terhubung dengan sistem keamanan yang tersebar di sekitar rumahku. Karena serangan keluarga Alhold beberapa saat lalu, banyak tetanggaku yang memilih untuk pindah. Bahkan, aku membeli rumah mereka lebih mahal dari harga pasar, dengan anggaran belanja kerajaan tentu saja.
Sebagian besar pemukiman di sekitar rumahku kosong dan kupasang perangkap. Sebelumnya, banyak sekali penyerang yang mencoba memasuki rumah kosong di sekitar dan terjebak, tewas di dalamnya.
Namun, tampaknya rumor kalau rumah-rumah kosong itu sudah kupasang perangkap telah tersebar. Penyerang yang sekarang tidak ada yang menempati rumah kosong. Mereka memilih untuk membawa truk atau kendaraan tinggi lain dan membuat perlindungan di atasnya.
Sayangnya, tentu saja, aku tidak memasang jebakan di jalanan. Maksudku, jalan masih fasilitas umum. Kalau ada orang yang tidak tahu apa-apa lewat dan terkena jebakan, mereka bisa tewas. Namun, tentu saja, ini tidak membuatku diam begitu saja.
Melalui laptop, aku memeriksa keadaan setiap sudut area di sekitar pemukiman. Setelah memastikan keberadaan semua penyerang, aku menyalakan program baru dan sebuah tampilan dengan lingkaran bidik muncul. Meski tidak memasang perangkap, aku memasang beberapa senapan sniper yang bisa dioperasikan melalui laptop.
Tidak ada penyerang yang menyadari keberadaan senapan sniper ini, jadi aku bisa membidik mereka semua secara bersamaan dan mudah. Tidak kuduga, jumlah penyerang kali ini cukup banyak, mencapai 70 orang. Di lain pihak, anggota Agade yang berjaga hanya 15 orang, tidak termasuk Emir, Inanna, dan 4 anggota elite.
Kalau seandainya tidak ada serangan artileri dan mortar, semua penyerang ini pasti sudah dilumpuhkan oleh para anggota elite. Jika Inanna masih sadar, dia bisa menghentikan peluru artileri. Untuk peluru biasa, anggota elite bisa menghentikannya dengan menggunakan pelindung baja atau benda sejenis. Dengan kata lain, tampaknya, penyerang kali ini sengaja menyerang Inanna di awal.
Aku menekan tombol enter dan semua orang di layar yang tidak kukenal pun terjatuh, tewas. Sebuah peluru sudah mendarat di kepala atau menembus leher, memastikan kematian mereka. Anti klimaks, aku tahu. Dengan ini, setidaknya baku tembak dan mortar sudah bisa dihentikan.
[Gin, apa kamu yang membunuh mereka semua?]
"Ya, aku yang membunuh mereka! Sekarang, aku butuh sumber artilerinya!"
Ya. Aku sudah membunuh semua orang, tapi artileri tetap menjadi masalah utama. Meski rumah itu sudah aku desain untuk menahan peluru kaliber 210 mm, tapi kalau dibombardir terus menerus, apalagi kalau kebetulan mendarat di titik yang sama, hanya tinggal menunggu waktu hingga roboh. Dan, saat ini, aku sama sekali tidak ada niatan untuk mencari tahu berapa lama rumahku bisa bertahan.
[Sudut datang 56 derajat, arah 7 derajat West. Sebentar," Ibla berhenti sejenak. [HEY! PERKIRAAN KECEPATAN PELURU!]
Terdengar suara Ibla yang berteriak pada seseorang. Di latar, aku mendengar teriakan balasan.
Sementara Ibla mencari sumber peluru artileri, aku mulai bersiap dan mengambil benda yang paling salah tempat di dalam peti arsenal, out of place.
Sumber artileri adalah arah 7 derajat west. Berarti tempat artileri ini berada di utara dari rumah. Gudang senjata ini berada di selatan. Dengan kata lain, untuk mencapainya, aku harus melewati kota, pergi dari ujung ke ujung. Kalau pun pesawat yang dikendarai Mari dan yang lain bisa digunakan, mereka tidak akan bisa menghentikan bombardir ini.
Kenapa? Karena sumber bombardir ini pastilah salah satu markas penyerang. Atau pun kalau bukan markas, pasti ada puluhan atau bahkan ratusan orang yang berjaga. Satu-satunya cara adalah.....
Aku terdiam. Tidak mampu berpikir lagi. Apa aku benar-benar akan melakukan ini?
[Ketemu! Tempatnya adalah lapangan Golf Emeza. Lapangan golf ini dimiliki dan dikelola oleh Apollo, satu dari enam pil– Gin? Gin?]
Aku masih mendengarkan ucapan Ibla dengan baik. Namun, karena kami tidak melakukan panggilan video, dia tidak tahu apakah aku masih mendengarkan atau tidak. Dia berteriak berkali-kali, terdengar putus asa.
[Gin! Gin! Kamu tidak apa-apa? Ada apa? Gin?]
"Ya, aku baik-baik saja. Tidak ada serangan. Aku hanya sedang berpikir."
