Aku bertanya-tanya, adakah hal yang bisa mengejutkanku setelah semua ini? Apa yang lebih buruk daripada dikhianati oleh orang-orang yang paling kupercaya di dunia?
Kekasihku bercinta dengan sahabatku sendiri!
Aku tidak ingin memercayai penglihatanku. Mungkin saja mataku sudah mengkhianatiku. Mungkin saja ini hanya mimpi buruk dan akan hilang saat aku terbangun nanti. Namun, aku tak kunjung terbangun. Mimpi ini tak kunjung berakhir. Rasa sakitnya terlalu nyata untuk disebut sebagai mimpi.
Kemudian, aku teringat saat-saat itu. Ketika aku mengenalkan Mauve kepada Grey. Dalam waktu singkat, keduanya sudah begitu akrab. Kupikir bagus jika orang-orang yang paling kukasihi dekat. Aku pernah memergoki mereka jalan-jalan hanya berdua, tetapi baik Grey maupun Azzure beralasan bahwa mereka tak sengaja bertemu. Dan betapa bodohnya aku karena memercayainya begitu saja. Beberapa temanku memperingatkan tentang Grey, tetapi perasaanku terhadapnya membuatku buta dan tuli sehingga mengabaikan perkataan mereka.
Sejak kapan mereka bermain di belakangku?
Aku tidak ingin menangis, tetapi air mataku menetes begitu saja tanpa mampu kubendung. Setiap aku mengusap sebutir air mata yang menetes, butiran-butiran lain menyusul sehingga pipiku tak kunjung kering. Dan semakin aku berusaha menghapusnya, air mataku malah mengalir semakin deras.
Napasku sesak. Aku menekan dada, seolah tindakan kecil itu bisa mencegah retakan di hatiku menyebar—mencegah kehancuran hatiku yang tak terelakkan. Isakan pertama akhirnya lolos dari mulutku.
Tiba-tiba sepasang tangan menangkup kedua sisi wajahku. Tangan yang tak asing lagi bagiku. Tangan yang selama tiga tahun terakhir begitu akrab di kulitku—menggandeng tanganku, membelai wajahku, mengusap air mataku. Grey mengatakan sesuatu, tetapi aku tak bisa mendengarnya. Aku tak lagi merasakan ketenangan dari suara ataupun tatapannya.
Aku merasa hampa. Ada lubang besar di dalam hatiku, di mana Grey dan Azzure sebelumnya berada. Kini tempat itu menganga dan berdarah.
Saat Grey menarikku ke dalam pelukannya, aku tak melawan—tetapi juga tak membalasnya. Kedua tanganku terkepal di sisi tubuh. Kupejamkan mata, masih berharap semua ini hanya ilusi. Aku tidak ingin mengakui pengkhianatan yang dilakukan oleh Grey dan Azzure. Aku takkan sanggup kehilangan mereka. Sejenak terpikir olehku untuk berpura-pura tidak melihat semua ini dan bersikap seolah tak tahu apa-apa. Tapi mana mungkin?
Aku merasakan kehangatan kulit Grey yang tak asing lagi. Begitu juga dada bidangnya yang begitu nyaman ketika dia menyandarkan kepalaku di sana. Serta aroma tubuhnya yang seperti hujan, rumput, dan sesuatu yang manis. Sejak dulu, Grey selalu beraroma seperti musim semi. Segalanya terasa normal, terasa familier. Sejak pertama kali berkenalan dengannya, aku selalu merasa kami begitu serasi, seolah aku tercipta untuk Grey dan Grey juga tercipta untukku. Hanya untukku. Dia membuatku tergila-gila kepadanya.
Kemudian, samar-samar, aku bisa membaui aroma percintaan mereka.
Kudorong Grey menjauh. Dia terhuyung-huyung dan hampir terjatuh. Kemudian, aku berpaling pada Azzure yang kini sudah memakai jubah tidur. Dia sepertinya masih memiliki sedikit rasa malu karena dia beringsut tak nyaman dan mengalihkan pandangannya ketika aku menatapnya tajam. Atau mungkin dia hanya tidak sudi memandangku.
Aku kembali berpaling pada Grey yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana piyama. Sebisa mungkin kutumpahkan perasaan sakit serta terkhianati melalui mataku ketika menatapnya. Grey membuka mulut, tetapi aku mengangkat satu tanganku—menghentikan dan membuatnya menelan kembali apa pun yang hendak ia katakan. "Sejak kapan?" tanyaku. Suaraku parau, terdengar kasar dan aneh di telingaku.
"Rossie—" Dulu panggilan itu terdengar begitu lembut dan manis di telingaku, selalu mampu meluluhkan hatiku. Namun, mendengar itu terucap dari mulut Grey sekarang terasa begitu memuakkan.
"Sejak kapan kalian bermain di belakangku?" tanyaku dingin.
"Rossie, aku bisa menjelaskannya," Grey berkata.
