"Hahaha! Ayo, Mulisu! Hibur aku! Apa hanya segini kemampuanmu? Dalam beberapa tahun ini, tampaknya, hanya aku yang bertambah kuat. Kalian tidak ada perubahan."
"Benarkah?"
Aku melepas jubahku dan melemparkannya ke arah Ukin. Pada beberapa tempat, jubahku terpasang logam sehingga lebih mudah untukku melemparnya. Dan, karena jubah itu terbuat dari kevlar, dia tidak bisa memotong dengan mudah. Jubah itu tersangkut di pedangnya.
Kini, aku hanya mengenakan celana pendek di atas pakaian igni.
"Kita pergi dari sini!"
Beberapa lipan datang melalui jendela, memecahkan kaca. Sementara dua lipan melilit Illuvia dan Nerva, aku menaiki satu lipan.
"AAHHH."
Maaf, Illuvia. Aku tahu bahumu sakit, tapi aku tidak ada waktu untuk memperlakukanmu dengan lembut.
Lipan yang melilit mereka berdua tidak memiliki bagian tajam, hanya bagian tumpul. Sementara kami pergi, beberapa lipan menuju ke arah Ukin.
"Dasar bodoh!"
Ukin mengangkat tangan kanannya, meluncurkan beberapa pedang yang menembus lipan-lipan logam itu, menancapkan mereka di lantai dan langit-langit.
"Berapa kali kamu mau mencoba, lipan-lipan ini tidak akan bisa menghentikanku."
"Tapi, jubah itu bisa."
"Hah?"
Aku mengambil sebuah tombol dari saku dan menekannya.
Blarr.
Aku meletakkan beberapa granat dengan kekuatan ledakan yang kukecilkan. Aku tidak mau menghancurkan rumah sakit ini. Alasan lain adalah, meskipun aku menggunakan granat dengan ledakan normal, ledakan itu tidak akan cukup untuk membunuh Ukin.
Dan, dugaanku benar. Sebuah sosok muncul dari dalam asap. Jubah dan topengnya sudah hancur, menunjukkan sosok dengan celana kargo dan jaket pilot. Akhirnya, sudah lama sekali aku tidak melihat wajah itu. Sebuah rambut pirang bergelombang dengan mata biru setajam silet. Walaupun baru menerima ledakan, senyum tidak kunjung hilang dari wajahnya.
"Hahahaha. Sudah sekian lama aku tidak merasakan sensasi ini! Di kota ini, di negeri ini, memang hanya kamu dan Lugalgin yang mampu memberikan sensasi ini padaku!"
Ketika mendengar nama Lugalgin, Nerva dan Illuvia langsung melempar pandangan ke arahku. Tadi, kami mengobrol di luar, jadi aku yakin mereka tidak mendengar percakapan kami. Namun, kini, ya sudahlah. Maafkan aku Lugalgin. Aku membuat identitasmu terungkap pada dua orang ini.
Kami pergi menaiki lipan yang melayang. Namun, Ukin terus mengejar kami. Di pakaian dan sepatunya, pasti dia meletakkan logam yang bisa dikendalikan. Saat ini, kami bergerak lebih cepat dari mobil.
Aku mengambil dua pedang dari kaki lipan yang kunaiki sementara pedang ular aku pasang di salah satu kaki. Beberapa kali Ukin mencapaiku dan pedang kami saling bertukar serangan. Ketika dia mundur, beberapa pedang dan pisau langsung meluncur ke arahku. Aku mampu menangkis senjata yang mengarah padaku, tapi sebagai gantinya pedang yang kugunakan pun hancur bersama pedang yang dia luncurkan.
Aku pun mengambil pedang lain dan menghadapi Ukin lagi. Kalau begini terus, aku akan kehabisan pedang. Di lain pihak, Ukin hanya perlu menggunakan patahan pedang atau pisau untuk menyerangku.
Bagiku, sulit untuk bisa menahan Ukin sambil mengendalikan tiga lipan yang membawa kami.
Namun, aku selalu mencamkan ucapan Lacuna.
