Chereads / Genius Wife & Superstar Husband / Chapter 9 - Andrew (1)

Chapter 9 - Andrew (1)

"Siapa tuh?" tanya seseorang berbisik kepada temannya ketika gue lewat di hadapan mereka

"Kamu gak tahu? Itu cucu satu-satunya Jenderal Bagas." balas orang yang satunya tapi gue masih bisa mendengar mereka.

"Wah sayang sekali kayaknya masih kecil, coba udah gede dikit, mungkin bakal gue deketin."

"Dasar lo. Udah ayo kita kembali ke asrama, capek gue habis latihan berat."

Gue adalah Andrew Bagas, cucu satu-satunya dari Jenderal TNI Angkatan Darat. Gue kadang mampir ke markas TNI untuk sekedar main atau menemui kakek tua itu yang memegang posisi tinggi di sana.

Menjadi cucu satu-satunya tentu saja gue selalu dimanjakan oleh keluarga, mulai dari SD, SMP dan SMA hidup gue selalu lebih dari cukup, belum lagi bokap gue yang merupakan Inspektur Jenderal Polisi membuat keluarga kami yang "berseragam" ini sering dipandang terhormat oleh keluarga yang lain.

Selain uang, tentu saja gue dikelilingi oleh banyak wanita, bahkan pengalaman pertama gue itu di kelas 2 SMP.

Tentu saja wanita-wanita itu yang datang mendekati gue untuk menawarkan berbagi tempat tidur dan sebagai anak 17 tahun yang sedang menggebu gebu, gue langsung mengiyakan ajakan mereka.

Mulai dari model, aktris baru, penyanyi baru bahkan pramugari pernah terlibat berbagi tempat tidur dengan gue. Gue hanya perlu menemani mereka belanja atau membeli barang bermerk sebagai balasannya, kalau ada yang bagus, kadang kami sering bertemu beberapa kali sehingga banyak yang berasumsi bahwa kami terlibat dalam sebuah hubungan.

Padahal, gue tak pernah menganggap bahwa kami itu berpacaran, tapi gue tak pernah membantah hal tersebut karena itu terlalu merepotkan.

Jangankan pacaran, bahkan cinta aja gue gak percaya itu benar-benar ada. Gue berani bertaruh kalau mendiang nenek yang nikah sama kakek, dan nyokap yang nikah sama bokap, itu karena mereka berdua sudah berseragam.

Jadi pada dasarnya, cinta sejati itu tidak benar-benar ada!

"Setelah lulus dari SMA, kamu akan masuk ke Akademi Militer!" ucap kakek tua itu pada suatu hari yang tiba-tiba meminta rapat keluarga di meja makan. Ah iya, keluarga kami masih memegang tradisi makan bersama di meja makan.

"Gak, gue gak mau!" ucapku yang langsung membantah dengan keras.

Sejak kecil sampai SD gue yang selalu bermain di tempat kakek tua itu tentunya tau bagaimana kerasnya latihan yang dilakukan oleh anggota TNI. Gue memang akhir-akhir ini sering ngegym, tapi bukan berarti gue suka untuk mengikuti latihan keras seperti itu!

"Andrew! Yang sopan sama kakek," tegur nyokap memperingatkan. Gue hanya mendengus.

"Terus kamu cuma mau senang-senang seperti ini, hah?!" bentak kakek tua itu melemparkan beberapa foto. Setelah melihatnya ternyata itu adalah foto-foto gue yang lagi bersama wanita di sebuah klub. Mana wanitanya beda-beda lagi!

"Andrew!" kini giliran bokap yang membentak gue ketika melihat foto-foto itu.

"Kamu ngurus anaknya gimana, sih?!" ucap bokap ke nyokap.

"Dia sudah besar mas! Kenapa nyalahin aku?! Aku juga kerja dan sering nemenin kamu hadir di pesta-pesta yang tidak pernah aku suka!" balas nyokap tak mau disalahkan. Ah, gue lupa bilang kalo nyokap adalah dokter kandungan di salah satu rumah sakit ternama.

"Cukup! Kenapa malah kalian yang berantem!" bentak kakek tua itu.

"Pokoknya setelah lulus ini kamu harus masuk Akademi Militer!" ucap kakek tua itu layaknya hakim yang telah memutuskan keputusan terakhirnya.

"Gak mau! Kakek gak berhak ngatur masa depanku!"

"Tentu saja aku berhak mengatur masa depanmu, anak muda! Uang yang kamu habiskan untuk bersenang-senang itu berasal dariku!"

"Kalau begitu kamu masuk Akademi Polisi aja," ucap bokap menyarankan ketika melihat kakek tua itu yang seperti benar-benar marah. Tentu saja gue langsung menolaknya mentah-mentah!

Memang mungkin pelatihan di Akademi Polisi tidak akan seberat pelatihan di Akademi Militer, tapi mengingat para polisi yang pertama kali diturunkan ketika ada kerusuhan atau isu teroris, membuat rasa ingin menjadi polisi not stonks!

"Gak! Gak mau! Aku gak mau jadi tentara atau polisi!"

