Chereads / I am No King / Chapter 40 - Arc 3 Ch 10 - Kawan Lama

Chapter 40 - Arc 3 Ch 10 - Kawan Lama

Minggu ini, spesial agak panjang (secara jumlah kata sih XD). Kalau sempat, akhir minggu ini author akan posting ilustrasi tokoh yang muncul dalam beberapa chapter terakhir. dan seperti biasa, no male ilustration. 

=====================================================================

Agen schneider yang lain akhirnya datang, memberi kesempatan untukku dan yang lain pergi. Setelah dipaksa oleh Mulisu, setidaknya, Adini mendapatkan dua temuan di lantai dua, yaitu kasur masih rapi, tidak terlihat tanda-tanda digunakan, dan ada beberapa titik yang bebas debu di atas meja yang menghadap jendela, bekas tripod atau semacamnya.

Sementara mereka melanjutkan penyelidikan, kami kembali.

"Jadi, kapan kamu mau menjelaskannya ke mereka?"

Ah iya. Aku hampir lupa kalau aku masih ada hutang penjelasan ke Inanna dan Emir. Aku melihat ke dua calon istriku ini dan mendapati pandangan mereka sudah melekat di tubuhku.

Matahari sudah naik, tapi masih belum tengah hari.

"Mulisu, kapan mereka bisa berkumpul?"

"Siang ini juga, jam 1, kalau kamu mau."

"Hmm.... jam 1 ya."

Aku terdiam sejenak, mencoba memikirkan jalan terbaik. Meskipun aku hanya bercerita, tanpa menunjukkannya, aku yakin Inanna dan Emir akan memercayai semua ucapanku. Tapi, apa itu cukup? Apa aku akan merasa puas hanya dengan bercerita?

"Gin, kamu mulai menyeringai."

"Apa yang kamu pikirkan?"

Inanna dan Emir menegurku yang tanpa sadar sudah menyeringai. Hahaha, kalau di depan orang yang sudah kupercaya, terkadang, ekspresiku bisa lepas dan kendur dengan sendirinya. Ninlil, ayah, dan ibu juga terkadang menegurku seperti yang mereka lakukan. Ya, sudahlah.

"Baiklah, kalau begitu." Aku sudah memutuskan. "Mulisu, kumpulkan mereka semua siang ini juga. Aku mau menjelaskan kondisi kita pada mereka sekalian memperkenalkan Emir dan Inanna."

Tampaknya, bukan hanya aku yang memiliki kebiasaan jelek tiba-tiba menyeringai. Mulisu juga sama.

"Baiklah. Kamu tahu kan lokasinya?"

"Aku belum setua itu untuk melupakannya."

"Oke."

Dalam waktu sekejap, Mulisu sudah tidak tampak lagi.

Aku terdiam sejenak dan melihat ke arah Inanna dan Emir. Jika aku memandang mata mereka dalam-dalam, aku bisa melihat mata mereka yang penasaran, menginginkan penjelasan secepat mungkin. Tapi, kalian harus bersabar ya.

"Kalian berdua, siapkan senjata terbaik kalian."

***

Setelah makan siang, kami bersiap meninggalkan rumah. Emir dan Inanna sudah di luar dan aku mengunci pintu.

Sesuai ucapanku, Emir dan Inanna sudah menyiapkan senjata terbaik mereka. Emir mengenakan pakaian igni, celana kargo, dan rompi tebal. Dia mengubah Krat menjadi sebuah pelindung tangan, kaki dan dada. Selain di badan, sebuah tas punggung juga terlihat di punggung Emir. Dia bilang itu juga Krat.

Pakaian Inanna bisa dibilang sama dengan Emir, yang membedakan adalah tema warna Emir adalah merah dengan garis hitam sedangkan Inanna adalah hitam dengan garis hijau. Aku sudah memeriksa pakaian Inanna dan mendapati pada setiap saku di celana dan rompinya terdapat 10 proyektil kecil. Total 120 proyektil kecil. Selain di saku, dia juga membawa sebanyak 20 proyektil yang diletakkan di dalam tas gitar besar. Setidaknya, masing-masing proyektil memiliki panjang 1 meter.

