Langit kembali menampakkan sinarnya. Entah sudah berapa banyak batu yang Tasia pecahkan. Tangannya dipenuhi luka lecet dan penuh lebam. Wajahnya dipenuhi debu dan pasir yang menempel karena bercampur dengan keringatnya selama bekerja. Sandal yang tadinya ia kenakan sudah hilang entah kemana, kini ia harus bekerja dan berjalan dengan kaki telanjang hingga telapak kakinya berdarah karena terus berpijak diatas bebatuan kerikil yang tajam.
Pagi ini, Tasia tidak akan tidur. Ia akan kabur, terlepas dari penyiksaan di tempat gila itu. Entah nasi basi atau ikan yang dihinggapi ulat belatung, Tasia tidak perduli lagi. Sama seperti tawanan lainnya, ia merasa sangat teramat kelaparan dan kehausan. Mereka hanya diberi jatah makan sehari sekali. Jika bisa memilih, mereka sudah pasti memilih untuk mati saja. Namun sayangnya, jiwa mereka sudah terkontrak dan mereka tidak akan bisa binasa sampai orang yang menumbalkan mereka meninggal dunia.