Chereads / I am No King / Chapter 94 - Arc 3-3 Ch 22 - Kepercayaan

Chapter 94 - Arc 3-3 Ch 22 - Kepercayaan

Seperti biasa, kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

============================================================

"Jadi, Yuan, kamu bisa mulai kerja sekarang juga?"

"Ah.... apa kau yakin?" Perempuan berambut putih di depanku, Yuan, bertanya.

Saat ini, aku berada di kafe Ease dengan seorang perempuan di depanku. Namanya adalah Yuan, tanpa nama belakang atau nama keluarga. Yuan memiliki rambut putih panjang dengan poni. Bukan hanya rambut, kulitnya juga putih. Dia memiliki mata berwarna ungu, entah memang mata aslinya atau mengenakan kontak lensa. Menurutku, wajahnya tampak begitu polos, seolah dia bukan orang yang berkecimpung di pasar gelap.

Sebuah pin rambut berwarna ungu cerah menempel di kepala kirinya, serasi dengan warna mata. Yuan mengenakan pakaian kasual yang menunjukkan belahan dada. Ukuran dada standar, tapi tampak lebih kecil dibanding Emir dan Inanna.

Ngomong-ngomong, Emir dan Inanna tidak berada di sini. Aku menemui perempuan ini dulu sebelum ke kantor.

"Kenapa?" Aku balik bertanya.

"Well... kata Jin, kau adalah salah satu orang paling strict dan disiplin yang pernah dia temui. Aku pikir, setidaknya, kau akan mewawancarai atau bahkan menginterogasiku."

"Anggap saja kekuatan orang dalam," aku menjawab enteng. "Dan lagi, kalaupun kamu membuat masalah, yang akan aku serang dan permasalahkan adalah Jin. Dia yang merekomendasikanmu."

"Ah...itu..."

Ya benar. Kalau perempuan ini membuat masalah, yang akan aku serang adalah Jin. Bahkan kalau Yuan adalah agen ganda organisasi pasar gelap yang memang ingin merusak hubunganku dengan Jin, yang salah tetap Jin karena dia sudah mempercayai perempuan ini.

Alasan lain adalah aku membutuhkan sekretaris. Aku tidak akan meletakkan Emir atau Inanna sebagai sekretaris. Jika Emir atau Inanna menjadi sekretaris, aku khawatir tidak bisa obyektif kalau mereka membuat kesalahan. Aku akan merasa bersalah kalau memarahi mereka. Di lain pihak, kalau yang menjadi sekretaris adalah orang lain, aku bisa obyektif kalau dia membuat kesalahan.

"Jadi?" Aku kembali meminta konfirmasi.

"Ya, aku bisa mulai bekerja sekarang juga."

"Karena kue dan pesananmu sudah habis, ayo ikut aku."

"Ah, sebentar, biar aku bayar dulu pesananku."

"Tidak usah, langsung saja ikut aku."

Yuan berdiri dan mengikutiku keluar dari kafe Ease. Kami pergi tanpa mampir ke kasir. Kisu tidak tampak di toko, jadi aku langsung keluar. Beberapa pelayan menyapa ketika aku keluar. Yuan sempat penasaran ketika dia melihatku yang langsung keluar tanpa membayar tapi masih disapa oleh pelayan.

Sebelum Yuan bertanya, aku memberi sebuah penjelasan singkat.

"Aku adalah pemilik Kafe Ease. Makanan yang kamu pesan akan langsung dimasukkan ke tagihanku. Kalau seandainya kamu pergi ke situ, sebutkan saja namaku, jadi tidak perlu bayar."

"Ah... um... aku tidak yakin bisa mengemban kepercayaan sebesar ini."

"Itu hanya tagihan makanan dan minuman di kafe. Tidak ada urusannya dengan kepercayaan."