Aku paham apa yang terlintas di pikiran Ibla. Dia pasti khawatir tempat ini, dan aku, diserang oleh musuh.
[Gin?]
Suara lain terdengar. Sekarang, telepon tidak hanya dua arah antara aku dan Ibla. Mulisu juga sudah memasuki diskusi. Sejak awal, telepon ini merupakan saluran terbuka bagi anggota elite Agade. Jadi tidak heran kalau ada anggota yang tiba-tiba masuk di tengah.
[Aku akan berangkat dengan salah satu pesawat.]
[Bagus! Aku akan memberi arah–]
"Dan apa yang akan kamu lakukan di sana?" Aku menyela Ibla. "Logam di pesawat itu tidak terlalu banyak. Dengan ukurannya yang hanya sebesar mobil, bahkan kamu tidak akan bisa membuat satu lipan raksasa. Dan kamu tidak memiliki pengendalian timah seperti Inanna. Jadi, kamu tidak akan bisa bertahan kalau mereka menghujanimu dengan peluru. Agade tidak bisa kehilanganmu."
[Lalu apa yang harus kita lakukan? Menunggu hingga rumahmu roboh? Membiarkan Emir dan Inanna tewas begitu saja?]
"KARENA ITU AKU SEDANG BERPIKIR!"
[....]
[....]
Tidak ada balasan terdengar, baik dari Ibla maupun Mulisu. Tampaknya, mereka tidak menduga kalau aku akan membentak mereka.
Aku masih terdiam, melihat satu benda di tangan kanan yang baru kuambil dari atas peti arsenal, pistol syringe. Selain syringe yang terpasang di pistol, terdapat 4 buah syringe lain dengan ukuran yang berbeda. Syringe ini terisi oleh cairan berwarna perak, serum pembangkit pengendalian.
Namun, setelah kupikir baik-baik, apakah aku benar-benar akan menggunakannya? Apakah aku akan mengambil semua risiko itu demi menyelamatkan Emir dan Inanna? Aku bahkan tidak pernah menggunakan serum ini untuk mencari atau menyelamatkan satu pun anak panti asuhan Sargon. Apakah Inanna dan Emir benar-benar lebih berharga dari anak-anak itu? Atau....
[Gin. Bisa tolong aktifkan fitur panggilan video?]
Emir?
Tanpa pikir panjang, aku menuruti Emir. Aku menurunkan handphone dari telinga dan mengarahkannya ke depan. Dengan jari manis kanan yang masih bebas, aku menerima panggilan Emir.
Akhirnya, di layar muncul proyeksi wajah Emir.
[Gin, maafkan kami karena tidak mampu memahamimu. Maafkan kami karena belum mampu menjadi tempatmu mencurahkan segala kesedihan dan keresahanmu. Aku ingin kamu tahu kalau kami sedang berusaha sekuat tenaga untuk menjadi sosok itu. Dan, maafkan kami karena telah membuatmu berada dalam kondisi sulit ini. Aku paham benar kalau kemungkinan kami keluar dari sini dengan selamat adalah nol persen. Jadi, aku akan meneri–Gin, tolong jangan menangis.]
Eh?
Tanpa aku ketahui, air mata sudah mengalir, membasahi pipi.
Aku.....menangis? Selama yang aku ingat, aku hanya menangis ketika menemukan Tasha atau mendapat informasi kematian anak panti asuhan. Aku sama sekali tidak menduga akan menangis ketika mendengar ucapan Emir.
Ayolah Gin! Emir sudah melakukan ini semua dan kamu masih berpikir risikonya?
Aku menggertakkan gigi, mencoba meneguhkan hati. Ketika aku mengambil pistol syringe ini secara tidak sadar, insting dan alam bawah sadarku sudah mengatakan kalau Emir dan Inanna adalah sosok yang penting bagiku. Seharusnya aku tidak bingung lagi! Ya, aku tidak akan membalas kematian mereka! Aku akan mencegah kematian mereka!
"AAHHH!!!"
Aku berteriak kencang, melampiaskan semua kekesalan dan kemarahan ini. Tidak hanya berteriak, aku bahkan membenturkan kepala dengan keras ke bagian samping peti arsenal, tepat di siku peti.
[[[Gin?]]]
Suara mereka terdengar bersamaan. Emir mungkin terkejut karena melihat apa yang kulakukan. Namun, tampaknya, Ibla dan Mulisu hanya bisa menebak dari suara keras yang terdengar.
Darah menetes ke lantai dengan perlahan. Pandanganku sedikit berubah. Mata kananku tertutupi oleh warna merah.
Ya. Aku sadar kalau yang kulakukan agak klise, melukai diri sendiri untuk membuat keputusan. Namun, tidak kusangka, melakukan hal ini terasa begitu menyegarkan dan menenangkan. Seolah semua keraguanku telah keluar bersama dengan darah ini.
"Maaf semuanya. Tapi, dengarkan aku baik-baik." Aku bangkit dan kembali menghadap ke proyeksi Emir. "Aku lah yang akan menghentikan serangan ini."
[Eh?]
[Apa maksudmu? Kamu hanya inkompeten!]
[Gin! Jangan berpikir gila!]
