"Jadi, kau seorang penulis?"
Aku menganggukkan kepalaku menjawab pertanyaan Elliot.
Sejak kejadian sandal tiga hari yang lalu, Elliot dan aku menjadi dekat. Selama di Afrika, kami selalu bersama dan bercanda satu sama lain. Walaupun terkadang dia bersikap menyebalkan, tapi aku masih bisa menoleransinya.
Selama berbicara dengannya, aku jadi tahu sedikit mengenai Elliot. Dia anak satu-satunya di keluarga—membuatku mengerti mengapa dia terkadang bersikap semaunya, jarang mengalah, dan keras kepala.
"Mengapa kau ingin menjadi seorang penulis?"
Aku mengembuskan napasku dengan panjang dan menatap Elliot dengan malas. "Apakah kau seorang wartawan? Mengapa kau ingin tahu sekali dengan kehidupanku? Apa kehidupanmu terlalu membosankan sampai kau terus menanyakan kehidupanku?"
Elliot tertawa mendengar pertanyaanku yang beruntun. "Ya," tegasnya. "Aku penasaran dengan hidupmu. Aku tak tahu apapun tentang menulis novel, siapa penulis terkenal saat ini, ataupun novel apa yang sedang populer di kalangan anak muda sekarang."
Aku menggelengkan kepalaku. Menatapnya dengan kasihan. "El, sebenarnya kau habiskan untuk apa waktumu itu sampai kau tak tahu dunia luar?"
"Berbisnis? Mengembangkan suatu hal baru yang dapat digunakan oleh semua orang?" jawabannya terdengar seperti pertanyaan bagiku.
Walaupun Elliot telah bercerita sedikit mengenai kehidupannya, dia tetap saja tidak memberitahuku mengenai pekerjaannya. Tapi jika melihat dari tampilannya saat ini yang berambut gondrong... "Kau seorang ilmuwan, ya?" Elliot tercengang mendengar pertanyaanku.
"Apa yang membuatmu berpikir jika aku seorang ilmuwan?"
Aku mengedikkan bahuku. "Kau berambut gondrong dan kau berkata jika kau sibuk mengembangkan suatu hal yang baru—jadi kupikir kau adalah seorang ilmuwan yang terlalu sibuk dengan duniamu hingga lupa untuk mencukur rambut."
Elliot tertawa mendengar ucapanku. Membuatku merengut kesal dibuatnya. "Mengapa kau tertawa! Aku hanya berkata apa yang aku pikirkan!"
"Perempuan, emosimu itu mudah sekali terpancing," komentarnya.
"Kalau kau tidak suka dengan perempuan emosian sepertiku, lebih baik kau pergi dariku. Jangan terus mengekoriku seperti kucing yang takut kehilangan ibunya."
"Aw," ujarnya seraya menyentuh tangannya di atas jantungnya dengan dramatis. Membuatku memutar kedua bola mataku. "Aku memang mengikutimu, tapi jangan bandingkan aku dengan kucing. Aku ini seperti seekor singa, Rose."
Aku menatapnya dari atas sampai bawah. Dia? Seperti singa? Darimananya?
"Apa kau yakin, kau itu seperti singa?" tanyaku ragu. "Kau terlihat seperti kucing yang menggemaskan, Elliot."
Sudut bibirnya terangkat mendengar ucapanku. "Ketika kau menjadi milikku, kau akan mengerti mengapa aku mengatakan diriku ini seperti singa."
"Boleh aku tahu mengapa?" tanyaku penasaran.
"Jika kau ingin tahu, kau harus menjadi milikku terlebih dahulu."
Aku mengerutkan keningku. Berpikir. "Aku akan menjadi milikmu selama acara sukarelawan di sini. Menjadi milikmu selama kita di Afrika Selatan. Bagaimana?"
Elliot menggelengkan kepalanya. "Ketika kau memutuskan menjadi milikku, maka kau akan selamanya menjadi milikku."
Aku tidak suka akan pemikirannya. "Kau membuatnya terdengar seperti sebuah barang, El."
Elliot mengedikkan bahunya. "Tapi memang seperti itu. Aku ini posesif dengan apa yang aku miliki."
"Kau? Posesif?" tanyaku, tidak mempercayai ucapannnya untuk kedua kalinya. "Mengapa aku tidak percaya?"
"Jadi milikku," tegasnya. "Jika kau jadi milikku, kau akan tahu seberapa posesifnya, dan kau akan tahu seberapa kejam, dingin, dan tidak berperasaannya aku. Sama seperti singa."
Aku tertawa mendengar ucapannya. "Elliot, ucapanmu itu lebih bagus jika kau tuliskan dalam lembaran kertas. Kau cocok menjadi seorang penulis."
Elliot meraih lenganku ketika aku hendak berjalan untuk menyusul gerombolan kami. Aku menoleh ke arahnya dengan kedua alisku terangkat. "Kau belum menjawab pertanyaanku, Rose. Kau mau menjadi milikku?"
Aku tersenyum kecil dan menggelengkan kepalaku. "Aku terdengar seperti barang bagimu, El," ucapku geli. "Tapi jawabannya tidak. Aku tidak mau menjadi milikmu."