"Ayo, berangkat."

"Ayo." Emir dan Inanna menjawab bersamaan.

Kami berjalan menuju halte terdekat dan naik bus. Bus ini sepi, tidak seperti biasanya yang ramai. Beberapa menit berlalu. Lima belas menit berlalu. Mereka berdua tidak mengatakan apapun. Apa mereka gugup? Ya, mungkin saja.

"Ung, ngomong-ngomong, Gin, apa kita tidak salah naik bus?"

Jadi, Inanna adalah yang pertama menyadarinya ya.

"Emir, bagaimana menurutmu?" Inanna bertanya.

"Ucapan Inanna benar." Emir melihat ke sekeliling. "Dari tadi, bus ini tidak berhenti di satu pun halte dan juga tidak terlihat ada penumpang lain. Apa mungkin?"

"Jangan khawatir." Aku menghentikan Emir dan Inanna sebelum mereka meningkatkan kesiagaan. "Bus ini akan mengantar kita ke lokasi pertemuan. Setelah terowongan, di sisi lain gunung."

"Eh?"

"Hei, Lugalgin."

Sebuah suara yang familier, untukku, terdengar dari kursi pengemudi.

Di lain pihak, suara ini adalah asing untuk Inanna dan Emir. Mereka pun siaga ketika pengemudi itu memanggilku.

"Ya, Ibla, ada apa?"

"Apa mereka berdua adalah calon istrimu yang dikabarkan itu?"

Kami berdua saling berbincang tanpa melihat satu sama lain. Aku masih melihat ke Inanna dan Emir yang duduk di seberang dan aku yakin Ibla tidak melihat ke belakang.

"Yup, mereka adalah calon istriku."

"Heh..... Hei Lugalgin," Ibla membawa topik pembicaraan baru. "Menurutmu, mereka ada di urutan berapa?"

"Hmm....."

Aku terdiam sejenak, berpikir, mencoba memunculkan semua informasi yang pernah kukumpulkan. Setelah berpikir sejenak, aku pun muncul dengan sebuah jawaban.

"Untuk Emir, mungkin di bawahmu karena seingatku dia belum bisa menahan rasa haus darah dan niat membunuh. Untuk Inanna, aku rasa dia setara dengan Simurrum atau Uru'a."

"Heh, hebat juga si Inanna itu. Di lain pihak, si Emir itu terlalu lemah."

"Ya, mau bagaimana lagi. Kerajaan ini sedang kacau-kacaunya."

"Hahaha. Dan, menurutmu, salah siapa kerajaan ini menjadi kacau?"

"Salah semua pihak?"

"Haha, benar-benar jawaban yang mencari aman. Ternyata, kekhasanmu masih belum hilang."

Setelah itu, kami kembali terdiam. Emir dan Inanna terus melempar pandangan pada Ibla. Aku tidak terlalu memedulikan mereka berdua yang tidak berkata apapun. Aku lebih memilih melihat keluar jendela.

Sudah berapa lama ya aku tidak melihat pemandangan ini. Dua tahun? Atau lebih? Entahlah. Aku tidak yakin. Namun, tidak banyak perubahan yang terjadi. Sawah masih terhampar sejauh mata memandang. Sungai terus menemani jalan tanpa henti.

Akhirnya, setelah sepuluh menit berlalu, kami berhenti. Bus ini berhenti di sebuah halte yang bisa dibilang ringsek. Kami bertiga turun terlebih dahulu, lalu Ibla ikut turun.

"Perkenalkan, namaku adalah Ibla. Bisa dibilang aku adalah rekan Lugalgin."

Ibla, seorang laki-laki sipit dengan rambut coklat panjang dikepang seperti ekor. Bagian depan rambutnya tidak hilang seperti yang ada di film-film oriental, tapi masih menyisakan poni. Saat ini, dia mengenakan seragam pengemudi bus.