Sambil berjalan menuju ke ruanganku, kami sedikit mengobrol ringan. Ternyata, Yuan agak khawatir dengan hak memesan di kafe Ease karena dia hobi makan kue. Dan, kebetulan, Ease juga menyajikan kue. Bahkan, akhir-akhir ini, Ease merilis jadwal kue limited edition yang stoknya terbatas dan hanya bisa dibeli di tanggal atau musim tertentu.

Kalau mau, aku bisa meminta pegawai kafe Ease mengantar kue itu ke Yuan. Namun, Yuan menolak. Alasan yang sebenarnya adalah dia takut berat badannya naik karena terlalu banyak makan kue.

Aku tidak akan memaksa.

Akhirnya, kami tiba di ruang kerjaku. Di dalam ruangan hanya ada Mulisu dan Shu En. Mereka sontak bertanya ketika melihat Yuan bersamaku.

"Perempuan ini akan bekerja sebagai sekretarisku mulai hari ini."

"Oh...."

Sementara Mulisu memberi respons enteng, Shu En tidak merespon. Shu En tidak bergeming, tampak terkejut.

Sementara aku duduk di kursi sandar tinggi, Yuan berdiri di samping meja. Aku memberi sebuah map pada Yuan.

"Map ini berisi daftar divisi intelijen lengkap beserta nomor telepon dan ruangan mereka di gedung ini. Tugas pertamamu adalah menghubungi divisi kepegawaian dan mendaftarkan diri. Lalu kamu juga harus menghafalkan seluruh nomor telepon dan ruangan masing-masing divisi."

"Aku harus mengisi data diri?"

"Data diri terserah mau kamu isi apa. Kamu sebagai orang yang biasa bekerja di pasar gelap tahu lah apa yang harus dilakukan."

"Baik!"

Yuan menerima dokumen dengan sigap dan langsung berjalan pergi.

"Yuan,"

"Ya?"

Yuan berhenti sebelum mencapai pintu.

"Sebelum membuat kunjungan, telepon dulu divisi yang bersangkutan dari sini." Aku menunjuk telepon yang terletak di atas mejaku.

"Ah, ya, maaf."

Yuan menuruti perintahku. Dia membuat telepon dari depan meja dan mengatakan dirinya diperintahkan olehku untuk mengurus status kepegawaian. Dalam waktu singkat, Yuan mengakhiri telepon dan meninggalkan ruangan ini.

Yuan bekerja cepat. Kalau dia langsung datang dan mengenalkan dirinya, aku yakin divisi kepegawaian akan meragukannya walaupun dia menyebut namaku. Dengan membuat panggilan dari ruang kerjaku, divisi kepegawaian akan tahu kalau dia benar-benar utusanku.

Sama seperti anggota Agade yang kubawa ke sini, status Yuan bukanlah agen schneider, hanya sebatas pegawai intelijen. Kalau dia kudaftarkan sebagai agen schneider, aku harus mengurus prosedural dan meminta persetujuan dari Raja Bana'an, Fahren.

Meski secara tertulis status mereka hanya lah pegawai, aku juga memberi pekerjaan sebagai agen schneider, mengumpulkan informasi di pasar gelap. Dampak negatif adalah mereka semua hanya digaji sebagai pegawai, bukan sebagai agen schneider. Solusinya? Sebagian dari gajiku sebagai kepala intelijen kualihkan ke mereka.

Ke depannya, aku akan membuat divisi baru di bawah intelijen dimana pekerjaan mereka akan mencakup sebagai karyawan dan agen schneider. Gaji karyawan di divisi ini akan lebih tinggi dari agen schneider dan karyawan lain. Namun, status mereka bukanlah agen schneider, hanya karyawan, jadi aku tidak perlu meminta persetujuan Fahren. Hal ini kulakukan untuk mengakomodasi orang-orang dari Agade dan Akadia.

