Rafael menunggu Karen dengan gugup di ruang tamu. Sudah satu jam dia duduk di sana menunggu kedatangan Karen.
Sudah berapa lama dia tidak bertemu dengan Karen? Mungkin sudah beberapa bulan, dia terlihat tidak tenang.
Perasaannya untuk Karen pun, sesederhana dia menyukai seorang wanita. Untuk tahap mencintai sepertinya Rafael tidak sampai sana.
Ketika memikirkan banyak hal, Rafael menyadari jika apa yang dia lakukan adalah kesalahan. Melakukan hal itu dengan Karen menggunakan identitasnya sebagai idola.
Rafael mendengar suara langkah kaki yang mengarah ke rumah itu. Degub jantungnya semakin berdebar saat suara pintu dibuka dari luar.
Rafael berdiri melihat wajah Karen yang menegang ketika melihat wajahnya.
"Apa—kabarmu?" tanya Rafael pada Karen.
Karen menatap Rafael tanpa berkedip. Namun terlihat jika kedua tangan Karen gemetaran.
Rafael bergerak ke arah Karen. Kemudian memeluk wanita itu.
"Maafkan aku," bisiknya. "Maafkan aku karena sudah membuatmu menunggu lama."
Karen bergeming, dia sama sekali tidak mengatakan apa apa. Dia sendiri bingung apa yang harus ia lakukan. Sebab dia tidak menduga jika akan bertemu dengan Rafael saat ini.
"Maafkan aku," kata Rafael sekali lagi. Memahami jika Karen saat ini sangat marah kepadanya.
Karen mengurai pelukannya. Lalu menatap wajah Rafael dengan saksama.
"Kau mau apa ke sini?" tanya Karen.
Hal itu tentu saja membuat Rafael terkejut. Itu sama sekali bukan sambutan yang dia harapkan. Karen bersikap terlalu dingin padanya.
"Aku—aku ingin menemuimu," jawab Rafael canggung. Ia pikir Karen akan menyukai kedatangannya saat ini. Namun rupanya dia salah.
Karen tidak berkata apa apa. Dia masuk ke dalam kamar lalu mengganti bajunya. Ketika dia keluar dari sana, terlihat Rafael masih berada di sana.
"Sudah—berapa bulan—hamil?" tanya Rafael.
"Entahlah, aku tidak begitu memedulikannya," jawab Karen yang jelas jelas berbohong.
"Kau marah kepadaku?"
Karen duduk di kursi yang berbeda dengan Rafael. Menatap kesal pada lelaki yang menurutnya sudah melupakan janjinya itu.
"Menurutmu bagaimana? Aku datang ke sini untuk menemuimu. Tapi kau malah—membantu wanita yang merupakan mantan cinta pertamamu."
"Tak hanya itu—kau seolah melupakanku. Melupakan apa yang sudah kau perbuat kepadaku. Apa kau memang sebrengsek ini?"
"Karen—" Rafael menghela napasnya. "Bukan begitu."
"Lalu?
"Kau bisa begitu sangat peduli pada cinta pertamamu, tapi kau sama sekali tidak peduli dengan aku—seseorang yang tengah hamil anakmu. Namun tenang saja, aku sudah mulai sadar jika aku memang bukan siapa siapa bagimu."
Ibu hamil cenderung menjadi emosional. Sensitif bahkan dia akan sering menangis tanpa sebab. Dan Karen sedang mengalami fase itu.
"Maafkan aku, aku akan bertanggungjawab, jadi—aku mohon maafkan aku."
Hening. Hingga beberapa saat.
Sampai mereka tersadarkan oleh suara bel.
Rafael menatap Karen gugup. Karen berdiri tidak peduli untuk membuka pintu tersebut.
"Rafka," bisik Karen terkejut.
"Apa aku menganggu waktumu?" tanya Rafka.
"Ah—itu—sepertinya tidak. Ada apa?" Karen kemudian mempersilakan masuk ke rumahnya.
Rafka menunjukkan buah buahan yang baru saja dia beli.
"Terakhir aku melihatmu kau sangat pucat, jadi aku membelikanmu buah buahan untukmu."
"Wah, terima kasih. Kau sangat baik."
Ketika masuk ke dalam, di ruang tamu. Tak ada Rafael di sana. Mungkin lelaki itu sedang bersembunyi di suatu ruangan.
"Tadinya aku ingin mengantarmu pulang, setelah kamu pingsan di gudang tadi—aku benar benar merasa bersalah."
