"Elliot Mor, penemu Social Society, platform sosial media yang sedang naik daun, menyatakan kehadirannya untuk mengikuti acara sukarelawan di Afrika Selatan. Hal tersebut telah dikonfirmasi olehnya melalui media sosial pribadi milik Elliot. Siapa kira pengusaha yang berumur tiga puluh dua tahun, single, dan kaya raya seperti dirinya mau mengikuti acara sukarelawan seperti itu? Ellio—"
Aku mematikan televisi yang ada di hadapanku dan mengacak-acak rambutku dengan kesal.
Apa yang harus kulakukan? Editorku memaksaku untuk mengirimkan naskah kepadanya dua bulan yang akan datang dan aku bahkan tidak dapat menulis satu halaman!
God! Help me!
Suara ponsel mengalihkanku pikiranku yang sedang kacau. Aku meraih ponselku dan segera mengangkat teleponku ketika mengetahui Khloe, sahabatku yang menelepon.
"Ha—"
"Rose!" sapanya memotong ucapanku. "Bunga mawar kesayanganku!" aku memutarkan kedua bola mataku. "Apa yang sedang kau lakukan saat ini?"
Aku mengembuskan napasku dengan panjang. Kedua bahuku sudah merosot mengingat apa yang sedang aku alami saat ini.
"Aku sedang pusing, Khloe."
"Kenapa?"
"Aku tidak mendapat ide apapun mengenai novel yang sedang kukerjakan!" keluhku. "Dan Phoebe, editorku yang cerewet itu, berkali-kali mengingatkan aku untuk segera mengirimkan naskahku kepadanya!"
"Kasihan sekali kau, Rose," jawabannya membuatku mendengus. "Oh iya!" ujarnya bersemangat. Seolah dia baru ingat tujuannya untuk menghubungiku. "Apa kau sibuk minggu depan?"
Aku mengerutkan keningku. Berusaha untuk mengingat kegiatanku minggu depan.
"Tidak perlu kau jawab!" seru Khloe, memotong pikiranku. "Aku tahu kau tidak sibuk! Kerjaanmu hanya menyendiri di dalam kamar atau nongkrong seharian di sudut toko kopi!"
"Kau sangat mengenalku, Khloe," kataku sarkastis.
"Bagaimana kalau kau pergi menemaniku untuk ikut ke acara sukarelawan yang diadakan di Afrika Selatan minggu depan?"
Aku termenung mendengar pertanyaannnya. Boleh juga. Toh, siapa tahu ketika aku di Afrika Selatan, memandangi kehijauan kehidupan yang ada di sana, aku akan mendapatkan ide untuk menulis.
"Boleh," terimaku. "Kau kirimkan saja detilnya padaku nanti."
"Baiklah kalau begitu. Aku akan mengirimkannya beberapa menit lagi."
***
Aku sedang berada di dalam truk bersama sukarelawan lainnya menuju tenda yang akan menjadi tempat tidur kami selama tiga hari. Khloe, dengan mendadak, membatalkan keikutsertaannya di acara sukarelawan ini. Dia memilliki pertemuan penting yang tidak bisa dibatalkannya. Terlebih dia harus mengisi presentasi pada pertemuan itu, katanya.
Tapi tidak masalah jika Khloe tidak bisa datang. Tujuanku ikut di acara sukarelawan ini memanglah ingin membantu sekaligus berharap aku akan mendapatkan sebuah ide untuk menulis naskahku.
Truk yang aku tumpangi berhenti. Menandakan jika kami sudah tiba di tempat tujuan.
Satu per satu kami turun dan aku tersenyum lebar menatap pemandangan hijau di hadapanku. Pemandangan hijau yang jarang aku temui di New York.
Aku menoleh ke samping ketika mendapatkan suara rintihan dari sebelah kiriku. Aku menghampiri wanita paruh baya yang terlihat muram pada sepatunya.
"Hai," sapaku.
Wanita paruh baya tersebut mengalihkan pandangan dari sepatunya dan tersenyum lembut ke arahku. "Hai."
Aku mengulurkan tanganku dan memperkenalkan diriku. "Aku Rosemary. Kau bisa memanggilku Rose."
Wanita paruh baya itu menerima uluran tanganku dan membalas, "Penelope."
Aku menganggukkan kepalaku tanpa menghilangkan senyum yang mengembang di bibirku. "Apakah ada masalah?"