Untuk mendirikan divisi baru, butuh izin tertulis dari Fahren, yang adalah Raja. Apa dia akan memberi izin ini begitu saja? Tidak mungkin! Namun, aku akan memastikan dia menyetujuinya.

"Gin, apa dia–"

"Bukan, dia bukan anggota organisasi pasar gelap manapun." Aku menyela Shu En. "Daripada itu, bagaimana kemajuan seleksi calon siswa intelijen? Apa undangan seleksi sudah dikirim secara langsung ke masing-masing calon siswa?"

Mulisu menjawab, "saat ini, sudah 30 persen calon siswa didatangi. Dan, respons yang kita dapatkan bisa dibilang cukup positif. Kurang dari 5 persen yang menolak atau tidak lolos seleksi tahap awal."

"Lima persen dari total atau lima persen dari jumlah sementara?"

"Lima persen dari jumlah sementara." Shu En menjawab.

Menurutku, angka itu terlalu tinggi.

Undangan yang dimaksud tentu saja tidak dikirim ke rumah atau pos. Orang-orang dari divisi kepegawaian yang tersebar di seluruh kerajaan mendatangi anak-anak ini satu per satu dan memberi mereka penawaran sambil menunjukkan surat tugas. Yang mendatangi hanya karyawan, bukan agen schneider.

Tawaran yang diberi, bisa dibilang, sangat mencurigakan. Calon siswa ini hanya diberi tahu kalau mereka terpilih untuk menghadiri sekolah intelijen yang akan dibangun oleh kerajaan. Akan sangat normal kalau mereka menolak atau mengabaikannya.

Kalau setuju, calon siswa akan diberi sebuah smartphone kecil yang akan memberi daftar instruksi. Jika mengikuti instruksi sampai selesai, mereka dinyatakan lolos tahap awal dan diminta menunggu dihubungi lagi. Kalau mereka mencoba meretas atau mengotak-atiknya, smartphone itu akan langsung meledak dan mengirimkan pemberitahuan ke divisi kepegawaian.

Di lain pihak, aku justru khawatir melihat tingginya anak yang menurut. Maksudku, mereka menuruti ucapan orang asing yang sama sekali tidak dikenal. Bahkan, menuruti instruksi demi instruksi dengan taat. Apa mereka tidak khawatir kalau yang mendatangi mereka adalah organisasi pasar gelap yang mencari anggota atau hanya organ tubuh? Yah, aku tidak peduli juga sih.

Awalnya aku berencana menggunakan agen schneider untuk mengirimkan undangan, tapi Shu En menolak ide itu. Menurut Shu En, akan berbahaya kalau identitas agen schneider diketahui orang lain selain aku dan Fahren. Namun, sekarang aku bersyukur karena tidak menggunakan agen schneider. Kalau menggunakan agen schneider, bisa muncul pengkhianat baru nanti. Aku beruntung.

Saat ini, aku melihat laporan tertulis mengenai calon siswa yang lolos tes tahap awal, yang gagal, yang menolak, beserta alasannya.

"Gin," Shu En memanggil. "Kamu tidak apa-apa di sini? Kamu tidak mengkhawatirkan adikmu? Dia kabur, kan?"

"Aku khawatir. Namun, sayangnya, aku juga tidak akan bisa menemukannya walaupun mencari. Dan lagi, aku sudah meminta Agade, Akadia, dan Guan untuk mencari keberadaan Ninlil."

"Kamu lebih memercayai organisasi pasar gelap daripada intelijen kerajaan yang kamu pimpin?"

"Pegawai intelijen sudah kubuat sibuk dengan pendirian dan perekrutan sekolah intelijen ini. Aku tidak mau menambah beban mereka lagi."

Shu En menunjukkan muka yang masam setelah mendengar jawabanku. Dia pasti merasa terganggu dengan jawabanku yang terkesan menghindar.

"Daripada itu, bagaimana dengan pemberitaan mengenai serangan semalam? Aku belum sempat melihat televisi atau pun mendengar berita, jadi aku tidak tahu informasinya."