"Dalam keadaan normal, kamu memang lebih lemah dari Ukin dan tidak sepintar Lugalgin. Tapi, kamu lebih kuat dari Lugalgin dan lebih pintar dari Ukin. Jadi, kamu tidak perlu berkecil hati."
Aku tidak peduli kalau aku lebih bodoh atau lebih kuat dari Lugalgin. Yang menjadi targetku selalu Ukin. Dia bisa memorak-porandakan semua usahaku selama bertahun-tahun ini. Aku tidak akan mengecewakan Tasha.
Akhirnya, kami pun memasuki jalan tol. Aku menekan tombol di dekat leherku dan berbicara.
"Ibla, sekarang!"
[Baik!]
Dar
Beton jalan di samping Ukin meledak.
[APA? DIA BISA MENGHINDARI SENAPAN ANTI TANK? PADAHAL AKU TIDAK MENGGUNAKAN LASER ATAU APAPUN!]
Jangan berteriak. Telingaku sakit mendengar teriakanmu.
Ukin kembali mencapaiku dan kami kembali bertukar serangan.
"Kamu sudah mempelajari pengendalian timah, ya?"
"Meski aku tidak bisa menghentikan peluru atau memantulkannya, setidaknya aku bisa merasakannya datang."
"Ukin yang dulu tidak akan pernah mau mengendalikan material lain."
"Sayangnya, Ukin itu sudah berubah."
"Kalau kita masih rekan, mungkin aku akan senang. Sayangnya, sekarang kita bukan rekan."
"Benar sekali!"
Ukin melompat ke belakang dan meluncurkan dua pedang. Dua pedang yang kupegang pun hancur bersama dengan pedang yang dia luncurkan.
Aku pun mengambil pedang ularku, pedang terakhir yang ada. Namun, senyum masih terkembang di wajahku.
Dar Dar Dar
Beton terus menerus meledak di dekat Ukin, membuat gerakannya terhambat. Bukan hanya beton, beberapa peluru sengaja mengarah ke pedang Ukin.
"Hahahaha! Kamu tidak akan pernah bisa menyarangkan peluru itu di kepalaku!"
"Ya, benar sekali. Sayangnya, targetku bukanlah kepalamu."
"Hah?"
Di saat itu, tiba-tiba saja Ukin terjatuh dan menggelundung di atas jalan. Bukan hanya Ukin, pedang dan proyektil yang dikendalikannya pun terjatuh ke tanah.
Aku memfokuskan konsentrasi pada pengendalian lipan, meningkatkan kecepatan. Dan, akhirnya, kami pun dapat memisahkan diri dari Ukin. Begitu sosok Ukin tidak lagi terlihat, aku pun bisa bernafas lega dan duduk di atas lipan.
Aku membiarkan semua pedangku dihancurkan oleh Ukin. Sebagian besar dari pedang-pedang itu terbuat dari tembaga. Ketika Ukin menghancurkannya, aku membuat tembaga menempel di pedang yang dia kendalikan. Ketika kami saling bertukar serangan, aku pun melakukan hal yang sama.
Saat dia melompat mundur, aku meletakkan beberapa tembaga di tempat dia mendarat, membuat tembaga menempel di sol sepatunya. Ketika tembaga yang menempel sudah cukup banyak, aku pun langsung meningkatkan suhu semua tembaga itu, membuat senjata dan sol sepatu Ukin menjadi alloy, bukan logam lagi.
Mungkin Ukin sudah bisa mengendalikan Alloy, tapi perubahan yang mendadak, apalagi ketika dia berlari seperti tadi, membuat dia tidak bisa langsung mengendalikannya. Sebagai efek, karena dia berlari terlalu cepat, dia pun terjatuh.
"Agh...."
Klang klang klang
Sial. Tampaknya aku terlalu cepat senang. Tanpa aku duga, tampaknya, dia melemparkan sebuah tombak dengan cepat. Jika tombak itu bisa menancap atau menghancurkan logam, apalah dadaku yang hanya daging dan tulang.
