Chereads / I am No King / Chapter 4 - Arc 1 Ch 4 - Citra

Chapter 4 - Arc 1 Ch 4 - Citra

"Baiklah, sebelum aku menjelaskan mengenai kemampuanku, aku ingin bertanya satu hal."

"Apa itu?"

Tuan Putri Emir membalasku dengan posisi masih tiduran di atas jalan. Aku? Masih duduk di sebelahnya.

"Bagaimana kita akan pergi dari sini? Tidak, biar aku ganti pertanyaanku. Bagaimana aku bisa pergi dari sini? Jalannya sudah hancur. Aku berani bertaruh di depan sana jalanan pasti juga sudah hancur kan?."

"Ah, iya. Kamu benar juga. Dan lagi,"

Tuan putri Emir kembali melihat ke celananya. Ketika melihatnya, dia berusaha menahan agar air matanya tidak keluar lagi.

"Lugalgin, apakah di rumahmu ada orang?"

"Ya, tentu saja ada. Ada ayah, ibu, dan adikku. Mereka bertiga besok datang memenuhi undangan untuk acara battle royale, kan?"

"Mereka?" Emir mengernyitkan dahi. "Kamu tidak datang?"

"Tidak," Aku menjawab cepat. "Sebenarnya, aku mau menggunakan pesta kelulusan malam ini dan perjalananku keliling kota ini sebagai alasan. Rencananya, aku akan beralasan kalau kecapekan dan lebih memilih untuk istirahat di rumah."

"Ohh," Emir hanya memberi respon singkat. "Aku ingin sekali mendengar penjelasan mengenai kemampuanmu, tapi citraku jauh lebih penting. Aku tidak mau ada orang istana melihatku dengan celana basah seperti ini."

Meski harga dirinya sudah hancur di depanku, Tuan Putri Emir masih berusaha menyelamatkan harga dirinya di depan orang lain.

Sebenarnya ada cara mudah untuk melakukannya. Aku hanya perlu melemparkan Tuan Putri Emir ke sungai atau kolam terdekat.

Tapi...

Aku melihat ke arah Tuan Putri Emir. Kalau aku melemparnya, aku akan terlihat sangat lancang dan kasar. Tidak. Bahkan saran ini saja sudah lancang dan kasar. Meskipun dia sudah bilang untuk membuang semua formalitas, aku masih tidak mampu melakukannya sepenuhnya. Masih ada ketakutan akan hukuman yang mungkin datang.

"Tuan–"

"HAH?"

"Emir."

Aku langsung merevisi panggilan ketika Tuan Putri Emir meninggikan suara. Hah, apa boleh buat, akan kubuang semua formalitas itu.

"Untuk menjaga citramu, sebenarnya, cukup sederhana. Kamu lompat saja ke sungai atau kolam–"

"Dan lalu pulang dalam keadaan basah kuyup?" Tuan Putri Emir menyela. "Kamu bercanda kan? Bisa-bisa besok aku sakit dan tidak bisa hadir."

"Ah, iya juga."

Aku lupa kalau dia bisa sakit.

"Tapi, kalau kita berlama-lama di sini, bau di celana dan pakaian ignimu malah akan semakin kuat dan susah dihilangkan. Setidaknya kita harus segera mencari jalan keluar soal pakaianmu."

"Uhh... iya juga."

Aku kembali melihat ke arah Tuan Putri Emir, melihat baik-baik tubuhnya. Ah, tidak mungkin. Tubuhnya jauh lebih besar dari tubuh Ninlil, jadi tidak mungkin. Namun, mungkin, aku bisa melakukan sesuatu.

Aku melepaskan helm dan meletakkannya di atas dada Tuan Putri Emir.

"Emir, aku akan melakukan sesuatu soal citramu. Sementara itu, pakai helm ini agar tidak ada yang mengenalimu."

"Baiklah."

Tuan Putri Emir akhirnya berdiri.

Aku berjalan menuju sepeda motor dan menyalakannya. Tanganku masih sedikit perih karena sayatan pisau tadi, tapi setidaknya darahnya sudah berhenti mengalir.

"Ah, iya, aku baru ingat."

Aku kembali berjalan ke arah Tuan Putri Emir dan mengeluarkan pisau. Tuan Putri Emir yang melihatku datang dengan pisau langsung mundur.

"Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya akan memotong kain igni yang ada di lehermu. Selain itu, aku juga harus membersihkan darahku yang menempel di lehermu. Kalau darahku masih menempel di kaos igni dan kulitmu, kamu tidak akan bisa menggunakan pengendalian."

