"Halo?" sapa Hali dari balik telepon.
"Halo, Hali kau ada di mana sekarang?" tanya Syifa langsung.
"Di rumahku," Hali membalas. Syifa berhenti tepat di pinggir jalan raya seraya masih tersambung dengan bosnya di telepon.
"Oh ya? Lalu siapa yang datang ke rumahku kemarin? Setan?" Tidak ada balasan dari Hali sementara Syifa sendiri naik taksi yang dia hentikan.
"Di mana kau sekarang?"
"Buat apa?" Hali balik bertanya dengan nada ketus.
"Yah untuk mengunjungimu. Kau ini bos sekaligus temanku wajarlah aku mencarimu. Lalu kenapa kau tak menghubungiku kalau kau sudah ada di Indonesia, aku bisa saja mencarikanmu tempat tinggal dan lain-lain,"
Hali mendengus, "Tidak perlu kau lakukan itu. Aku bisa sendiri kok,"
"Mau ke mana neng?" tanya si sopir seraya melihat pada Syifa dari kaca spion mobil.
"Tunggu sebentar ya pak mau tanya dulu sama teman saya," balas Syifa singkat.
"Kau ada di mana sekarang?" desak wanita itu kepada Hali. Tak berapa lama dia bisa mendengar suara hembus berat sebelum akhirnya Hali menyebutkan nama hotel yang menjadi tempatnya menginap.
"Tolong ke hotel Intan Permai ya Pak," Syifa meminta. Mobil lalu berjalan menyusuri jalan raya. Beruntung hotel yang disebutkan tidak jauh dari kompleks tempat tinggalnya jadi dapat mengirit biaya.
Sesampainya Ibu angkat Rey menelepon lagi nomor Hali untuk meminta si bos untuk keluar dari hotel. Takutnya jika ada orang yang salah sangka terhadap dia.
Tidak lama setelah itu Hali muncul dari pintu hotel. Dia berjalan mendekat namun sikapnya aneh. Pria itu tak langsung melihat ke arah Syifa.
"Kenapa kau ada di sini? Aku tidak memintamu untuk datang," kata Hali ketus. Syifa mengkerutkan dahi.
Hali seperti bukan Hali yang biasanya. Setiap kali mereka saling bicara sang bos pasti akan melotot.
"Bukannya aku sudah bilang, aku mau lihat kau. Ayo makan, aku lapar sekarang." Sontak Syifa menarik tangan Hali.
Sepasang matanya lalu tertuju pada tangan besar pria itu. Ada luka yang tampak baru. "Kok ada luka di tanganmu?" tanya Syifa heran.
Hali lantas menarik tangan kemudian dengan senyum yang dibuat-buat, dia menyeret tubuh Syifa. Tak lupa pria itu membuat senyum yang ganjil.
Diajaknya wanita yang berprofesi sebagai sekretarisnya tersebut berbicara tentang beberapa hal untuk melupakan apa yang dia lihat. Namun sampai mereka tiba dan memesan makanan, mata Syifa tetap fokus ke tangan Hali.
"Tanganmu kenapa bisa begitu?" Syifa bertanya lagi.
"Aku kecelakaan makanya jadi seperti ini tanganku," jawab Hali berbohong.
"Aku tidak percaya. Luka di tanganmu itu seperti bekas tonjokkan, kau habis berkelahi?" Syifa menerka. Melihat ekspresi dari si bos yang cemberut dia langsung mengerti jawabannya.
"Ini masalah pribadi, kau tak perlu tahu alasannya. Ngomong-ngomong aku dengar ada masalah di rumahmu?"
Syifa lantas membuang napas. "Kau pasti sudah mendengarnya dari Axelle, iya. Ayah dan Ibu Axelle melamarku untuk jadi menantu tapi Axelle marah sebab dia sudah melamar Tiara, Ibuku sampai bingung,"
"Lalu kau setuju tidak?" Syifa terdiam sesaat seraya memandang bingung pada Hali. Pria itu tampak seperti menyelidiki.
"Tentu tidak, Tiara dan Axelle saling suka lagi pula aku juga setuju soal lamaran itu," lugas Syifa.
"Oh begitu. Terus bagaimana Ayah dan Ibunya Axelle?"
"Yah mereka masih keras kepala tapi jawabanku akan tetap sama. Aku akan mendukung Tiara dan Axelle,"
"Syukurlah," ucap Hali spontan sekalian lega.
"Syukur apa?" Syifa dan Hali saling melihat dalam diam. Jika wali dari Rey itu menatap keheranan Hali terlihat panik seakan tidak tahu mengatakan apa pun.
