Tiba-tiba saja Harith masuk ke dalam tenda sembari menunduk lalu bersila di hadapannya. "Ada apa, Pangeran?" tanya Chayra dengan senyum mengembang di wajah.
Namun, raut muka Harith yang mendadak sendu membuat keduanya berada dalam keheningan.
Perlahan, Harith membuka mulutnya. "Besok atau lusa, saya akan memimpin pemberontakan. Saya harap ...," lalu menghela napas berat, "Nyonya bersama para pelayan, tetap berada di sini sampai semuanya selesai."
"Bukankah sudah seharusnya begitu?" Chayra tersenyum, tapi alisnya bertaut. Menandakan sebuah pertanyaan dalam kalimatnya.
Harith menyunggingkan senyum sedikit terpaksa. Kedua tangannya menggenggam jemari Chayra yang memegang secawan teh. Menyimpannya di meja semula. "Bisa saja saya tidak akan kembali, mengingat pasukan Raja Firan jauh lebih unggul dalam hal pengalaman. Namun, jika semuanya berjalan sesuai rencana ... saya bisa menjamin, semua kerajaan di negeri seberang akan mendukung saya dalam mengambil alih tahta kerajaan."
"Lantas, apa lagi yang Anda khawatirkan?"
Pertanyaan Chayra membuat tubuh tegap sang pangeran menunduk. Dengan sebelah wajah ditutupi telapak tangan kanan, Harith menghela napas cukup panjang. "Tiba-tiba saja ... aku merasa ... tidak akan bisa kembali, Bu."
Panggilan itu, Chayra tidak menyangka Pangeran Harith akan menyebutnya dengan panggilan masa kecil itu lagi. Seketika senyum hangat terlepas dari wajah Chayra.
Chayra menghampiri dan menenggelamkan kepala sang pangeran agar bersandar ke dada. Memeluknya dengan penuh cinta. "Ibu akan selalu mendukungmu. Apapun yang terjadi nanti, kau sudah melakukan semuanya dengan baik." Seraya mengusap rambut Harith, lembut.
Terdengar isakan dari sang pangeran. Akan tetapi, matanya sama sekali tidak mengeluarkan air mata. Sementara kedua tangan bergerak, pelan-pelan menuju punggung ke bahu. Kemudian meremas bahu ibu angkatnya, cukup erat. Harith, dia menyalurkan beban pikiran ... yang selama ini terus berkecamuk di dalam hati dan otaknya.
***
Keesokan hari, dengan cuaca pagi yang cukup cerah. Harith sudah sibuk di luar. Setelah sarapan dirinya langsung mengecek tenda persenjataan. Lalu menonton 'Simulasi Perang' para prajurit yang jumlahnya jauh dari kata banyak jika disandingkan dengan pasukan perang dari Kerajaan Altair. Yang memiliki beberapa unit pasukan dengan kepala prajurit yang berbeda-beda. Sementara para pelayan yang menjadi sandera, tidak dilepaskan. Sebab, banyak sekali informasi yang bisa digali dari mereka.
Para tawanan berada di tenda yang lumayan besar, berbentuk persegi panjang. Dikumpulkan di sana dengan kondisi tanpa ikatan. Sewaktu ingin kembali ke tenda pribadi, Harith tak sengaja melihat Kaila masuk ke dalam tenda tersebut, membawa nampan besar berisi makanan.
Entah, dorongan dari mana, Harith merasa harus melangkah menuju tenda para tawanan. Dia berdiam diri di balik tirai. Berpikir sebentar, untuk apa dirinya di sini?
Kemudian menyibak tirai tenda dan melangkah ke dalam. Ketika melihat Kaila yang sedang mengobrol dengan tawanan pria, sesama pelayan yang sekarang adalah tawanan. Harith merasakan sesak yang tiba-tiba muncul. Perasaan kesal dan marah, ingin memisahkan Kaila dan pelayan pria itu begitu melihatnya.
Harith pun melangkah lagi, tapi tertahan ketika manik keemasannya menangkap tawa Kaila yang sangat tulus dan lepas. Keduanya terlihat akrab dan duduk bersama di matras.
Sakit yang terasa di dada makin membuat napasnya sulit, tapi kedua kakinya tidak bisa bergerak untuk memisahkan mereka. Justru Harith memilih keluar dari tenda. Meninggalkan kepalan tangan yang membuat buku-buku jarinya memutih.