"Hah? Rekan? Jangan bercanda. Kamu ada di peringkat terakhir. Kamu tidak berhak memanggil dirimu sebagai rekan Lugalgin."

Suara lain, yang familier untukku, muncul. Di samping halte, aku melihat sorang perempuan berdada rata dengan wajah yang cukup jelita. Mata hijaunya tampak senada dengan rambut pendeknya yang disemir hijau tua. Perempuan ini bernama Yarmuti. Dia mengenakan kaos biru belang-belang dan celana jeans hingga atas lutut.

"Jangan begitu, Yarmuti," Ibla mencoba membujuk Yarmuti. "Aku dengar dari Lugalgin, kemungkinan Tuan Putri Emir akan memiliki peringkat di bawahku. "

"Ma, maaf, aku sudah bukan tuan putri lagi."

"Hmm?"

Yarmuti langsung datang, mendekat ke Emir. Dia menatap Emir dalam-dalam, menginspeksi semua lekuk dan bentuk tubuh Emir.

Di lain pihak, Emir hanya bisa berdiri membatu, tidak merespon apapun.

Tidak lama kemudian, Yarmuti tersenyum.

"Sayang sekali Ibla. Menurutku, posisimu sebagai juru kunci tidak akan berubah."

"Eh?"

"Dan, lalu, untuk perempuan yang itu," Yarmuti menunduk Inanna dengan jempol. "Setidaknya, mungkin, dia akan berada pada level Simurrum."

"Eh? Tapi Lugalgin bilang–"

"Lugalgin pasti bilang si rambut merah ini di bawahmu dan si rambut hitam setara dengan Simurrum atau Uru'a, kan? Untuk si rambut hitam ini, aku cukup setuju. Tapi, untuk si rambut merah ini, tidak. Dia lebih baik daripada itu." Yarmuti melihat ke arahku. "Bagaimana menurutmu, Lugalgin?"

Bukan hanya Yarmuti, tapi Ibla, Inanna, dan Emir juga melihat ke arahku. Mereka semua menantikan respon dan konfirmasi dariku.

"Ayo, sambil jalan saja."

Aku berputar dan melangkah. Aku bisa mendengar langkah kaki mereka yang berjalan mengikuti.

Tidak seorang pun mengeluarkan suara. Tampaknya, mereka menunggu jawabanku.

"Aku tidak menyangkal penilaian Yarmuti. Aku membuat asumsi berdasar pengetahuanku terhadap Emir. Dan, terakhir kali aku mendengar dia bertarung adalah beberapa bulan yang lalu, sebelum kami berangkat ke Mariander."

Kami berbelok, menaiki tangga yang terbuat dari batu yang disusun, tanpa semen. Berkat pohon tinggi di kanan dan kiri tangga, kami tidak kepanasan.

"Di lain pihak, insting Yarmuti jauh lebih kuat dibanding milikku. Menurutku, kalau dalam hal menilai seseorang, dia akan memberikan hasil yang lebih akurat dariku."

"Eh? Jadi, jadi,"

"Maaf, Ibla," aku menyela. "Tampaknya kamu masih menjadi juru kunci."

"Yahh..."

"Tu, kan, sudah kubilang."

Aku melihat ke belakang, ke arah Ibla yang menggantungkan kepala. Di sebelahnya, Yarmuti memukul-mukul punggung Ibla dengan keras.

Aku mengalihkan pandangan ke Inanna dan Emir. Sejak tiba, mereka belum mengatakan apapun.

"Apa kalian gugup?"

"Eh, ah, mungkin." Inanna menjawab.

"Apa kalian mengerti apa yang kami bicarakan?"

"Kekuatan kami?" Emir menjawab sekaligus menjawab kembali.

"Yap, tepat sekali." Aku kembali mengarahkan pandangan ke depan. "Setelah ini, kalian akan bertemu dengan semua rekanku dan Mulisu. Ibla dan Yarmuti di belakang kalian adalah salah duanya. Termasuk aku dan Mulisu, total ada 11 orang di kelompok kami."

