Karen sudah lelah. Ia tidak pernah mengalihkan pandangannya dari ponselnya sejak tadi. Berharap jika Rafael akan membalas pesannya.
Namun pada kenyataannya, pesan itu tidak kunjung dibalas oleh lelaki itu.
Karen menekuri kedua sepatunya. Hari ini dia pulang larut malam. Dia jauh jauh datang ke kota demi Rafael. Lalu Rafael menghilang begitu saja. Jadi—apa gunanya Karen ada di sana?
Terkadang perasaan bersalah menghantui Karen, dia sebenarnya ingin pulang bertemu dengan orangtuanya. Hanya saja—dia mengingat anak yang sedang dia kandung.
"Karen?" Suara lelaki mengejutkannya. Karen mendongak. Ia pun tersenyum.
Rafka…
"Pulang ke mana? Aku akan mengantarmu?" Itu sebuah tawaran bagus untuk Karen. Namun dia tidak ingin terlibat masalah jika sampai Aliya tahu.
"Tidak, terima kasih," sahut Karen menolaknya dengan halus.
"Kau yakin? Sudah malam, bus tidak akan lewat lagi."
Benarkah? Karen melirik jam di tangannya. Sudah pukul sepuluh, pantas saja di halte sudah sepi.
"Bagaimana?" tanya Rafka sekali lagi.
"Sekali-kali merepotkanku tidak apa apa kok," kekeh Rafka. Karen pun berdiri, dia kemudian masuk ke dalam mobil Rafka.
Selama Aliya tidak tahu, pasti tak akan menimbulkan masalah.
**
"Kalau tahu begini, aku tidak akan memintamu lembur setiap hari." Rafka merasa bersalah ketika melihat tanjakan tinggi yang merupakan jalan menuju rumah sewa Karen.
"Jangan seperti itu, itu sudah menjadi tanggungjawabku kan?" Karen melepaskan sabuk pengamannya. Namun dia merasa kesulitan hingga membuat Rafka maju dan membantu melepaskannya.
"Terima—kasih." Anehnya Karen terbata karena perlakuan Rafka.
"Mobil ini sudah tua, terkadang ada sedikit masalah," kekeh Rafka.
"Tidak apa apa, sekali lagi terima kasih." Karen turun, kemudian menunggu Rafka meninggalkannya sendirian di sana.
Usai Rafka pergi, dia pun menaiki tanjakan itu dengan kesusahan. Seharusnya dia tidak tinggal di sana. Namun mau bagaimana lagi, di sanalah tempat yang harga sewanya murah.
Ponselnya berbunyi ketika Karen hendak memasuki rumahnya. Ia melihat nama Liam muncul.
Liam: Bagaimana kabarmu?
Mata Karen melonjak, hatinya ringan seketika. Ini bukan Rafael, tapi tetap saja Liam tinggal satu rumah dengan Rafael.
Karen: Baik, kalian berdua bagaimana?
Liam: Entahlah.
Liam mengirimkan sebuah gambar. Di mana Merry dan Rafael sedang makan berdua bersama.
Karen pikir mungkin wanita itu adalah teman Rafael, tapi sepertinya bukan. Rafael tengah tersenyum. Rafael tersenyum begitu tulus pada wanita itu.
Karen: Dia siapa?
Liam: Cinta pertama Rafael, atau mungkin pacar Rafael.
Karen: Kau yakin?
Liam: Tentu saja, buat apa dia mengizinkan tinggal bersama kami.
Jantung Karen seakan mencelos, dia tidak mengerti mengapa Rafael bahkan lebih peduli pada orang lain dibanding dirinya. Apakah karena dia cinta pertama Rafael, makanya sampai diperlakukan seperti itu?
Bukankah seharusnya yang ada di dalam rumah itu adalah Karen, yang tengah hamil anaknya?
Karen: Tinggal bersama kalian, sejak kapan?
Liam: Beberapa hari yang lalu. Apa dia tidak menghubungimu?
Karen: Pernah, tapi dia tidak membalas pesanku lagi.
Liam: Dia sibuk dengan wanita itu, jadi jangan berharap lebih padanya.
Karen: Tapi aku
Liam: Apa?
Karen: Aku hamil anak Rafael!
Setelah itu tak ada balasan dari Liam. Sementara itu Karen menangis sendirian di dalam kamar setelah mendapati Rafael mengkhianatinya.
Memang semua lelaki seperti itu ya? Setelah dia meninggalkan wanita lain dia datang pada wanita lainnya?