Karena dadaku sudah ditembus tombak, pengendalianku pun menghilang. Lipan yang membawa kami semua berserakan di jalan.
[MULISU! MULISU!]
Ibla, sudah kubilang jangan berteriak. Headset ini menempel di telingaku, tahu. Tanpa aku mengatakannya, tampaknya dia menurut. Perlahan, aku tidak mendengar teriakannya lagi.
Ah, entah kenapa. Aku merasa tiba-tiba mengantuk. Aku jadi ingin tidur.
"HEI! HEI! JANGAN TUTUP MATAMU! HEI!"
Selamat malam
***
"Jadi, apa rencanamu setelah ini?"
"Rencana? Setelah ini? Maksud ayah?"
Aku belum jelas apa yang ayah tanyakan. Apa mengenai Emir? Atau Inanna? Atau rencanaku setelah mulai bekerja? Ya, aku hanya mengatakan pada ayah, ibu, dan Ninlil kalau aku bekerja sebagai konsultan keamanan kerajaan sih, yang kebetulan kantornya ada di Haria? Atau pertanyaan yang lain?
"Bukan. Maksudku, apa yang akan kamu lakukan setelah kamu membangkitkan Agade kembali."
"....Ah..., maaf. Apa maksud ayah?"
"Sudah, tidak usah berpura-pura. Kamu memang pintar. Aku sadar karena aku dan ibumu juga pintar. Tidak mungkin kami melahirkan anak yang tidak pintar."
Wow, percaya diri sekali ayah. Ah, tidak. Ini bukan waktunya memikirkan tentang kepercayaan diri ayah.
"Kembali ke pertanyaanku, apa yang kamu rencanakan, mengingat kamu sudah membangkitkan Agade."
Aku terdiam.
"Gin, kamu tidak benar-benar berpikir kalau ayah dan ibumu tidak tahu, kan? Kamu pikir kami percaya ketika kamu pulang pagi atau tidak pulang dengan alasan menginap di rumah teman atau berlibur ke luar kota? Kamu pikir, kenapa kami membiarkanmu ketika kamu pulang di pagi hari sebelum battle royale? Kami tahu kalau kamu bertemu dengan Emir saat itu."
Meski selama ini aku memiliki perasaan ayah dan ibu MUNGKIN tahu mengenai aktivitasku, tapi aku tidak pernah benar-benar menanyakannya. Dan, aku berdoa dan berharap ayah dan ibu tidak tahu. Sayangnya, doa dan harapanku tidak menjadi kenyataan.
Mengingat identitas ayah dan ibu, hal ini seharusnya normal, dan seharusnya aku tidak terkejut. Namun, tetap saja, aku tidak bisa benar-benar tenang.
"Sebelum aku menjawab, aku ingin bertanya dulu pada ayah. Sejauh mana ayah mengetahui aktivitasku di pasar gelap."
"Bagaimana kalau aku bilang SEMUA?"
Ahh....
"Se-semua?"
"Mulai dari kamu menjadi murid Lacuna, menjadi mercenary, mendirikan Agade, membantai keluarga Cleinhad, lalu berhenti, menjadi pedagang barang antik, lalu–"
"Baik, baik, aku paham. Aku paham."
Aku menduga kalau ayah tahu kegiatanku. Namun, aku sama sekali tidak menduga kalau dia tahu sebanyak itu. Apa dia menugaskan mata-mata untuk mengikutiku? Tapi aku tidak pernah merasakan ada mata-mata atau pandangan ke arahku.
"Atau perlu aku sebutkan juga kehidupanmu sebelum terjun di pasar gelap? Mulai suka berkelahi, belajar bela diri secara otodidak, dan juga ketika kamu rutin mengunjungi panti asuhan itu?"
Aku terdiam ketika ayah menyebutkan hal yang terakhir. Dari semuanya, hal itu adalah satu-satunya yang paling tidak kuduga. Di saat itu, pikiranku terasa berhenti. Tanpa keinginanku, mulutku terbuka dengan sendirinya.
"Jadi, ayah tahu tentang Tasha?"