Mulisu memberi penjelasan detail mengenai pemberitaan. Pemberitaan yang disebar cukup sederhana, yaitu terjadi tawuran antar pelajar yang terjadi di sekitar kompleks permukiman. Agen schneider pergi ke kantor berita dan memastikan tidak ada satu pun wartawan yang menyelidiki penyerangan semalam.

Untuk warga yang rumahnya mengalami kerusakan, kerajaan akan melakukan ganti rugi hingga dua kali lipat dari yang mereka derita dengan syarat bungkam. Selain itu, kami memberi mereka formulir pengajuan audiensi kepada Raja jika ingin komplain lebih lanjut. Formulir yang diberi tentu saja formulir prioritas.

Baguslah. Semuanya tampak berjalan dengan mulus.

""Gin!""

Tiba-tiba saja sebuah bentakan terdengar. Sumber suara itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah Inanna dan Emir. Bersama mereka, tampak Yuan dengan wajah pucat.

Apa yang sudah mereka lakukan pada Yuan?"

"Apa kamu mau selingkuh?"

"Apa kamu mau ambil istri lagi?"

"Tidak," aku menjawab cepat.

Sementara Emir menduga aku akan selingkuh, Inanna justru menduga aku mau menambah istri. Begitu mendengar jawabanku yang tegas dan tanpa jeda, Inanna dan Emir pun menghela nafas dengan senyuman.

"Maaf ya sudah mencurigaimu." Emir minta maaf.

"Iya, kami minta maaf." Inanna menambahkan.

"Ah, tidak apa-apa. Kalian tidak salah. Normal untuk berpikiran seperti itu. Sebagai tambahan, aku masuk ke sini atas rekomendasi Jin. Jadi, aku bersama Jin."

Wajah pucat Yuan sudah menghilang. Kini sebuah senyum menempel di wajahnya. Di lain pihak, sebuah pertanyaan justru muncul di benakku.

"Apa yang membuat kalian berpikir kalau aku mau selingkuh atau menambah istri?"

"Kamu bahkan tidur dengan gurumu!" Inanna menjawab.

Emir menambahkan, "Apa yang membuatmu tidak akan tidur dengan perempuan ini?"

Tunggu dulu, mereka menerima jawaban Yuan begitu saja tapi meragukan jawabanku?

"Ayolah," aku berusaha mempertahankan diri. "Saat itu aku single, tidak punya pacar, apalagi calon istri. Wajar kalau aku melakukannya, kan?"

""Tidak wajar!""

Emir dan Inanna berteriak. Mereka berdua meninggalkan Yuan di pintu dan mendatangiku. Aku sedikit memundurkan kursi, memberi ruang bagi Inanna dan Emir untuk berdiri di depanku.

Kenapa mereka tampak begitu marah saat ini tapi tampak normal bahkan iba ketika mendengar Tasha? Mereka bilang sayang padaku tidak peduli apa yang sudah kulakukan, tapi apa ini?

"Kami tahu gurumu menjadi korban juga karena kamu lengah semalam!" Inanna mengungkit kejadian semalam.

Emir menambahkan, "aku mulai mempertanyakan berapa banyak wanita yang kamu tiduri sebelum bertemu kami."

"Aku hanya melakukannya dengan Lacuna dan kalian. Tidak ada yang lain."

""Berapa kali kamu melakukannya dengan Lacuna?"" Emir dan Inanna bertanya bersamaan.

Aku terdiam, mengalihkan pandangan. Aku tidak menghitung berapa kali melakukannya dengan Lacuna.

Aku melirik ke Emir dan Inanna. Melihatku yang terdiam dan mengalihkan pandangan, muka mereka semakin merah. Emosi mereka sudah mencapai ubun-ubun.

Di lain pihak, tidak ada respons atau apapun dari yang lain. Shu En, Mulisu, dan Yuan hanya terdiam di tempat mereka masing-masing.