"Bi-biar aku saja yang melakukannya. Berikan saja pisaunya."

"Oke."

Aku menurut dan memberikan pisauku.

Tuan Putri Emir meletakkan helmku di atas jalan dan mulai memotong kain igni yang ada di lehernya. Tampaknya, dia masih trauma dengan pemandangan aku memegang pisau.

Aku kembali ke sepeda motor dan membuka sebuah tutup yang terpasang di samping tangki. Sepeda motorku menggunakan tenaga listrik, tapi aku membuatnya berdasarkan model naked bike yang bergerak dengan minyak. Oleh karena itu, tangki minyak ini masih ada.

Aku memodifikasi letak tutup tangki minyak menjadi di samping. Dari volume asal yang seharusnya bisa menampung 50 liter minyak, aku menurunkan kapasitasnya menjadi hanya 20 liter. Sisa 30 liternya aku ubah sebagai ruang aki, untuk menyimpan daya.

Kenapa aku masih menyimpan 20 liter minyak? Karena aku membutuhkannya. Bukan untuk menggerakkan mesin, tapi untuk hal lain. Dengan tutup di samping, ketika aku membukanya, maka minyak akan mengalir keluar, tercecer di jalan. Lalu, aku akan menembak minyak yang tercecer di jalan, membuat ledakan di belakang.

Tentu saja aku menutup tangki dan menunggu hingga jarak aman sebelum membuat ledakan. Namun jika terdesak, aku berpikir motorku bisa digunakan sebagai bom. Yah, aku belum pernah mempraktikkannya sih, jadi aku tidak bisa banyak bercerita.

Kali ini, aku memiliki alasan lain membuka tangki minyak. Aku mengambil sarung tangan dari saku jaket dan membasahinya dengan minyak. Setelah cukup, aku kembali menutup tangki motor dan berjalan menuju Tuan Putri Emir.

Saat aku berjalan ke Tuan Putri Emir, dia menjulurkan tangan ke arah dinding yang tadi melindungi kami, mencoba mengendalikannya. Aku bisa melihat wajah yang masam, penuh dengan kekecewaan.

"Dongakkan wajahmu. Di lehermu masih ada darahku yang menempel, jadi kamu belum bisa melakukan pengendalian."

"Uuuu..."

Bukan hanya raut wajah, bahkan suaranya pun terdengar penuh kekecewaan. Dia menuruti ucapanku dan mendongakkan kepala. Dengan sarung tangan yang sudah dibasahi dengan minyak, aku bisa membersihkan darah yang menempel di kulitnya dengan mudah. Kulitnya yang seputih salju itu pun kembali bersih. Hilang sudah noda darah di lehernya.

"Ini... minyak?"

Tuan Putri Emir mengendus sarung tanganku.

"Ya, benar. Ini adalah minyak. Selain bahan bakar, minyak bisa digunakan untuk membersihkan noda yang sulit hilang. Tapi tentu saja, ini hanya berlaku pada kulit atau benda padat. Kalau yang terkena adalah kain, minyak pun akan sulit menghilangkannya."

Haha, instingnya sebagai kolektor benda antik masih kuat ternyata. Aku bisa melihat matanya yang berbinar-binar. Emir benar-benar tertarik dengan aplikasi sederhana minyak ini.

Apa dia lupa dengan kondisinya saat ini?

"Baiklah, coba kendalikan dinding itu lagi."

"Baik!"

Tuan Putri Emir menuruti ucapanku dan melihat ke arah dinding yang tergeletak di jalan. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini dinding itu melayang kembali, seolah-olah ada tali yang menarik dari langit. Setelah itu, dia mengubah bentuknya beberapa kali menjadi turret tank, pintu, meja, artileri, rudal, dan bentuk lainnya.

Sesuai informasi yang beredar, silikon dapat diubah menjadi benda paling keras ataupun lunak dan lembut. Benar-benar hebat. Sesuai predikatnya, Tuan Putri Emir memang spesial. Dari informasi yang beredar, pengendalian silikon adalah satu dari 20 jenis material yang paling langka.

"Ahh... Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa pengendalian."

Tuan Putri Emir tersenyum lebar sambil mengatakan itu. Aku bisa melihat kalau dia bahagia karena pengendaliannya sudah kembali.

Aku kembali mengenakan sarung tangan yang bau minyak dan berjalan ke sepeda motor.

"Tolong gunakan kekuatanmu untuk memindahkanku dan sepeda motor ini ke jalan ya."

"Hah? Apa tidak masalah Kratku menyentuhmu?"

"Krat?"