"Dan, dengan kami masuk, akan menjadi 13 orang."

Aku hanya tersenyum kecil merespon ucapan Emir.

Tidak lama kemudian, kami tiba di puncak. Di depan, terlihat sebuah bangunan besar. Bukan mansion, bukan vila, bukan juga kuil, tapi sebuah gudang.

Tanpa mengatakan apa pun, kami masuk. Secara sekilas, bagian dalam bangunan ini tampak seperti ruang ganti olahraga, penuh dengan lemari yang dibagi menjadi empat lorong memanjang. Kami pergi ke lorong pertama dari kiri, lorong terdekat dari pintu masuk, dan berjalan menuju belakang ruangan.

Aku berhenti di salah satu lemari. "Ibla, Yarmuti, antar mereka ke belakang. Aku mau sendirian untuk sebentar."

"Baik."

Ibla dan Yarmuti menjawab bersamaan.

Emir dan Inanna terus melekatkan pandangan kepadaku. Aku bisa merasakan rasa iba dari pandangan mereka. Apa wajahku membuat ekspresi yang patut diberi iba? Mungkin.

Namun, akhirnya, mereka pergi.

Aku berdiri, terdiam di depan pintu lemari setinggi dua setengah meter dan lebar setengah meter. Aku tidak pernah menduga kalau aku akan berdiri kembali di depan lemari ini.

Aku membuka lemari, di belakang pintu lemari, terikat sebuah cincin giok yang dibingkai dengan perak bermotif. Aku tidak ingat mengikat cincin ini dan menjadikannya kalung. Ini pasti ulah mereka. Ya, aku tidak menyalahkan mereka sih. Kalung ini pun kugantungkan di leher dan aku mengambil benda lain yang ada di dalam lemari.

Sebuah tombak sepanjang dua setengah meter berwarna hitam dengan garis biru berpindah ke tanganku. Di bagian ujung, terlihat tiga mata tombak terpasang. Satu mata berupa pisau berbentuk segitiga. Di bawah mata tombak pertama, di kanan dan kiri, terpasang mata tombak yang melengkung. Ketiga mata tombak itu memakan tempat sebanyak 40 cm dari dua setengah meter panjang tombak dengan lebar hanya satu jengkal.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Baiklah.

Aku pun menutup pintu lemari.

Klang

Eh? Kok, suaranya. Aku mencoba membuka beberapa lemari lain dan dugaanku benar. Lemari lain kosong. Ya, keputusan mereka sudah tepat.

Aku menjejakkan kaki menuju belakang gedung. Tidak lama, aku tiba di sebuah halaman yang dikelilingi oleh dinding setinggi empat meter dengan kawat berduri pada bagian atas. Kalau orang melihat tempat ini dari luar, pasti mereka mengira tempat ini adalah penjara.

Di halaman, terlihat tujuh orang selain empat orang yang datang bersamaku. Posisi berdiri mereka adalah Emir dan Inanna ada di tengah, empat orang di kiriku, dan lima orang di kanan.

Ibla dan Yarmuti berada di kiri. Di sebelah Yarmuti, ada Uru'a dan Simurrum.

Urua memiliki rambut coklat dan mata coklat, generik. Model rambutnya berdiri dan disisir ke belakang. Kalau kamu melihatnya, kamu akan menyadari dia mirip dengan berandal yang bisa ditemukan di gang-gang kota apalagi dengan celana jeans dan jaket kulitnya itu. Ah, intinya menarik perhatian lah.

Untuk Simurrum, rambutnya dipotong pendek dan disemir dengan warna merah, warnanya jadi seperti rambut Emir. Untung dia tidak mengenakan lensa kontak, jadi matanya masih terlihat coklat. Namun, dengan kaos dan rompi tanpa lengan, orang akan menganggap dia sebagai berandal. Dan ya, Simurrum dan Urua sering pergi bersama. Oleh karenanya, kesamaan jenis pakaian mereka pun tidak terhindarkan.