Aku mengusap air mataku dengan kasar. "Apa lagi yang harus dijelaskan?" Aku mendorong Grey. "Semuanya sudah sangat jelas. Kau—kalian mengkhianatiku. Kau berselingkuh dengan sahabatku sendiri! Apa kesalahanku pada kalian sehingga aku mendapatkan balasan seperti ini? Aku menyayangi kalian! Aku memercayai kalian lebih dari siapa pun di dunia ini, tetapi kalian justru bermain di balik punggungku!"
Grey memegangi lenganku. Ada kepanikan di dalam sorot mata serta suaranya. "Rossie, dengarkan aku. Aku—ini bukan salahku. Azzure yang menggodaku!"
Aku menggeleng. "Aku bahkan tidak tahu lagi siapa yang bisa kuperaya," isakku. "Kenapa kalian begitu jahat padaku? Dan kau—" aku menunjuk Azzure, "aku sudah menganggapmu saudara! Inikah balasanmu? Dengan merebut kekasihku? Kau tahu apa arti Gee bagiku!"
"Aeris! Diam dan dengarkan aku!" sentak Grey sembari mengguncangku.
Aku menyentak lepas tanganku dari Grey. "Aku tidak ingin mendengar apa pun!" jeritku. "Kau selalu berkata bahwa aku satu-satunya bagimu, bahwa kau mencintaiku. Kau bilang tidak ada perempuan selain diriku. Tapi kenyataannya, kau mengkhianatiku."
Aku berpaling pada Azzure, kemudian melangkah ke arahnya. "Azz, setelah persahabatan kita selama bertahun-tahun, kau tega melakukan ini padaku?" kataku nyaris seperti bisikan. "Apa yang sudah kuperbuat sehingga kau menganggap aku pantas mendapatkan balasan semengerikan ini?"
Azzure mendongak dan membalas tatapanku. Yang mengejutkanku, sorot matanya keras dan penuh keteguhan. Raut wajah serta suaranya begitu tenang saat berbicara. "Aku mencintai Grey," ucapnya. "Kau tidak melakukan kesalahan apa pun. Aku jatuh cinta pada Grey dan tak mampu mengekang perasaanku, kemudian dengan egois menginginkannya menjadi milikku sendiri. Aku yang menggoda Grey agar dia tidur denganku."
Aku terlalu terperangah mendengar pengakuan Azzure sehingga hanya bisa bergeming. Persahabatan kami selama lebih dari sepuluh tahun seolah tak berarti di matanya. Sekarang aku bertanya-tanya, pernahkah Azzure sungguh-sungguh menganggapku sahabatnya?
"Kau dengar? Azzure mengakuinya sendiri! Aku tidak bersalah, Rossie," seru Grey. Ada sesuatu menyerupai kemenangan di dalam suaranya. Grey berusaha meraihku, tetapi aku langsung bergerak menjauh.
Tangan Grey menggantung di udara. Kebingungan terlihat jelas di wajahnya. "Rossie?"
"Kau bilang Azz menggodamu?" tanyaku pelan, tetapi tidak lemah. "Bukankah kau masih punya akal sehat? Kau bukannya tak berdaya. Kau bisa saja menolak, tapi nyatanya tidak kau lakukan. Kau bahkan tidak memberitahu aku. Kau tidak menganggap aku kekasihmu. Azz menggodamu dan kau menyambutnya dengan tangan terbuka. Lalu, apa bedanya kalian berdua?"
Aku tersentak ketika Grey tiba-tiba berteriak, "Itu karena kau! Ini semua salahmu! Andai kau tidak terus-menerus menolakku, andai kau menyingkirkan sikap munafik dan sok sucimu itu, aku takkan berselingkuh! Aku pasti takkan tergoda! Aku pria normal, Aeris! Kita sudah tiga tahun berpacaran. Aku bahkan sudah melamarmu, tetapi kau hanya mau memberiku tak lebih dari sekadar ciuman. Tidakkah kau berpikir kalau aku juga ingin melakukan yang lebih jauh lagi? Azz memberikan apa yang tidak pernah kudapatkan darimu."
Pengakuan Grey terasa seperti tamparan bagiku. Tenggorokanku tercekat. "A-apa maksudmu?" aku tergagap. "Bukankah aku sudah mengatakan padamu mengenai hal itu sejak awal kita pacaran? Dan kau waktu itu berkata tidak keberatan. Kau bahkan tampak senang. Kenapa sekarang kau mempermasalahkannya? Tidakkah cintaku cukup bagimu?"
Grey mendengus seraya memalingkan wajahnya. "Dulu aku sedang dimabuk cinta. Kupikir dengan kita saling mencintai dan mencurahkan perasaan kita terhadap satu sama lain saja sudah cukup. Dulu mungkin aku akan merasa cukup dengan hal itu, tetapi orang-orang berubah. Begitu juga aku. Aku bersyukur dengan melimpahnya cinta darimu, tetapi aku sadar kalau kata-kata cinta sudah tidak cukup lagi. Aku menginginkanmu seutuhnya. Aku ingin bukti dari perkataanmu selama ini.