"Terus kamu mau jadi apa?! Hah?! Mau jadi sampah yang cuma bisa menghambur hamburkan uang dan gonta ganti cewek?! Iya?!" bentak kakek tua itu sambil menggebrak meja. Sepertinya kali ini dia benar-benar marah besar. Mungkin karena gue adalah satu satunya penerusnya sehingga dia benar-benar kecewa pada gue.

"G... er," ucapku pelan karena terintimidasi oleh kakek tua itu, gak heran dia.

"Apa?! Ngomong yang keras!"

"Game designer!" ucapku keras. Namun kakek tua itu dan bokap sepertinya tidak terlalu tau apa yang gue maksud.

"Orang yang bikin video game, kamu benar-benar pengen berkarir di bidang itu?" tanya nyokap. Seperti yang diharapkan dari nyokap yang selalu up to date.

Gue mengangguk meyakinkan, "Aku bahkan sudah tau harus ambil jurusan dan kuliah di mana," ucap gue membanggakan diri.

"Kuliah di mana?" tanya kakek tua itu, tapi nada bicaranya sudah tidak sekeras sebelumnya.

"Universitas Cerdas," setelah mengucapkan itu, mereka bertiga langsung menatapku dengan tidak percaya.

Universitas Cerdas adalah universitas ternama di Indonesia, meski biaya semester di sana sangat tinggi, tapi lulusan yang dikeluarkan oleh Universitas Cerdas 99% benar-benar berhasil dan sukses.

Universitas itu menjadi sangat populer karena selalu memenangkan atau menjadi runner up di perlombaan tingkat nasional dan tingkat internasional, itu yang menjadi penyebab tes masuk universitas itu sangatlah sulit.

"Ayah, bagaimana jika kita biarkan Andrew untuk memilih jalannya sendiri?" nyokap berusaha membujuk kakek tua itu.

"Hmph, itu pun kalau dia bisa lolos tes masuknya. Ini adalah kesempatan terakhirmu, kalau kamu gak lolos atau masih bermain-main, uang jajanmu akan dipotong!" ucap kakek tua itu memperingatkan sebelum akhirnya bangkit berdiri dan kembali ke kamarnya yang kemudian langsung disusul oleh bokap.

"Kamu benar-benar gak mau ikut jejak kakek atau ayah, ya?" tanya nyokap lembut.

"Iya, ma."

"Ya sudah kalau begitu, nanti kamu berusaha keras ya, untuk buktikan ke kakek dan papa kalau kamu bisa! Oh ya, besok sepulang sekolah mampir ke rumah sakit tempat mama kerja," ucap nyokap yang memegang pundakku sebelum bangkit berdiri.

"Buat apa, ma?" tanyaku penasaran.

"Tentu saja untuk memeriksa kamu. Pergaulanmu ternyata sudah sebebas itu tanpa mama sadari."

Setelah itu sisa masa SMA gue dijalani dengan hal yang biasa biasa aja. Tidak ada pesta dan wanita seperti sebelum-sebelumnya.

Keinginan untuk tidak masuk ke Akademi Militer dan Akademi Polisi lebih besar daripada untuk sekedar foya-foya.

Sampai lulus SMA pun, gue masih gak percaya bahwa cinta sejati itu ada, apalagi untuk jatuh cinta.

Tapi semua hal itu langsung berubah ketika gue pertama kali bertemu dengannya di kelas bahasa inggris yang merupakan kelas pertama saat pertama kali kuliah.

Wajahnya cantik, kulitnya putih, kontras dengan baju hitam yang dia kenakan saat itu, meski aset yang dia miliki tidak begitu kelihatan karena terhalang oleh baju longgar yang dia kenakan, tapi mata gue selalu tertuju padanya.

"Carolina Akai, coba baca paragraf berikut," kata dosen saat itu.

Wanita yang telah mencuri perhatianku itu berdiri, oh, namanya Carolina, cantik sekali.

Carolina kemudian membaca paragraf berikut dengan aksen yang sempurna.

Setelah kelas berakhir, beberapa teman-teman baru gue kelihatan keluar dari kelas dan beberapa masih diam di kelas karena kelas kedua masih di ruangan yang sama tapi ada jarak 30 menit sebelum dimulai, Carolina termasuk orang yang menunggu di kelas.

Gue akhirnya memberanikan diri untuk duduk di kursi kosong yang berada di sampingnya.

"Hai," sapa gue.

Carolina menatap gue sebentar sebelum kembali fokus dengan handphonenya, "hai."

Duh suaranya manis banget!

"Aksen lo keren juga, sering ke luar negeri, ya?" tanya gue basa basi.

"Gak kok, aku belum pernah ke luar negeri," jawabnya yang tanpa menatapku. Apa dia berusaha terlihat jual mahal, ya?

"Gue Andrew," ucap gue sambil mengulurkan tangan, sekalian menunjukkan jam tangan mahal merek terkenal yang gue kenakan.

Dia akhirnya menatap gue, lalu menatap tangan gue.

"Carolina," jawabnya yang kembali menatap layar handphonenya tanpa menjabat tangan gue.

Wah! Sepertinya wanita ini boleh juga!

Sejak saat itu, Carolina selalu menarik perhatian gue.

Bagaimana pun, gue adalah Andrew Bagas!

Gak ada satu pun wanita yang gak bisa gue dapatkan!