Bahkan ketika sudah sampai di dalam tenda pribadi dan mulai menulis sebuah gulungan untuk di kirim kepada Syamsir, rasa sesak dan amarah masih saja tersisa dan membuat jemarinya selalu menuliskan kata-kata yang salah.
Refleks, tangan yang memegang pena bulu memukul meja. Lalu tangan kiri meremas rambut sekitar pelipis. Harith masih tidak bisa menyingkirkan bayangan Kaila dari kepalanya. Apakah mungkin dia cemburu?
Bagai mendapat sebuah ide brilian, Harith bangkit dari duduk dan keluar secepatnya dari tenda. "Hei, kau! Kemari!" panggilnya pada seorang pelayan pria yang lewat, sambil membuat gestur tangan diangkat.
"Ya? Pangeran? Anda memanggil saya?" tanya pelayan itu setelah menunduk.
"Panggil Kaila ke sini, ada yang ingin aku bicarakan dengannya."
Pelayan itu segera menjalankan tugas yang baru saja ia terima dari sang pangeran. Sedangkan Harith masuk kembali ke tendanya dan duduk bersila dengan gusar.
Cukup lama Harith menunggu, pantatnya sampai panas akibat posisi duduk yang tak berubah-ubah. Akhirnya, Kaila datang juga. Membunyikan lonceng terlebih dahulu kemudian duduk dengan sopan di depan Harith setelah diizinkan masuk.
Harith tampak memejamkan mata, sambil menopang pelipis di kepalan tangannya sendiri. "Kaila, kau tahu mengapa aku memanggilmu kemari?"
Kaila menggeleng cepat. Dirinya merasakan ketidaknyamanan saat melihat gestur tubuh Harith kali ini. Posisi duduknya pun ikutan menegang karena hal tersebut.
Tiba-tiba, Harith bersuara, "Aku cemburu. Aku tidak ingin kau tertawa seperti itu dengan pria lain."
"Maksud Pangeran apa? Saya tidak mengerti."
Helaan napas keluar. Harith membuka mata dan membenarkan duduknya. "Pokoknya aku tidak ingin kau tertawa lepas dengan pria lain selain denganku."
"Sungguh Pangeran, saya tidak mengerti maksud Anda. Tolong jelaskan, mengapa saya tidak boleh tertawa dengan orang lain?"
Harith seketika diam. Tubuhnya membungkuk dengan tangan kiri yang mengepal di lutut. Memikirkan pertanyaan Kaila, kenapa dirinya melarang? Apa haknya untuk melakukan hal tersebut? Memang dia siapanya Kaila?
Dan jawaban pun tak ditemukan. Tidak ada sama sekali, kecuali ... Harith mengubah status Kaila menjadi istrinya.
Saat itulah, Harith bangkit dari duduk. Menggeser meja tulis, mendekap Kaila, dan mencium bibir perempuan itu.
Kaila mengedipkan mata beberapa kali akibat terkejut. Sekujur tubuhnya mendadak beku karena menerima perlakuan yang tiba-tiba.
Ciuman itu berlangsung lama. Namun tidak ada yang melumat satu sama lain. Sekadar penyatuan bibir yang menimbulkan gejolak hati yang tidak bisa digambarkan. Bagai terhipnotis, keduanya diam tak bergerak sedikitpun.
Akhirnya ciuman dilepas. Saat itu, Harith masih mencerna apa yang telah dia lakukan pada Kaila. Ketika sadar, warna merah semerah tomat langsung menyebar ke seluruh wajah.
Namun yang lebih mengejutkan, air bening justru keluar dari pelupuk mata Kaila. Harith yang melihat hal tersebut menjadi panik. Melihat perempuan yang dicintainya malah menangis tanpa terisak.
"Ada apa denganmu? Kenapa menangis?" Harith terus mengguncangkan pundak Kaila, tetapi tidak ada respons sekalipun dari Kaila, membuat Harith lebih cemas lagi.
"Kaila! Jangan bercanda! Bicaralah!"
Plak!
Tamparan keras mendarat dengan mulus. Harith otomatis menekan pipi kiri, seketika terbengong-bengong. Bekas tamparan itu menumbuhkan warna yang lebih gelap dari wajah pemiliknya.