"Ya, ayah tahu. Dan, ayah meminta maaf karena ayah terlambat untuk melakukan sesuatu saat itu."
"Terlambat? Apa yang ayah maksud polisi-polisi korup yang memintaku bungkam soal panti asuhan dan Tasha?"
"Sebenarnya, mereka bukan polisi. Mereka adalah orang-orang yang aku suruh untuk menghentikan keluarga Cleinhad sebelum mencapai panti asuhan itu. Namun, seperti yang kamu ketahui, mereka terlambat."
"Lalu kenapa mereka memintaku bungkam?"
"Kalau kamu tidak bungkam, memangnya ada yang akan mendengarkanmu?"
Aku tidak mampu memberi jawaban.
"Kalau kamu tidak bungkam, keluarga Cleinhad lah yang akan membungkammu. Dan, yang aku maksud bungkam, adalah membunuhmu."
Aku menenggak isi kaleng ini, mencoba mendinginkan kepala dengan bir dingin. Dan, untungnya, berhasil. Aku kembali mendapatkan kemampuanku untuk berpikir. Cukup ironis, dimana seharusnya bir membuat orang melupakan semuanya justru saat ini membantuku berpikir.
Ucapan ayah memang benar. Kalau orang-orang itu tidak memintaku bungkam, aku pasti sudah dibungkam oleh keluarga Cleinhad. Dan, seperti ucapanku, mereka meminta. Mereka tidak memaksa. Dan, sebenarnya, saat itu aku juga sadar kalau permintaan mereka adalah demi kebaikanku. Namun, tetap saja, entahlah, emosiku merasa ingin meledak.
"Jadi, aku juga tidak perlu bertanya kalau ayah tahu mengenai kekuatanku, kan?"
"Maksudmu penghilang pengendalianmu? Tentu saja? Ayah sudah membesarkanmu hampir selama 18 tahun, 19 tahun dua bulan lagi. Tentu saja ayah tahu."
Ya, sebenarnya aku tidak terlalu peduli juga sih mengenai kekuatanku.
"Apa Ninlil juga mengetahui kegiatanku?"
"Kami tidak yakin. Meski aku ingin bilang tidak, tapi aku tidak bisa menutup kemungkinan dia tahu. Maksudku, di tubuh Ninlil juga mengalir darah Alhold dan darah ibumu."
Darah Alhold dan darah ibu?
"Aku juga tahu mengenai cerita mengenai asal-usul keluarga Alhold. Bukan hanya aku, semua kepala keluarga sebelum aku pun mengetahuinya. Menurutmu kenapa kakekmu begitu membencimu?"
"Karena dia belum mau memberikan kekuasaan dan kekuatan keluarga Alhold padaku?"
"Ya, benar sekali. Dugaanmu benar-benar tajam. Darah Alhold memang benar-benar mengalir di tubuhmu." Ayah menenggak bir lagi. "Keluarga Alhold adalah keluarga yang tidak mau repot dan tidak mau disorot publik, dibuktikan dari proses pemilihan Raja zaman dulu. Dan, kami semua, akan menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Bahkan, berkat kamu, Ufia mulai melakukan hal yang sama. Kamu pikir kenapa dia begitu cepat berubah?"
Ah, aku mengerti maksud ayah. Kalau aku tidak melatih Ufia, dia hanya akan menjadi Regal Knight, tidak akan pernah mampu menjadi agen schneider. Dan, setelah aku melatihnya, yaitu untuk menghalalkan segala cara agar bisa bertahan sebagai agen schneider, insting Ufia sebagai keluarga Alhold pun bangkit. Berlaku curang dan licik sudah ada dalam darah Ufia.
"Dan, itu adalah penyebab kakek mencuci otak semua anggota keluarga, membuat masa kecilku suram."
Meski ayah dan ibu sudah mencoba mengurangi kesengsaraanku di masa kecil dengan keluar dari keluarga, sayangnya, keluarga Alhold ada dimana-mana. Di masa SD dan SMP, mereka selalu berhasil membuat siswa lain untuk membullyku. Karena hal ini, SD dan SMP ku selalu terpisah menjadi dua kubu, kubu yang bersamaku dan kubu yang bersama keluarga Alhold lain.