"Ini, senjata kesayanganku, Krat."

Menamai senjata? Senjata kesayangan? Memangnya kamu anak SD?

"Tidak apa," aku menjawab Tuan Putri Emir. "Selama tidak bersentuhan langsung dengan anggota tubuhku, maka benda itu masih bisa dikendalikan. Aku kan mengenakan sepatu dan pakaian, jadi kamu bisa menggunakan Krat sebagai alas untuk mengangkat sepeda motorku ke bawah. Dan aku juga tentu saja."

"A-ah. Baiklah."

Aku masih bisa melihat keraguan dari responsnya. Yah, aku tidak menyalahkannya.

Sepanjang sejarah yang beredar, belum pernah ada kejadian seperti ini. Satu-satunya cara untuk menghilangkan pengendalian adalah mengganggu konsentrasi penggunanya. Dengan kata lain, kemampuanku adalah kemampuan yang tidak tercatat. Dan itu membuatku semakin yakin untuk tidak membuatnya menjadi pengetahuan publik.

Aku menaiki sepeda motorku. Emir mengubah Krat menjadi lempeng besar yang mampu menampung sepeda motor. Dengan pengendalian, dia membuat lempeng ini melayang dan menurunkanku. Rasanya seperti menaiki lift.

Aku tiba-tiba teringat kalau penggunaan lift juga membutuhkan pengendalian. Orang yang masuk akan menggunakan pengendaliannya untuk menggerakkan mesin rotasi di dalam lift, membawanya ke lantai yang diinginkan dengan lebih cepat. Di hotel, akan ada operator lift di dalam, membuat pengunjung tidak perlu repot menggunakan pengendalian.

Ya, bahkan, aku tidak bisa melamar pekerjaan sebagai operator lift. Namun, itu tidak penting.

Dalam waktu singkat, aku kembali menyentuh jalanan kota, tidak lagi jalan tol.

Aku melihat ke bawah jalan tol. Terlihat puing-puing beton bersebaran di jalan dan taman kota, meratakannya. Aku penasaran, bagaimana ya semua kerusakan ini akan muncul di berita besok pagi. Yah, itu bukan urusanku.

Aku menyalakan sepeda motor dan turun dari lempeng. Setelah selesai digunakan, lempeng itu berubah menjadi semacam kain dan menyambung dengan selendang yang ada di lengan, tangan, dan kaki Emir, membuatnya semakin panjang.

Eh?

Belum sempat melaju, aku merasakan sepeda motorku sedikit turun. Aku melihat ke belakang, melihat Tuan Putri Emir sudah duduk di kursi penumpang. Dan, entah sejak kapan, dia sudah mengenakan helm full face yang tadi kuberi.

"Eh, Emir, kok kamu naik kendaraanku? Bukankah kamu bisa menggunakan kekuatanmu untuk terbang?"

"Aku tidak ingin terbang. Aku ingin merasakan naik kendaraan yang disebut sepeda motor ini," Ucap Emir santai sambil mengusap sepeda motorku.

"Tapi–"

"Tapi apa?" Emir menyela. "Kamu tidak mau aku mengotori kendaraanmu?"

Ahh, iya. Namun, tampaknya aku tidak akan bisa mengatakan hal itu.

"Baiklah kalau begitu. Pegangan ya."

"Baik...!"

Aku memutar kenop gas dan meninggalkan tempat itu. Untuk mencapai tempat tujuanku, aku harus mencari jalan memutar yang sekiranya tidak terhalangi hancuran jalan tol.

"Hahahaha... ternyata asyik juga ya kendaraan ini."

Sementara aku mengendarai sepeda motor, tawa lepas Tuan Putri Emir terdengar kencang. Selama perjalanan, dia memelukku dengan kuat dan kencang. Dan tentu saja, aku bisa merasakannya. Lembut, lunak, dan sedikit kenyal.

***

Aku sedikit melipat lengan jaket dan kemeja, melihat ke jam di tangan kiri. Sudah hampir jam 2 pagi. Ini bukan pertama kalinya aku tidak berada di rumah hingga larut, tapi biasanya aku memiliki Arde atau orang lain sebagai perlindungan. Namun, kini, aku tidak memiliki perlindungan apapun. Ibu pasti akan marah besar. Tampaknya aku benar-benar harus segera keluar dari rumah, cari tempat tinggal sendiri.