Sementara Ibla terkejut, Mulisu mengatakan sebuah fakta bahwa aku hanya inkompeten. Emir....aku tidak mengira dia akan mengatakan hal itu.
"Aku akan menjelaskan semuanya nanti, setelah selesai. Sekarang, Ibla, Mulisu aku butuh bantuan kalian. Aktifkan panggilan video kalian."
Sebenarnya, aku bisa saja menjelaskannya dengan cepat di awal. Namun, akan sulit menjelaskannya dan membuat mereka percaya. Akan lebih mudah kalau sudah terjadi.
Proyeksi di udara bertambah dua kotak di samping kiri Emir. Kini, Mulisu terlihat di tengah dan Ibla di kiri.
"Ibla, aku ingin kamu mengamankan rute dari gudangku ke lapangan golf itu."
[Maksudmu mengamankan?]
"Matikan semua alat elektronik di jalurku."
[Untuk?]
"Sudah! Jangan banyak tanya! Segera lakukan!"
"Ba-baik!"
Biasanya, Ibla langsung menurut tanpa mempertanyakan semua keputusanku. Ini adalah pertama kalinya dia mempertanyakanku. Tampaknya dia sedikit meragukanku kali ini. Yah, normal sih.
"Mulisu, aku ingin kamu pergi ke lapangan golf itu dengan menaiki pesawat. Sekarang juga."
[Siap!]
"Tapi tujuanmu bukanlah membasmi mereka. Aku hanya ingin kamu berjaga dan melihatku."
[....berjaga dan melihat?]
"Beberapa menit ke depan, aku tidak akan bisa berkomunikasi dengan siapa pun. Oleh karena itu, aku membutuhkanmu, Mulisu. Untuk penj–"
[Aku akan menanti penjelasan di belakang.]
Mulisu paham kalau ada sesuatu yang tidak bisa kuucapkan sekarang. Aku beruntung karena dia lebih memercayaiku dibanding Ibla. Memang pantas dia menjadi rekan kerjaku.
Aku mengalihkan pandangan ke kanan, ke Emir. Terlihat mata Emir yang mulai berkaca-kaca. Aku tidak tahu dia menangis karena melihatku menangis atau hal lain. Namun, yang jelas, kini, aku sebagai calon suami memiliki kewajiban untuk menenangkannya.
"Emir, tunggu aku. Aku akan menyelamatkanmu."
[Baik. Aku akan menunggumu.]
Emir tersenyum lebar, semringah. Aku seolah melihat cahaya di belakangnya.
Ya, benar. Aku bersedia melakukan ini semua demi melindungi senyum itu. Aku tidak mau kehilangan senyum tersebut.
"Baik semuanya, aku akan mematikan telepon."
[[[Baik.]]]
Setelah mendengar jawaban mereka, aku pun menutup telepon.
Aku ke ujung ruangan dan mengambil sebuah kain. Setelah membuatnya menjadi gumpalan, aku menggigitnya.
Kini, pandanganku fokus pada pistol syringe di depanku. Dulu, saat pertama kali menggunakan benda ini, dosis 0,5 ml akan memberiku waktu selama 7 hari. Pemakaian kedua, dosis 0,5 ml memberiku waktu selama 3 hari. Kalau perbandingannya lurus, kali ini, waktu yang akan kudapatkan adalah 30 jam. Namun aku tidak butuh 30 jam. Yang aku butuhkan hanyalah 5 menit.
Namun, dengan menggunakan syringe 0,5 ml ini, nilai yang bisa kudapatkan adalah satu per lima puluh dari 0,5 ml, yang akan membuatku lumpuh antara 30 hingga 40 menit. Setelah melakukan perhitungan itu, aku mengganti syringe yang ada di pistol dan menggantinya dengan ukuran 0,25 ml. Setidaknya, satu per lima puluh 0,25 ml bisa memberiku waktu 15 hingga 20 menit. Lebih dari cukup.
Aku membuang hampir semua serum yang ada di dalam syringe 0,25 ml ini, menyisakannya pada 1 baris kecil. Dengan tegas dan teguh, aku menempelkan ujung pistol syringe ke leher kanan.
Halo, rasa sakit.
Aku menarik pelatuk pistol syringe. Belum sempat tanganku memisahkan pistol ini dari leher, efeknya sudah menjalar ke seluruh tubuh.
Seluruh tubuhku terasa begitu panas seperti terbakar. Seluruh badanku terasa kejang, kaku. Daging dan kulitku seolah sedang dicabik-cabik oleh binatang buas. Semua tulang di dalam tubuhku berteriak, seperti mereka semua dipatahkan secara bersamaan.
Semua anggota tubuhku berteriak. Aku pun ingin berteriak. Tanpa kain di dalam mulut, mungkin lidahku sudah putus.
Sulit bagiku untuk bisa bergerak. Hampir semua indra di tubuh ini fokus pada rasa sakit yang menjalar ke seluruh badan. Kedua tanganku menggenggam ujung peti arsenal, mencoba melampiaskan rasa sakit. Namun, tidak ada gunanya. Tubuh ini masih merasakannya.
AAAAHHHHHH!!!!!!
Bersambung