"Kau bahkan menolak permintaanku supaya kita tinggal bersama. Kau takut aku akan meninggalkanmu setelah kau memberikan hal yang paling berharga bagimu, yang selama ini selalu kau jaga. Padahal kau tahu betapa aku tergila-gila padamu. Kau tidak pernah benar-benar mencintaiku. Kalau kau memang mencintaiku, kau akan sepenuhnya memercayaiku. Aku tak mungkin meninggalkanmu setelah kau memberikan kehormatanmu. Aku pasti akan menikahimu."
Perkataan Grey membuatku tercenung. Aku diam cukup lama, merenungkan perkataannya. Keheningan menggelayuti udara di sekitar kami layaknya awan badai. Aku menarik napas panjang. "Benarkah kau mencintaiku?" tanyaku, hampir menyerupai bisikan. "Yang di hatimu itu bukanlah cinta, Gee," kataku lembut. "Kau berkata bahwa kau mencintaiku, tetapi dari apa yang kaukatakan, aku hanya bisa menangkap satu hal. Seks." Ada kepuasan tersendiri ketika melihat Grey berjengit.
"Kau mempermasalahkan prinsipku. Kau marah karena aku terus menolakmu ketika kau mengajakku bercinta. Kau tidak terima saat aku menolak ajakanmu untuk tinggal bersama. Kau tidak terbiasa ditolak, dan penolakanku melukai harga dirimu."
"Harga diri!" seru Grey. "Kau tidak akan mendapatkan apa pun dengan harga diri yang selalu kau bangga-banggakan itu! Harga dirimu yang menghancurkan hubungan kita! Kau gadis kolot angkuh!"
Aku merasakan ujung bibirku tertarik ke atas membentuk senyuman. "Setidaknya aku kini tahu apa yang sebenarnya kau inginkan. Di balik segala sikap dan kata-kata manismu selama ini, ternyata kau hanya menginginkan tubuhku. Dan yaa … kau juga membuatku melihat makhluk seperti apa Azz sebenarnya. Aku mungkin kolot, munafik, sok suci, hina di mata kalian, tetapi setidaknya aku tidak pernah mengkhianati orang-orang yang memercayaiku." Aku menatap tajam Azzure yang sedari tadi hanya membisu.
"Kau berkata aku tidak akan mendapatkan apa pun dengan keangkuhanku ini. Kau salah besar. Aku mendapatkan banyak hal. Tuhan menjauhkanku dari pengkhianat seperti kalian," kataku tanpa mengalihkan tatapan dari Azzure.
Setelah beberapa saat, aku kembali berpaling pada Grey. Aku berjalan menghampiri dia dengan langkah mantap sembari melepaskan cincin yang melingkari jari manisku—cincin yang dua bulan lalu Grey berikan saat melamarku. Aku menarik tangan Grey, lalu meletakkan cincin itu di telapak tangannya. "Tidak ada gunanya kita melanjutkan hubungan. Aku tidak sudi menjalin hubungan dengan orang yang tidak setia sepertimu. Dan melihat apa yang sudah kau lakukan, aku yakin kau juga tidak lagi mencintaiku. Mulai detik ini, kita sudah tidak memiliki hubungan apa pun."
Mata Grey melebar, wajahnya memucat. Dia membuka mulut, tetapi aku langsung berpaling sebelum dia sempat berbicara. Kemudian, aku beralih pada Azzure. Kulepaskan gelang yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Gelang yang sama persis dengan milikku melingkari pergelangan tangan Azzure—gelang persahabatan kami. Kulemparkan benda itu ke wajahnya.
"Kuharap kau sudah puas sekarang," desisku. Aku langsung melangkah keluar, meninggalkan dua sejoli itu—membanting pintu di belakangku.
Segala yang terjadi setelah itu terasa kabur. Aku ingat sapaan Dalton—yang tidak kubalas, kemudian raut wajahnya yang cemas. Aku berjalan menembus salju, dan tanpa sadar sudah sampai di halte. Yang kuinginkan saat itu hanya satu hal, pergi dari tempat terkutuk itu secepatnya.
Aku menunggu cukup lama sampai akhirnya ada bus yang datang. Selama itu, tak ada setetes air mata pun. Saat aku naik, bus itu hampir kosong. Hanya ada seorang pemuda yang bahkan terlalu sibuk dengan mimpinya. Dia hanya mendengus pelan, kemudian kembali terlarut dengan mimpinya. Sebagian wajahnya tertutup syal, dan tudung mantelnya dinaikkan. Pemuda itu duduk di barisan kursi paling belakang, dekat dengan jendela.
Aku mengambil tempat duduk di seberang pemuda itu, di dekat jendela sisi satunya lagi. Jarak kami cukup jauh dan dengan pemuda asing itu yang tidur seperti orang mati, aku merasa lega. Aku berpaling memandangi jalanan, kemudian menarik napas panjang. Dadaku sesak. Begitu tetesan pertama meluncur di pipiku, air mataku tak lagi bisa dihentikan. Aku mencengkeram dadaku, tetapi hati di dalamnya kini sudah hancur berkeping-keping.