"Bisa tolong kalian pergi sebentar?"

"Tidak! Mereka tidak perlu pergi!" Inanna menyela.

"Lugalgin Alhold, jawab! Berapa kali?"

Kalau aku menjawab, mereka pasti marah. Kalau tidak menjawab, mereka juga akan marah. Saat ini, aku berada di posisi yang serba salah. Apa aku harus berbohong dan menjawab hanya beberapa? Namun, aku mengurungkan niat ini.

Aku melihat titik air di ujung kelopak mata Emir dan Inanna. Kedua tangan mereka pun mengepal dan bergetar. Tampaknya, mereka berdua marah untuk menyembunyikan kesedihan yang dirasakan. Tampaknya, secara tidak langsung, aku sudah mengkhianati kepercayaan mereka. Aku tidak akan mengkhianati kepercayaan mereka lebih jauh lagi.

"Hah...." Aku menghela nafas berat. "Maaf, aku tidak bisa menjawabnya. Aku sendiri tidak yakin sudah melakukannya berapa kali dengan Lacuna."

Emir dan Inanna tidak merespons lagi. Mereka hanya terdiam dengan mulut tertutup rapat.

Aku melihat ke arah Mulisu dan yang lain dan menggerakkan kepala, meminta mereka pergi. Kali ini, Emir dan Inanna tidak melarang. Kami pun ditinggalkan di ruangan ini dengan pintu tertutup rapat.

Aku mendorong kursi ke belakang dan berdiri, mendatangi Emir dan Inanna. Emir dan Inanna sempat melangkah mundur, tapi aku terus maju dan meraih tangan mereka. Aku meraih Emir dengan tangan kanan dan Inanna dengan tangan kiri, menggenggam tangan mereka erat-erat. Tidak kusangka, tangan mereka bergetar begitu kuat.

Inanna dan Emir pasti sudah memendam perasaan ini cukup lama. Mungkin sejak pertama kali kami melakukannya. Aku mengaku bersalah karena mengabaikan pertanyaan mereka di pagi itu. Kalau aku menjawabnya saat itu juga, atau bercerita sebelum keceplosan semalam, mungkin mereka tidak akan sesedih ini.

Bahkan, Inanna yang seharusnya kalem menjadi seagresif ini menandakan kalau hal ini sudah membuatnya stres.

Ya, aku mengaku bersalah.

"Maafkan aku, Emir, Inanna."

Aku meletakkan tangan Emir dan Inanna di wajahku.

"Aku menyayangi kalian."

"Bohong!"

Hanya Emir yang menjawab. Inanna hanya terdiam, tapi air matanya mengalir semakin deras.

"Aku menyayangi kalian. Itu tidaklah bohong. Itu adalah sebuah fakta." Aku mencoba menenangkan Emir dan Inanna. "Aku minta maaf karena tidak menceritakan ini lebih awal. Aku benar-benar minta maaf."

Tidak terdengar respons sama sekali. Tangan mereka masih bergetar. Tampaknya kekecewaan mereka padaku sudah terlalu besar.

"Kalau kalian tidak sudi dengan laki-laki yang sudah meniduri wanita lain, aku tidak akan memaksa. Kalian bisa membatalkan rencana pernikahan kita sekarang juga. Aku tidak akan prot–"

"Tidak adil!" Inanna berteriak. "Kamu tidak adil Gin! Kamu yang memberi pilihan untuk membatalkan pernikahan kita, ketika aku sudah sangat menyayangimu, sangat tidak adil. Kamu tidak adil, gin."

Inanna terjatuh, berlutut. Dia pun menangis kencang. Akhirnya, sifatnya yang lunak kembali muncul. Karena tangan kirinya masih kupegang, dia berusaha mengusap air matanya hanya dengan tangan kanan. Aku bisa merasakan tangan Inanna yang menggenggamku semakin erat.