Penelope menghela napasnya dengan panjang. "Sepatuku sepertinya rusak," jawabnya sendu. "Dan aku tidak membawa sepatu cadangan. Maupun sandal. Bodohnya aku."
"Kau bisa menggunakan sepatuku," tawarku. "Aku masih memiliki sepatu cadangan."
"Benarkah?"
"Tentu."
Setelahnya, aku memberikan kedua sepatu yang terlihat sedikit kebesaran di kedua kaki miliknya. Penelope menatapku dengan tatapan bersyukur dan berkali-kali mengucapkan terima kasih sebelum dia pergi dari hadapanku menuju tendanya.
Usai kepergiannya, aku menatap kedua kakiku yang kini tidak menggunakan alas apapun.
Sebenarnya, aku berbohong kepada Penelope. Aku tidak membawa sepatu cadangan. Ataupun sandal. Aku juga bodoh sepertinya. Tapi aku akan merasa lebih bodoh jika aku tidak memberikannya sepatuku karena... well, dia lebih tua daripadaku.
"Perempuan bodoh."
Aku mendongakkan kepalaku dan mendapati pria tampan sedang berdiri di hadapanku dengan kedua tangannya bersedekap di depan kedua dadanya yang bidang.
"Mengapa kau meminjamkan sepatumu jika kau tidak memiliki sepatu cadangan?" tanyanya dengan angkuh.
Aku mendengus. Tidak menyangka jika aku menemukan pria arogan ikut di acara sukarelawan seperti ini.
Tanpa menjawab ucapannya, aku memutuskan untuk berjalan pergi meninggalkannya. Aku tidak mau membuang-buang waktuku berhadapan dengan pria tidak tahu diri seperti dia.
Langkahku terhenti ketika aku mendapati dirinya mencekal lenganku. Aku menoleh ke belakang dan dia tersenyum kecil kepadaku. Membuatku mengerutkan keningku dengan bingung.
Apa dia punya penyakit bipolar?
"Aku hanya bercanda," aku menaikkan kedua alisku. "Kau perempuan yang baik. Dan tunggu sebentar," dia melepaskan cekalannya yang ada di lenganku dan menurunkan tas besarnya. Dia merogoh tasnya dan mengeluarkan sepasang sandal yang terlihat besar untuk kedua kakiku.
"Pakai sandalku," katanya. "Aku membawa satu pasang sepatu cadangan dan dua pasang sandal. Hanya untuk berjaga-jaga dan rupanya tidak sia-sia. Walaupun terlihat kebesaran untuk kakimu yang kecil... ya, setidaknya kau mengenakan alas kaki."
Aku tersenyum kecil dan mengatakan terima kasih kepadanya. Aku mengulurkan tanganku dan memperkenalkan diriku seperti aku memperkenalkan diriku kepada Penelope.
Dia menerima jabatan tanganku dan kedua alisnya terangkat dan bertanya dengan bingung kepadaku. "Kau tidak mengenalku?"
Aku mengedikkan bahuku. "Apakah aku harus mengenalmu?" tanyaku tidak mengerti. "Apa kau seorang selebriti?"
Pria itu tertawa mendengar jawabanku. "Aku kira, aku sudah seterkenal itu. Ternyata tidak."
Pria itu menegakkan tubuhnya dan tersenyum lebar ke arahku. "Perkenalkan, aku Elliot Mor. Senang bertemu denganmu Rosemary."
Aku balas senyumnya dan kami berjalan berdampingan menuju tenda yang telah disiapkan.
"Hei, Rose," aku menoleh ke arah Elliot ketika hendak masuk ke dalam tenda. "Aku rasa acara sukarelawan ini akan menyenangkan. Mengingat aku telah menemukan seseorang yang tidak mengenalku." Elliot mengedikkan bahunya sekilas. "Setidaknya, kau akan melihatku sebagai Elliot Mor, seorang pria normal."
"Apa maksudmu?" tanyaku tidak mengerti. "Apa kau benar-benar selebritis?"
Elliot tertawa dan mengulurkan tangannya untuk mengacak-acak rambutku. Aku menepis tangannya dan menatapnya sebal.
"Bukan apa-apa. Aku hanya terlalu senang bertemu denganmu, Rosemary."
Bukan bipolar, bukan. Tetapi aneh. Ya, Elliot Mor adalah pria paling aneh yang aku kenal.