"Kau kenapa?" tanya Ruri yang baru saja mandi, dia masuk ke kamar Karen setelah mendengar suara tangisan dari wanita itu.
Karen menggelengkan kepalanya.
"Ibu hamil tidak boleh stress lho."
Karen bergeming.
**
Liam masih membaca pesan dari Karen. Dia tidak ingin langsung percaya. Namun entah mengapa hal itu malah semakin menganggunya.
"Hamil, tapi kenapa Rafael bertingkah seperti tak ada yang terjadi?" gumam Liam.
"Gadis itu—benar benar bodoh."
Liam berdiri kemudian mencari keberadaan Rafael. Lelaki itu tak ada di apartemen malam ini karena harus ke agensinya.
Liam menunggunya sampai malam tiba. Ketika Rafael masuk, dia langsung menarik Rafael.
"Ada apa?" tanya Rafael pada Liam dengan penasaran.
"Gadis pulau itu—kau tahu kan jika dia sedang hamil?"
Mata Rafael bergetar. Wajahnya seketika memucat.
"Kau—tahu dari mana?"
Liam mengeluarkan ponselnya kemudian menunjukan percakapannya dengan Karen.
"Lihat ini! Bagaimana bisa—" Liam sampai tak dapat berkata-kata.
"Kau—benar benar membuatku kecewa. Kau membawa wanita itu masuk ke dalam apartemen kita. Kemudian kau juga telah menghamili wanita pulau itu!"
Suara teriakan Liam terdengar sampai ke dalam kamar Merry. Merry tahu apa yang sedang dibicarakan oleh Liam dan Rafael.
"Hamil? Gadis pulau? Siapa? Kekasih Rafael, tapi mana mungkin?"
"Tidak, tidak boleh. Rafael tidak boleh bersama dengan gadis lain. Nanti—pasti dia akan mencampakanku."
**
Karen menatap layar gawainya. Pesan masuk dari Rafael setelah dia berhasil memberikan nomor itu kepadanya.
Rasa kecewa dan marah menjadi satu. Karen tak tahu harus bagaimana sekarang.
Tak lama kemudian, nomor itu menelepon. Karen pun memutuskan untuk memblokirnya untuk sementara.
Ia tak ingin mengingat Rafael sementara waktu—meski hal itu sangat sulit dilakukan.
"Ponselmu sibuk sekali," goda Ruri yang tak tahu apa apa. "Apa kekasihmu sudah menghubungimu?"
Karen menaikkan bahunya. "Aku tidak tahu itu nomor siapa, mungkin spam."
"Aku nanti malam pulang larut, kalau kau tidak lembur makan dulu saja. Oke."
Karen mengangguk, kemudian meninggalkan Karen yang masih menatap mangkuk yang berisi bubur ayamnya.
**
Rafael menyugar rambutnya dengan kesal. Sudah sampai 78 kali dia mengirim pesan pada Karen, tapi tak dibalas. Kemudian ketika dia menghubunginya. Nomornya diblokir oleh wanita itu.
"Apa dia marah?" gumam Rafael.
"Tentu saja dia marah, dia mengira kau mengkhianatinya."
"Apa maksudmu?" Rafael menyipitkan matanya pada Liam yang duduk di sofa.
"Aku mengatakan kalau kau menampung wanita itu di sini."
"Apa?!" Rafael seketika berdiri. Pantas saja Karen seperti itu.
"Dan yang paling mengerikan adalah ketika bos kita tahu kalau kau menghamili seorang wanita dan menyembunyikan cinta pertamamu di sini," sindir Liam.
"Cukup."
"AKU YANG SEHARUSNYA MENGATAKAN ITU KEPADAMU!" Suara Liam menggelegar. "Kau selalu membuat masalah! Kenapa? Kenapa tak pernah berpikir dulu sebelum bertindak!"
Baru kali ini Liam semarah ini pada Rafael. Rafael yang baru melihat Liam marah langsung terkejut.
Mungkin Liam sudah sangat kecewa dan berada di ambang batasnya.
"Aku tahu! Aku tahu penggemarmu lebih banyak dariku! Tapi itu artinya kau dapat melakukan hal sesukamu? Tidak, kenapa aku yang selalu harus berhati-hati?"
Liam berdiri kemudian masuk ke kamarnya, menutup pintu sampai berdebam cukup keras.
Tak lama kemudian Merry muncul dari dalam kamar, kemudian duduk di sebelah Rafael.
"Karena kau lebih tua, kau harus mengalah," kata Merry berpura-pura sok baik.