Ya. Aku tahu kalau aku sedang berlaku tidak adil. Seharusnya, aku mengatakan ini semua di awal, sebelum rasa sayang itu timbul.

"Gin," Emir memanggil.

"Ya?"

Meski tidak sederas Inanna, Emir juga menitikkan air mata.

"Apa kamu benar-benar menyayangi kami?"

"Ya, aku benar-benar menyayangi kami?"

"Lalu Lacuna?"

Jujur, aku tidak tahu harus menyebut hubunganku dengan Lacuna apa. Kalau aku mengatakan hanya sebatas guru dan murid, tidak mungkin. Tidak ada hubungan guru dan murid normal yang sampai melakukan hal itu. Apa aku menyayangi Lacuna? Kalau aku jawab tidak, juga sulit karena Lacuna bukan PSK. Kami melakukannya bukan atas dasar uang. Sayang? Entahlah.

"Apa kamu menyayangi Lacuna?"

"Jujur, aku bingung mau menjawab apa. Mungkin, istilah yang tepat adalah friends with benefits? Entahlah, aku tidak yakin. Saat itu hanya dia yang bisa menenangkanku. Maaf. Aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Aku–"

Belum sempat aku menjawab lebih lanjut, Emir melepaskan pegangan tanganku dan menerjang. Tanpa aba-aba, Emir mempertemukan bibirnya dengan bibirku. Dia menutup kedua matanya, membiarkan insting mengambil alih. Sebuah perasaan hangat dan lembut menjalar dengan halus melalui bibir kami. Nafasnya terasa lemah, lemas, sama sekali tidak menggebu-gebu. Perlahan, nafas kami seolah menjadi satu, seirama. Samar-samar, aku bisa merasakan bibir Emir yang manis.

Aku bisa merasakan kesedihan, kemarahan, kekecewaan, dan semua emosi lain yang dirasakan oleh Emir. Tanpa perlu berbicara, aku bisa memahami semua yang Emir rasakan.

Setelah beberapa waktu berlalu, Emir memisahkan bibirnya dariku. Sebuah benang perak menghubungkan bibir kami.

Aku tidak yakin berapa lama waktu berlalu. Dan aku tidak peduli.

"Maafkan aku," aku kembali meminta maaf.

"Tidak apa, aku memaafkan–"

Belum sempat Emir menyelesaikan kalimatnya, Inanna bangkit, melepas tanganku, dan mempertemukan bibir kami. Sama seperti Emir, Inanna juga memejamkan mata. Sebuah kehangatan dan kelembutan kembali menjalar ke seluruh tubuhku dari bibir. Bibir Inanna terasa lebih manis dan kenyal dari Emir.

Namun, perasaan yang kurasakan dari bibir Inanna cukup berbeda. Ciumannya terasa berat, seperti dipaksakan, seolah-olah Inanna ingin menguburkan semua rasa tidak percaya dan kesedihan yang muncul di benaknya. Inanna menekan bibirnya dengan kuat, memberi kesan putus asa.

Aku tidak melawan. Perlahan, bibir Inanna terasa semakin lemas dan lemah, tidak lagi menekan dengan kuat. Akhirnya, nafas kami menjadi serasi. Setelah beberapa saat, Inanna pun memisahkan bibir kami, membuatku dapat melihat ke wajahnya dengan jelas.

"Maafkan aku," Aku meminta maaf, lagi.

"Tidak apa. Aku memaafkanmu." Inanna menjawab dengan senyuman.

Emir dan Inanna memang sudah berhenti menangis, tapi air mata mereka masih menempel di wajah. Aku sangat ingin mengangkat tangan dan mengusap air mata mereka berdua. Namun, tanganku tidak mampu bergerak. Aku adalah sosok yang membuat mereka menangis. Aku merasa tangan ini tidak pantas mengusap air mata mereka.