Saat ini aku berada di taman kota yang memiliki kamar mandi 24 jam. Sebelum sampai tempat ini, kami pergi ke pinggiran kota untuk mencari pakaian ganti. Yah, anggap saja dari kenalan. Dan, ya, tentu saja, harga pakaian itu sama sekali tidak murah. Normalnya aku bisa mendapatkan pakaian perempuan lengkap dari celana, kaos, bahkan pakaian dalam hanya seharga 380 Zenith. Tapi kenalanku itu meminta uang sebanyak 700 Zenith.

Ketika aku mengatakan itu terlalu mahal, dia mengusirku dan mengatakan "Kalau kamu bisa mendapat yang lebih murah saat ini, kau tidak akan datang padaku, kan?". Sial! Dia tahu benar kalau orang yang mencari pakaian di tengah malam pastilah karena urusan ilegal. Dan ya, aku tahu benar soal itu. Aku pun terpaksa membayar 700 Zenith.

Meskipun rambut Tuan Putri Emir mencolok, untung helmku terlalu besar di kepalanya. Jadi dia bisa memasukkan rambut panjangnya ke dalam helm. Meski aku sedikit penasaran bagaimana dia melakukannya, yang penting dia bisa menutupi identitasnya.

Setelah mendapat pakaian, kami pergi ke taman ini untuk menggunakan toiletnya. Tuan Putri Emir harus sedikit membersihkan badan sebelum berganti pakaian. Dan aku menunggu di depan pintu keluar.

"Hey Gin, terima kasih ya atas bantuannya."

Sebuah suara muncul dari pintu toilet perempuan yang disusul dengan sosok Emir. Cepat juga dia ganti pakaian. Cewek tomboi memang beda.

Emir mengenakan kaos tanpa bahu, celana jeans biru, topi besar, dan sebuah kaca mata. Topi besar itu menyembunyikan rambut merah panjangnya. Aku sedikit berharap bisa melihat tali bra di bahunya, tapi sayangnya, di bawah pakaiannya, terlihat sebuah kain hitam. Warna kulitnya yang seharusnya seputih salju kini seolah-olah hitam.

Tanpa kusadari aku menjulurkan tanganku dan menyentuh bahu Emir yang ditutupi oleh kain hitam itu. Aku tidak merasakan sensasi benang atau bulu. Yang aku rasakan adalah sensasi lembut dan sedikit kenyal.

"Ini..."

"Ini Krat."

"Wow, kupikir menggunakan silikon sebagai kain selendang tadi adalah batasnya. Namun, untuk kamu bisa menggunakannya sebagai pakaian seperti igni, aku sama sekali tidak mengira sampai segini."

"Tentu saja!" Emir membusungkan dada. "Ngomong-ngomong, ini untukmu."

Tiba-tiba saja Emir memberikan sebuah kain yang diikat berbentuk bola. Aku menerima kain ini dan melihatnya baik-baik. Dari warnanya, aku menyadari kain apa ini.

"Tolong kamu cuci pakaianku yang kotor ini ya. Aku tidak mungkin membawanya ke istana. Nanti, pelayan istana bisa tahu kalau aku ngompol. Hahaha!"

"Dan kamu mempercayakan pakaianmu padaku?"

"Ya, tentu saja. Tolong dicuci dengan air hangat dan jangan menggunakan mesin cuci, tapi dicuci dengan tangan. Jangan terlalu kuat menggosok karena nanti bisa merusak kainnya. Yang bersih ya!"

Tunggu sebentar. Ada yang aneh.

"Ung, aku tahu spesifikasi pakaian igni. Dan, aku ragu jaket dan celana yang kamu gunakan memerlukan pencucian seribet itu. Jangan bilang—"

"Ya, itu cara mencuci pakaian dalamku," Emir menyela. "Kalau caramu mencucinya salah, nanti bahannya rusak. Bisa bikin gatal kalau dikenakan."

"..."

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Tidak! aku bahkan tidak tahu harus berpikir apa. Aku, laki-laki normal berumur 18 tahun, disuruh mencuci pakaian dalam seorang perempuan. Bahkan selama ini ibu dan Ninlil tidak memperbolehkanku menyentuh pakaian dalam mereka. Yah, Ninlil baru melarangku setelah dia mulai masuk SMP sih.

Di lain pihak, perempuan ini, seorang tuan putri, menyuruhku untuk mencuci pakaian dalamnya. Aku tidak tahu harus berkata apa.

"Sudah ya. Aku pulang dulu."

Belum selesai aku berpikir, Emir sudah melayang. Dengan menggunakan Krat di seluruh tubuhnya, sangat mudah untuk membuat tubuhnya melayang dan terbang. Tanpa membiarkanku memberi respon, dia sudah menghilang dari pandangan.

"Dia, benar-benar serius?"

Bersambung