Di sebelah kanan, dari yang paling jauh, ada Mari, Elam, Umma, Ninmar, dan Ur. Mari memiliki potongan rambut bob pendek berwarna putih. Perempuan ini memiliki tubuh yang mungil dan wajah yang muda, baby face. Dia mengenakan baju militer yang bagian bawahnya adalah rok mini. Jangan tanyakan kenapa rambutnya sudah putih. Dia membenci pertanyaan itu.

Elam adalah laki-laki dengan tubuh yang macho dan besar. Bahkan, jaket dan celana kargonya tidak mampu menutupi ototnya yang bengkak. Rambut hitamnya hanya berada di tengah, di kanan kiri botak.

Di sebelahnya, ada Umma. Hal pertama yang akan kalian adalah rambut panjangnya yang entah warnanya merah atau coklat, bercampur. Bukan hanya rambut, matanya pun berbeda. Di kanan merah, di kiri coklat tua. Namun, tidak dapat dilupakan juga kalau dia memiliki ukuran dada yang besar untuk tubuh langsingnya itu. Untuk beberapa orang, mereka baru akan menyadari rambut Umma belakangan. Dia mengenakan kaos putih yang dilapisi jaket dan celana training berwarna abu-abu.

Ninmar adalah perempuan dengan rambut yang dicat menjadi ungu. Terlihat sebuah tato tribal di leher kirinya. Dia mengikat rambutnya ke belakang, memberi kesan cekatan. Ninmar mengenakan celana panjang dengan tank top. Terlihat sebuah permen karet menggembung dari mulutnya.

Yang terakhir, Ur, adalah laki-laki dengan tubuh yang pendek, mungkin satu atau dua senti di atas Mari. Dia memiliki potongan rambut pendek yang berantakan. Mata dan rambutnya berwarna hitam. Tapi, lebih baik tidak usah menanyakan dia dari keluarga mana. Dia mengenakan kemeja biru dan celana panjang. Kemejanya terbuka tiga kancing dari atas, menunjukkan kaos hitam di bawahnya.

Di saat itu, tiba-tiba saja, Emir mengambil kuda-kuda. Bahkan, dia sudah mengubah Krat menjadi delapan turret. Selain Emir, tidak seorang pun mengambil kuda-kuda.

Ah, dia pasti sudah datang.

Sebuah sosok berjalan melewatiku dan berdiri di depan. Dia mengenakan pakaian militer dan jubah hitam. Rambut coklat gelapnya diikat model ponytail tinggi. Namun, kamu tidak akan bisa melihat wajahnya karena ditutupi oleh topeng badut dengan gambar bintang merah di pipi kanan.

"Emir, turunkan senjatamu."

"Tapi, Lugalgin."

"Emir, ini aku." Sosok yang berdiri di depanku mengangkat topeng, menunjukkan wajahnya.

"Eh? Mulisu? Kenapa kamu mengenakan pakaian Kinum?"

"Ya, itu karena aku adalah Kinum. Ah, sebelum kamu salah paham, aku bukanlah Kinum yang menyerangmu. Orang itu hanyalah peniru."

Mulisu menjawab cepat sebelum Emir salah bertindak.

"Ah...." Emir terdiam sejenak.

"Eh? Kinum yang itu? Maksudmu Kinum dari Agade, tangan kanan Sarru? Sarru yang dikabarkan mampu memusnahkan sindikat mafia seorang diri?"

Tiba-tiba saja Inanna memberikan prolog yang panjang.

Ung, aku tidak mengira nama Kinum dan Sarru menyebar hingga Mariander.

"Ya, Kinum yang itu." Mulisu tersenyum. "Jadi, kalau kalian sudah tahu aku adalah Kinum, kalian tahu kan siapa Sarru?"

Mulisu tidak meneruskan ucapannya. Dia hanya memiringkan tubuh dan membiarkan Emir dan Inanna melihat ke arahku.

"Ya, aku adalah Sarru."

Bersambung

============================================================

Halo Semuanya. Pada bagian akhir ini, author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri.

Terima kasih :)