Dalam suasana senyap datanglah pelayan yang membawa pesanan keduanya. Hal ini cukup mengalihkan perhatian keduanya. Saat Syifa hendak bertanya, Hali sudah menyantap makanan.
"Kau belum jawab pertanyaanku,"
"Pertanyaan yang mana?" tanya pria itu.
"Kenapa kau bersyukur?" ulang Syifa. Hali menghentikan kegiatan dan menatap langsung pada mata si lawan bicara.
"Aku bersyukur sebab temanku akan bahagia dengan menikahi wanita yang dia sukai." Sebenarnya Syifa tidak mempercayai ucapan Hali, firasatnya yang mengatakan hal tersebut.
Akan tetapi dia memilih bungkam agar bosnya itu tak tersinggung. "Eh katanya lapar ayo makan keburu dingin," tegur Hali.
Syifa tersenyum tipis lalu menyantap makanan dalam diam. Tak berapa lama perut telah kenyang, segera setelah menyusun piring Syifa berdiri meminta izin ke kamar kecil.
Dia terus berpikir tentang tingkah aneh yang ditujukan oleh Hali. Sambil mencuci tangan pikirannya berangan-angan serta menerka. Bagaimana jika pria itu punya perasaan kepada Syifa?
Ya, Syifa tahu itu cuma halusinasi tapi dia tak bisa menenangkan jantung yang berdegup kencang atau pun pipi memerah. Untuk sebentar setelah mengeringkan tangan, wanita muda itu melihat ke arah cermin.
Make upnya jadi luntur sebab buru-buru. Langsung saja dia mengambil liptin di dalam tas kecil miliknya lalu mengusap pelan di bawah bibir. Syifa jadi menyesal sebab tak membawa maskara.
'Tapi tidak apa-apalah dengan begini sudah cukup,' Syifa membatin.
Dengan senyum yang terus mengembang, Syifa lalu keluar dari kamar kecil wanita menghampiri Hali. Inginnya menyapa namun bibirnya mendadak bungkam saat melihat pria pujaan hatinya tengah menatap foto sang mantan di ponsel.
Sorot mata Syifa berubah jadi kecewa dan langsung berbalik kembali ke toilet. Di sana dia langsung menghapus liptin yang dipakai menggunakan tisu serta air.
Syifa secara tak sengaja melihat ke arah cermin di mana beberapa menit lalu bayangannya tersenyum bodoh sebab halu. Sekarang dia melihat kesedihan di dalam matanya sendiri.
Dia sangat ... terlihat menyedihkan.
Sepasang matanya mulai berkaca-kaca namun dia tak mau air mata itu jatuh mengalir di pipi maka Syifa cepat menengadah ke atas. Helaan napasnya terasa berat.
Wanita itu berusaha menahan sebak serta mengganti dengan tawa. Ia menertawakan kepolosan serta kebodohan akan cinta sepihaknya itu. Bagaimana bisa Syifa jatuh cinta pada seorang pria yang tak akan bisa balik mencintainya?
Seorang pria yang tidak pernah bisa move on dari mantan kekasih. Layaknya sebuah film, Syifa terus mengingat ekspresi sedih Hali ketika sedang ada di pernikahan Marisa dan Sultan. Jelas itu adalah suatu tanda walau pria itu mengatakan dia sudah melanjutkan hidup tapi ucapannya hanyalah sebuah kebohongan.
Syifa tetap tertawa agar tidak ada satu pun yang mengetahui kesedihannya tapi bahkan berusaha pun sedemikian keras gelak tawanya masih terdengar hampa dan sedih.
Ketika perasaan Syifa tenang barulah dia bisa menghadapi Hali. Tentunya dengan senyum palsu. "Hai maaf menunggu lama, dari tadi sakit perut," ujar Syifa beralasan.
"Tidak apa-apa. Oh ya aku sudah memutuskan karena Axelle dan Tiara akan melangsungkan pernikahan, kau adalah keluarga Tiara dan adikmu membutuhkanmu di sini jadi kau bisa tinggal di sini dengan kerja di rumah bagaimana?" Hali memberi usulan.
"Itu ide bagus. Terima kasih sudah mengerti kondisiku. Aku akan mengirim jadwal lewat surel email." Hali menampilkan senyum puas namun Syifa tidak bersemangat.
Mungkin inilah cara agar dia bisa melupakan cintanya dengan membuat jarak di antara mereka.
❤❤❤❤
See you in the next part!! Bye!!
Menuju episode terakhir, semangat!