""Gin,""

Inanna dan Emir mengangkat kedua tanganku dan meletakkannya di wajah mereka.

"Kami tahu kamu juga bingung. Ciuman yang barusan mengatakan semuanya." Emir menjelaskan.

"Kamu berhak mengusap air mata ini. Tidak," Inanna mengoreksi ucapannya. "Hanya kamu yang berhak mengusap air mata ini."

Aku menurut dan mengusap air mata Emir dan Inanna. Meski susah, mengusap air mata dengan satu tangan, aku berusaha sebaik mungkin.

Saat ini, entah mengapa, aku merasa sama sekali tidak ingin memisahkan tanganku dari wajah Inanna dan Emir walaupun hanya untuk mengusap air mata dengan lebih mudah. Kalau melakukannya, aku merasa tanganku tidak akan pernah bisa menyentuh wajah mereka yang lembut dan licin ini.

Akhirnya, dengan susah payah, aku berhasil mengusap air mata Inanna dan Emir. Mereka pun tersenyum dan memisahkan diri dari tanganku.

"Kamu tahu Gin, aku tahu kalau kami sudah memaafkanmu, tapi," Inanna terhenti.

Emir melanjutkan. "Apakah kami boleh melakukan satu hal lagi? Hanya agar lebih lega. Kamu tidak keberatan, kan?"

"Tentu saja tidak."

Bahkan kalau kalian ingin melakukan banyak hal, aku tidak akan menolak.

"Terima kasih." Emir tersenyum.

"Gertakkan gigimu dengan rapat."

Ah, sial.

Dua buah kepalan melayang tepat menuju wajahku. Kalau mau, sebenarnya, aku bisa saja menghindari tinju ini. Namun, aku tidak melakukannya. Aku menerima kepalan tangan Emir dan Inanna dengan sepenuh hati.

Tinju Emir dan Inanna sukses mengirimku melayang, terpelanting ke belakang. Aku pun terjebab di lantai. Pukulan Emir mendarat di mata kanan sedangkan Inanna di pipi kiri. Pukulan mereka keras sekali. Selain itu, aku menerima pukulan mereka dengan telak. Aku cukup yakin wajahku akan bengkak.

"Maaf ya Gin,"

"Kami hanya butuh sedikit pelampiasan."

Inanna dan Emir kembali meminta maaf.

Aku bangkit, duduk di atas lantai. "Tidak usah dipikirkan. Aku juga yang salah."

Tok tok

"Masuk...."

Emir menjawab dengan nada ceria. Tidak lagi terdengar nada marah atau kesedihan dari suaranya.

Aku mendengar suara pintu terbuka. Namun, aku tidak bisa melihat apakah Mulisu dan yang lain masuk atau hanya mengintip dari pintu.

"Maaf kalau mengganggu, aku ada berita dari Jin."

Bersambung

===========================================================

Halo semuanya. Ngomong-ngomong, author sama sekali tidak mengira chapter ini akan begitu panjang. Di chapter ini, author ingin memunculkan masalah dari Lugalgin yang keceplosan saat mengobrol dengan Ukin. Hahaha, Ukin benar-benar membawa cukup banyak masalah ke hidup Lugalgin.

Dan, author tidak menyangka adegan ciuman malah mendapatkan jatah pargaraf yang lebih banyak dibandingkan ***. Hahaha. Yah, sudahlah.

ini ada catatan tambahan mengenai friend with benefits. Pada dasarnya, friends with benefits adalah dua orang yang saling mempercayai satu sama lain hingga berani melakukan hubungan tanpa ada kekhawatiran menyakiti perasaan pihak yang lain. Jangan ditiru ya :D

Seperti biasa. Author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜 / QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri. Atau bisa juga kalian search twitternya. User Id artisnya @QYSThree

Dan, ini ada sebuah endcard dari pokarii, sebuah ucapan terima kasih dari Emir dan Inanna