Ketika mengingat masa itu, rasanya konyol juga menyeret satu sekolah hanya karena masalah keluarga. Ya, setidaknya hal itu tidak terjadi ketika aku SMA karena keluarga Alhold tidak ada yang satu SMA denganku.
Berkat semua itu, aku menjadi peka terhadap kehadiran orang lain. Tanpa perlu mereka memancarkan aura haus darah, niat membunuh, atau bahkan niat buruk, aku mampu mengetahui keberadaan mereka. Kepekaan itu hadir karena aku terus hidup dalam lingkungan penuh dengan ancaman, bahkan hingga membuat tulangku retak dan patah.
"Menurutmu kenapa aku memilih menjadi dokter sementara ibumu yang menangani semua uang dan perusahaan? Karena aku Alhold."
Ya, aku sudah bisa menduganya sih. Namun, daripada itu semua, aku ingin mencari tahu satu hal.
"Ayah dan ibu tidak marah atau membenciku karena aku membantai keluarga Cleinhad?"
Kali ini, ganti ayah yang terdiam. Aku terus menenggak bir, yang tanpa aku sadari sudah habis. Aku pun meletakkan kaleng kosong ini dan mengambil air mineral dari kulkas, lalu kembali ke beranda.
"Jadi?"
"Jujur, untuk masalah kamu membantai keluarga Cleinhad, ayah dan ibumu masih bingung. Kami tidak tahu harus bereaksi seperti apa."
"Bingung?"
"Meski kami tahu apa yang dilakukan keluarga Cleinhad salah, tapi tidak bisa dipungkiri metode yang mereka gunakan mampu menekan angka kriminalitas. Dan setelah kamu membantai mereka, angka kriminalitas meningkat hingga tiga kali lipat. Jadi, kami bingung."
"Kriminalitas ya...." aku menarik nafas sejenak. "Apa tingkat kriminalitas itu juga termasuk yang dilakukan oleh Akadia?"
Ketika aku mengatakannya, suara kaleng diremas pun terdengar. Aku tidak memedulikan respon ayah dan meneruskan ucapanku.
"Ayah mengetahui semua aktivitas dan kegiatanku. Lalu, apa yang membuat ayah berpikir kalau aku tidak mengetahui aktivitas dan kegiatan Ayah dan Ibu di pasar gelap? Apa yang membuat ayah berpikir aku tidak tahu kalau ibu adalah pendiri sekaligus pendiri Akadia, satu dari enam pilar?"
Tanpa perlu ayah mengatakannya, aku sudah tahu. Alasan sebenarnya kenapa ayah menanyakan rencanaku adalah karena dia tidak ingin Akadia dan Agade berseteru. Dengan kata lain, dia tidak mau aku dan ibu berseteru di pasar gelap. Namun, tampaknya, aku tidak bisa memenuhi keinginan itu.
"Sebenarnya, rencanaku membangkitkan Agade hanya untuk membantu pekerjaanku sebagai kepala intelijen sekaligus mencari inkompeten lain untuk menggantikanku. Namun, kurasa, aku bisa menghilangkan sumber kebingungan ayah yang adalah angka kriminalitas tinggi."
"Maksudmu?"
"Ayah bingung karena setelah keluarga Cleinhad kubantai, angka kriminalitas menjadi sangat tinggi, kan? Menurutku, cara paling efisien untuk membasmi kriminalitas adalah membersihkan sumbernya, yang adalah organisasi pasar gelap dan mafia."
"Gin, tidak jangan katakan."
Aku berdiri dari kursi dan menyandar ke balkon, memandang ayah.
"Jangan khawatir. Aku akan bertanggung jawab dengan meredam angka kriminalitas. Bagaimana caranya? Mudah saja. Aku tinggal membasmi semua organisasi pasar gelap dan mafia yang ada di kerajaan ini, yang adalah sumber kriminalitas. Dan, tidak terkecuali, Akadia."
Bersambung