***
"Aw! Mereka sangat lucu sekali!" kagumku ketika melihat seekor anak gajah yang terlihat sedang berinteraksi dengan ibunya. Aku menoleh ke arah Elliot dan berkata, "El, bukankah gajah itu terlihat lucu? Mereka menggemaskan sekali."
Elliot hanya menganggukkan kepalanya kepadaku. Membuatku mengerucutkan bibirku dan berjalan menghampirinya.
Melihatku yang mendekat ke arahnya membuat Elliot menyilangkan tangannya dan menaikkan salah satu alisnya.
"Apa kau masih tidak mau berbicara denganku?" tanyaku ketika aku sudah berdiri di hadapannya.
Elliot menggelengkan kepalanya. Walaupun tingkah lakunya berkata tidak, tapi aku yakin sekali jika sebenarnya Elliot masih kesal kepadaku karena aku tidak mau mengikutinya untuk 'menjadi miliknya'.
Lihat, Elliot benar-benar bertingkah seperti anak kecil yang tidak dikabulkan keinginannya. Benar-benar merepotkan.
Aku memutar kedua bola mataku. "Aku tahu kau mogok berbicara denganku, Elliot."
Tidak mendapatkan reaksi apapun darinya membuatku mengembuskan napas dengan kesal.
"Oke," kataku dengan sedikit kesal. "Baiklah, aku ikuti kemauanmu, Tuan Mor."
"Kemauanku?" beonya.
Aku menganggukkan kepalaku dengan malas. "Selama di Afrika, aku akan menjadi milikmu."
Elliot menaikkan kedua alisnya. "Hanya selama kita di Afrika?"
"Ya." Kataku. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, bukan? Aku saja tidak yakin jika kita akan bertemu kembali setelah acara sukarelawan ini selesai."
"Mengapa kau tidak yakin?" tanyanya, terlihat bingung saat ini.
Aku memutar kedua bola mataku mendengar pertanyaan Elliot. "Kau saja lupa untuk mencukur rambutmu karena terlalu sibuk. Jadi ada kemungkinan pula kau akan lupa kepadaku setelah acara ini, Elliot."
"Baiklah." Putusnya. "Kau tidak bisa menarik kembali kata-katamu, Rose."
"Tentu." Kataku seraya menyengir lebar ke arahnya. "Asal kau jangan mendiamkanku, oke?"
Untuk sesaat aku tertegun—aku melihat Elliot seperti sedang menyeringai dan entah mengapa, perasaanku jadi tidak enak.
"Aku tidak akan mendiamkanmu selama kau menjadi milikku, Rose." Cengirnya. Membuatku yakin jika apa yang aku lihat barusan mungkin salah. "Kau tidak akan menyesal, aku janji."
***
"Setelah mengikuti acara sukarela ini, apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Rose?" tanya Elliot saat kami sedang makan malam.
Aku menyuap kembali sup kacang merahku dan berbicara setelah aku selesai mengunyah dan menelannya. "Kembali ke apartemenku yang kecil nan nyaman dan melanjutkan aktivitasku sebagai penulis."
Elliot menaikkan kedua alisnya. "Apa kau akan menuliskan kisah kita? Pertemuan kau dan aku di acara sukarela ini?"
Aku tertawa. "Mungkin iya, mungkin tidak." Jawabku seraya mengedikkan bahuku. "Entahlah Elliot. Aku sendiri masih bingung ingin menulis apa. Toh, aku tidak yakin akan menulis cerita kita. Aku tidak mau membuat pembacaku kecewa dengan menulis ending yang membuat sang tokoh utamanya berpisah."
"Tokoh utamanya berpisah?" tanyanya bingung. "Maksudmu, kau akan menulis sebuah cerita yang berisikan, kau dan aku akan berpisah di ending cerita tersebut?" aku menganggukkan kepalaku dengan ragu. Memang apa yang dia harapkan? Toh, aku tidak melihat masa depan dengan... well, aku sendiri tidak tahu hubungan apa yang sedang dijalani oleh Elliot dan aku saat ini.
"Mengapa kau membuat ending yang seperti itu?" tanyanya dengan nada tak terima. "Kau kan bisa membuat ending dengan bahagia, Rosemary."
Aku menaikkan kedua alisku. "Mengapa aku harus menulis ending yang bahagia, jika pada akhirnya memang ending pada cerita kau dan aku tidak bahagia?"
"Kenapa kau yakin sekali jika ending kau dan aku tidak akan bahagia?"
"Karena kau dan aku, Elliot, tidak akan bersama." Jelasku dengan perlahan. "Setelah acara ini, kau dan aku, kemungkinan kita akan bertemu lagi itu hanya lima persen. Selain itu, aku tidak pernah berkencan dengan seorang ilmuwan selain kau. Dan aku percaya, sepulang kita dari Afrika, kau akan sibuk dengan penelitian yang aku tidak tahu itu apa, dan kau akan melupakanku."
Elliot mengerjapkan kedua matanya. Seolah dia sedang mencerna ucapanku.
Sebelum Elliot membalas ucapanku, aku kembali berkata, "Kau bahkan tidak pernah mengurus rambutmu, Elliot. Aku yakin, kau akan melupakanku setelah acara ini selesai. Jika kau tidak terlalu sibuk dengan penelitianmu, kau pasti sudah mengurus rambutmu yang gondrong itu."