Berbeda dengan Kaila, tangannya bergetar setelah membuat tanda telapak tangan pada wajah rupawan sang pangeran. Dirinya sampai kesulitan untuk menelan ludah.
"Sa-saya ti-tidak bermak—ups!" Ucapan Kaila menggantung ketika melihat bekas tamparan sangat kontras dengan kulit asli. Mulutnya ditutup seketika oleh kedua tangan.
Pelan-pelan posisi duduk Kaila bergeser. Merasa kakinya sudah mencapai batas matras, Kaila bangkit dan langsung lenyap dari tenda. Meninggalkan Harith dengan kondisi memalukan.
Harith mengembuskan napas saat sadar dan tidak berniat untuk mengejar Kaila. Dia kembali duduk depan meja, dan mulai menulis lagi. Sepanjang menulis, senyum tipis dan semburat merah di pipi menemani Harith hingga tulisannya selesai.
***
Setelah insiden kecil itu, keduanya sama-sama saling menghindar, hingga hari berikutnya. Kaila merasa takut jika bertatap muka dengan Harith. Sementara Harith, sedikit malu karena berakhir ditampar oleh perempuan yang disukainya. Akibat ulah sendiri.
Seperti sore ini, sudah tugas Kaila membereskan piring-piring bekas makan siang di meja. Berulang kali dia mengambil jalan memutar menuju danau tatkala pangeran Harith terlihat berjalan kearahnya. Sehingga, banyak yang menyadari kejanggalan diantara mereka.
Ketika sudah selesai membawa semua piring cucian ke pinggir danau. Kaila menumpuk semuanya di atas batu yang memiliki permukaan datar. Di situ sudah ada dua ember kayu berisi air untuk membasuh piring-piring kotor.
Selama mencuci, Kaila tidak menyadari di sampingnya sudah berjongkok seorang pangeran. Harith hanya diam tak bersuara. Mengawasi Kaila yang sedang mencuci piring dan mengeringkannya pada keranjang berbentuk mangkuk.
Selesai mencuci, Kaila malah jatuh terduduk, ketika tak sengaja melihat sosok Harith sedang berjongkok. "Pa-pangeran?"
"Aku hanya melihat kok, tidak macam-macam."
Lihat wajah Kaila sekarang, kalimat itu membuatnya malu bukan kepalang. Mengakibatkan garis-garis halus merah muda di pipinya terlihat lebih jelas.
Di sisi lain, ada seorang pelayan berlari kearah mereka berdua. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sang pangeran tidak sendiri. Pelayan pria itu menggaruk belakang kepala, bimbang. Sebab dalam penglihatannya, pangeran sedang mengusili seorang perempuan yang tak lain adalah Kaila.
Harith yang membantu Kaila berdiri, langsung menyadari seorang pelayan ingin mendekatinya. "Sedang apa diam saja di sana? Kemarilah dan bantu bawakan keranjang ini!" serunya memerintah.
Tanpa basa-basi pelayan itu segera berlari dan memeluk keranjang berisi peralatan makan yang sudah bersih. Dirinya mengekor kedua sejoli sampai ke tenda penyimpanan barang.
Meski sudah duduk di atas kotak penyimpanan dalam tenda, Harith fokus mengobati telapak tangan Kaila, terluka akibat permukaan batu yang tajam. Dia tak menghiraukan pelayan yang masih di luar, setia dengan keranjang dipelukan.
Beberapa kali pelayan itu mengintip tenda tanpa tirai. Sebab kedua lengannya sudah mati rasa, akibat terlalu lama membawa beban berat. Syukurlah, Harith akhirnya keluar dan mengambil keranjang cucian. Berucap terima kasih lalu masuk ke tenda tak bertirai lagi.
Pelayan itu segera tersadar. Harusnya dia menyampaikan info penting bukan malah menyia-nyiakan waktu. Dirinya berseru, "Pangeran, tunggu!"
Harith menoleh, menyatukan kedua alis. "Ada apa?" tanyanya.
Pelayan agak kikuk. Menyadari sang pangeran sedang tidak ingin diganggu. Walau begitu dia tetap harus menyampaikan berita penting ini. "Sebenarnya saya ingin menyampaikan sejak tadi, kalau balasan dari Tuan Syamsir sudah sampai. Gulungannya sudah berada di tangan Nyonya Chayra," jelasnya dalam sekali tarikan napas.