"Jangan berkata seperti itu. Lagi pula memang pekerjaanku, kan?"
Rafael yang mendengar jika Karen sempat pingsan karena bekerja menjadi bersalah. Karen jauh jauh ke sana dan bekerja di sebuah gudang karena dirinya.
Tapi dirinya malah sibuk memikirkan wanita lain.
"Sebenarnya, aku sudah mendaftarkanmu pada rumah sakit rujukan karyawan. Jadi kau bisa ke sana dan gratis. Kau tidak perlu memikirkan biayanya."
"Terima kasih, kau sangat baik sekali. Aliya pasti beruntung memiliki dirimu," puji Karen. Yang entah mengapa pujian konyol itu keluar dari mulutnya begitu saja.
Namun sepertinya Rafka tidak menyukai pujian itu.
"Apa—Aliya sudah membuatmu kesulitan? Aku tahu kabar dari anak anak, sejak malam itu katanya dia selalu—"
"Tidak kok, aku pikir dia hanya salah paham kepadaku."
"Begitu ya? Aku minta maaf atas nama Aliya. Dia gadis yang sangat manja. Makanya dia seperti itu. Hidupnya tak pernah mengalami kesulitan sejak kecil."
"Sepertinya kau sangat mengenal dirinya ya?" Dan pertanyaan itu terlontar tanpa Karen sadari lagi.
Melihat bagaimana ekspresi Rafka menanggapi, sepertinya hubungan mereka berdua tidak sebaik itu.
"Ada apa? Apa kalian sedang bertengkar?" tanya Karen.
Rafka menggeleng pelan. "Entahlah, hubunganku memang selalu seperti ini."
"Apa—jangan jangan gossip yang aku dengar itu benar?" gumam Karen. Padahal suaranya sangat pelan. Namun dapat didengar jelas oleh Rafka.
"Sepertinya gossip itu sudah menyebar," kekeh Rafka.
**
Rafael muncul ketika Rafka sudah pergi. Ia menatap wajah Karen bertanya tanya. Sebenarnya hubungan mereka berdua itu apa?
"Kau sepertinya menyukai lelaki tadi, apa dia tampan?" tanya Rafael.
"Itu bukan urusanmu," jawab Karen.
"Kau masih marah padaku rupanya."
"Kau sebaiknya juga pulang."
Rafael melihat perut Karen yang sudah membesar. Ia khawatir jika Karen akan ketahuan oleh karyawan di tempatnya bekerja.
"Ini, gunakan untuk membeli keperluan anak kita."
Karen mendecih. "Anak kita?"
Rafael mengangguk. "Mungkin kau masih marah padaku, tapi aku tidak bisa mengabaikan kenyataan jika kau hamil anakku."
Rafael meninggalkan lembaran uang seratus ribuan sepuluh lembar. Dan juga nomor ponsel kepada Karen.
"Aku tidak akan mengganti nomorku, kau bisa menghubungiku kapan saja. Dan mungkin aku akan sering datang ke sini."
"Belilah sesuatu untukmu dan untuk anak kita." Rafael mendekat ke arah Karen kemudian memeluk wanita itu. Dia mengusap rambut Karen dengan lembut.
"Aku sadar aku telah berbuat banyak kesalahan padamu. Maka dari itu—aku akan menebusnya."
Karen terdiam. Dia cukup nyaman ketika lelaki itu memeluknya. Apakah karena anak yang ada di dalam kandungannya merasa nyaman juga karena bertemu dengan ayah kandungnya?
"Pergilah," gumam Karen.
"Baiklah, jaga dirimu baik baik." Rafael pun benar benar pergi dari rumah Karen.
Ketika lelaki itu sudah tidak terlihat lagi di sana, Karen terduduk kemudian menangis.
Rasanya sangat menyesakkan dan sangat memalukan.
Kini dia harus hidup seperti ini sendirian. Ketika dia bertemu dengan Rafael, bukannya senang dia malah menolaknya mentah mentah.
Apakah amarahnya pada Rafael lantaran anak yang dikandungnya? Efek kehamilannya saat ini?
Sementara itu Rafael yang masih berada di depan rumah Karen, mendengar perempuan itu menangis membuatnya semakin merasa bersalah.
Seharusnya dia datang menemui wanita itu lebih dulu alih alih menolong Merrry. Namun semuanya sudah terlambat, yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah membuat Karen merasa ada yang menjaganya.